Kamis, 24 Agustus 2017

WONG SOLO.. ITU.. TERNYATA.. HEBAT2.. YAAH..?? >> SELAMA PULUHAN TAHUN NKRI.. DLM GONJANG GANJING...POLITIK.. N MACAM2 PERISTIWA...?? TERNYATA BNYK ORANG SOLO TERLIBAT..??>>.... ADA APA DENGAN PROYEK MAIKARTA..??....>> ... Ada Jendral yg atur negara ini: 1. Luhut atur pemerintahan. The Real President 2. Gories Mere atur Polri. Tangkapi ulama 3. Lumintang atur Kopassus Salib. Bisa jadi Teror Sniper oleh pasukan Teror Salibis ini 4. Hendro P dan anaknya Diaz atur Intelijen negara Jenderal Salibis ini didukung Gereja, 9 Naga, CSIS, dan Media Kompas, Detik, dan MetroTivu Jenderal itu difasilitasi bisnis puluhan trilyun oleh para naga. Luhut punya 16 perusahaan senilai lebih dari rp 16 trilyun yg di antaranya di bidang batubata. Gories dan Hendro juga begitu. Dgn uang itu mereka kuasai jenderal2 di Polri dan TNI yg aktif. 9 Naga yang mendukungnya adalah Agung Podomoro, Tomi Winata (SCBD), James Riady (Lippo), Salim (BCA dan Indofood), Robert Budi Hartono (Rokok Djarum), Tahir, Sofjan Wanandi, Jacob Soetojo (CSIS), Edward Soeryadjaya....>>

https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=6660297917839456177#editor/target=post;postID=8902977246954734680



Pengantar:

Kota Solo (yang saya maksudkan Solo disini yaitu daerah wilayah eks Kariesidenan Surakarta, Subosuka Wonosraten; Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten )adalah kota yang fenomenal. Kota ini dan warganya juga yang turut mempegaruhi perkembangan politik di Indonesia sampai saat ini. Sebagai contoh yang paling mudah adalah Joko Widodo. Hampir semua orang Indonesia mengenal sepak terjangnya. Tetapi Kota Solo dan orang-orangnya tidak melulu hanya dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat positif saja. Dalam sisi negatif pun, ada pengaruhnya. Contohnya pada beberapa kasus terorisme yang mengatasnamakan agama (bahkan gembong teroris Noordin M Top pun tewas ditembak di Solo). Hal ini membuat Kota Solo juga identik dengan sebutan “kota teroris”.
Itu beberapa catatan pada jaman ini. Pada jaman yang lampau, khususnya pada tahun 1965, kota ini merupakan kota merah, karena merupakan basis kaum komunis. Beberapa tokoh komunis, maupun yang dituduh komunis, lahir atau dibesarkan di kota ini. Catatan saya kali ini mencoba mengungkapkan kembali fakta-fakta tentang “Wong Solo” dalam keterkaitannya dalam peristiwa G30S (tanpa embel-embel PKI). Sebuah fakta menarik yang saya temukan, orang-orang ini terlibat sebagai pelaku, penumpas, dan juga korban dari peristiwa yang menjadi awal kehancuran pemerintahan Presiden Sukarno tersebut.
Beberapa tokoh saya tuliskan secara personal, dan beberapa tokoh juga saya gabungkan, mengingat peranan dan keterlibatan mereka di pusaran G30S. Pemilihan urutan semata-mata hanya berdasarkan kemenarikan kisah dan fakta yang ditemukan, tidak bengan pendekatan dikotomi; sipil-militer, komunis-anti komunis, pelaku-korban, dll. Karena sampai saat ini belum jelas siapa dalang di balik tragedi kemanusiaan tersebut. Jika saja kita mau jujur terhadap sejarah, tidak ada dalang tunggal dalam peristiwa yang begitu rumit ini. Presiden Sukarno dalam pidatonya “Nawaksara” sebenarnya sudah memaparkan kesimpulannya, sayangnya orang-orang MPRS yang saat itu sudah diisi oleh orang-orang Suharto menolaknya, kemungkinan untuk menutupi kedoknya. Menurut Presiden Sukarno, dalang G30S ada 3, yaitu: keblingernya pemimpin PKI (kemungkinan yang dimaksud adalah D.N Aidit), subversi nekolim (kemungkinan yang dimaksud adalah CIA dan konco-konconya), serta yang terakhir adalah oknum-oknum yang tidak benar (kemungkinan yang dimaksud adalah jendral-jendral yang tidak benar, dimana Suharto termasuk salah satunya). Percaya tidak percaya, itulah penjelasan yang sebenarnya paling logis dan dapat diterima, paling tidak masih relevan sampai saat ini.
Catatan saya ini mungkin masih jauh dari kata lengkap, dan mungkin juga belum banyak orang yang tahu. Mengingat isu peristiwa 1965 adalah isu yang sensitif, banyak catatan-catatan yang unpublished. Catatan saya ini hanya sekedar rangkuman, dan saya berharap hal-hal yang unpublished tersebut tidak dilupakan, atau malah dihilangkan.
Berikut ini catatan saya tentang Wong Solo dalam pusaran G30S, selamat membaca

·         D.N. Aidit

Walaupun sempat menjadi orang nomor 1 di Partai Komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRT & Uni Soviet, Aidit datang dari keluarga bukan komunis, tetapi dari keluarga santri. Aidit lahir di Pangkalpinang, Belitung pada 30 Juli 1923 dari pasangan Abdullah Aidit dan Mailan. Aidit terlahir dengan nama Ahmad Aidit, dan oleh adik-adiknya kemudian dipanggil Bang Amat. Bapaknya adalah seorang mantri kehutanan, jabatan yang cukup bergengsi saat itu, sedangkan ibunya datang dari keluarga ningrat Bangka Belitung. Karena datang dari keluarga terpandang, sosoknya mudah bergaul dengan siapapun, mulai dari polisi di tangsi, tionghoa di pasar, sampai none-none di perusahaan tambang timah milik Belanda. Masa kecilnya dihabiskan seperti anak-anak inlander lainnya, tumbuh dalam keluarga yang taat beribadat. Melihat gaya hidup para tuan Belanda befoya-foya di societiet yang kontras dengan kehidupan buruh yang menderita menumbuhkan bibit-bibit anti Belanda dalam dirinya. Dan ketika memasuki masa remaja, saat berumur 13 tahun, Achmad Aidit memutuskan untuk cabut  ke Batavia untuk melanjutkan sekolahnya. Orangtuanya mengijinkan karena Achmad sudah memenuhi 4 syarat: bisa memasak sendiri, bisa mencuci pakaian sendiri, sudah disunat, dan sudah khatam mengaji.
Di Batavia, Achmad terpaksa harus puas melanjutkan pendidikan di sekolah dagang di jalan Sabang, tidak seperti cita-citanya untuk sekolah di MULO. Di Batavia juga, Achmad menjadi semakin militan mengorganisasi rekan-rekannya. Dirinya mengganti nama Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit melalui birokrasi resmi, di hadapan notaris, walaupun ayahnya sebenarnya kurang setuju. Saat Jepang datang , kiriman uang dari Belitung macet. Mau tidak mau dia harus bekerja. Dan hal ini bukan menjadi soal yang susah karena dia sudah terbiasa. Kesempatan ini juga ia gunakan untuk menjalin relasi dengan tokoh-tokoh pergerakan. Dia sempat menjadi murid kursus politik Sukarno-Hatta di sebuah tempat di Jalan Menteng Raya 31 yang kini dikenal dengan nama Gedung Joang 45. 
Saat revolusi meletus, Aidit menjadi Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda PKI Solo dan mengelola majalah Bintang Merah di Jalan Purwosari Solo (sekarang Jl. Slamet Riyadi). Pada masa inilah dirinya berkenalan dengan Soetanti, mahasiswa Perguruan Tinggi Kedokteran. Soetanti bukanlah orang biasa, karena masih keturunan ningrat Mangkunegaran. Kakeknya  pernah menjadi Bupati Tuban dan bapaknya seorang kepala polisi di Semarang. Sekolah Soetanti dibiayai oleh R.M. Soesalit, anak kandung R.A Kartini yang masih kerabat ayahnya. Mereka akhirnya menikah di Solo. Setelah menikah, Aidit aktif di partai dan Soetanti membuka praktek dokter. Soetanti adalah dokter Indonesia pertama yang menguasai akupuntur. Pernikahan ini membuahkan 5 anak : Ibraruri Putra Alam, Ilya Aidit, Iwan Aidit, dan si kembar Ilham-Irfan Aidit.
Setelah gerakan Madiun gagal dengan meninggalnya tokoh-tokoh senior seperti Muso, Amir Syarifudin, & Maruto Darusman, Aidit membangun PKI bersama kawan-kawan mudanya. Tokoh-tokoh tua disingkirkan, dan diganti dengan tokoh-tokoh muda yang tak kalah militan. Hingga muncullah Thre Musketeers di PKI: Dipa Nusantara Aidit, Mohammad Hakim Lukman, dan Njoto. Dibawah pimpinan 3 orang muda ini PKI menjadi partai keempat terbesar pada pemilu 1955. 
                                        Aidit dengan background lambang PKI
Juli 1965, seiring dengan merebaknya kabar kesehatan Presiden Sukarno yang semakin menurun, suhu politik semakin panas. Seiring itu pula merebak rumor tentang Dewan Jendral yang berusaha untuk merebut kekuasaan dari tangan Presiden Sukarno. Aidit termakan rumor tersebut. Sebelum didahului, ia memilih untuk mendahului mengantam Dewan Jendral. Masalahnya, PKI tak punya kekuatan bersenjata. Akhirnya, melalui orang kepercayaannya di Biro Chusus (sebuah oraganisasi rahasia di luar struktur organisasi resmi PKI, yang dikendalikan sepenuhnya oleh Aidit), Sjam Kamaruzamman, ia menyusun rencana penculikan tokoh-tokoh Dewan Jendral. Sebenarnya targetnya ada 10 orang: Nasution, Yani, Suprapto, Haryono, Parman, Panjaitan, Sutoyo, Sukendro, Chairul Saleh, dan Mohammad Hatta. Soekendro batal diculik karena saat itu sedang mengikuti acara di Peking, begitu juga Chairul Saleh. Nama Hatta akhirnya dicoret karena pertimbangan cerdik Aidit. Supaya terlihat operasi militer dalam ruang lingkup internal Angkatan Darat, maka target semuanya adalah tokoh militer dari Angkatan Darat.
Dibawah pimpinan Letkol Untung Sjamsuri & Brigjen Mustafa Sjarif Supardjo gerakan ini dilaksanakan. Hasilnya, Nasution lolos, dan semua target lain terbunuh. Ironisnya, gerakan ini gagal di hari pertama, walaupun mereka sempat menguasai RRI dan kantor telekomunikasi. Aidit sendiri akhirnya buron, meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta, dan akhirnya tiba di Solo. Dalam pelariannya di Solo, Aidit tertangkap di daerah Sambeng, dekat Stasiun Solo Balapan oleh pasukan Brigif 4 Kostrad dibawah pimpinan Letkol Yasir Hadibroto. 
                                         Aidit tertangkap di Sambeng, Solo
Aidit kemudian ditahan di Loji Gandrung (kini rumah dinas Walikota Solo). Aidit sebenarnya minta dipertemukan dengan Presiden Sukarno, tetapi Yasir menolak. Yasir kuatir Aidit akan memutarbalikkan fakta. Keesokan paginya, Yasir membawa Aidit meninggalkan Solo menuju ke arah Semarang dengan tiga jip, dengan Aidit bersama Yasir di mobil terakhir. Sampai di Boyolali, mobil Yasir membelok ke markas Batalyon 444 (sekarang menjadi kompleks Kodim Boyolali). Kepada Mayor Trisno, komandan batalion Yasir bertanya “ada sumur?”. Mayor Trisno pun menunjuk ke sebuah sumur tua di belakang rumahnya. Yasir membawa Aidit kesana dan mempersilakan Aidit mengucapkan pesan terakhir, tetapi Aidit malah berpidato berapi-api. Akhirnya dengan senapan Kalashnikov Yasir memberondong Aidit hingga habis peluru 1 magasen. Dan Aidit pun masuk ke sumur di komplek tersebut. “Makam” Aidit sekarang terletak di sekitar bangunan Bank Jateng, bersebelahan dengan Kodim Boyolali. 
                                                   Yasir Hadibroto (kanan)
                                   
24 November 1965, Yasir bertemu Suharto di Gedung Agung Yogyakarta. Setelah melaporkan pekerjaannya, termasuk keputusannya membunuh Aidit, Yasir memberanikan diri bertanya pada Suharto: “Apakah yang Bapak maksudkan dengan bereskan itu seperti sekarang ini Pak?”. Dan Suharto pun tersenyum.
Sepenginggal Aidit, keluarganya pun terpencar-pencar. Soetanti menghilang dengan meninggalkan tiga anak lelakinya yang masih kecil. Belakangan diketahui, Tanti menyusul ke Boyolali, tetapi tidak berhasil menemui suaminya. Soetanti sendiri akhirnya ditangkap dan berpindah dari satu penjara ke penjara lainnya hingga tahun 1980. Anak-anak Aidit pun terpencar. Ibraruri dan Ilya yang saat itu disekolahkan di Moskow, tidak dapat kembali ke Indonesia. Iwan, Ilham, dan Irfan diasuh oleh saudara Soetanti, Johanes Mulyana di Bandung. Suatu hari datang tentara dengan senjata terkokang menemui Mulyana, mereka diperintahakan untuk mengamankan anak Aidit. Mereka bertanya kepada Mulyana, apa benar dia memelihara anak-anak Aidit, dan Mulyana pun membenarkan. Saat itu Iwan sedang keluar, yang di rumah hanya si kembar Ilham-Irfan yang sedang bermain kelereng. Setelah tentara tahu bahwa target mereka ternyata hanya anak-anak kecil, mereka akhirnya mengurungkan niatnya, dan selamatlah jiwa anak-anak itu. Iwan melanjutkan pendidikan di ITB, dan saat ini menjadi warga negara Kanada. Ilham sekolah di SMA Kanisius Jakarta dan Universitas Parahyangan, sekarang menjadi arsitek. Irfan sempat belajar di fakultas kedokteran, dan saat ini menetap di Cimahi. Soetanti sendiri meninggal tahun 1991. Ilham melukiskan momen itu, “ Saat ibu meninggal, orang kampung melayat sambil membawa ayam dan kelapa”.

·         Untung Sjamsuri

            Pria berbadan gempal dengan postur tidak begitu tinggi itu terlahir dengan nama Koesman di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen pada tanggal 3 Juni 1926. Koesman kemudian diangkat anak oleh pamannya, Sjamsuri, dan pindah ke Solo. Sjamsuri, paman Koesman, bekerja sebagai buruh batik di Kampung Keparen, Jayengan, Solo (sekarang letaknya di sebelah selatan Pasar Singosaren, yang oleh warga sekitar lebih dikenal dengan nama “Matahari Singosaren”). Di kampungnya, Koesman gemar bermain bola dan tergabung menjadi anggota Keparen Voetball Club.


                                         Kampung Keparen, tempat Koesman kecil dibesarkan


            Pendidikan Koesman hanyalah di Sekolah Dagang di daerah Ketelan Solo, tetapi itu pun tidak selesai karena Jepang keburu datang dan sekolahnya dibubarkan. Koesman kemudian bergabung dengan Heiho, tentara sukarelawan bentukan Jepang. Heiho tidak sementereng PETA, karena tugasnya hanya membantu tentara Jepang di medan perang, tetapi tidak mengoperasikan senjata, maka Heiho sering disebut tentara kuli. Selepas proklamasi kemerdekaan, Koesman bergabung dalam dinas ketentaraan, menjadi anggota batalyon Sudigdo, dan berdinas di daerah Wonogiri. Akhir 1948, ketika gerakan Front Demokrasi Rakyat (FDR) di bawah pimpinan Musso dan Amir Syarifudin melawan pemerintah RI, Koesman ikut menyeberang ke Madiun dan bergabung dengan FDR, walaupun saat itu batalyonnya sudah digeser oleh Komandan Brigade, Letkol Ignatius Slamet Riyadi, ke arah Gunung Merbabu, jauh dari Madiun. Ia sempat tertangkap, tetapi kemudian dilepaskan karena Belanda datang menggempur Yogyakarta, ibukota Indonesia, sehingga para tawanan dibebaskan dan disatukan untuk melawan Belanda.
            Setelah dilepaskan, Koesman kembali ke dunia ketentaraan dan mengganti identitasnya. Namanya sekarang berganti menjadi Untung Sjamsuri. Ia sempat bertugas di Resimen 15 Solo, dan akhirnya bergabung di Batalyon 454 Kodam Diponegoro yang lebih dikenal dengan nama “Banteng Raiders”. Di Banteng Raiders, karir Untung melesat cemerlang. Ia pernah ditugaskan dalam operasi penumpasan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Batusangkar, Sumatra Barat pada tahun 1950-an. Pada tahun 1962, Untung yang saat itu sudah berpangkat Kapten menjadi Komandan Batalyon 454. Bersama batalyonnya, Untung diterjunkan dalam operasi jayawijaya, komando mandala perebutan Irian Barat pimpinan Mayjen Suharto.


                                         Suharto saat menjabat panglima Komando Mandala

              Ia memimpin pasukan serigala yang diterjunkan di daerah Sorong. Saat operasi jayawijaya, ada 2 perwira yang terkenal, Kapten Benny Moerdani dari RPKAD yang memimpin pasukan naga mendarat di Merauke, dan Kapten Untung Sjamsuri dari Banteng Raiders yang memimpin pasukan serigala yang diterjunkan di Sorong. Tugas mereka berhasil dan Irian Barat tetap menjadi bagian dalam koridor NKRI.
           Selepas dari  Irian, Untung, Benny, dan pasukannya mendapatkan penghargaan khusus dari Presiden Sukarno. Mereka mendapat Bintang Sakti, penghargaan tertinggi bagi prajurit Angkatan Darat, dan pangkat mereka dinaikkan satu tingkat, Untung dan Benny mendapat pangkat mayor. Dalam sambutannya, presiden Sukarno memberikan pidato penuh puji-pujian. Bunga mawar tidak pernah mempropagandakan harum semerbaknya. Dengan sendirinya harum semerbak itu tersebar di sekelilingnya. Pahlawan sejati tidak membanggakan diri.



                              Untung Sjamsuri (kanan) bersama Benny Murdani (memakai baret)

          Dalam biografi Benny Moerdani dituliskan, bahwa pada tahun 1965, Bung Karno memanggil dirinya. Bung Karno berencana untuk mengangkat Benny menjadi Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa, menggantikan Letkol Ali Ebram. Benny, perwira muda dengan latar belakang keluarga terpandang dan intelektual yang lebih dari cukup, dengan segala keberanian, menyampaikan penolakannya. Bung Karno awalnya sempat tersinggung, tetapi akhirnya mampu memahami penjelasan Benny. Akhirnya pilihan jatuh kepada Mayor Untung. Walaupun latar belakang keluarganya bukan orang terpandang, dan intelektualitasnya biasa-biasa saja, tetapi sosoknya terkenal sebagai perwira lapangan yang berani.
                                      Untung Sjamsuri, Komandan Batalyon 454 Banteng Raiders

           Untung juga punya kedekatan dengan Suharto. Selepas Madiun Affair, Untung yang kembali berdinas dengan identitas baru bertugas di Resimen 15 Solo, dimana Komandannya saat itu adalah Suharto. Saat Komando Mandala, panglimanya kebetulan juga Suharto. Ketika Untung menikah di Kebumen, sebuah tempat terpencil (saat itu) di ujung selatan Jawa Tengah, Suharto menyempatkan hadir bersama istrinya. Dan ketika mendengan Untung ditarik ke Tjakrabirawa, Suharto sempat marah-marah, karena sedianya Untung akan ditarik ke Kostrad.
      Penyambutan Yon 454 BR oleh Presiden Sukarno, tampak Untung di belakang bersama Suharto
.         
           Menjelang G30S, Untung termakan provokasi Sjam Kamaruzaman, orang kepercayaan Aidit yang disusupkan ke militer. Untung akhirnya didapuk menjadi komandan operasi yang bertugas membereskan Dewan Jendral. Mengingat posisinya sebagai anggota Tjakrabirawa, pasukan pengamanan presiden, Untung termakan provokasi bahwa tugas ini adalah untuk menyelamatkan Presiden Sukarno dari tindakan Dewan Jendral yang kontra revolusioner. Untung termakan omongan Sjam, dan seperti kita ketahui, G30S akhirnya berantakan.
            Untung kemudian buron. Ia lari ke Jawa Tengah dengan bis malam “mudjur”. Sampai di Tegal, ketika ada pemeriksaan oleh tentara yang marak setelah G30S, Untung yang kuatir identitasnya diketahui memilih untuk lari hingga ia dikejar warga karena dikira copet. Untung, komandan batalyon lintas udara (airborne) dengan pengalaman operasi militer segudang ini ternyata nasibnya tidak beruntung alias tidak mujur. Ia tertangkap dan dihajar warga.


                                     Untung Sjamsuri setelah tertangkap dan sempat dihajar massa


                                                             Untung Sjamsuri tertangkap

Untung kemudian ditahan di Cimahi. Selama persidangan, ia tidak menampakkan rasa penyesalannya, karena ia merasa bahwa tugasnya adalah untuk menjamin keselamatan presiden. Walaupun digambarkan sosok yang kejam dan dingin, tetapi sebenarnya ia adalah sosok komandan yang bertanggung jawab. Saat operasi peculikan Dewan Jendral, ada anak buahnya yang salah melepaskan tembakan, Untung menyempatkan untuk menulis permintaan maaf kepada keluarga korban tersebut. Untung sendiri akhirnya dieksekusi pada tahun 1966. Sebelum dieksekusi, kalimat yang terlontar dari mulutnya adalah HIDUP BUNG KARNO ! ! !


                                      Untung Sjamsuri saat diajukan ke pengadilan Mahmilub


·       

           Suradi Prawirohardjo, Mukidjan bin Sanawi, Gijadi , Surono bin Kartodimejo, Sukardjo,  Wisnuradji, Pramuko Sudarmo

 

Nama-nama berikut ini tidak banyak orang yang mengenal, karena mereka selama ini ada di posisi “pemberontak”. Walaupun mereka adalah eksekutor, namun bagaimanapun juga mereka adalah prajurit, tentara. Apa yang mereka lakukan pada hakekatnya adalah melaksanakan perintah atasan. Dan fakta yang saya dapatkan, ternyata mereka berasal dari Solo dan sekitarnya. Tetapi, nasib mereka pun sampai saat ini masih simpang siur, kemungkinan besar mereka sudah dieksekusi.
Kapten Suradi Prawirohardjo kelahiran Klaten 4 Juli 1928. Saat G30S terjadi dirinya menjabat sebagai Pasi I Brigif I Djaja Sakti, anak buah Kolonel Latif (di buku karangan Julius Pour menuliskan Suradi anggota Batalyon 530 Brawidjaja). Oleh para pimpinan G30S, Suradi bertugas mempimpin Satgas Bimasakti. Satgas ini bertugas menjadi pasukan teritorial ketika Satgas Pasopati bertugas menculik para jendral dari rumah mereka. 
                                Pengangkatan Jenazah korban penculikan G30S
Peltu Mukidjan bin Sanawi lahir di Boyolali 12 Agustus 1930. Saat Gerakan 30 September meletus, Mukidjan bergabung di Brigif I Djaja Sakti, anak buah Kolonel Latief. Oleh Komandan Pasukan Pasopati (pasukan penculik Dewan Djendral), Lettu Doel Arief, Mukidjan mendapat tugas memimpin pasukan menculik target kakap, Menpangad saat itu, Letjen A.Yani di rumahnya, di ujung Jalan Lembang-Latuharhary, Menteng.
Serda Gijadi Kelahiran Solo, 3 Juli 1927. Saat G 30 S meletus, ia bertugas di Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa, anak buah Letkol Untung. Oleh Doel Arief, ia ditugaskan menjadi anak buah Mukidjan menculik A. Yani. Gijadi lah yang memberondongkan senapan, hingga pelurunya menembus pintu kaca dan membunuh A.Yani. saat saya mengunjungi rumah A. Yani yang sekarang menjadi museum Sasmita Loka, ditunjukkan oleh guide senapan yang menewaskan A.Yani. Sejauh yang saya tahu, senapan itu adalah M3 Grease Gun buatan Amerika. Tetapi sang guide tetap ngotot bahwa senapan itu adalah Thompson (padahal Thompson dan Grease Gun jelas berbeda). Ada lagi kejanggalan, kaca di pintu yang diberondong Gijadi seolah-olah disusun lagi dan membentuk kaca yang pecah oleh peluru. Padahal, jika kita belajar tentang ilmu material, kaca merupakan material yang getas, kalau patah kemungkinan besar ya hancur dan susah disusun kembali (apalagi diberondong senapan otomatik dari jarak dekat), tapi de facto saya menangkap ada sedikit unsur melebih-lebihkan sekaligus menutup-nutupi di museum itu. 
              Foto prajurit Tjakrabirawa (kemingkinan dari Batalyon II/ dari KKO AL)
Serma Surono bin Kartodimejo kelahiran Solo, tahun 1929. Saat peristiwa G30S, dirinya bertugas di Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa, anak buah Letkol Untung Syamsuri. Surono ditunjuk oleh Doel Arief mempimpin pasukan untuk menculik Brigjen Sutoyo Siswomiharjo di rumahnya di Jalan Sumenep, Menteng. Tugasnya berhasil karena Jendral Sutoyo dapat diambil dalam keadaan hidup dan tanpa ada perlawanan yang berarti.
                        Patung prajurit Tjakrabirawa di Monumen Pancasila Sakti
Menurut seorang narasumber saya yang kebetulan bertetangga dengan keluarga Surono, Surono asli solo dan tinggal di kawasan Pucangsawit. Bapak dari narasumber saya tersebut kebetulan juga tentara dan sempat berada dalam pasukan yang sama dengan Surono, Batalyon 454 Kodam Diponegoro yang lebih dikenal dengan nama Banteng Raides, bermarkas di Srondol, Semarang. Mereka berpisah ketika Surono bergabung dengan Untung ke Tjakrabirawa. Anak-anak Surono pun masih tinggal di Solo. Setelah peristiwa G30S, keluarganya tercerai-berai. Seperti anak-anak Aidit, anak-anak Surono pun dititipkan ke keluarganya. Dengan demikian, identitas asli orang tua mereka susah terlacak sehingga beberapa dari mereka bisa di terima menjadi PNS. Di jaman Suharto, andai saja identitas asli mereka diketahui, sudah pasti nasib mereka akan berubah, karena dianggap “tidak bersih lingkungan”. 
          Penulis Biografi Sukarno, Cindy Adams, berfoto bersama prajurit Tjakrabirawa
Serda Sukardjo kelahiran Wonogiri, 31 Maret 1928. Tidak jelas dimana tugasnya saat peristiwa G30S. Di “buku putih” tentang G30S pun rancu.  Pada bagian depan ditulis bahwa Sukardjo merupakan anak buah Kapten Kuntjoro (berarti dari Batalyon 454 Kodam Diponegoro), tetapi di bagian belakang ditulis bahwa Sukardjo adalah anggota Brigif I Djaja Sakti (suatu kemustahilan jika pada saat yang bersamaan dia bertugas di dua tempat berbeda). Tetapi yang pasti, oleh Doel Arief Sukardjo ditugaskan memimpin pasukan menculik Brigjen D.I Panjaitan. Rumah Panjaitan saat itu letaknya paling jauh dari central komando (Cenko). Ketika target jendral-jendral lain rumahnya ada di sekitar daerah Menteng, rumah Panjaitan terletak di daerah Kebayoran Baru (sekarang dekat Blok M). Penculikan terhadap Panjaitan bisa dikatakan yang paling brutal. Karena sempat terjadi perlawanan dari dalam rumah. Panjaitan sendiri akhirnya ditembak di rumahnya. Tak hanya Panjaitan, 2 keponakannya yang ikut tinggal disana juga terkena tembakan pasukan Sukardjo.
Mayor Wisnuradji kelahiran Wonogiri, 9 Agustus 1926. Saat G30S terjadi menjabat komandan batalion L Kodam Diponegoro yang bermarkas di Kentungan Yogyakarta. Atas perintahnya, anak buahnya kemudian menjemput Komandan Korem Yogyakarta, Kolonel Katamso dan Kepala Stafnya, Letkol Sugiyono. Mereka berdua kemudian dibunuh dan dikuburkan di sekitar markas mereka di daerah Kentungan, Yogyakarta.
Mayor KKO Pramuko Sudarmo kelahiran Solo 23 Maret 1933. Saat G30S terjadi menjabat komandan kesatrian KKO Gunung Sahari. Bisa jadi Pramuko Sudarmo tidak terlibat dalam G30S. Tetapi KKO adalah salah satu unsur pendukung Sukarno, dan oleh Suharto mereka dianggap musuh dan dituduh komunis. Oleh orde baru, Pramuko Sudarmo dituduh sebagai anggota biro chusus pimpinan Sjam Kamaruzamman yang disusupkan ke dalam Angkatan Laut, khususnya KKO. Pramuko Sudarmo sendiri akhirnya harus menjalani masa pembuangan di Pulau Buru bersama orang-orang lain yang dituduh komunis.
·         
          Mangil Martowidjojo

             Selama orde baru berkuasa, tuduhan bahwa Presiden Sukarno terlibat G30S selalu dihembuskan penguasa. Dan sampai Sukarno meninggal tidak ada keputusan resmi pemerintah tentang keterlibatan Sukarno dalam G30S. Orang yang paling dekat dengan Sukarno saat itu justru bukanlah istrinya atau anak-anaknya, tetapi justru seorang yang bernama Mangil Martowidjojo.
            Mengil lahir di Wuryantoro Wonogiri pada 23 Agustus 1924. Tahun 1945 ia menjadi anggota polisi istimewa bentukan Jepang, Kesatuan Polisi Istimewa (Tokomu Kosamu Tai), atau yang lebih dikenal dengan nama polisi macan. Mangil tinggal di asrama Jl. Pegangsaan Timur no 45, persis di depan rumah Sukarno. Pada 17 Agustus 1945 Mangil diperintahkan komandannya, Said Sukanto, untuk menjaga Bung Karno, karena akan ada “acara penting”. Dan “acara penting” itu ternyata adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sejak saat itu Mangil selalu ikut mengawal Bung Karno, termasuk saat rapat raksasa di Lapangan Ikada, dan ketika Presiden serta Wakil Presiden pindah ke Yogyakarta.
            Pada 19 Desember 1948, tentara Belanda yang terdiri dari  prajurit-prajurit Korps Speciale Troepen menyerbu ibukota RI di Yogyakarta. Mereka berhasil menawan Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa pejabat penting. Mangil ikut ditawan, tetapi tidak diasingkan seperti pemimpin-pemimpin RI saat itu, ia “hanya” ditahan di penjara Wirogunan Yogyakarta. Setelah para pemimpin RI kembali ke Yogyakarta, ia kembali bertugas mengawal Presiden Sukarno.  
            Tahun 1950-an dan 1960-an, Mangil menjadi saksi percobaan pembunuhan terhadap Sukarno. Beberapa diantaranya adalah penggranatan Cikini dan Penembakan di sholat Idul Adha. Sukarno selamat. Untuk menjamin keselamatan presiden, dibentuklah pasukan pengamanan, yang bernama Resimen Tjakrabirawa.


                                                          Cover Majalah Tjakrabirawa
                                                         Lambang Resimen Tjakrabirawa

                                      Baret Tjakrabirawa dan lambang Detasemen Kawal Pribadi

           Resimen Tjakrabirawa terdiri dari 4 Batalyon yang diberi nama Batalyon Kawal Kehormatan (KK) dan terdiri dari unsur 4 angkatan. Batalyon I KK diambil dari prajurit raiders Angkatan Darat, batalyon II dari prajurit Korps Komando (KKO) Angkatan Laut, batalyon III dari Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara, dan batalyon IV dari Resimen Pelopor (Menpor) kepolisian. Mangil sendiri tergabung dalam Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Resimen Tjakrabirawa.


                                     Mangil (depan tengah), bersama anggota DKP Tjakrabirawa

                     Presiden Sukarno dikawal Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, Maulwi Saelan

            Saat G30S terjadi, prajurit Tjakrabirawa di bawah pimpinan Untung yang terlibat sebenarnya hanya 100-an orang saja, dari 3.000 prajurit Tjakrabirawa. Tetapi Suharto dan kroninya menuduhkan bahwa Tjakrabirawa lah pelakunya di balik semua ini. Sebuah insiden di bundaran air mancur akhirnya yang memacu Suharto membubarkan Tjakrabirawa.


                                                Konvoi Mobil Kepresidenan Presiden Sukarno

            Ketika iring-iringan mobil presiden yang dikawal Mangil hendak melewati bundaran air mancur di dekat monas, mereka dicegat oleh pasukan RPKAD sambil mengacung-acungkan senapan AK-47. Komandan pasukan itu minta rombongan diperiksa. Mangil segera keluar dan melepas kunci senapan AR-15 yang dibawanya. Mangil berkata bahwa rombongan ini adalah rombongan presiden Sukarno. Kapten RPKAD tersebut ngotot bahwa rombongan tetap harus diperiksa.


                                    Pasukan Tjakrabirawa bersenjatakan senapan serbu AR-15

Akhirnya Mangil mempersilahkan untuk memeriksa, dengan catatan sebelum memeriksa kalian (RPKAD) harus kami tembak. Akhirnya rombongan dipersilahkan lewat tanpa diperiksa. Namun seminggu sesudahnya, Tjarabirawa dibubarkan Suharto. Mangil sendiri akhirnya ditahan tahun 1968 dan baru dibebaskan tahun 1971 tanpa pernah disidang sama sekali. Ketika bebas, seketika itu pula ia dipensiunkan. Mangil wafat pada tahun 1996.
                    Mangil (kiri) masih mengawal Bung Karno setelah Tjakrabirawa dibubarkan

·         Suharto

Sebuah analisa mengatakan, bisa jadi, Suharto adalah tokoh kunci dalam peristiwa G30S. Tokoh kunci disini belum tentu bahwa dialah dalang dari peristiwa G30S, tetapi dialah orang yang mendapatkan informasi paling banyak dan lengkap tentang peristiwa tersebut. Oleh karena itu, dia pulalah yang dapat menentukan strategi yang paling tepat untuk memukul pasukan G30S, sampai akhirnya melebar dan melakukan pembunuhan massal, bahkan memukul  dan menjatuhkan  Presiden Sukarno.
Suharto lahir di  Yogyakarta, 8 Juni 1921 (ulang tahunnya hanya berselisih 2 hari dengan Sukarno). Masa kecilnya dilalui dengan masa yang sulit sekaligus muram, karena keluarganya broken home. Bapak-ibunya bercerai dan kemudian bapaknya kawin lagi (dari perkawinan ini lahirlah Probosutedjo). Pengalaman traumatik ini mungkin yang membuat Suharto ketika dewasa menjadi pengalaman untuk mengarungi perjalanan hidup berkeluarga. Suharto terkenal dengan sosoknya yang family man (hingga tak tanggung-tanggung, anaknya pun dijadikan menteri, tanpa melihat latar belakang pendidikan dan kompetensinya). Istrinya, Siti Hartinah masih keturunan ningrat Mangkunegaran. Sebuah fakta unik saya temukan di sini, bahwa istri-istri dari Aidit, Suharto, dan Njoto, semuanya masih keturunan ningrat mangkunegaran (secara tak langsung mereka sebenarnya masih “bersaudara”).
Awal karir militer Suharto diawali pada tahun 1940, dimana ia menjadi seorang kopral KNIL. Pada masa pendudukan Jepang, Suharto bergabung dengan PETA. Dan setelah kemerdekaan ia bergabung dengan TKR yang kelak berganti nama menjadi TNI. Saat serbuan Belanda ke Yogya, Suharto menjabat Komandan Brigade X dengan pangkat Letnan Kolonel dan bertanggung jawab atas daerah Yogya dan sekitarnya.
Pada masa pemerintahannya sebagai presiden, Suharto membesar-besarkan kepemimpinannya saat terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949. Jika dilogika, saat sebelum serangan umum tersebut, Suharto dan pasukannya berada di hutan. Jaman itu belum ada radio transistor dengan baterei, bagaimana mungkin ia bisa menerima kabar dari luar di tengah hutan dengan segala keterbatasannya. Lagi pula, Suharto tidak dikenal fasih berbahasa Inggris. Kemungkinan yang paling logis, serangan itu digagas oleh Sultan Hamengkubuwono IX, dan Suharto menjadi komandan operasinya.
Memasuki jaman tenang, Suharto sempat memimpin pasukan untuk menumpas gerakan separatis di Sulawesi Selatan. Kemudian ia menjadi komandan Resimen 15 (sekarang setingkat Korem) dengan markasnya di Kleco, Solo. Kemungkinan dari sinilah terjadi perkenalan antara Suharto dengan Untung Sjamsuri. Dari Solo, Suharto kemudian menjadi Pangdam Diponegoro dengan pangkat Kolonel. Pada saat ini, ia terkenal karena kasus penyelundupan dan kerjasamanya dengan Liem Soe Liong (Sudomo Salim), yang kelak menjadi besannya. Para personil di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) yang mengetahui kejadian ini murka. Jendral Nasution sempat nyaris memecatnya. Dan secara kebetulan, para perwira yang murka kepada Suharto tersebut kelak termasuk dalam anggota “Dewan Djendral”. Suharto kemudian dicopot dari jabatannya dan “dijinakkan” dengan cara disekolahkan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD, sekarang bernama Seskoad). 
                             Suharto (kanan) semasa menjadi Pangdam Diponegoro

Selepas dari SSKAD, Suharto dipindahkan ke Kostrad (Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat). Pada masa itu, jabatan sebagai panglima KOSTRAD termasuk kategori kurang bergengsi, karena membawahi “pasukan cadangan”. Meskipun jumlah personilnya cukup banyak, tetapi di markas besarnya tidak tersedia pasukan yang cukup dan combat ready, karena pasukan-pasukan tersebut tersebar di seluruh Indonesia, dan jika suatu saat dibutuhkan siap dipanggil. Pada masa ini, presiden Sukarno  menunjuknya sebagai Panglima Komando Mandala dalam perebutan Irian Barat. Dan tugas ini pun dapat dilaksanakannya dengan baik.
Menjelang G30S, posisi Suharto sebagai Pangkostrad termasuk kurang diperhitungkan dan tidak termasuk dalam kategori “Dewan Djendral”, walaupun pangkatnya saat itu sudah Mayor Jendral. Semua anggota Dewan Djendral adalah anggota Staf Umum Angkatan Darat (SUAD), dimana Suharto tidak termasuk di dalamnya. Oleh para penggerak G30S, keberadaan Suharto dianggap cukup potensial, karena ia memiliki pasukan dalam jumlah banyak, dan secara kebetulan, Suharto baru saja mengirim radiogram kepada batalyon-batalyon KOSTRAD di daerah; Batalyon 530 Brawidjaja, Batalyon 454 Diponegoro, dan Batalyon 328 Siliwangi untuk datang ke Jakarta pada akhir September 1965, dalam rangka peringatan hari ABRI ke 20 pada 5 Oktober 1965. Yang menganehkan, dalam radiogram tersebut, seluruh pasukan  diminta hadir ke Jakarta dengan perlengkapan tempur garis pertama, peluru tajam, dan pakaian ganti untuk 2 minggu, kecuali Batalyon 328 Siliwangi.
Ada dugaan, Suharto sudah menyiapkan operasi tersebut. Pasukan G30S, pada 30 September 1965 malam, diwakili oleh Kolonel Abdul Latief (anak buah Suharto di Yogya) melaporkan bahwa mereka akan bergerak pada 1 Oktober dinihari. Suharto hanya menanyakan, siapa yang bertugas menjemput, dan Latief menjawab akan dijemput oleh pasukan Tjakrabirawa. Setelah itu Latief pamit. Suharto yang mengetahui informasi ini hanya mendiamkan saja, bahkan tidak berusaha melaporkan kejadian tersebut pada atasannya langsung, Letnan Jendral A. Yani, yang juga termasuk dalam daftar Dewan Djendral.
Ketika peristiwa penculikan terjadi, seharusnya Suharto tidak kaget, karena malam sebelumnya ia sudah dilapori Latief. Bahkan Suharto sudah mengirimkan utusannya, Kolonel Yoga Sugama, untuk menemui Kepala Dinas Intelejan AD, Mayor Jendral S. Parman, memberitahukan bahwa akan ada penculikan terhadap sejumlah jendral SUAD. Jendral Parman hanya menjawab, jika informasi hanya dari 1 sumber, berarti itu belum valid. Dari sini Suharto tahu, bahwa para target belum mengetahui rencana gerakan. Bagaimanapun ia akan tetap pada posisi sebagai pemenang. Jika saja Jendral Parman cs selamat, ia akan mendapat penghargaan, karena sudah memberi early warning. Tetapi jika mereka terbunuh, Suharto mempunyai kesempatan untuk menggebuk pasukan G30S. Dan akhirnya kemungkinan kedua yang terjadi.
Berhubung ia tidak mempunyai pasukan, ia kemudian memanggil RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Ia menunggu semua pasukan siap, dan baru pada malamnya ia perintahkan merebut gedung RRI dan telekomunikasi. Setelah itu, ia perintahkan RPKAD menyerbu Halim. Berhubung ialah yang paling banyak mengumpulkan informasi, maka ialah yang paling siap untuk menentukan keputusan yang paling matang, hingga akhirnya para korban Dewan Djendral tadi diketemukan jenazahnya. 
                                     Suharto bersama Sarwo Edhie Wibowo
Dengan meninggalnya para perwira tinggi AD, Suharto berada di atas angin, karena tidak mempunyai pesaing lagi. Secara perlahan, ia merangkak untuk merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno. Dan ini terbukti, ia akhirnya bisa menjadi presiden, setelah berhasil “menumpas PKI” dengan cara pembunuhan massal terhadap “orang-orang komunis” atau mereka yang “diindikasikan sebagai komunis”. 
                             Suharto bersama Komandan Tjakrabirawa, Moh Sabur
Setelah berkuasa, orang-orang yang dulu pernah berjasa membantunya ke puncak kekuasaan mulai dilupakan. Sebagian dibuang ke tempat yang jauh dari Jakarta, atau di-dubes-kan ke luar negeri. Ia berkuasa 32 tahun dan akhirnya membawa Indonesia sebagai negara kulit, karena dari luar kelihatan baik-baik saja, tetapi di dalamnya penuh kebusukan. 
                                  Suharto (kiri) saat menjabat sebagai Menpangad
Jika para diktaktor seperti Muamar Khadafi atau Husni Mubarak harus menerima nasib buruk setelah kekuasaannya berakhir, Suharto masih lebih beruntung. Ia tidak pernah diseret ke meja hijau, dan masih sempat mendapat perawatan yang sangat layak (jauh sekali jika dibandingkan dengan perlakuan kepada Sukarno setelah tidak menjadi presiden). The Smilling General yang sangat njawani ini (di depan tampak tersenyum lebar, tetapi di punggungnya sudah ada senjata terkokang, siap tembak untuk menghabisi lawannya) akhirnya wafat pada 27 Januari 2008 di Jakarta. 
                                                 Suharto dan Siti Hartinah
Keluarganya memilih untuk tidak memakamkannya di Taman Makam Pahlawan (bisa jadi ini adalah pengakuan keluarga yang “tidak sengaja”, bahwa Suharto memang bukanlah seorang pahlawan), dan ia pun dimakamkan di sebelah istrinya di Giribangun, Matesih, Karanganyar. 

·         Chalimi Imam Santoso

Nama Chalimi Iman Santoso, yang lebih beken disebut C.I. Santoso, melejit setelah Mayor Benny Murdani (yang notabene orang Solo juga) dipindahkan dari RPKAD ke Kostrad oleh Menpangad Letjen A.Yani.  Karena terlalu berani mengkritik atasannya di RPKAD, Kolonel Moeng Parhadimulyo, Benny dipindahkan ke Kostrad. Jabatan Benny sebagai komandan Batalyon II RPKAD kemudian diserahkan kepada C.I. Santoso. Sebenarnya Benny dan Santoso adalah kawan seperjuangan. Di masa remaja mereka bergabung dalam Tentara Pelajar di Solo, anak buah Mayor Ahmadi. Setelah perang melawan Belanda selesai, Benny dan Santoso melanjutkan pendidikan di SPI (Sekolah Pelatih Infanteri) di Cimahi. 
Chalimi Imam Santoso
                Cimahi saat itu masuk dalam Kesatuan Komando (Kesko) Tentara Teritorium III/ Siliwangi dimana Alex Evert Kawilarang menjadi panglimanya. Alex kemudian memunculkan ide membentuk pasukan komando, sebagian personelnya diambil dari lulusan SPI. Pasukan tersebut akhirnya berkembang menjadi Korps Komando Angkatan Darat (KKAD), Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), dan tahun 1960-an menjadi Resiman Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Santoso dan Benny terus berada dalam lingkaran RPKAD sampai akhirnya berpisah setelah Benny dipindah ke Kostrad.
                Saat G30S terjadi, Mayor C.I. Santoso menjadi Komandan Batalyon I RPKAD. Oleh atasannya, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, pasukannya mendapat tugas merebut kantor RRI & Telkom yang sempat dikuasai pasukan Dewan Revolusi. 
                                                            Suharto dan C.I Santoso
Tugas ini berhasil dijalankan dengan baik. Dan setelah selesai tugas selanjutnya adalah merebut Pangkalan Halim Perdanakusuma. Sampai akhirnya jenasah korban G30S ditemukan. 
                    Foto prajurit RPKAD tahun 1965, jaket loreng darah mengalir dipadu celana hijau
                Setelah peristiwa G30S selesai, nama Santoso mulai tenggelam perlahan-lahan. Sempat menjadi Komandan Korem di kota kelahirannya, Solo, kemudian menjadi Pangdam Udayana di Bali, dan Pangdam di Irian. Nama Santoso mulai dijauhkan dari lingkaran kekuasaan di Jakarta sampai wafatnya. 

·         Omar Dani & Sri Muljono Herlambang
Omar Dani dan Sri Muljono Herlambang merupakan dua toko yang menarik. Keduanya sama-sama berasal dari Solo, keduanya sama-sama merintis karir sebagai penerbang, keduanya sama-sama pernah menjadi pimpinan tertinggi di Angkatan Udara, Menpangau (sekarang KSAU), keduanya sama-sama pernah ditahan atas perintah Suharto, dan keduanya sama-sama mengalami rasanya bebas dari tahanan (walaupun tidak bebas bersama-sama).
Bangsa ini tidak fair menghargai para pendahulunya. Di Museum Dirgantara Yogyakarta saat masa orde baru (tidak tahu sekarang apakah masih sama), terpampang foto Daftar KSAU dari masa ke masa. Lucunya, setelah foto KSAU pertama, di sebelahnya ada pigura kosong, dan di sebelah pigura kosong tersebut dipampang foto KSAU ketiga. Pigura kosong tersebut seharusnya berisi foto Omar Dani. Omar Dani (saat itu) dianggap menjadi aib, sehingga fotonya pun tidak pantas dipasangkan. 
                  Omar Dani dalam pangkat Laksamana Madya Udara, Menpangau
Omar Dani lahir di Solo, 23 Januari 1924. Omar Dani terlahir sebagai anak dari keluarga terpandang. Saat ia lahir, ayahnya adalah Asisten Wedana di Gondangwinangun, Klaten, maka ia pun mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak pada jaman itu. Ia sempat bersekolah di HIS Klaten,  Christelijke MULO di Solo (sekarang mungkin komplek SMP & SMK Kristen di Banjarsari, Solo), kemudian AMS B di Yogyakarta, tetapi tidak selesai karena kedatangan Jepang. Kemudian ia bersekolah di Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Manahan Solo (kemungkinan sekarang menjadi daerah komplek sekolah di Manahan Solo dengan bangunan SMA 4 & SMK 2 menjadi pusatnya). Ia pernah menjadi penyiar radio dalam siaran berbahasa Inggris di RRI Solo yang dipimpin Maladi (pernah menjabat menteri penerangan dan namanya sekarang diabadikan untuk nama Stadion di Solo, menggantikan nama Stadion Sriwedari). Ia juga sempat menjadi informan di Jakarta bagi MBT (Markas Besar Tentara) sambil nyambi bekerja, karena saat itu pososinya sebagai informan, yang setara dengan sukarelawan.
Tahun 1950, Omar Dani mendaftar di Markas Besar Angkatan Udara (MBAU) yang saat itu berada di Jalan Merdeka Barat (sebelum dipindah ke Tanah Abang). Kemudian setelah diterima sebagai anggota AU, ia dikirimkan sebagai kadet penerbang ke sekolah penerbang TALOA Amerika Serikat bersama rekan-rekannya seperti Ignatius Dewanto, Sri Muljono Herlambang, Leo Wattimena, dan Wisnu Djajengminardo.  Dari sana karirnya sebagai penerbang melesat bak pesawat tempur.
Tahun 1962, ketika terjadi peristiwa Laut Aru yang mengakibatkan gugurnya deputi KSAL, Yosaphat Sudarso, muncul suara miring yang memojokkan AURI, mengapa mereka tidak mengirimkan bantuan udara. Hal ini mengakibatkan KSAU saat itu, Surjadi Surjadarma mengundurkan diri sebagai KSAU. Posisinya kemudian digantikan oleh Omar Dani. Dalam 12 tahun masa dinasnya, ia sudah menjadi orang nomor satu di AURI. Saat itu kekuatan udara Indonesia menjadi salah satu yang ditakuti di Asia dengan pesawat-pesawat Uni Soviet yang terkenal hebat daya hajarnya.
Omar Dani adalah loyalis Sukarno. Peristiwa G30S yang melibatkan sejumlah prajurit AU menjadi alasan bagi Suharto untuk mendepak Omar Dani dan menuduhnya terlibat G30S. Sukarno berusaha melindungi dengan mencopotnya “sementara”, dan menugaskannya ke Kamboja. Sukarno paham, bahwa sasaran Suharto cs adalah dirinya, Omar Dani adalah sasaran semu, maka ia bermaksud menyelamatkannya. Tetapi darah ningrat Omar Dani menurunkan jiwa ksatria. Ia memilih kembali ke Indonesia, walaupun ia tahu, ia pasti akah dipenjara. Dan benar saja, Omar Dani dipenjara, disidang, dan divonis mati pada malam Natal 24 Desember 1966, dengan tuduhan makar. Ia baru dibebaskan pada tahun 1995, setelah hampir 30 tahun dipenjara. Omar Dani akhirnya bisa berkumpul dengan keluarganya kembali, sampai wafatnya pada 24 Juli 2009.
Sri Muljono Herlambang adalah pilot seangkatan Omar Dani, kelahiran Solo, 9 November 1930. Ia mengawali karir militernya saat revolusi fisik sebagai pengawal Letkol Ignatius Slamet Riyadi, dan kemudian menjadi penerbang AU seangkatan dengan Omar Dani. 
 Sri Muljono Herlambang (kiri) bersama Wisnu Djajengminardo (tengah) Komandan Halim
 Saat G30S meletus, jabatannya adalah menteri negara, yang artinya ia sudah tidak lagi ngurusi Angkatan Udara, walaupun masih terdaftar sebagai anggota Angkatan Udara. Saat G30S terjadi, ia sedang berada di Medan, bersama rombongan kabinet yang dipimpin Dr Subandrio, Waperdam I, dimana wakil PKI Njoto juga termasuk di dalamnya. Setelah mendengar kabar dari Jakarta, ia memutuskan kembali. Di atas Tebet, pesawatnya sempat ditembaki, namun akhirnya selamat juga dan mendarat di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma. Saat penyerbuan RPKAD ke Halim yang akhirnya dapat berjalan damai, walaupun sempat terjadi kontak senjata, Sri Muljono lah saat itu anggota AURI dengan pangkat tertinggi, hal ini yang mengakibatkan rasa curiga pihak Suharto.
Saat Omar Dani dicopot “sementara” oleh Presiden Sukarno, penggantinya adalah Sri Muljono Herlambang. Tetapi pilihan Sukarno ini ternyata tidak didukung sebagian anggota AURI. Namanya dipersoalkan karena selama ini ia lebih banyak bertugas di lingkungan istana, sehingga “kebersihan” dirinya diragukan. Dimasa transisi ini, polemik di lingkungan AURI justru semakin tidak karuan, terlebih lagi oleh intervensi Angkatan Darat, termasuk dikirimnya panser KOSTRAD untuk mengepung markas AURI. Sri Muljono akhirnya mengundurkan diri pada 23 Maret 1966, setelah itu ia ditahan. Omar Dani sempat berjumpa dengannya ketika sama-sama ditahan di Inrehab Nirbaya, walaupun hanya dalam bentuk lambaian tangan. Jabatannya dipreteli dan ia dijadikan tahanan militer, walaupun kemudian dibebaskan. Selepas dari penjara, ia kemudian menjadi pengusaha. Dan Sri Muljono wafat di Jakarta pada 21 Mei 2007. Jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata dengan Upacara Militer. 
                                         Sri Muljono Herlambang di masa tuanya

·         Njoto

Pria bernama singkat ini terlahir dengan nama yang bagus, Kusumo Digdoyo, yang berarti bunga yang bertuah. Pria kelahiran Jember, 17 Januari 1927 ini lebih suka dipanggul Njoto, yang artinya nyata, sejati, dan tidak pura-pura. Njoto terlahir dari keluarga priyayi blasteran Solo-Jember. Bapaknya, Raden Sosro Hartono masih keturunan ningrat Solo, sedangkan ibunya, Masalmah, asli Jember. Raden Sosro Hartono adalah seorang pengusaha yang mempunyai toko Yosobusono, berjualan blangkon dan jamu.
Masa kecil Njoto termasuk beruntung dibandingkan dengan anak-anak seumurannya. Kondisi keluarganya yang berkecukupan memungkinkan Njoto mendapatkan pendidikan yang layak pada jaman itu. Selain itu, Njoto juga gemar berolah fisik. Bermain sepatu roda dan sepak bola merupakan beberapa kegiatan yang digemarinya. Sejak kecil, Njoto sudah tidak menyukai struktur sosial yang bertingkat dan cenderung kaku, inilah yang menjadi benih-benih simpatinya pada komunisme. Ia kurang nyaman menyaksikan suasana feodal Jawa saat Hari Raya Idul Fitri. Ketika sanak kerabat dan para pegawai sowan ke rumah Pak Raden di Bondowoso, Njoto memilih cabut dari rumah, bersepeda, dan nongkrong di permandian umum Tasnan.
Bapak Njoto bukan orang sembarangan, selain sebagai pengusaha, ia juga termasuk anggota pergerakan. Rekan-rekannya adalah kaum aktivis yang pernah dibuang Belanda di Digul, Papua. Oleh anak-anaknya, rekan-rekan itu dipanggil Om Digul. Selepas kemerdekaan, aktivitas pergerakannya tidak berkurang, hingga pemerintah Belanda menangkapnya. Sosro Hartono kemudian dipenjara di Bondowoso, tetapi kemudian dipindahkan dengan kereta ke penjara Kalisosok, Surabaya. Pemindahan tahanan dengan kereta tanpa ventilasi selama 15 jam inilah yang kemudian terkenal dengan nama “gerbong maut”. Sosro Hartono selamat sampai Surabaya, tetapi kondisinya sangat lemah, dan akhirnya wafat di rumah sakit tanpa didampingi anak-anaknya.
Selepas HIS, Njoto melanjutkan pendidikan di MULO Jember. Namun karena Jepang datang, sekolah ini kemudian ditutup. Oleh ayahnya, Njoto kemudian melanjutkan pendidikan di Solo, dan tinggal di rumah keluarga dari pihak ayah, di kampung Kemlayan Solo. Di Solo, Njoto terkenal pintar bergaul. Bakatnya di bidang tulis-menulis juga lebih terkenal daripada di olahraga. Tulisannya saat itu termasuk berani dan pemikirannya out of the box. Ketika rekan-rekan yang lain membuat karangan dengan tema biasa-biasa saja, Njoto malah membuat karangan tentang penjudi sepakbola yang kecewa, dan karangan ini dibacakan guru di depan kelas. 
                                           Foto Njoto dalam suasana informal
Njoto juga gemar bermusik. Ia piawai memainkan beberapa alat musik. Salah satu lagunya berjudul Wanita Asia, yang memuji ketegaran para wanita Asia dan menyanjung kebesaran Jepang melibas Belanda. Lagu ini sempat direkam dalam piringan hitam, namun setelah Jepang hengkang, lagu ini dilarang.
Njoto gemar membaca sejak muda, bahkan buku-buku dalam bahasa asing. Ia kemudian menceburkan diri dalam dunia politik pada usia yang masih muda, walaupun secara sembunyi-sembunyi karena tidak bercerita kepada keluarganya. Hingga akhirnya terdengar kabar ia sudah menjadi anggota KNIP, wakil dari PKI Banyuwangi, pada usia 16 tahun ! Walaupun PKI sempat digoyang dengan Madiun Affair pada 1948, ia bersama rekan-rekan mudanya, D.N. Aidit dan M.H Lukman, membangun kembali PKI menjadi partai yang militan, sehingga meraih suara terbanyak keempat pada pemilu 1955. Kehilangan tokoh-tokohnya yang dieksekusi justru membuat para pemimpin muda ini matang karena pengalaman, karena tidak ada tempat untuk bertanya, membuat mereka berguru pada pengalaman. 
                                          Njoto (kanan) bersama D.N Aidit
Dalam kehidupan asmaranya, Njoto diperkenalkan pada seorang gadis yang masih keturunan nigrat Mangkunegaran. Gadis itu bernama Sutarni, dan mereka berkenalan di Desa Palur (daerah ini tempat saya kecil dan dibesarkan). Mereka kemudian menikah di Solo dan dikaruniai 7 anak; Svetlana Dayani, Ilham Dayawan, Timur , Risalina Dayana, Irina Dayasih , Fidelia Dayatun, dan Esti Dayati. Setiap anaknya diberi nama “Daya”, yang merupakan nama kecil Njoto, Kusumo Digdoyo. 
                                                  Njoto bersama keluarga
                                             Sutarni, istri Njoto di hari tuanya
Njoto menampilkan sosok komunis yang berbeda. Sementara banyak tokoh komunis cenderung kaku, ia tampil sebaliknya. Ia seorang komunis, tetapi tidak anti agama. Ia pernah mengusahakan seseorang untuk dapat naik haji, padahal ketika itu setiap orang yang berduit belum tentu bisa naik haji. Ia juga pandai bermain musik, berolahraga, dan gampang bergaul. Sosoknya yang demikian membuat ia mudah dekat dengan orang lain, termasuk Presiden Sukarno himself. Dalam beberapa hal, ia mirip Sukarno. Sukarno juga sempat memintanya menjadi penulis pidato dalam rangka peringatan hari kemerdekaan RI. Pidato presiden pada 17 Agustus 1965 yang berjudul “Tjapailah Bintang-Bintang di Langit”  merupakan karya Njoto.
Saat G30S terjadi, Njoto ikut rombongan kabinet mengunjungi Sumatra Utara. Kemudian ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan sempat mengikuti sidang kabinet yang dipimpin Presiden Sukarno. Setelah itu ia menghilang tak diketahui rimbanya, kemungkinan besar ia dibunuh. Dan sejak saat itu keluarganya melalui hari-hari panjang yang berat dan berliku. Sutarni ditahan bertahun-tahun, dan anak-anaknya terpencar, dititipkan kepada saudara-saudaranya. Sekarang mereka berkumpul kembali, minus sang ayah. Namun semangat Njoto tetap meletup-letup, semangat muda dan militan, yang benar-benar nyata. 

·         Hartono

Walaupun tak terlibat langsung di sekitar peristiwa Dewan Jendral, nama Hartono adalah salah satu korban pembersihan oleh Suharto dan Orde baru. Kesalahan Hartono sebenarnya satu (dari sudut pandang orde baru), yaitu loyalis Sukarno. Dan inilah yang menjadi alasan mengapa sosoknya harus disingkirkan.
Hartono lahir di Solo, 1 Oktober 1927. Menurut putrinya, Mbak Nenny Hartono, yang saya kenal secara tidak sengaja lewat facebook, ayahnya asli Solo, dari daerah Margorejo (setahu saja, daerah Margorejo di Solo itu terletak di sebelah timur Stasiun Solo Balapan). Hartono lahir dari keluarga priyayi, sehingga mendapat pendidikan yang cukup layak pada jamannya, dari HIS, MULO, SMP, STM, dan Sekolah Pelayaran Tinggi (bisa jadi seangkatan dengan Slamet Riyadi, karena Slamet Riyadi juga pernah menempuh pendidikan pelayaran bersama beberapa rekan-rekan dari Solo, dan mengingat Slamet Riyadi juga kelahiran tahun 1927, bisa jadi ia adalah rekan Hartono). Dari biografi Slamet Riyadi yang pernah mendapatkan pendidikan AL bersama beberapa rekan dari Solo, maka tak heran jika banyak tokoh AL, khususnya dari KKO, yang berasal dari Solo, walaupun sebenarnya Solo bukanlah daerah di maritim. Yang sudah pasti adalah Suyoto (teman masa kecil Hartinah Suharto, yang akhirnya mengikuti jejak Slamet Riyadi di AD). Beberapa kawan lainnya  bisa jadi adalah Hartono (kelak menjabat Panglima KKO), Saminu (kelak menjabat Komandan Batalyon II Tjakrabirawa, dari KKO AL), dan Pramuko Sudarmo (kelak menjabat Komandan Kesatrian KKO Gunung Sahari).
Karirnya melesat cemerlang. Tanggal 15 November 1961 Hartono diangkat menjadi panglima pasukan komando  angkatan laut (KKO AL). Selepas G30S, berbagai pihak, khususnya pihak Suharto, terus memojokkan Sukarno. Letjen KKO Hartono dan pasukannya terkenal menjadi loyalis Sukarno, yang membela Sukarno mati-matian. Kalimat bersayap yang terkenal yang pernah diucapkan Letjen KKO Hartono untuk menunjukkan loyalitasnya adalah “Hitam Komando Bung Karno, Hitam tindakan KKO. Putih Komando Bung Karno, Putih tindakan KKO. Pasukan KKO tetap kompak dan akan selalu berdiri di belakang Bung Karno”. 
                         Hartono (kiri) bersama Sofjan Wanandi (Lim Bian Koen)
Hartono sebenarnya sudah menyiapkan 30 ribu pasukan tempur untuk menaklukkan jakarta yang dikuasai Kostrad. Selain itu AU sudah siap membantu, tetapi Presiden Sukarno tidak pernah mengeluarkan komando yang mereka tunggu-tunggu tersebut. KKO juga secara provokatif pada hari ulang tahun Bung Karno, 6 Juni 1966 mengadakan konvoi berkeliling Surabaya dengan pasukan sepanjang 30 kilometer. Saat melewati depan rumah dinas Pangdam Brawijaya mereka berteriak-teriak “Bung Karno jaya...Bung Karno jaya”. Hartono juga menugaskan 2 batalyon KKO mendirikan pos taktis di Yogya yang dikuasai Kostrad dan RPKAD, sebuah tantangan terbuka untuk Suharto. 
                                          Perintah Harian Letjen KKO Hartono
15 Maret 1966, Dubes AS untuk Indonesia, Marshall Green mengirim laporan rahasia ke washington. Isinya menyatakan bahwa Suharto berharap Menpangal Martadinata, Panglima KKO Hartono, dan Menpangak Sutjipto akan dipinggirkan, selambat-lambatnya pada sidang istimewa MPRS. Ramalan Marshal Green menjadi kenyataan. Martadinata didubeskan ke Pakistan, Hartono ke Korea Utara, dan Sutjipto ke Jerman Barat.
Pada Desember 1970, Hartono bertemu Muljadi, mantan KSAL pengganti Martadinata yang kemudian juga di-dubeskan. Mereka membicarakan operasi lumba-lumba, sebuah operasi intelejen yang bertujuan untuk membersihkan AL dari tokoh-tokoh pro Sukarno dengan tuduhan “komunis”. Hartono kemudian tiba di Jakarta dan sejak itu jadwalnya selalu penuh, menemui penguasa-penguasa seperti Maraden Panggabean, Sumitro, Ali Murtopo, Yoga Sugama, Sutopo Juwono, dan Sudomo, dan tak lupa juga Suharto di rumahnya di Jalan Cendana. Tak lupa, Hartono menunjukkan tiket “kepulangannya” ke Pyongyang, 6 Januari 1971 jam 09.55 dengan pesawat MSA dari Kemayoran.
Menjelang kepulangannya, ibunda Hartono melihat anaknya sedang berbincang-bincang dengan 2 orang tamu berbaret biru. Tak lama kemudian terdengar suara kaca pecah. Ibunya lari ke depan dan yang ditemuinya Hartono terduduk di kursi bersimbah darah di belakang kepala, di sampingnya kaca jendela pecah berantakan terkena tembakan, dan kedua tamunya sudah tidak ada disitu.
Jenazah Hartono oleh polisi militer kemudian diangkut ke RSPAD. Menjelang siang, jenazahnya dibawa kembali ke rumah, dalam sebuah peti jenazah yang tidak boleh dibuka. Hari itu juga Letjen KKO Hartono dimakamkan di TMP Kalibata dalam upacara militer, dengan komandan upacara Kolonel KKO Bambang Widjanarko (ayah artis Inggrid Widjanarko) dan inspektur upacara Laksamana Madya Sudomo. Yang perlu diketahui, Bambang Widjanarko dan Sudomo adalah “orang-orangnya Suharto”. 
                                          Letjen KKO Hartono dan keluarganya
Istri Hartono, Ny Grace Barbara Walandouw, tiba bersama keempat puterinya yang masih kecil beberapa hari sesudahnya. Saat tiba, Ny Grace mengenakan baju hitam dan membalut lehernya dengan selendang phasmia warna ungu, warna kebanggaan KKO. Kedatangannya ke Jakarta ternyata menjadi awal masa-masa sulit bagi keluarganya. Tidak pernah ada visum dan akte atas kematian Letjen Hartono. Meski dimakamkan di Kalibata, sosoknya menjadi The Man Who Never Was. Semua data mengenai dirinya tidak dapat diperoleh dan gambar Hartono diturunkan dari Mabes AL dan semua markas KKO.
AL dan KKO menutup diri, dan bahkan tidak pernah memberikan bantuan. Bahkan rumah yang ditinggali yang menurut pesan almarhum sudah dibayar, disita oleh negara. Ny Grace dan keempat anaknya terpaksa meninggalkan rumah tersebut dan kemudian menyewa satu kamar, hidup berdesak-desakan tanpa mempunyai penghasilan tetap. Tinggal tersuruk jauh dalam kampung di wilayah Pamulang, Tangerang Selatan.
Sejak awal kematiannya, sudah timbul kontroversi. Muncul pertanyaan, jika bunuh diri, apakah perlu menembak kaca dahulu untuk mencoba tembakan pistolnya baru kemudian bunuh diri. Kemudian juga, mengapa jenazah langsung dibawa ke RSPAD, bukan ke RSPAL yang jauh lebih dekat letaknya dari rumah, dan mengingat bahwa Hartono adalah anggota TNI AL aktif. Termasuk juga mengapa barang-barang pribadi disita dan juga tidak diberikan akte kematian
Menurut versi pemerintah, Hartono meninggal karena pendarahan otak. Titik. Ini merupakan keterangan resmi pemerintah dan sudah tidak akan ada penjelasan-penjelasan lain.  Ny Grace pernah mengajukan untuk bisa ikut membeli rumah di kompleks AL bersama Ny Martadinata dan Ny Muljadi. Permintaan janda Martadinata dan Muljadi dikabulkan pemerintah, sementara permintaan Ny Grace, jangankan ditolak, dijawab saja tidak pernah.
Ketika tahun 2004 Trans TV menayangkan program Lacak, mempersoalkan tentang kematian Hartono, mantan Gubernur Jakarta, Letjen KKO Ali Sadikin menyatakan bahwa ia mendapat informasi, Hartono dibunuh akibat konspirasi tingkat tinggi. Beberapa hari setelah acara tersebut, Ny Grace mendapat telepon dari TNI AL, yang menyatakan bahwa TNI AL bersedia menyediakan sejumlah dana untuk pembelian rumah guna membantu keluarga almarhum. Ny Grace menjawab bahwa keluarga sudah menemukan rumah dengan 4 kamar seharga 300 juta rupiah. Beberapa hari kemudian jawaban keluar, harganya terlalu tinggi melebihi jatah yang dianggarkan. Akhirnya keluarga setuju dengan rumah berkamar 2 dan 1 kamar mandi, seharga 100 juta, tinggal dengan 2 anak dan 2 cucu.
Tanggal 8 Februari 2008, Mayjen Marinir Nono Sampono mengundang Ny Grace Hartono. Ternyata hari itu Ny. Grace diundang untuk meresmikan penggantian nama Kesatrian Marinir Cilandak menjadi Kesatrian Marinir Hartono. Air mata Ny. Grace menetes, mengingat jejak perjuangan almarhum suaminya. Ny Grace berbisik, “Hartono, sejak hari ini, meski terlambat hampir empat puluh tahun, kehormatanmu telah dikorbankan”. Ny Grace juga tidak lupa kata-kata seorang cucunya, Alesandro, yang setiap kali diajak berziarah ke Kalibata selalu memeluk nisan Hartono sambil berkata, “Opa sepuh, kalau sudah besar, aku harus jadi Marinir, menegakkan kebenaran dan keadilan..”
Berdasarkan diskusi saya via dunia maya dengan beberapa rekan, Mas Benny Antares, Mas Dondi Agung Pramono, Mas Budi Nurtjahjo Djarot, dan Om Peter Apolonius Rohi menyimpulkan sebuah pembicaraan yang menarik. Mas Benny, Mas Dondi, dan Mas Bud adalah putra prajurit KKO/Marinir, sedangkan Om (atau mungkin lebih pas disebut opa) Peter Rohi adalah mantan prajurit KKO yang memilih keluar ketika KKO dikecilkan personilnya oleh Suharto, dan diganti namanya menjadi Marinir, dan lambang keris samudra KKO diganti jangkar yang lebih mirip ke USMC. Om Peter kemudian menjadi wartawan yang vokal terhadap Suharto, sampai pernah diberi paket berisi kepala manusia. Dari pembicaraan itu mas Benny menyimpulkan, bahwa “dihidupkannya kembali Hartono dengan penamaan Hartono sebagai nama sebuah tempat kesatrian, menunjukkan ungkapan maaf dari TNI AL, dan secara tidak langsung, pengakuan Hartono sebagai tokoh yang berjasa (dan mungkin juga sebagai pahlawan) bagi keluarga besar KKO/ Marinir. Jika demikian, secara tidak langsung dapat ditarik sebuah kesimpulan, terhadap penyebab kematian Letjen KKO Hartono, yang namanya diabadaikan sebagai “pahlawan”, tidak pernah ada pahlawan yang mati bunuh diri. 

·         Utomo Ramelan , Rewang , Suadi , Ahmadi ,  Sudigdo

Tokoh-tokoh berikut ini sebenarnya adalah korban dari provokasi Jendral Suharto yang membabi-buta memukul orang-orang yang dituduh “kiri”. Sebagaian dari mereka memang orang “kiri”, tetapi sebagian pula hanyalah pengikut setia Presiden Sukarno.
Utomo Ramelan kelahiran Solo tahun 1919. Dirinya masih bersaudara kandung dengan Utari Suryadarma, istri KSAU pertama Suryadi Suryadarma. Saat G30S terjadi Utomo Ramelan adalah Walikota Solo yang berasal dari PKI. 
             Utari Suryadarma (kiri), dalam pakaian sukarelawan menjelang Dwikora
Menurut salah satu nara sumber saya, gebrakannya saat itu termasuk revolusioner, salah satunya adalah mendirikan lokalisasi dan merelokasi para PSK di sebuah lokalisasi yang terkenal dengan nama Silir. Ketika G30S meletus, Utomo mendukung Dewan Revolusi. 
              Selebaran yang berisi dukungan kepada G30S di Solo 
Saat G30S berhasil dipadamkan dan tentara bergerak menuju Solo, Utomo Ramelan diciduk. Menurut nara sumber saya, saat itu ia melihat, ketika para tahanan PKI diikat, dan dibariskan oleh tentara (mungkin menuju tempat eksekusi), Utomo Ramelan diperlakukan lain. Dirinya diikat dan dimasukkan ke dalam kandang semacam kandang hewan di kebun binatang. Nasibnya tak jelas, kemungkinan besar dieksekusi. Setelah era Utomo Ramelan, dan Suharto berkuasa. Walikota Solo tidak pernah dijabat oleh orang partai, selalu merupakan “orang pusat”. Setelah Suharto lengser, barulah Walikota Solo dijabat kembali oleh orang partai, dan sampai saat ini selalu dari PDIP. Dimulai oleh Slamet Suryanto, dilanjutkan oleh Joko Widodo, dan sekarang ini FX Hadi Rudyatmo.
Rewang merupakan salah satu tokoh PKI, tepatnya anggota Politbiro CC PKI. Pria kelahiran Solo tahun 1928 ini sempat melarikan diri ke Blitar, tertangkap, dan akhirnya divonis seumur hidup. Ia menjalani masa tahanan, salah satunya bersama Kolonel Latif. Tahun 1991 Rewang dibebaskan. Hal inilah yang membuat Kolonel Latif sempat protes. 
                                                        Rewang (paling kiri)
Alasannya sederhana, jika menurut pemerintah (saat itu) G30S didalangi oleh PKI, mengapa Rewang yang jelas-jelas tokoh PKI dibebaskan, sedangkan Latif yang merupakan prajurit dan tidak bergabung dengan PKI, justru tidak dibebaskan. Dan faktanya Kolonel Latif baru dibebaskan setelah Suharto turun. Rewang sendiri akhirnya kembali ke kota kelahirannya, Solo, sampai wafat di RS PKU Muhammadiyah Solo pada 30 Oktober 2011. 
                                                  Pemakaman Rewang
Suadi Suromiharjo adalah salah satu jendral asal Solo. Namanya terkenal semenjak perang kemerdekaan dan memimpin pasukan Resimen 26 TRI, kemudian menjadi Komandan Brigade V Komando Pertempuran Panembahan Senopati (KPPS) pimpinan Kolonel Sutarto. Setelah Kolonel Sutarto ditembak mati di depan rumahnya (tuduhan saat itu pelakunya mengarah ke pasukan Siliwangi yang hijrah ke Solo), Suadi mengambil alih pimpinan KPPS. Saat peristiwa Madiun 1948 Suadi termasuk yang bersimpati kepada FDR hingga membuat Jendral Sudirman kuatir. Sudirman kemudian mengutus Suharto dan Slamet Riyadi untuk memanggil Suadi “pulang” dan kemudian mengangkatnya sebagai pengawalnya. Di beberapa foto Sudirman tampak Suadi (dan Supardjo Rustam) selalu berdiri di dekatnya sambil menenteng senapang M1 Carbine. 
         Dari kiri ke kanan: Suadi (membawa senapan), Sudirman, Suharto, Supardjo Rustam
Saat G30S terjadi dan setelahnya, Suadi terkenal pro Sukarno dan sempat menjabat sebagai duta besar di Ethiopia. Menjelang Supersemar, Suadi pula lah yang mengabarkan kepada Sukarno bahwa ada pasukan liar yang hendak menyerbu istana saat sidang kabinet berlangsung. Surat ini ditulis tangan dengan bahasa Jawa halus (kromo inggil) ketika Suadi berdinas di SUAD. Saat Suharto berkuasa, Suadi sempat menjadi Komandan Pasukan Garuda I di Kongo, duta besar Australia, dan terakhir sebagai Gubernur Lemhanas. Walaupun tidak cocok dengan Suharto, Suadi tidak dipenjara karena faktor kedekatannya dengan almarhum jenderal Sudirman dan bawahannya yang menjadi pejabat Orde Baru, yaitu Letjen Tjokropranolo dan Letjen Supardjo Rustam. 
Dari kiri ke kanan: Slamet Riyadi, Suharto, Suadi, Sarbini, Gatot Subroto, Bachrun, A.Yani
Nama Ahmadi sudah terkenal di Solo sejak perang kemerdekaan. Bersama Slamet Riyadi, mereka terkenal sebagai 2 pemimpin pemuda militan, yang menggerakkan para pemuda untuk melawan Belanda. Ahmadi menjadi orang kepercayaan Presiden Sukarno, dan saat G30S meletus pangkatnya mayor jendral dengan jabatan menteri penerangan. Saat Suharto berkuasa, Ahmadi termasuk dalam menteri yang ikut “dibersihkan” dan ditahan. Tetapi kemudian dibebaskan. Walaupun pernah dicap “komunis” tetapi orang Solo tidak pernah melupakan jasa-jasanya. Pada tahun 2000-an dibangunlah Monumen Mayor Ahmadi (pangkat Ahmadi ketika memimpin Tentara Pelajar di Solo) dengan patung dirinya membawa buku dengan pistol di pinggang. 
                                       Ahmadi (kanan) bersama Slamet Riyadi

Sudigdo, tokoh ini adalah atasan Untung Syamsuri saat Peristiwa Madiun berlangsung. Pada tahun 1948 Sudigdo merupakan anak buah Suadi di Brigade V KPPS, menjabat sebagai komandan batalyon yang bertugas di wilayah Wonogiri. Di dalam batalyonnya itulah ada seorang sersan mayor yang bernama Koesman. Saat Peristiwa Madiun, batalyon ini menyeberang ke Madiun dan bergabung dengan FDR melawan pemerintah RI. Mereka sempat tertangkap, tetapi kemudian dibebaskan lagi, karena Belanda melancarkan agresi militer II ke Yogya. Seluruh kekuatan nasional harus digabungkan melawan Belanda, maka Sudigdo dan anak buahnya kemudian dilepas. Koesman akhirnya berganti nama menjadi Untung Syamsuri, sedangkan Sudigdo melanjutkan karirnya sebagai prajurit di lingkungan Kodam Diponegoro. Setelah meletus G30S, Sudigdo yang saat itu sudah berpangkat kolonel diciduk dan dituduh terlibat. Dirinya sempat ditahan di Inrehab Nirbaya bersama Omar Dani, dan setelah itu tidak diketahui nasibnya.
           Referensi
Anwar, Rosihan. (2007). Sukarno, Tentara, PKI. Jakarta: Obor.
Atmojo, Heru. (2004). Gerakan 30 September: Kesaksian Letkol (Pnb) Heru Atmodjo. Jakarta: Hasta Mitra Pustaka.
Conboy, Ken. (2003). Kopassus: Inside Indonesia Special Forces. Jakarta: Equinox.
Dani, Omar. (2001). Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku. Jakarta: ISAI.
Luhulima, James. (2007). Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965. Jakarta: Kompas.
Matanasi, Petrik. (2011). Hantu Laut: KKO-Marinir Indonesia. Yogyakarta: Matapadi.
Matanasi, Petrik. (2012). Sang Komandan. Yogyakarta: Trompet.
Matanasi, Petrik. (2012). Untung, Cakrabirawa, dan G30S. Yogyakarta: Trompet.
Panjaitan, Sintong. (2009). Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Jakarta: Kompas.
Pour, Julius. (2007). Benny; Tragedi Seorang Loyalis. Jakarta: Kata Mitra Pustaka.
Pour,Julius. (2009). Doorstoot Naar Djokdja. Jakarta: Kompas
Pour, Julius. (2013). G30S; Fakta atau Rekayasa? Jakarta: Kata Mitra Pustaka.
Pour, Julius. (2010). Gerakan 30 September; Pelaku, Pahlawan, & Petualang, . Jakarta: Kompas.
Pour, Julius. (2008). Ignatius Slamet Riyadi, dari Mengusir Kenpetai sampai Menumpas RMS. Jakarta: Gramedia.
Rossa, John. (2008). Dalih Pembunuhan Massal. Jakarta: Hasta Mitra Pustaka.
Sekretariat Negara Republik Indonesia.(1994). Gerakan 30 September/PKI. Jakarta: Setneg RI.
TEMPO. (2010). Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
TEMPO. (2010). Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara . Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
TEMPO. (2010). Sjam: Lelaki dengan 5 Nama Alias . Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Saturday, 8 July 2017

Rezim Kristen Fitnah Ummat Islam Sebagai Islam Radikal yang Hancurkan NKRI?


http://cahyono-adi.blogspot.co.id/2017/07/indonesian-free-press-tulisan-berikut.html#.WZ5-3bgXFJk

Indonesian Free Press -- Tulisan berikut ini dicopas dari Fanpage Pendukung Setia Prabowo Subianto (PSPS). Tidak perlu dipercaya sepenuhnya, namun perlu untuk menjadi bahan renungan dan kajian tentang yang terjadi di negeri ini dan masa depan anak cucu kita kelak.
----

Ada Jendral yg atur negara ini:
1. Luhut atur pemerintahan. The Real President
2. Gories Mere atur Polri. Tangkapi ulama
3. Lumintang atur Kopassus Salib. Bisa jadi Teror Sniper oleh pasukan Teror Salibis ini
4. Hendro P dan anaknya Diaz atur Intelijen negara

Jenderal Salibis ini didukung Gereja, 9 Naga, CSIS, dan Media Kompas, Detik, dan MetroTivu
Jenderal itu difasilitasi bisnis puluhan trilyun oleh para naga.
Luhut punya 16 perusahaan senilai lebih dari rp 16 trilyun yg di antaranya di bidang batubata.
Gories dan Hendro juga begitu.
Dgn uang itu mereka kuasai jenderal2 di Polri dan TNI yg aktif.
9 Naga yang mendukungnya adalah Agung Podomoro, Tomi Winata (SCBD), James Riady (Lippo), Salim (BCA dan Indofood), Robert Budi Hartono (Rokok Djarum), Tahir, Sofjan Wanandi, Jacob Soetojo (CSIS), Edward Soeryadjaya.
Di bawah Rezim Kristen ini, ummat Islam ditindas. Dicap sebagai Islam Radikal yang mau menghancurkan NKRI. Ulama diusulkan harus pakai sertifikat. Para pengurus masjid diberi edaran oleh polisi bahwa untuk mengadakan pengajian harus mengajukan Izin Keramaian dsb. Kebebasan berpendapat dibelenggu. Jika ummat Islam berdemo hingga lewat jam 6 sore, langsung mereka bubarkan dan diserang dgn gas air mata. Tapi jika orang Kristen yang demo, meski larut malam menyalakan lilin mereka biarkan.
Soeharto yang hutangnya sedikit (Rp 1200 trilyun) selama 32 tahun dan rakyatnya makmur, sembako dan PTN murah serta mudah cari kerja, mereka cap sebagai korup.
Sementara Rezim Kristen yang hutangnya Rp 1700 trilyun dalam waktu 2,5 tahun dan rakyatnya melarat, sembako, listrik, dan BBM mahal, mereka bilang sebagai bersih. Tidak korup. Padahal semua proyek dikerjakan oleh Cina dan pekerja Cina serta dikelola dan dikuasai Cina. Mereka antek Penjajah Cina (9 Naga).
Siapa Saja 9 Naga?

1. SOFJAN WANANDI

Sofjan Wanandi dikenal dekat dengan Jusuf Kalla. Tidak heran karena keduanya sudah kenal baik sejak lama. Bahkan, seorang petinggi PDIP mengaku Sofjan sudah sejak lama melobi Megawati untuk memasangkan Kalla dengan Jokowi. Sejak tahun 2013, Sofjan di berbagai kesempatan menyatakan bakal mengeluarkan Rp 2 triliun bila sekondanya, Jusuf Kalla, dipasangkan dengan Jokowi. Sofjan sendiri tercatat memiliki kekayaan lebih dari Rp 3 triliun. Sofjan kini memimpin Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).

2. TAHIR

Tahir tak lain ipar James Riady. Rosy Riady, isteri Tahir, adalah putri dari Mochtar Riady. Majalah Forbes menyebut, kekayaan Tahir per Maret 2013 sekitar US$ 2 miliar. Dia berada di peringkat ketujuh orang terkaya di Indonesia. Tahir sukses dengan Grup Mayapada.

3. RUSDI KIRANA

Rusdi Kirana bersama kakaknya, KUSNAN KIRANA, tercatat sebagai orang kaya ke-29 menurut majalah Forbes pada November 2013. Keduanya sukses mendirikan maskapai penerbangan Lion Air, Wings Air, dan Batik Air. Dengan kekayaan yang mencapai US$ 1 miliar, Rusdi bergabung dengan tim pemenangan Jokowi-JK sebagai anggota Dewan Pengarah.

4. JACOB SOETOYO

Direktur PT Gesit Sarana Perkasa ini mempunyai jaringan yang kuat untuk lobi-lobi internasional. Jacob, yang juga menjadi Dewan Pengawas Center of Strategic and International Studies (CSIS), menyediakan rumahnya di Permata Hijau untuk pertemuan Jokowi dengan perwakilan asing di Jakarta, antara lain dengan Dubes Amerika Serikat (AS) Robert O’ Blacke, Duta Besar Myanmar, Meksiko, Turki, Norwegia dan Vatikan. Sebelumnya, Jacob juga sudah memfasilitasi pertemuan antara Jokowi dengan mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad di rumah Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta.

5. JAMES RIYADI alias Li Bái

adalah seorang misionaris Kristen fundamentalis. Ia pernah terlibat dalam kasus sponsorship pemilihan presiden Amerika Serikat yang memenangkan Bill Clinton. James Riyadi merupakan bos Group Lippo yang menguasai bermain di pasar perbankan, properti, dan rumah sakit. Ia menjadi pendukung Joko Widodo sejak pemilihan gubernur Jakarta. Namun, ia ditengarai bersaing pengaruh pada Jokowi dengan Jacob Soetoyo yang Katolik.

6. ANTHONY SALIM alias Liem Hong Sien

merupakan salah satu orang yang masuk ke dalam 10 Tokoh Bisnis yang paling berpengaruh pada tahun 2005 oleh Warta Ekonomi. Predikat itu diberikan karena dirinya berhasil membangun kembali Group Salim yang saat itu mengalami kegagalan yang diakibatkan oleh krisis ekonomi tahun 1998. Saat krisis 1988 Salim Group banyak mempunyai hutang hingga mencapai 55 Trilyun rupiah. Anthony Salim yang memegang kekuasaan pada Salim Group akhirnya harus melunasi hutangnya dengan cara menjual beberapa perusahaan yang dimilikinya yaitu PT Indocement Tunggal Perkasa, PT BCA, dan PT Indomobil Sukses Internasional. Meskipun demikian, Anthony Salim masih mempunyai beberapa perusahaan besar yang tidak dia jual. Perusahaan tersebut antara lain adalah PT Indofood Sukses Makmur Tbk dan PT Bogasari Flour Mills. Kedua perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil mie instant dan tepung terigu terbesar di dunia.

7. TOMMY WINATA

Tommy Winata merupakan pemilik Grup Artha Graha atau Artha Graha Network. Usahanya terutama bergerak dalam bidang perbankan, properti dan infrastruktur. Disamping usaha bidang komersiil, TW juga dikenal sebagai pendiri Artha Graha Peduli, sebuah Yayasan sosial, kemanusiaan dan lingkungan yang sering turun membantu masyarakat di banyak daerah di Indonesia. Sesaat setelah Jokowi melantik menteri, Tommy Winata terlihat dekat dengan Menteri Susi Pudjiastuti.

8. EDWARD SOERYADJAYA alias Tjia Han Pun

adalah pemilik Ortus Group, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang otomotif. Hubungan antara Edward dengan Jokowi sangat dekat, apalagi Edward pernah mengeluarkan uang dalam jumlah yang sangat besar dari koceknya sendiri untuk proyek monorel. Ortus Group juga bahkan tengah dalam proses untuk mengakuisisi saham PT JM hingga 90% atau mayoritas.

9. ROBERT BUDI HARTONO alias Oei Hwie Tjhong

adalah pemilik perusahaan rokok Djarum. Saat ini ada sebuah tren baru di dunia maju untuk menekan industri rokok. Baik iklan maupun sponsor rokok pada sejumlah kegiatan mulai dibatasi. Misalnya, Marlboro yang pasarnya di Amerika mulai mendapat tekanan sehingga mencari pasar baru, salah satu lahan basah tersebut adalah Indonesia. Inilah sebabnya Robert Budi Hartono mendukung Jokowi untuk mengamankan bisnis dan pasarnya di Indonesia. (sed)

Utang Riba Negara Tak kan Dapat Makmurkan Rakyat Indonesia

http://www.tribunislam.com/2017/08/ada-riba-hutang-negara-tidak-akan-pernah-dapat-memakmurkan-rakyat-indonesia.html#more
Utang Riba Negara Tak kan Dapat Makmurkan Rakyat Indonesia

Jangan mudah percaya pernyataan pemerintah yang menyatakan hutang negara dapat membuat sejahtera rakyatnya. Justru malah sebaliknya karena dapat membuat susah negara dan tentunya rakyat sendiri.

“Utang luar negeri Indonesia tidak mungkin memakmurkan rakyat. Utang itu riba/rentenir yang menyusahkan negara dan rakyat Indonesia,” tulis MS Ka’ban dalam melalui akun media sosial Twitter, Selasa (22/8).


Menurut Ka’ban, hutang negara yang terus membengkak sekarang ini akan menjadi senjata makan tuan apabila utang yang banyak itu tidak dapat dibayar.

“Besar pasak daripada tiang itu hampir sama dengan utang luar negeri lebih besar dari kemampuan bayar. Ini isyarat kebangkrutan. Piye iki Pak Presiden? Tega?,” tulis Ka’ban melanjutkan


Menurut Ka’ban, seorang pemimpin bukan malah membuat rakyatnya susah, dan membuat negara malah makin susah untuk berdiri dan berkembang.

“Apalah arti jika jadi pemimpin/Presiden kalau rakyat makin susah dan utang luar negeri semakin bejibun,” pungkas Ka’ban. [
www.tribunislam.com]

Sumber : eramuslim.com

Diduga Keras Melanggar UU No. 20, YLKI Minta Konsumen Tunda Pembelian Apartemen Kota Meikarta 

http://www.tribunislam.com/2017/08/diduga-keras-melanggar-uu-no-20-ylki-minta-konsumen-tunda-pembelian-apartemen-kota-meikarta.html#more



Diduga Keras Melanggar UU No. 20, YLKI Minta Konsumen Tunda Pembelian Apartemen Kota Meikarta

MEIKARTA, seolah menjadi kosa kata baru dalam jagad perbincangan di kalangan masyarakat konsumen di Indonesia. Promosi, iklan dan marketing yang begitu masif, terstruktur dan sistematis, boleh jadi membius masyarakat konsumen untuk bertransaksi Meikarta.

Bahkan, Lembaga Konsumen Indonesia YLKI pun sempat memprotes sebuah redaksi media masa cetak, karena lebih dari 30 persennya isinya adalah iklan full colour Meikarta lima halaman penuh dari media cetak bersangkutan.

Kendati Wagub Provinsi Jabar Dedi Mizwar, telah meminta pengembang apartemen Meikarta untuk menghentikan penjualan dan segala aktivitas pembangunan, karena belum berizin; promosi Meikarta tetap berjalan, untuk menjual produk propertinya.

Boleh saja pihak Lippo Group menilai bahwa apa yang dilakukannya tersebut sudah lumrah dilakukan pengembang dengan istilah Pre-project Selling.
Namun, praktik semacam itu pada akhirnya posisi konsumen berada dalam kondisi yang sangat rentan dirugikan karena tidak memiliki jaminan atas kepastian pembangunan. Padahal pemasaran yang dilakukan tersebut, diduga keras melanggar ketentuan Pasal 42 UU No. 20 Tahun 2011, yang mewajibkan pengembang untuk memiliki jaminan atas Kepastian peruntukan ruang; kepastian hak atas tanah; kepastian status penguasaan gedung; perizinan; dan jaminan pembangunan sebelum melakukan pemasaran.

Menurut data YLKI, sistem pre-project selling dan pemasaran yang dilakukan oleh banyak pengembang sering kali menjadi sumber masalah bagi konsumen di kemudian hari. Terbukti sejak 2014-2016, YLKI menerima sekurangnya 440 pengaduan terkait perumahan, yang mayoritas masalah tersebut terjadi akibat tidak adanya konsistensi antara penawaran dan janji promosi pengembang dengan realitas pembangunan yang terjadi. Bahkan 2015, sekitar 40% pengaduan perumahan terjadi sebagai akibat adanya pre project selling, yakni adanya informasi yang tidak jelas,benar dan jujur; pembangunan bermasalah; realisasi fasum/fasos; unit berubah dari yang ditawarkan.

Praktik semacam itulah yang menyerimpung komedian tunggal Mukhadly, alias Acho: janji dan promosi pengembang tidak sesuai dengan realisasi di lapangan!

Maka dari itu, untuk menghindari terulangnya kasus Acho dengan skala yang lebih luas, berikut ini catatan YLKI terkait pre project selling baik yang dilakukan Meikarta dan atau pengembang lain:

1. Menghimbau masyarakat agar berhati-hati dan kalau perlu menunda untuk pemesanan dan/atau membeli unit apartemen di Kota Meikarta sampai jelas status perizinannya. Jangan mudah tergiur dengan iming-iming dan janji fasum/fasos oleh pengembang. Sebelum menandatangani dokumen pemesanan, bacalah dengan teliti, dan saat pembayaran booking fee harus ada dokumen resmi, jangan dengan kwitansi sementara;
2. Pemerintah perlu menindak dengan tegas, jika perlu menjatuhkan sanksi atas segala bentuk pelanggaran perizinan dan pemanfaatan celah hukum yang dilakukan oleh pengembang dan kemudian merugikan konsumen;

3. http://www.tribunislam.com/2017/08/diduga-keras-melanggar-uu-no-20-ylki-minta-konsumen-tunda-pembelian-apartemen-kota-meikarta.html#more

Demikian peringatan dari YLKI.


Sumber: YLKI[www.tribunislam.com]

Sumber : portal-islam.id

Daftar Mega Proyek China di Indonesia

http://www.tribunislam.com/2017/08/daftar-mega-proyek-china-di-indonesia.html


Daftar Mega Proyek China di Indonesia
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro memaparkan, di kawasan Sumatera Utara, Pemerintah menawarkan China proyek investasi senilai US$ 86,2 miliar untuk investasi di Kuala Tanjung Internasional Hub Port and Industrial Estate, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangke, Kuala Namu International Airport and Aerocity dan Danau Toba MICE dan Pariwisata.


Sementara di kawasan Kalimantan Utara, pemerintah juga menawarkan proyek investasi senilai US$ 45,98 miliar untuk investasi di kawasan industri Klaster Smelter Alumina dan Alumunium, Klaster Energi, kawasan industri dan pelabuhan internasional Tanah Kuning. Sedangkan di kawasan Sulawesi Utara, Pemerintah Indonesia menawarkan proyek investasi senilai US$ 69,45 miliar untuk investasi di Pelabuhan Internasional Bitung, Kawasan Industri Bitung, dan Manado dan Lembe MICE dan Pariwisata.

Saat ini, kata Bambang, pemerintahan Presiden Joko Widodo terus meningkatkan iklim investasi dan kemudahan berbisnis di Indonesia. Salah satu tolak ukur keberhasilannya terlihat dari naiknya peringkat Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business) di Indonesia oleh Bank Dunia dari peringkat ke-106 menjadi peringkat 91.

Di Indonesia, investasi China masuk ke berbagai sektor. Mulai dari pertambangan, transportasi, konstruksi dan real estate, perkebunan, hingga pembangkit listrik. Berikut adalah beberapa konstruksi raksasa hasil investasi China di Indonesia, termasuk yang sedang direncanakan.


– Jembatan Suramadu


Jembatan terpanjang di Asia Tenggara ini menghubungkan Pulau Jawa dan Madura. Pembangunannya melibatkan beberapa perusahaan konstruksi Cina, seperti Baosteel Group, Shougang Company Ltd., dan Jiangnan Heavy Industri Co. Ltd. Melintasi 5.4 km dan menghabiskan Rp 4,5 triliun.

– Bendungan Jatigede


Bendungan yang terletak di Sumedang, Jawa Barat, ini menghabiskan investasi US$ 467 juta. Sekitar 90% dana pembangunan bendungan ini berasal dari Bank Exim China.

– Energi Nasional


Untuk menunjang berbagai industri, PLTU Batubara juga dibangun di berbagai wilayah Indonesia. Pada beberapa kasus, PLTU seringkali bermasalah dengan petani, nelayan dan aktivis karena dampak buruk lingkungannya dan konflik agraria. Jumlah total kapasitasnya mencapai 2×150 MW di seluruh Indonesia.

– Industri Kelapa Sawit


Julong Group adalah salah satu perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan. Julong masuk secara komprehensif ke dalam satu rantai hulu-hilir industri minyak kelapa sawit di Indonesia. Saat ini kapasitas produksi Julong melebihi 3 juta ton/tahun, dengan pendapatan melebihi US$ 2 milyar dari 200 ribu hektar lahan yang mereka garap.

– Kawasan pengolahan stainless


Kawasan pengolahan stainless ini ditarget rampung pada awal 2018. Dibangun di dalam Kawasan Industri Indonesia Morowali, terdapat seluruh proyek yang menggunakan bijih nikel, bijih krom dan batubara menjadi produk akhir stainless dengan kapasitas 2 juta ton/tahun. Total investasinya mencapai US$ 4 milyar.

– Pembangunan Pelabuhan, Perkebunan, Real Estate.[www.tribunislam.com]


Sumber : gemarakyat.id

Read more: http://www.tribunislam.com/2017/08/daftar-mega-proyek-china-di-indonesia.html#ixzz4qeon1jxl
Follow us: @TribunIslam on Twitter | TribunIslam on Facebook
SIAPA CINTA NKRI ?
Oleh : Dr. Ir. Masri Sitanggang
Aku betul-betul terganggu dengan tudingan anti NKRI, anti kebhinekaan dan anti Pancasila yang dialamatkan kepada kelompok Islam hanya karena mereka mengamalkan syariat agamanya. Aku tersinggung, marah dan “terpaksa” menuliskan kembali catatan-catan penting sejarah tentang perjuangan memerdekakan bangsa ini; agar jelas kelompok mana berperan sebagai apa : Pahlawan cinta NKRI atau bagian dari penjajah ? Terpaksa, karena akhlaq Islam mengajarkan umatnya untuk tidak menepuk dada, menyebut-nyebut kebaikan yang pernah dibuatnya. Karena itu pula Aku, dalam artikel ini, akan mengutip sumber-sumber dari kalangan non muslim.
Perjuangan kemerdekaan muncul karena adanya penjajahan dan itu dimulai sejak Portugis menyerang Kesultanan Malaka di sekitar tahun 1511. Sebelum itu, tidak ada perjuangan kemerdekaan, artinya, tidak ada penjajahan. Meski berbeda suku bangsa dan bahasa di tengah mayoritas muslim, rakyat hidup aman tentram di bawah Pemerintahan Kesultanan. Nusantara ketika itu memang berada di bawah kekuasaan kesultanan-kesultanan di mana antar kesultanan terjalin hubungan erat bahkan hingga ke luar Nusantara; dan perlu diingat, yang namanya Sultan sudah pastilah muslim dan Syariat Islam diberlakukan.
Kedatangan Portugis tidak terlepas dari semangat Perang Salib. Dr.W.Bonar Sijabat (dalam KH Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, 1979) menerangkan, sekalipun orang-orang Eropa kocar-kacir akibat pukulan-pukulan dari musuhnya (Islam) dalam bagian terakhir dari Perang Salib, namun takluknya Kerajaan Islam di Granada (Spanyol) tahun 1492 dan berhasilnya Colombus mendarat di benua Amerika membuat Spanyol dan Portugis masuk kepada suatu lonjakan sejarah yang maha hebat. Tetapi itu bukanlah alasan satu-satunya. Menurut Pdt. Dr. Jan S. Aritonang (Sejarah Penjumaan Kristen dan Islam di Indonesia, 2005), Paus Alexander VI membagi dua kekuasaan di dunia : belahan Barat untuk Spanyol dan belahan Timur untuk Portugis. Paus memberi restu dan mandat kepada kedua negara –sebagai penghargaan atas jasa merka dalam Perang Salib melawan tentara Islam, untuk menaklukkan kawasan-kawasan yang mereka lalui dan menanamkan Kristen kepada penduduknya. Mandat ini tertuang di dalam Bulla (maklumat) Paus Alexander VI tanggal 4 Mei 1493 dan perjanjian Tordesillas 9 Juni 1494. Karena itulah Hamka (Sejarah Umat Islam IV, 1976) menilai penyerbuan ke negeri-negeri Timur lebih besar karena dorongan kemenangan dan penyiaran agama ketimbang keinginan berniaga. Demikian juga pendapat tokoh gereja Indonesia, TB. Simatupang (Iman Kristen dan Pancasila, 1989), katanya:
“ Orang Portugis datang ke Indonesia dengan suatu pengertian teologi dan politik di balik tujuan mereka untuk mematahkan ekonomi orang Islam (yang menguasai perdagangan dari Indonesia ke Eropa), dan menduduki wilayah negeri-negeri lain dalam nama raja Portugal serta memenangkan penduduk negeri-negeri itu untuk Gereja Roma Katolik”.
Jan S. Aritonang (2005) menyebut bangsa Barat datang sambil mengibarkan panji-panji Kristen, termasuk tanda salib di bendera kapal-kapal dagang mereka. Di dalam diri penguasa Portugis dan Sepanyol tertanam dendam yang mendalam terhadap Islam, dendam Perang Salib. Dan Semua itu tergambar dalam pidato Panglima Perang Portugis Alfonso Albuquerque di depan pasukannya ketika akan menyarang kerajaan Islam Malaka ( Hamka, 1976) :
“Adalah satu pengabdian maha besar dari kita kepada Tuhan apabila kita telah dapat mengusir orang Arab dari daerah ini kelak, sehingga nyala pelita ajaran Muhammad itu padam dan tidak akan bangkit lagi untuk selama-lamanya”.
Pada bagian lain pidatonya, dikatakan :
“…karena saya yakin apabila semenanjung Malaka ini telah kita rebut dari tangan mereka, Kaum Muslimin itu, dengan sendirinya Kairo dan Mekkah jadi tanah tandus yang tidak ada penduduknya lagi. Dan orang Venesia sendiri tidak akan dapat berniaga rempah-rempah kalau tidak membeli kepada kita”.
Bagian akhir pidato ini membuktikan hal lain, yakni eratnya hubungan negeri-negeri Islam saat itu, betapa negeri Melayu ini tidak terpisahkan dengan (sejarah) negeri Islam di mana pun. Saifuddin Zuhri (1979) bahkan mengatakan bahwa peranan Kerajaan Pasai di Aceh sangat besar dalam mempertahankan Masjid Aqsha pada masa Perang Salib. Karena itu pula kemudian dapat dipahami mengapa Mesir (Kairo) dan negara-negara Islam menjadi negara pertama yang mengakui Kemerdekaan RI, sementara negara Barat Kristen sangat terlambat.
Di mana-mana di Nusantra ini Portugis menghadapi kekuatan Islam yang dipimpin para Sultan dan Ulama. Meski Kesultanan Malaka dan Kerajaan Islam Pasai di Aceh dapat ditaklukkan, tetapi ambisi Portugis untuk menguasai Sunda Kelapa dapat dipatahkan oleh Sultan Fatahillah yang kemudian memberi nama Jayakarta (Jakarta) untuk daerah itu.
Di Ternate, setelah terjadi beberapa kali konflik senjata, terdapat kesepakatan antara Portugis dan Sultan Khairun : perdagangan boleh dimonopoli Portugis, tapi bidang agama Sultan Khairun yang berwenang. Namun seperti dikatakan T.B. Simatupang (1989) bahwa misi Portugis ke Indonesia adalah menduduki wilayah dalam nama raja Portugal serta memenangkan penduduk negernyai untuk Gereja Roma Katolik, maka keadaan tetap tidak aman; umat Islam di mana-mana mendapat tekanan. Akhirnya Sultan Khairun membolehkan penyiaran Kristen dengan catatan harus dilakukan di daerah yang penduduknya belum Islam, yakni Ambon. Di Ternate, karena pendudukya sudah Islam, Portugis hanya boleh berdagang. Ini ditempuh Sultan karena Baginda merasa bertanggung jawab terhadap aqidah rakyatnya.
Tetapi oleh Portugis dibalik, Ambon dijadikan pusat perdagangan dan Ternate dijadikan pusat penyiaran Kristen, yang menyebabkan Sultan memaklumkan’’Pe
rang Sabil’’. Kepada pasukannya, Baginda memerintahkan untuk mengusir semua orang Kristen dari Ternate, baik orang Portugis maupun pribumi. Mengapa ? Menurut Hamka (1976), orang-orang yang telah memeluk Kristen tidak mau mengakui kekuasaan Sultan lagi. “Dan yang lebih berbahaya daripada itu”, tulis Hamka, “ialah bahwa seketika terjadi perselisihan-perselisihan di antara Sultan dengan Gabnor, orang-orang Krsiten anak negeri selalu berpihak kepada Potugis, bahkan ada yang menjadi mata-mata Portugis.” Jan S. Aritonang (2005) mengonfirmasi adanya missionaris Portugis bersama Kristen anak negeri yang tewas dalam beberapa kali bentrokan melawan pihak kesultanan, yang memberi bukti bahwa anak negeri yang telah Kristen memang berada di pihak Penjajah.
Ketika Portugis terdesak dan kemudian meminta damai, Sultan bersedia bersahabat lagi asal portugis tidak menjadikan Ternate sebagai pusat penyiaran Kristen. Ini menunjukkan betapa faktor agama menjadi begitu penting dalam hubungan kedua bangsa ini. Perjanjian damai ditandatangani, Sultan memegang Al-Quran dan Gubernur Portugis memegang Injil; do’a dipimpin oleh qadi Islam.
Tapi sayang, Sultan di bunuh ketika bersantap dalam jamuan makan yang sengaja dibuat oleh Portugis untuk menghormati perjanjaian suci itu, Pebruari 1570. Suatu penghianatan yang sangat keji, yang membakar semangat perang total melawan Portugis, Sultan Babullah, pengganti Sultan Khairun, mengepung benteng penjajah Portugis di Ambon. Terbukti pula Raja Bacan, yang telah memeluk Kristen, membantu Portugis yang terkepung dengan menyuplai bahan makanan. Bukan main murkanya Sultan Babullah sehingga mengancam akan memusnahkan kerajaan Bacan. Takut akan ancaman, Bacan berhenti menyuplai bahan makanan. Benteng Ambon jatuh ke tangan Pasukan Islam, Portugis lari ke Malaka. Sultan Babullah menyatakan tidak akan membunuh Kristen anak negeri dan tidak akan dipaksa masuk Islam asal mereka tunduk kepada kekuasaan Sultan.
Masuklah ke era kolonial Kristen Protestan Belanda. Sudah umum pula diketahui bahwa mereka yang tampil memimpin perjuangan mengusir Belanda adalah para pemuka agama Islam. Clefford Greetz (dalam A. Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah : Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, 1995) menyebut perlawanan menentang Belanda ini sebagai “pemberontakan Santri’’. Simbol-simbol perjuangan dan selogannya menonjolkan semangat Islam, semangat jihad dan kesediaan mati syahid. Imam Bonjol di Padang dengan perang Paderinya, Teuku Umar dan Cik Ditiro di Aceh dengan "Perang Sabil" melawan orang "kape"-nya, Diponegoro di Jawa dengan "Perang Sabil" dan jubah putihnya, begitu juga Sultan Hasanuddin di Sulawesi dan Si Singamangaraja ke XII di Toba. Suryanegara (1995) menyebut, penyebaran Kristen menjadi pangkal perlawanan Si Singamangaraja XII (SSM XII) terhadap Belanda. Ini sejalan dengan pernyataan J.P.G.Westhoff, : ”Untuk tetap memiliki jajahan-jajahan kita, sebagian besar adalah tergantung dari pengkristenan rakyat.”
Aritonang (2005) menyebut SSM XII menentang Zending Kristen dikarenakan Zending dijadikan alat pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai wilayahnya. Menurut Suryanegara (1995) daerah–daerah yang telah dipengaruhi Kristen secara administrasi diserahkan oleh misionaris kepada Belanda. Untuk itu pemerintah Belanda merasa berhutang budi kepada missionaris Nomensen sehingga 1991 ia diberi bintang Officer van Oranje-Nassau.
Fakta-fakta yang disampaikan Suryanegara (1995) berupa kliping koran yang diterbitkan Belanda dan kenyataan bahwa dalam perlawanannya menentang Belanda Raja Toba itu dibantu oleh Panglima Nali dari Minangkabau dan Panglima Teuku Mohammad dari Aceh, meyakinkan Bahwa SSM XII adalah muslim.
Bagaimana sikap orang-orang yang telah “ditunjuki” Belanda kepada Kristen ? T.B. Simatupang (1989) menuturkan : “Orang-orang Kristen yang menjadi nasionalis –yang berarti menentang Belanda, dianggap oleh gereja sebagai tidak lagi orang-orang Kristen yang baik.” Sementara tokoh Kristen lainnya, Dr. Mulia (dalam Simatupang 1989) mengakui adaya kesan bahwa misi Kristen di Tapanuli, Minabasa dan Maluku hanya melayani tata hidup kolonial dan kapitalis. Artinya, gereja secara lembaga tidak berada pada barisan perjuangan kemerdekaan, melainkan di pihak penjajah Belanda.
Uraian Ahmad Mansur Suryanegara (Api Sejarah 2, 2012) ini perlu juga dicatat. Kongres Nasional Syarikat Islam di Bandung, 17-24 Juni 1916, memutuskan memelopori tuntutan pemerintahan sendiri, berjuang untuk Indonesia merdeka dan tegaknya pemerintahan yang demokratis dengan adanya parlemen. Lain dari itu, para pemimpin Islam berupaya membangun organisasi kesenjataan modern melalui Indie Weerbar Actie, untuk membangkitkan kembali semangat keprajuritan pemuda. Namun tuntutan Indie Weerbar itu itu ditolak Belanda. Ini terjadi karena pimpinan partai-partai non religius dan sekuler seperti Parindra, Gerindo, Parpindo serta partai non Islam seperti Partai Kristen dan Partai Katolik dengan politik asosiasinya berpihak dan memertahankan pemerintahan penjajah Belanda. Mengutip A.K. Pringgodigdo, Suryanegara (2012) mengatakan sikap partai-partai Kristen itu sebagai akibat partai tersebut dipimpin oleh orang Belanda.
Begitulah perjuangan Ummat Islam memerdekaan bangsa ini dari penjajah Katolik Portugis, begitu pula di masa penjajah Protestan Belanda serta Inggris dan demikian juga di masa mempertahankan kemerdekaan dari sekutu. Pada masa serangan sekutu, Resolusi Jihad Ulama dan teriakan Takbir Bung Tomo serta kepemimpinan Jendral Sudirman adalah legenda rakyat muslim Indonesia mempertahankan NKRI yang tak boleh dilupakan.
Jujurlah pada sejarah, agar kita bisa saling hormat dan menghargai. Jujur pulalah dalam bernegara agar Indonesia benar-benar menjadi milik bersama. Jangan ada dusta di antara kita, agar bangsa ini bisa tumbuh besar dan kuat dengan rakyat yang rukun dan damai. Meski di antara kita ada yang “ditunjuki” oleh penjajah (Portugis atau Belanda), tinggalkanlah cara-cara bangsa asing itu. Jadilah sepenuhnya bangsa Indonesia. Janganlah Umat Islam dituduh anti NKRI, anti kebhinekaan, radikal dan lain semacamnya karena itu menyakitkan. Tuduhan itu hanya layak dilontarkan oleh penjajah dan itu berarti membangkitkan kenangan lama : perlawanan umat Islam menentang penjajah dan antek-anteknya,,,,!!!
Wallahu a’lam bishshawab.
https://www.facebook.com/krist.yadi.1/posts/1747658192198118