Senin, 04 Mei 2015

ISLAM..DAN UMMAT ISLAM DI NUSANTARA........?? >> .....SEJARAH DAN PERJUANGAN PARA WALI....?? ILMU PARA WALI2 ALLAH.. ADALAH ILMUNYA ISLAM MELALUI ZURIAT RASULULLAH MELALUI SYDN ALI RA.....>> Salah satu dari pintu atau gerbang imaterial adalah Ali bin Abi Thalib. Beliau merupakan gerbang masuk kota ilmu Rasulullah Saww. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saww bersabda; انا مدينة العلم و علي بابها “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah gerbangnya.....>>..... Penunjukan Ali sebagai gerbang kota ilmu oleh Rasulullah bukan atas pertimbangan semau “AKU”, melainkan berdasarkan pada pertimbangan pada keniscayaan hakiki-rasional; pada potensi dalam diri Ali yang mustahil ditemukan pada diri selainnya. Jika demikian, kedudukan Ali sebagai gerbang kota ilmu adalah sesuatu yang pertama, tak tergantikan, dan kedua, tidak bisa diberikan kepada orang lain. .....>> .....Islam Indonesia dan Iran adalah Islam moderat dan kasih sayang. Kita di Iran melihat bahwa Syiah dan Sunni hidup berdampingan secara damai. Bila Anda bepergian ke Teheran, ibu kota Iran, Anda akan melihat banyak dari tempat-tempat ibadah yang terkait dengan abad-abad yang lampau, dan sampai hari ini tempat-tempat ibadah itu masih ada. Di DPR dan Parlemen kita (Majelis Syura Islami), baik Syiah maupun Sunni, baik Yahudi maupun Masihi, dan juga Zoroaster, mereka semua berdampingan dan berada dalam satu barisan. Ini adalah logika Islam dan Nabi saw serta kitab Alquran. Kami—karena nikmat Islam, Alquran dan Sunah Nabi saw–belajar persaudaraan dan persatuan dari Islam. Menurut hemat kami, menjaga keamanan umat Islam di seluruh dunia Islam adalah tanggung jawab negara Islam. Sebagaimana kami membela orang-orang Syiah Libanon, kami juga membela orang-orang Sunni di Gaza. Bagi kami, Ahlu Sunnah di Gaza atau Syiah di Lebanon, Sunni di Irak atau Syiah di Irak, masyarakat Kristen di Irak dan Lebanon, bila mereka memang teraniaya, maka kami akan membela mereka. Hari ini adalah hari yang mengharuskan kita untuk gotong royong dan bangkit guna membela agama Allah dan Islam. “Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” ( QS. Muhammad: 7 )....>>>....Masalah ketiga yang sangat penting bagi dunia Islam adalah ekspansi dan kemajuan. Islam adalah agama peradaban, ilmu pengetahuan, dan agama kesucian zahir dan batin. Nabi saw berulang kali mewasiatkan supaya masyarakat memperhatikan kesucian zahir dan batin. Dan setelah berlangsung berabad-abad dari wasiat Nabi saw tersebut, Raja Louis XIV dari Perancis justru berbangga karena sepanjang hidupnya tidak pernah pergi ke kamar mandi. Demikianlah kondisi Eropa setelah berabad-abad dari masa Islam. Islam adalah agama yang mengajarkan kesucian dan kebersihan zahir dan batin kepada masyarakat. Islam memotivasi masyarakat untuk mempelajari ilmu, mengembangkan ilmu serta bersikap toleransi terhadap sesama. Bahkan Nabi saw mengatakan bahwa “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”...>>>

Peran Dakwah Damai Habaib Di Nusantara

http://www.islamnusantara.com/peran-dakwah-damai-habaib-di-nusantara/
  
Islamnusantara.com - Akhir-akhir ini dunia Islam diguncang oleh berbagai pertikaian sektarian yang mengerikan–sesuatu yang dapat membumi hanguskan semua pihak dan tidak menyisakan harapan bagi umat. banyak pemerhati yang menilai meningkatnya ekstremisme dan intoleransi di antara umat ini sebenarnya berakar pada pengajaran dan dakwah Islam yang menjauh dari spiritualitas dan tasawuf. padahal, secara historis, tasawuf dan spiritualitas inilah yang melambari kesadaran religius masyarakat asia tenggara sejak awal.

Proses-masuknya-Islam-ke-Indonesia 

Dalam sejumlah riset kesejarahan tentang masuknya Islam di wilayah Asia Tenggara, peran golongan keturunan Nabi Muhammad asal Hadramut (Yaman Selatan), yang dikenal dengan Sadah al-‘Alawiyyin atau Habaib selalu disebut-sebut. Ini menunjukkan peran besar yang mereka emban dalam penyebaran Islam di wilayah ini. Metode dakwah Islam dan ajaran-ajaran yang mereka bawa dikemas sedemikian harmonis dengan apa yang menjadi budaya masyarakat lokal sehingga dalam waktu yang relatif singkat, para tokoh dari kalangan ini mendapat tempat di hati elit maupun akar rumput bangsa-bangsa Asia Tenggara. Karena pendekatan peruasif dan damai, kerajaan-kerajaan lokal kemudian dengan leluasa dan suka rela membuka diri terhadap Islam yang relatif baru, sehingga peluang dakwah semakin luas. Tak sedikit dari tokoh ‘Alawiyin awal yang dating ke Indonesia kemudian masuk ke dalam
keluarga berbagai kerajaan lokal itu lewat perkawinan. Kenyataannya, tak sedikit tampuk kepemimpinan kesultanan di Asia Tenggara sampai saat ini berada di jalur keturunan tokoh-tokoh ini. Termasuk di dalamnya Kesultanan Pontianak.
Tidak hanya itu. Yang lebih mencengangkan bukanlah betapa cepatnya ajaran Islam ini menyebar di Nusantara pada khususnya dan Asia Tenggara umumnya, melainkan fakta bahwa Islam menyebar dengan cepat dan dengan cara yang damai. Berkat dakwah yang damai ini pula akhirnya Islam sebagai agama baru, dibandingkan Hindu dan Buddha dengan mudah dapat menggugah kesadaran terdalam masyarakat di wilayah ini.dan segera menjadi agama mayoritas di wilayah ini. Sebagai ilustrasi, manusia Jawa yang semula begitu menghayati ajaran-ajaran Hindu, segera mampu menyerap dan menghayati aspek-aspek kebatinan (spiritualitas atau tasawuf) Islam hingga ajaran Hindu, yang tadinya sedemikian mengakar itu pun dapat dengan mudah digantikan dengan Islam. Meski masih diliputi kontroversi, ada teori kuat bahwa sedikitnya delapan dari sembilan Walisongo yang merupakan pendakwah-utama Islam di Indonesia, pun adalah berasal dari kalangan Kaum ‘Alawiyin ini. Dapat dikatakan bahwa di masa kini Nahdhatul Ulama (NU), yang merupakan kelompok Islam terbesar di Indonesia sampai saat ini, to a great extent, merupakan warisan kaum ‘Alawiyin ini.
Sejumlah besar peneliti sepakat bahwa bobot sufistik dalam ajaran-ajaran Islam yang sampai ke kawasan ini menyumbang sangat besar bagi keberhasilan dakwah yang tumbuh pesat dengan cara damai, tanpa melibatkan penaklukan dan ekspedisi militeristik ini. Sayangnya tradisi pengajaran islam sufistik ini sekarang justru mendapatkan tantangan dari kaum eksoteris, bahkan dianggap sebagai menyimpang dari arus utama pemikiran Islam. Sayangnya, penentangan ini terkait erat dengan metoda dakwah yang merupakan antitesis metode dakwah ‘Alawiyin : yakni fundamentalistik dan ekstrimistik
Dan pelu digali lagi akar-akar kultural dakwah damai Islam di Nusantara dan, pada akhirnya, mempromosikan kembali cara-cara yang lebih manusiawi dalam pergaulan intern dan antaragama, sekaligus membendung ekstremisme dan radikalisme di Nusantara.

KAUM ’ALAWIYIN, MANHAJ, DAN METODE-DAKWAHNYA

Sebutan ’Alawiyin berasal dari nama salah seorang nenek-moyang kelompok ini, yakni ’Alwi bin Ubaydillah bin Ahmad bin ’Isa al-Muhajir bin ‘Ali al-‘Uraydhi bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Husayn bin ‘Ali bin Abi Thalib dari pekawinannya dengan Fathimah putri Rasulullah SAW. Kisah kaum ‘Alawiyin di Hdhramawt bermula dari Ahmad bin ‘Isa (bergelar al-Muhajir, yang berhijrah), yakni tokoh keturunan Rasulullah saw. yang pertama pindah ke Hadramut dari Iraq karena hendak menghindari tekanan politik yang ditimpakan oleh para penguasa kepada kaum keturunan Rasulullah SAW.

Sejarah Masuknya Islam di Indonesia 

Dalam kaitan ini, tokoh yang paling penting adalah al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaydillah (yakni sumber sebutan ‘Alawiyin. seperti disebut di atas). Tokoh inilah yang dianggap sebagai peletak pertama dasar-dasar Thariqah ‘Alawiyah, yakni prinsip-prinsip tasawuf yang mendasarinya dan metoda dakwah dengan jalan damai.
Al-Faqih Al-Muqaddam dilahirkan pada tahun 574 H/1176 M di Tarim, Hadhramaut Yaman Selatan, Beliau wafat pada tahun 653 H pada usia 79 tahun, pada malam Jum’at Zulhijjah 653 H, atau malam minggu di akhir bulan Zulhijjah tahun 653 H /1255M, dan dikebumikan di “Zanbal”, penanggalan wafat beliau diikhtisarkan dengan hitungan abjad Hijaiyah pada kalimat “Abu Tarim”.
Dalam kehidupannya, tokoh yang pernah mendapatkan kiriman khirqah (pakaian kesufian) dari Syaikh Abu Madyan – salah seorang guru Ibn ‘Arabi – ini pernah secara demonstratif melakukan “upacara” simbolik pematahan pedang. Al-Faqih al-Muqaddam mematahkan pedangnya sebagai simbol politik dan sosial-religius. Ahli sejarah ‘Alawiyin, Sayyid Muhammad bin Ahmad al-Syathiry mengupasnya, dalam kitab Adwar a-Tarikh al-Hadhramy sebagai berikut : “Di masa al- Faqih al-Muqaddam dan sebelumya para penguasa di Hadramaut menyoroti gerak-gerak ‘Alawiyin karena mereka selalu mendapatkan tempat di hati rakyat  (mengingat klaim kuat keimaman sebagaimana dinyatakan dalam berbagai hadis  dan 
dipercayai  banyak orang). Mereka khawatir tokoh-tokoh di kalangan kaum ‘Alawiyin dapat

PROSES MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI INDONESIA


menjadi sumber berkumpulnya kekuatan politik dan ditakutkan dapat menggerogoti kekuasaan mereka. Bukan hanya selalu mengawasi gerak gerik Alawiyin, para penguasa ini juga terus menyudutkan kelompok ini, seperti perlakuan para penguasa sebelumnya, yang bermula sejak Bani Umaiyah, Bani Abbas dan lainnya (Inilah juga yang mengakibatkan Ahmad bin ‘Isa hijrah ke Hadramut untuk pertama kalinya). Alasan yang sama telah membuat kakeknya, Shahib Mirbath (Muhammad bin Ali) hijrah dari daerahnya. Juga kematian pamannya Alwi yang dipercayai diracun oleh al Qahthany, penguasa Tarim saat itu. Maka pematahan pedang harus dilihat sebagai simbol peletakan senjata, yang berarti kesediaan untuk menempuh cara-cara damai dalam dakwah dan kemasyarakatan. Penekanan pada tasawuf dan metoda dakwah secara damai inilah yang kemudian secara umum mewarnai secara turun temurun “mazhab” kaum ‘Alawiyin di mana pun mereka berada, sampai pada masa sekarang ini. (ISNA)
Tags:

Kerajaan Majapahit Ternyata Kerajaan Islam Sejak Awalnya ?

Islamnusantara.com – Seorang sejarawan pernah berujar bahwa sejarah itu adalah versi atau sudut pandang orang yang membuatnya. Versi ini sangat tergantung dengan niat atau motivasi si pembuatnya. Barangkali ini pula yang terjadi dengan Majapahit, sebuah kerajaan maha besar masa lampau yang pernah ada di negara yang kini disebut Indonesia.
Kekuasaannya membentang luas hingga mencakup sebagian besar negara yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara. Namun demikian, ada sesuatu yang ‘terasa aneh’ menyangkut kerajaan yang puing-puing peninggalan kebesaran masa lalunya masih dapat ditemukan di kawasan Trowulan Mojokerto ini.

majapahit-1 

Sejak memasuki Sekolah Dasar, kita sudah disuguhi pemahaman bahwa Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu terbesar yang pernah ada dalam sejarah masa lalu kepulauan Nusantra yang kini dkenal Indonesia. Inilah sesuatu yang terasa aneh tersebut. Pemahaman sejarah tersebut seakan melupakan beragam bukti arkeologis, sosiologis dan antropologis yang berkaitan dengan Majapahit yang jika dicerna dan dipahami secara ‘jujur’ akan mengungkapkan fakta yang mengejutkan sekaligus juga mematahkan pemahaman yang sudah berkembang selama ini dalam khazanah sejarah masyarakat Nusantara.
‘Kegelisahan’ semacam inilah yang mungkin memotivasi Tim Kajian Kesultanan Majapahit dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta untuk melakukan kajian ulang terhadap sejarah Majapahit. Setelah sekian lama berkutat dengan beragam fakt-data arkeologis, sosiologis dan antropolis, maka Tim kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku awal berjudul ‘Kesultanan Majapahit, Fakta Sejarah Yang Tersembunyi’. Karya Herman Janung Sinutama.
Buku ini hingga saat ini masih diterbitkan terbatas, terutama menyongsong Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Sejarah Majapahit yang dikenal selama ini di kalangan masyarakat adalah sejarah yang disesuaikan untuk kepentingan penjajah (Belanda) yang ingin terus bercokol di kepulauan Nusantara. Akibatnya, sejarah masa lampau yang berkaitan dengan kawasan ini dibuat untuk kepentingan tersebut. Hal ini dapat pula dianalogikan dengan sejarah mengenai PKI. Sejarah yang berkaitan dengan partai komunis ini yang dibuat di masa Orde Baru tentu berbeda dengan sejarah PKI yang dibuat di era Orde Lama dan bahkan era reformasi saat ini. Hal ini karena berkaitan dengan kepentingan masing-masing dalam membuat sejarah tersebut. Dalam konteks Majapahit, Belanda berkepentingan untuk menguasai Nusantara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Untuk itu, diciptakanlah pemahaman bahwa Majapahit yang menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia adalah kerajaan Hindu dan Islam masuk ke Nusantara belakangan dengan mendobrak tatanan yang sudah berkembang dan ada dalam masyarakat.
Apa yang diungkapkan oleh buku ini tentu memiliki bukti berupa fakta dan data yang selama ini tersembunyi atau sengaja disembunyikan. Beberapa fakta dan data yang menguatkan keyakinan bahwa kerajaan Majpahit sesungguhnya adalah kerajaan Islam atau Kesultanan Majapahit adalah sebagai berikut:

1. Ditemukan atau adanya koin-koin emas Majapahit yang bertuliskan kata-kata ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’. Koin semacam ini dapat ditemukan dalam Museum Majapahit di kawasan Trowulan Mojokerto Jawa Timur. Koin adalah alat pembayaran resmi yang berlaku di sebuah wilayah kerajaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sangat tidak mungkin sebuah kerajaan Hindu memiliki alat pembayaran resmi berupa koin emas bertuliskan kata-kata Tauhid.
2. Pada batu nisan Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang selama ini dikenal sebagai Wali pertama dalam 

koin

sistem Wali Songo yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa terdapat tulisan yang menyatakan bahwa beliau adalah Qadhi atau hakim agama Islam kerajaan Majapahit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Agama Islam adalah agama resmi yang dianut oleh Majapahit karena memiliki Qadhi yang dalam sebuah kerajaan berperan sebagai hakim agama dan penasehat bidang agama bagi sebuah kesultanan atau kerajaan Islam.
3. Pada lambang Majapahit yang berupa delapan sinar matahari terdapat beberapa tulisan Arab, yaitu shifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, tauhid dan dzat. Kata-kata yang beraksara Arab ini terdapat di 

suryaw

antara sinar-sinar matahari yang ada pada lambang Majapahit ini. Untuk lebih mendekatkan pemahaman mengenai lambang Majapahit ini,

koin (1)
maka dapat dilihat pada logo Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, atau dapat pula dilihat pada logo yang digunakan Muhammadiyah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Majapahit sesungguhnya adalah Kerajaan Islam atau Kesultanan Islam karena menggunakan logo resmi yang memakai simbol-simbol Islam.
4. Pendiri Majapahit, Raden Wijaya, adalah seorang muslim. Hal ini karena Raden Wijaya merupakan cucu dari Raja Sunda, Prabu Guru Dharmasiksa yang sekaligus juga ulama Islam Pasundan yang mengajarkan hidup prihatin layaknya ajaran-ajaran sufi, sedangkan neneknya adalah seorang muslimah, keturunan dari penguasa Sriwijaya. Meskipun bergelar Kertarajasa Jayawardhana yang sangat bernuasa Hindu karena menggunakan bahasa Sanskerta, tetapi bukan lantas menjadi justifikasi bahwa beliau adalah seorang penganut Hindu. Bahasa Sanskerta di masa lalu lazim digunakan untuk memberi penghormatan yang tinggi kepada seseorang, apalagi seorang raja. Gelar seperti inipun hingga saat ini masih digunakan oleh para raja muslim Jawa, seperti Hamengku Buwono dan Paku Alam Yogyakarta serta Paku Buwono di Solo. Di  

surya_majapahit 
samping itu, Gajah Mada yang menjadi Patih Majapahit yang sangat terkenal terutama karena Sumpah Palapanya ternyata adalah seorang muslim. Hal ini karena nama aslinya adalah Gaj Ahmada, seorang ulama Islam yang mengabdikan kemampuannya dengan menjadi Patih di Kerajaan Majapahit. Hanya saja, untuk lebih memudahkan penyebutan yang biasanya berlaku dalam masyarakat Jawa, maka digunakan Gajahmada saja. Dengan demikian, penulisan Gajah Mada yang benar adalah Gajahmada dan bukan ‘Gajah Mada’. Pada nisan makam Gajahmada di Mojokerto pun terdapat tulisan ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’ yang menunjukkan bahwa Patih yang biasa dikenal masyarakat sebagai Syeikh Mada setelah pengunduran dirinya sebagai Patih Majapatih ini adalah seorang muslim.
5. Jika fakta-fakta di atas masih berkaitan dengan internal Majapahit, maka fakta-fakta berikut berhubungan dengan sejarah dunia secara global. Sebagaimana diketahui bahwa 1253 M, tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan menyerbu Baghdad. Akibatnya, Timur Tengah berada dalam situasi yang berkecamuk dan terjebak dalam kondisi konflik yang tidak menentu. Dampak selanjutnya adalah terjadinya eksodus besar-besaran kaum muslim dari Timur Tengah, terutama para keturunan Nabi yang biasa dikenal dengan ‘Allawiyah. Kelompok ini sebagian besar menuju kawasan Nuswantara (Nusantara) yang memang dikenal memiliki tempat-tempat yang eksotis dan kaya dengan sumberdaya alam dan kemudian menetap dan beranakpinak di tempat ini. Dari keturunan pada pendatang inilah sebagian besar penguasa beragam kerajaan Nusantara berasal, tanpa terkecuali Majapahit.
Inilah beberapa bukti dari fakta dan data yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya Majapahit adalah Kesultanan Islam yang berkuasa di sebagian besar kawasan yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara ini. Sekali lagi terbukti bahwa sejarah itu adalah versi, tergantung untuk apa sejarah itu dibuat dan tentunya terkandung di dalamnya beragam kepentingan. Wallahu A’lam Bishshawab. [sejarah-kompasiana]
Disarikan dari buku: Herman Sinung Janutama, ‘Kesultanan Majapahit, Fakta Yang Tersembunyi’, LJKP Pangurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta. Edisi Terbatas Muktamar Satu Abad Muhammadiyah Yogyakarta Juli 2010. (ISNA/Sukarya Putra)
http://islamedia.co.nr/
http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit
http://www.forumbebas.com/archive/index.php/thread-140504.htm

Strategi Dakwah Wali Songo Dalam Islamisasi Di Jawa

http://www.islamnusantara.com/strategi-dakwah-wali-songo-dalam-islamisasi-di-jawa/
 
Islamnusantara.com - Strategi Dakwah Wali Sanga Dalam Islamisasi Di Jawa. Peran Wali Sanga dalam penyebaran Islam di Indonesia, terutama di Jawa nampaknya tidak dapat di sangkal lagi. Besarnya jasa mereka dalam mengislamkan tanah Jawa telah menjadi catatan yang masyhur dalam kesadaran masyarakat Islam Jawa. Ada yang menganggap “Wali Songo” ­lah perintis awal gerakan dakwah Islam di Indonesia. Karena jika dilihat pada fase sebelumnya, Islamisasi di Nusantara lebih dilaksanakan oleh orang-perorangan tanpa manajemen organisasi. Tetapi dalam kasus Wali Sanga ini, aspek manajemen keorganisasian telah mereka fungsikan. Yakni, mereka dengan sengaja menempatkan diri dalam satu kesatuan organisasi dakwah yang diatur secara rasional, sistematis, harmonis, tertentu dan kontinyu serta menggunakan strategi, metode dan fasilitas dakwah yang betul-betul efektif.

Widji Saksono dalam bukunya “Mengislamkan Tanah Jawa..” mengisyaratkan bahwa apabila berita tentang Wali Sanga dikumpulkan dan dipelajari, antara lain dari serat Wall Sanga dan dari Primbon milik Prof. K.H.R. Moh. Adnan, maka didapati suatu kesimpulan, bahwa secara keseluruhan -kecuali Syeik Siti Jenar- Wali Sanga merupakan satu kesatuan organisasi. Yaitu organisasi yang dapat diidentikkan sebagai panitia ad hoc atau kanayakan (kabinet) urusan mengislamkan masyarakat Jawa.

mahrojan-wali-wali-jawa-festival-wali-songo-jl-raden-santri-gresik-budaya-dan-wisata-religi-gresik 

Dalam hal ini, setiap orang dari mereka memegang peranan dan bertanggungjawab sebagai ketua bagian, seksi atau nayaka (menteri) dan sebagainya dalam organisasi dakwah Wali Sanga itu. Dan mereka sering berkumpul bersama, mengadakan sesuatu, merundingkan berbagai hal yang berkenaan dengan tugas dan perjuangan mereka. Bukti lain yang menunjukkan Wali Sanga sebagai kesatuan organisasi, adalah peristiwa pembangunan masjid Demak, dimana dalam peristiwa itu tercermin sebuah kerjasama dan gotong royong tmtuk kepentingan dan tujuan yang lama; yaitu untuk kepentingan syiar agama Islam.

Untuk menunjukkan bahwa lembaga dakwah Wali Sanga bersifat teratur dan kontinyu, Saudi Berlian dalam menyunting bukunya Widji Saksono, menunjukkan paling tidak lembaga Wali Sanga telah mengalami empat kali periode sidang penggantian `pengurus’.

Periode I: Malik Ibrahim, Ishaq, Ahmad Jumad al-Kubra, Muhammad al-Maghribi, Malik Israil, Muhammad al-Akbar, Hasanuddin, Aliyuddin dan Subakir.

Periode II: Komposisi kepengurusan dilengkapi oleh Raden Rahmad Al Rahmatullah (Sunan Ampel) menggantikan Malik Ibrahim yang telah wafat, Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) menggantikan Malik Israil yang telah wafat, Syaril Hidayatullah menggantikan Al-Akbar yang telah wafat.

Periode III:, masuk Raden Paku (Sunan Girl) menggantikan Ishaq yang pindah ke Pasai, Raden Said (Sunan Kalijaga) menggantikan Syeikh Subakir yang kembali ke Persia, Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) menggantikan Maulana Hasanuddin yang telah Wafat, Raden Qasim (Sunan Drajat) menggantikan Aliyuddin yang telah wafat.
Periode IV: masuk Raden Hasan (Raden Fatah) dan Fathullah Khan, keduanya menggantikan Ahmad Jumad al-Kubra dan Muhammad al-Maghribi. Periode V: masuk Sunan Muria. Tidak dijelaskan tokoh Ini menggantikan siapa, tetapi besar kemungkinan menggantikan Raden Fatah yang naik tahta sebagai Sultan I Demak

Selanjutnya, dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa, Wali Sanga telah menggunakan beberapa strategi dan metode dakwah. Di antaranya adalah dengan memobilisasi semua alat ta’tsir psikologis yang berupa sensasi, conciliare, sugesti, hipnotis sampai de cere. Karena sensasi inilah, masyarakat awam dipaksa secara halus untuk menaruh perhatian kepada para Wali dan mengesampingkan yang lainnya. Karena conciliare, publik akhirnya mengganggap penting apa saja yang datang dari para Wali.

Karena sugesti, rakyat didorong berbuat sesuatu sehingga bergerak tanpa banyak tanya. Karena hipnotis, rakyat terpukau akan segala sesuatu yang bermerk para Wall tanpa banyak selidik dan kritik. Selanjutnya karma de cere,-para Wali dapat mengendalikan dan mengarahkan awam sebagai obyek dakwahnya ke mana raja yang mereka kehendaki. Selain strategi yang bersifat psikilogis, Wali Sanga juga menerapkan strategi (pendekatan) politis. Ini tercermin dalam langkah-langkah yang diambil terutama oleh Raden Patah ketika mendirikan Kerajaan Demak (Sofwan, 2000: 258).

Widji Saksono mencatat, bahwa Wali Sanga meneladani pendekatan Rasulullah SAW. dalam berdakwah, yaitu Bil Khikmati wal maudzotil khasanati wa jaadilhum billatii hiya akhsan. Wali Sanga memperlakukan sasaran dakwah, terutama tokoh khusus, dengan profesional dan istimewa, langsung pribadi bertemu pribadi. Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan (tazkir) tentang Islam, peringatan-peringatan dengan lemah lembut, bertukar pikiran dari hati ke hati, penuh toleransi dan pengertian. Metode Ini dapat dilihat pada kasus Sunan Ampel ketika mengajak Ariya Damar dari Palembang masuk Islam. Juga pada Sunan Kalijaga ketika mengajak Adipati Pandanarang di Semarang untuk masuk Islam.

Dalam pendekatan Bil Hikmah, Wall Sanga menggunakannya dengan jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara populer, atraktif dan sensasional. Pendekatan Ini mereka pergunakan terutama dalam menghadapi masyarakat awam. Dalam rangkaian Ini kita dapati kisah Sunan Kalijaga dengan gamelan Sekaten-nya. Atas usul Sunan Kalijaga, maka dibuatlah keramaian Sekaten atau Syahadatainyang diadakan di Masjid Agung dengan memukul gamelan yang sangat unik, baik dalam hal langgam dan lagu maupun komposisi instrumental yang telah lazim selama ini. Begitu juga dakwah Sunan Kudus dengan lembut yang dihias secara unik dan nVentrik. Apabila kedua pendekatan ini tidak berhasil, barulah mereka menempuh jalan lain yaitu Al-Mujadalah billati hiya ahsan. Pendekatan ini terutama diterapkan terhadap tokoh yang secara terus terang menunjukkan sikap kurang setuju terhadap Islam.

Wali Sanga juga memakai strategi tarbiyyah al-‘ummah, terutama sebagai upaya pembentukan dan penanaman kader, serta strategi penyebaran juru dakwah ke berbagai daerah. Sunan Kalijaga misalnya, mengkader Kiai Gede Adipati Pandanarang (Sunan Tembayat) dan mendidik Ki Cakrajaya dari Purworejo, kemudian mengirimnya ke Lowanu untuk mengislamkan masyarakat di sana.

Sunan Ampel mengkader Raden Patah kemudian menyuruhnya berhijrah ke hutan Bintara, membuat perkampungan dan kota baru dan mengimami masyarakat yang baru terbentuk itu. untuk penyebaran juru dakwah dan pembagian wilayah kerja Wali Sanga, digambarkan oleh Mansur Suryanegara, mempunyai dasar pertimbangan geostrategis yang mapan sekali. Pembagian itu memakai rasio 5 : 3: 1.

Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para Wali. Di sini ditempatkan 5 Wall dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Wali perintis, mengambil wilayah dakwahnya di Gresik. Setelah wafat, wilayah ini diambil alih oleh Sunan Girl. Sunan Ampel mengambil posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke utara di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu. Berkumpulnya kelima Wali di Jawa Timur adalah karna kekuasaan politik saat itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan Kediri di Kediri dan Majapahit di Mojokerto.

Di Jawa Tengah, para Wali mengambil posisi di Demak, Kudus dan Muria. Sasaran dakwah para Wali di Jawa Tengah tentu berbeda dengan yang di Jawa Timur. Di Jawa Tengah, dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan Hindu dan Budha sudah tidak berperan, tetapi realitas masyarakatnya masih banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha. Sehingga dalam berdakwah, Wali Sanga 

jejak-islam-di-indonesia-lanjutan-11-638 

di Jawa Tengah ini banyak menggunakan instrumen budaya lokal, seperti wayang, gong gamelan dan lain-lain, untuk dimodifikasi sesuai dengan ajaran Islam.
Saat berlangsung aktivitas ketiga Wali tersebut, pusat kekuasaan politik dan ekonomi beralih ke Jawa Tengah, ditandai dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit dan munculnya Kerajaan Demak, yang disusul kemudian dengan lahirnya Kerajaan Pajang dan Mataram II. Perubahan kondisi politik seperti ini, memungkinkan ketiga tempat tersebut mempunyai arti geostrategis yang menentukan.

Sedangkan di Jawa Barat, proses islamisasinya hanya ditangani oleh seorang Wali, yaitu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dengan pertimbangan saat itu  penyebaran ajaran Islam di Indonesia Barat, terutama di Sumatera dapat dikatakan telah merata bila dibandingkan dengan kondisi Indonesia Timur. Adapun pemilihan kota Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati, hal itu tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan jalan perdagangan rempah-rempah sebagai komoditi yangberasal dari Indonesia Timur.
Dan Cirebon merupakan merupakan pintu perdagangan yang mengarah ke Jawa Tengah, Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Oleh karna itu, pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial politik dan ekonomi saat itu, mempunyai nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan Islam selanjutnya.

Demikianlah beberapa strategi dan pendekatan yang dipakai oleh Wali Sanga dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dan apabila dikaji lebih mendalam, maka akan didapati beberapa bentuk metode dakwah Wali Sanga, di antaranya:

Pertama, melalui perkawinan. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi di antaranya bahwa Raden Rahmad (Sunan Ampel ) dalam rangka memperkuat dan memperluas dakwahnya, salah satunya, dengan menjalin hubungan geneologis. Beliau menekankan putrinya, Dewi Murthosiah dengan Raden Ainul Yakin dari Giri. Dewi Murthosimah dengan Raden Patah. Alawiyah dengan Syarif Hidayatullah. Dan putrinya yang lain, Siti Sarifah dengan Usman Haji dari Ngudung.

Kedua, dengan mengembangkan pendidikan pesantren. Langkah persuasif dan edukatif ini mula-mula dipraktekkan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik, kemudian dikembangkan dan mencapai kemajuannya oleh Sunan Ampel di desa Ampel Denta, Surabaya.

Ketiga, mengembangkan kebudayaan Jawa dengan memberi muatan nilai-nilai keislaman, bukan saja pada pendidikan dan pengajaran tetapi juga meluas pada bidang hiburan, tata sibuk, kesenian dan aspek-aspek lainnya. Seperti Wayang, Sekatenan, Falasafah wluku lan pacul Sunan Kalijaga.

Keempat, metode dakwah melalui sarana prasarana yang berkaitan dengan masalah perekonomian rakyat. Seperti tampilnya Sunan Majagung sebagai nayaka (mentri) unison ini. Beliau memikirkan masalah halal-­haram, masak-memasak, makan-makanan dan lain-lain. Untuk efesiensi kerja, beliau berijtihad dengan menyempurnakan alat-alat pertanian, perabot dapur, barang pecah-belah. Begun juga Sunan Drajat tampil dengan menyempurnakan alat transportasi dan bangun perumahan.

Kelima, dengan sarana politik. Dalam bidang politik kenegaraan Sunan Girl tampil sebagai ahli negara Wali Sanga, yang menyusun peraturan-­peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara keraton. Begitu juga Sunan Kudus yang ahli dalam perundang-undangan, pengadilan dan mahkamah. Sebagai penutup untuk pembahasan tentang islamisasi Jawa oleh Wali Sanga, setidaknya ada dua faktor elementer yang menopang keunggulan don keistimewaan dakwah para Wali. Pertama, inklusivitas para Wali dalam melihat ajaran Islam. Kedua, potensi dan keunggulan vang dimiliki oleh para Wali. -Mereka telah membuktikan diri sebagai mujtahid yang memahami Islam tidak saja sebagai teori abstrak, tetapi juga sebagai realitas historic kemanusiaan. (ISNA)
Sumber : pcnucilacap


Teori Masuknya Islam ke Nusantara

http://www.islamnusantara.com/teori-masuknya-islam-ke-nusantara/
  
Islamnusantara.com, JAKARTA – Banyak teori dan pendapat tentang sejarah masuknya Islam ke bumi nusantara. Masing-masing teori dan pendapat tersebut memiliki dasarnya masing-masing. Yang jelas, Islam di nusantara disebarkan dengan cara damai tanpa kekerasan.

Tiga teori

Ada tiga teori yang menjelaskan mengenai masuknya Islam ke Indonesia. Yakni, teori Gujarat (India), teori Persia, dan Makkah. Menurut teori pertama (Gujarat), Islam masuk ke Indonesia melalui para pedagang Gujarat (India) yang beragama Islam pada sekitar abad ke-13 M.
Teori kedua (Persia) berkeyakinan, masuknya Islam ke Indonesia melalui peran pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah di Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M. Teori ketiga (Makkah) menyebutkan, Islam tiba di Indonesia dibawa langsung oleh para pedagang Muslim yang berasal dari Timur Tengah sekitar abad ke-7 M.

Waktu

Tentang kapan persisnya Islam masuk ke Indonesia, sebagian besar orientalis berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M dan ke-13 M. Pendapat itu didasarkan pada dua asumsi. Pertama, bersamaan dengan jatuhnya Baghdad pada 656 M di tangan penguasa Mongol yang sebagian besar ulamanya melarikan diri hingga ke kepulauan nusantara. Kedua, ditemukannya beberapa karya sufi pada abad ke-13 M.

Manuskrip Cina

islam3


Ada juga pendapat yang mengatakan, justru Islam pertama kali masuk ke nusantara pada abad pertama Hijriyah. Yakni, pada masa pedagang-pedagang sufi-Muslim Arab memasuki Cina lewat jalur laut bagian barat. Kesimpulan itu didasarkan pada manuskrip Cina pada periode Dinasti Tang. Manuskrip Cina itu mensyaratkan adanya permukiman sufi-Arab di Cina, yang penduduknya diizinkan oleh kaisar untuk sepenuhnya menikmati kebebasan beragama. Cina yang dimaksudkan dalam manuskrip pada abad pertama Hijriyah itu tiada lain adalah gugusan pulau-pulau di Timur Jauh, termasuk Kepulauan Indonesia

Jalur emas

Dari manuskrip Cina itu pula, terdapat informasi mengenai jalur penyebaran Islam di Indonesia. Disebutkan, masuknya Islam bukanlah dari tiga jalur emas (Arab, India, dan Persia) sebagaimana tertulis dalam buku-buku sejarah selama ini, melainkan langsung dari Arab yang dibawa oleh para pedagang Arab.
Alasan beragama Islam
Ada beberapa alasan yang menyebabkan mayoritas penduduk nusantara memeluk Islam, antara lain:
1.Pernikahan antara para pedagang dan bangsawan. Contohnya Raja Brawijaya menikah dengan Putri Jeumpa yang menurunkan Raden Patah.
2.Pendidikan pesantren
3.Pedagang Islam
4.Seni dan kebudayaan. Contohnya wayang, disebarkan oleh Sunan Kalijaga.
5.Dakwah

Cepat berkembang
Ada beberapa faktor penyebab agama Islam dapat cepat berkembang di nusantara, antara lain:
1. Syarat masuk agama Islam tidak berat, yaitu dengan mengucapkan kalimat syahadat.
2. Upacara-upacara dalam Islam sangat sederhana.
3. Islam tidak mengenal sistem kasta.
4. Islam tidak menentang adat dan tradisi setempat.
5. Dalam penyebarannya dilakukan dengan jalan damai.
6. Runtuhnya Kerajaan Majapahit memperlancar penyebaran agama Islam. (ISNA)


Imam Masjidil Haram: Keragaman Mazhab adalah Sunnatullah yang Tidak Bisa Dirubah

Salafynews.com – Imam dan Khatib Masjidil Haram, Sheikh Saleh bin Abdullah bin Humaid, dalam khutbahnya, Jumat (1/5) mengatakan, Keragaman firqoh, mazhab dan suku di kalangan manusia adalah salah satu sunnatullah. Dan sunnatullah tidak bisa diubah dan diganti.

Khatib Masjidil Haram itu menegaskan, di saat-saat fitnah (baca: kekacauan), yang terpenting bagi setiap orang adalah mengidentifikasi musuh.

Khatib itu menambahkan, “Konflik yang terjadi dalam krisis saat ini bukanlah konflik sektarian dan tidak pula perselisihan dengan Syiah. Kecintaan kepada Ahlul bait Nabi saw tidak akan menjadi sumber keresahan, apalagi menjadi penyebab perpecahan dan fitnah, -na’udzubillah-.”

“Perselisihan sebenarnya adalah perselisihan politik, ekspansi dan ambisi serta hubungan yang buruk dengan tetangga berikut hak serta tata cara bertetangga, hak Islam dan adab Islam,” tegas Sheikh di sela-sela khutbahnya.

Bin Humaid mengatakan, “Kebanyakan firqoh dan mazhab telah ada sejak abad-abad permulaan Islam, dengan terpeliharanya semangat dakwah dan penyampaian kebenaran melalui hikmah dan nasihat yang baik, serta adu argumentasi dengan cara terbaik.”

Terkait dengan perang dan konflik di tengah-tengah muslimin akhir-akhir ini, Sheikh Saleh menuturkan, penyebabnya adalah saling melontarkan hujatan sektarian dan melanggar hak-hak Negara dan warganya serta menyebarkan fanatisme melalui sejumlah media dengan berbagai ragamnya. Dan pula mendorong berbagai kelompok serta mempersenjatainya agar terjadi saling bunuh antar sesama warga dan umat.

Khatib Masjidil haram ini menegaskan, Ahlul bait r.a dan para pengikut dan pencintanya tidak mungkin menerima muslimin terhina dan persatuan mereka tercerai-berai. Dan kita tidak termasuk orang-orang yang menjadikan agama, mazhab atau keturunan sebagai sarana untuk membangkitkan fanatisme dan menghidupkan rasisme.

Islam sebagai agama kita menyerukan pesan kepada manusia, “Wahai manusia, Kami menciptakan kalian dari lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang termulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa…” ujarnya mengutip sebuah ayat suci al-Quran. (ss)
Sumber: Shabir TV


Evida Zaitun Alkaff's photo.


Dewan Al-mahdi's photo.






Ali bin Abi Thalib as Gerbang Imaterial Ilmu Rasul Saww

Ali_bin_Abi_Thalib_as_Gerbang_Imaterial_Ilmu_Rasul_Saww 
Salah satu dari pintu atau gerbang imaterial adalah Ali bin Abi Thalib. Beliau merupakan gerbang masuk ke kota ilmu Rasulullah Saww. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saww berkata, “Aku adalah kota ilmu, sedangkan Ali adalah gerbangnya”.


Apa jadinya jika sebuah rumah tidak berpintu? Tidak satupun dapat masuk atau keluar dari rumah tersebut. Sedemikian penting kegunaan pintu sehingga tak satupun rumah yang tak berpintu. Karena perannya yang begitu penting, pintu tidak hanya dipasang, tetapi juga dihiasi dengan berbagai warna dan ukiran yang sangat indah. Pertama kali yang dicari oleh seseorang ketika mendatangi sebuah rumah adalah pintu.


Demikian pula, pertama kali yang dituju oleh pemilik rumah untuk menyambut yang hendak masuk adalah pintu. Tak heran bila pintu menjadi sebuah bagian yang terintegrasi secara esensial dalam sebuah rumah, tak terpisahkan, tak tergantikan dan tak terwakili oleh benda lain.

Sama peran dengan pintu, gerbang suatu kota merupakan pintu masuk untuk masuk maupun keluar darinya. Suatu kota yang tidak bergerbang, berarti ia telah mengisolasi diri dari dunia luar, menutup dirinya sehingga tak seorang pun dapat mengetahui kedalamannya, dan menjadikan dirinya sebagai sebuah misteri untuk selamanya. Dengan gerbang, ia akan terbuka untuk dikunjungi, didatangi, dan dikenal serta ditelusuri kedalamannya.


Apa yang disebutkan di atas berlaku dalam dunia material, tetapi hal itu berlaku juga pada dunia imaterial. Dalam dunia imaterial, ada juga yang disebut dengan pintu atau gerbang. Perbedaannya antara pintu materi dan pintu imaterial bukan pada pemaknaannya bahwa yang pertama hakiki, sedang yang kedua bersifat metaforis. Berdasarkan pada pendapat bahwa setiap kata dibuat dan diletakkan pada “inti makna” bukan pada “terapan makna”, pemaknaan pintu pada benda meterial maupun pada wujud imaterial harus sama-sama bersifat hakiki. Pintu dalam dunia imaterial sungguh-sungguh memainkan peran sebagai sebuah pintu yang hakiki. Hakikat pintu adalah jalan untuk masuk maupun keluar dari luar ke dalam dan sebaliknya. Sebagaimana hakikat ini dapat ditemukan pada pintu material. Kita juga dapat mendapatkannya pada pintu imaterial, bahkan dengan bentuk yang lebih hakiki dan tak tergantikan sama sekali.


Salah satu dari pintu atau gerbang imaterial adalah Ali bin Abi Thalib. Beliau merupakan gerbang masuk kota ilmu Rasulullah Saww. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saww bersabda; انا مدينة العلم و علي بابها “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah gerbangnya”. 

Penunjukan Ali sebagai gerbang kota ilmu oleh Rasulullah bukan atas pertimbangan semau “AKU”, melainkan berdasarkan pada pertimbangan pada keniscayaan hakiki-rasional; pada potensi dalam diri Ali yang mustahil ditemukan pada diri selainnya. Jika demikian, kedudukan Ali sebagai gerbang kota ilmu adalah sesuatu yang pertama, tak tergantikan, dan kedua, tidak bisa diberikan kepada orang lain.


Berbeda dengan gerbang hakiki-rasional, gerbang “semau aku” dapat digantikan dengan orang lain sekehendak “AKU”, dan peran dirinya sebagai gerbang dapat diberikan olehnya kepada orang lain. Penunjukan Ali sebagai gerbang kota ilmu tidak dapat dikatakan sebagai suatu wishful thingking, yaitu pemikiran yang mengungkapkan keinginan, tetapi bukan kebenaran dan keniscayaan rasional. Siapa pun yang memerankan diri seperti Rasulullah, ia akan dihadapkan pada satu pilihan yang tidak bisa tidak, yaitu menjadikan Ali sebagai gerbang bagi setiap orang yang hendak masuk pada kedalaman intelektual dirinya.


Bagaimana Ali tidak mendapatkan kehormatan sebagai gerbang intelektualitas Rasulullah, sementara beliau adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah dan orang yang paling banyak mendapatkan pelajaran-pelajaran darinya. Gerbang kota ilmu yang disematkan kepada Ali bin Abi Thalib as bukanlah sesuatu yang sifatnya material. Hal ini jelas, karena hal-ihwal keilmuan bukanlah di dunia material, melainkan di dunia imaterial.


Namun demikian, hukum yang berlaku pada hakikat gerbang, sebagaimana berlaku pada gerbang material, berlaku juga pada gerbang imaterial. Ali adalah gerbang masuk bagi siapa pun yang ingin masuk kedalam kota ilmu. Tanpa gerbang, kota ilmu tidak akan pernah dapat dimasuki dan ditelusuri kedalaman ilmunya. Tanpa gerbang, siapa pun tidak akan bisa menggali ilmu di kota ilmu.


Rsulullah Saww tidak pernah bermaksud untuk mengisolasi dirinya dari dunia luar dan umat manusia, justru beliau diutus supaya menarik sebanyak mungkin manusia untuk masuk kedalam dirinya. sebagai kota ilmu. Tetapi kota tersebut tidak bisa dimasuki melalui pintu palsu di mana tidak dapat menyampaikan pemasuknya ke kota tersebut, tidak juga tanpa pintu. Dalam hal ini, Rasulullah Saww mengingatkan kita bahwa pintu masuk kedalam dirinya adalah Ali bin Abi Thalib as. Tak seorang pun dapat masuk kota ilmu tanpa mengenal Ali, dan tak seorang pun dapat masuk ke kota ilmu melalui pintu selain pintu Ali. Selain Ali adalah pintu-pintu palsu yang justru akan membawa pemasuknya pada kota kebodohan dan kesesatan.


Dalam firmanNya, Allah menegaskan “Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. Dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung”. (QS. Al-Baqarah 2:189).


Dalam ayat ini diterangkan bahwa kebajikan bukanlah berusaha masuk ke sebuah rumah dari belakangnya, bukan juga hanya konsep “ketakwaan”. Allah dalam ayat ini tidak mengatakan “wa lakinna birro huwat taqo'”, yang artinya kebajikan adalah ketakwaan, melainkan Dia berkata, “wa lakinna birro manit taqo'”, yang artinya kebajikan adalah orang yang bertaqwa. jadi ketakwaan selama berupa konsep, ia tidak memiliki kebajikan apa pun. Yang bajik bukanlah yang mengerti arti ketakwaan dalam dirinya, mengamalkan dalam tindakannya, dan ia yang bertakwa, bukan ia yang mengerti konsep ketakwaan. Sekedar mengerti ketakwaan, seseorang belum mencapai tindak kebajikan.


Dalam kontek ketakwaan, Allah menyebut bahwa salah satu dari bentuk ketakwaan adalah masuk rumah melalui pintunya. Hal sama juga dapat kita katakan bahwa yang bertakwa adalah orang yang sungguh-sungguh memasuki pintu Ali as. menuju kota ilmu Rasulullah saw. Ia tidak masuk dari belakangnya, karena itu bukan kebajikan dan tidak akan mengantarkannya pada tujuan sama sekali. Hanya dengan memasuki pintu Ali, kebajikan dan ketakwaan dapat diraih. Ini artinya, bahwa kita semua umat Islam harus ber-wilayah kepada Ali bin Abi Thalib dalam pengertian bahwa kita semua harus memasuki pintu Ali, dan tidak hanya manjadikan konsep “Ali as. pintu Rasulullah saw.” hanya sebagai bentuk keutamaan dalam lisan. Keutamaan Ali as. sudah terjamin di sisi Allah, baik kita mengikrarkan dan mengucapkannya maupun tidak. Keutamaan tidak terletak pada seberapa yakin kita mengakui Ali as. sebagai pintu Rasulullah, keutamaan hanya terletak pada sejauh mana kita dapat memasuki pintu Ali.


Senada dengan ayat di atas, kita dapat katakan: “Laesal birru huwa dukhulu baabi madinatil ilmi, wa lakinnal birro man dakhola baaba madinatil ilmi” (Kebajikan bukanlah konsep “masuk pintu kota ilmu”; kebajikan adalah orang yang memasukinya). Kebajikan bukanlah seseorang menatap dengan penuh kagum dan bangga pintu Ali as. dengan segala keindahan dan kemewahannya dari luar, kebajikan adalah bila ia masuk ke dalam pintu tersebut. Dengan demikian, kita semua tidak hanya harus berbangga-diri dengan Imam Ali as. sebagai gerbang ilmu, melainkan kita harus berbangga-diri dengan menimba ilmu darinya dan melaksanakannya seperti ia melaksanakannya.


Kita tidak boleh mendatangi pintu Ali as. dengan tujuan untuk mencari justifikasi atas keyakinan kita, karena itu bertentangan dengan maksud “Ana madinatul ilmi wa Aliyyun babuha”. Kita harus mendatangi dan masuk ke dalamnya dengan diri yang bersih dan kosong dari segala keyakinan-keyakinan yang kotor, dan dengan maksud mendengarkan kebenaran darinya, bukan dengan maksud mencari pembenaran terhadap keyakinan kita, melainkan dalam rangka menerima curahan kebenaran yang harus kita terima. Kita harus menyesuaikan diri dengan Ali as, bukan sebaliknya. Kebenaran Ali as. tidak dapat dipaksakan untuk sesuai dengan keyakinan kita, tapi kebenaran Ali as. harus menjadi kriteria bagi kebenaran keyakinan kita.


Jadi, meski hadis “Ana madinatul ilmi wa Aliyyun babuha” termasuk hadis-hadis keutamaan, yang sering disebut-sebut oleh para pengikutnya dalam pengajian-pengajian tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib as., atau dalam berdebat dengan para penginkar keutamaan beliau, namun demikian, pesan yang lebih mendalam yang dibawa oleh hadis ini lebih dari sekedar apa yang sementara ini dikira orang.  

Pesan ini tidak hanya ditujukan pada para pengikut setia beliau, tetapi juga pada semua umat Islam dengan pelbagai aliran dan mazhab. Hadis ini tidak hanya sedang menekankan sebuah konsep bahwa pertama, Ali as. adalah gerbang menuju kedalaman ilmu Rasulullah saw., dan kedua, masuk melalui gerbang itu merupakan syarat mutlak untuk sampai pada kota ilmu. Lebih dari itu, hadis ini ingin mengatakan pesannya kepada kita bahwa yang bajik bukanlah sekedar menyakini dua konsep di atas, melainkan kebajikan adalah orang yang masuk melalui pintu Ali as. untuk sampai pada ilmu Rasulullah saw.


Hubungan antara gerbang dan kota ilmu, dalam hal ini Ali as. dan Rasulullah saw., bersifat hakiki dan pasti. Artinya, kita tidak dapat memutus hubungan ini sekehendak hati kita. Keduanya saling terkait secara erat sehingga mustahil kita mampu mencapai kota ilmu Rasulullah selain melalui Ali as. Selain Ali as., tidak ada satu pun pintu masuk ke kota ilmu. Meski selain Ali as. banyak yang menawarkan pintu masuk ke kota ilmu, semua itu tidak mendapat restu dari Rasulullah dan illegal serta tidak direkomendasikan oleh beliau. Hanya Ali as., titik, tiada lainnya.


Ibarat orang yang panik ketika tidak menemukan pintu masuk ke suatu tempat yang hendak dia tuju, demikian pula, siapa pun yang tidak menemukan atau tidak mau masuk pintu Ali as. akan mengalami kepanikan dan kekalutan intelektual sehingga dia semakin jauh dari kebenaran dan dekat kepada kesesatan. Banyak dari pemikir-pemikir telah dan akan mengalami kekalutan dan kepanikan mental-intelektual karena menjauh dari pintu Ali as.


Mu’tazilah, umpamanya, harus terjerumus pada derita mensyekutukan Tuhan dalam kekuasaan-Nya dengan konsep “manusia bebas”-nya, dan Asy’ariah terjatuh pada perangkap determinisme karena tidak mampu menyelesaikan apa yang dikiranya bertentangan, yaitu kekuasaan Tuhan yang mutlak dan kebebasan manusia dalam bertindak. Dan banyak lagi contoh-contoh kepanikan lainnya. Semua itu karena mereka karena bu’duhum aw ibti’aduhum a’n Aliyyin (jauh atau menjauhnya mereka dari Ali bin Abi Thalib as.). Dalam banyak riwayat, Ali telah memberikan penyelesaian secara tuntas atas kemusykilan dan kepanikan Asy’ariah dan Mu’tazilah ini, bahkan sebelum mereka lahir. Anda dapat merujuk riwayat-riwayat tersebut pada tafsir Al-Mizan karya Thaba’thaba’i, kitab “Aqoid al-Imammiyyah” dengan komentar Sayyid Kharrazi, dan kitab-kitab lainnya yang membahas tentang konsep “Al-Amru baena al-amrain” (Perkara di antara dua perkara).


Solusi bagi mereka hanya satu, yakni bertakwa dengan memasuki pintu Ali as., bukan sekedar menyakini bahwa Ali as. pintu kota ilmu Rasulullah saw., apalagi menjauhi atau mengingkarinya. Setelah itu, Rasulullah saw. serta Ali as. akan memecahkan problem mereka. Sebagai manusia yang benar-benar telah masuk pintu Ali as., Ali bin Musa Ar-Ridha as. pernah ditanya: “Wahai putra Rasulullah diriwayatkan kepada kami bahwa Imam Ja’far Shodiq berkata, “Tidak ada jabr (keterpaksaan) dan tidak ada tafwidh (penyerahan kekuasaan kepada manusia), tetapi (yang benar) adalah perkara di antara dua perkara”, apakah yang dimaksud dengan riwayat ini? Beliau menjawab, “Barang siapa menganggap bahwa Allah yang menciptakan perbuatan kita, lantas menyiksa kita karena itu, ia telah berpendapat dengan keterpaksaan.


Dan barang siapa menganggap bahwa Allah menyerahkan perkara penciptaan dan pemberian rizki kepada hujjah-hujjah-Nya (apalagi kepada manusia biasa), ia telah berpendapat dengan penyerahan. Yang berpendapat dengan keterpaksaan adalah kafir, dan yang berpendapat dengan penyerahan adalah musyrik”. Inilah akibat dari tidak mau ber-wilayah kepada Ali bin Abi Thalib as. Akibat menjauh dari pintu Ali dan memaksa masuk kota ilmu tanpa melalui pintunya adalah terjerumus pada kekafiran atau kemusyrikan. Dengan memasuki pintu Ali as., Imam Ja’far Shodiq as. dan Imam Ali bin Musa bin Ja’far as. telah menjadi dua manusia beruntung, karena, sesuai dengan janji Allah, bahwa yang bertakwa dengan memasuki pintu Ali akan menjadi orang-orang yang beruntung. Allah Berfirman, “Dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.

Pemandu Jalan


Satu hal lagi yang tidak boleh kita lewatkan adalah peran pemandu yang menunjukan kepada kita dimana pintu Ali berada. Bila dalam dunia material, seorang pemandu bekerja untuk para tamu kaya yang ingin berwisata dalam sebuah kota, dalam dunia ilmu, ia tidak bekerja untuk orang kaya yang mengunjungi pintu dan kota ilmu. Ia tidak mengharap gaji dan bayaran material dari orang kaya yang diantaranya, ia bukan pembantunya.


Harta orang yang melimpah bukan tujuan dari pemandu, bukan juga yang dapat mengatur pemandu sekehendak hati. Orang yang melimpah hartanya bisa jadi adalah orang yang paling miskin wilayahnya kepada Ali karena melihat pintunya saja tidak pernah, apalagi memasukinya. Dalam kepemanduan ke pintu Ali, keadaannya terbalik dengan kepemanduan di dunia wisata. Bila dalam dunia material, yang kaya adalah para pemandu dan yang miskin adalah para wisatawannya. Pemandu kaya dengan ilmu Ali dan Rasulullah, sedang wisatawan miskin darinya. Maka berlaku juga hukum “yang kaya tidak butuh pada yang miskin”. Yang kaya hanya harus memperhatikan kaum miskin hanya karena ia butuh pada kecintaan Allah, Rasul dan para imam-Nya yang mengajarkan konsep kemanusian. Para pemandu menunjukkan dimana pintu Ali kepada orang lain hanya karena itu tanggungjawabnya dihadapan Allah SWT, Rasul, Ali dan kemanusian. Pemandu ke pintu kota ilmu hanya bekerja untuk Rasulullah dan imam Ali bin Abi Thalib. Dia hanya mengharap bayaran dan perhatian dari Allah dan kedua manusia suci ini. Ia menjamu, mengantar, bersikap ramah, murah senyum, terkadang harus sabar dengan kemanjaan para tamu Rasulullah Saww dan Ali, serta menunjukkan kepada mereka di mana pintu kota ilmu berada hanya karena perintah Rasulullah dan Ali sebagai majikannya.


Oleh sebab itu, kita harus menghargai para pemandu kita menuju gerbang kota ilmu, bukan karena ia mengharapkan penghargaan dari kita, melainkan karena ia adalah pekerja Rasulullah dan Ali. Sungguh celaka, bila kita menyakiti seorang pemandu yang benar-benar dengan kepenuhan dan ketulusan ikhlasnya memandu kita ke gerbang kota ilmu, dan yang benar-benar telah diikhlaskan oleh Rasulullah dan Ali sebagai bagian dari pekerjaannya.


Menyakitinya berarti menyakiti yang telah memperkerjakannya. Bila kita menyakiti seorang pemandu, seketika kita harus sadar bahwa jangan-jangan dia adalah pemandu yang telah dipekerjakan dan diterima jerih payahnya oleh Rasulullah dan Ali. Apalagi, bila banyak indikator-indikator yang menunjukan bahwa dia adalah pemandu setia Rasulullah dan Ali. Kita harus membela pemandu tersebut, bila bersikap benar, dari semua orang yang memusuhi dan menyakitinya, bukan malah menyudutkannya. kalaupun ia salah, apalagi tidak sengaja melakukan kesalahan, kita semestinya memberlakukannya dengan kasar. Kita bisa berbicara dengan lemah lembut, tanpa harus melukai hatinya.


Kita harus yakin bahwa pemandu Ali akan selalu terbuka dan berlapang dada atas segala masukan-masukan apapun sejauh itu rasional dan disampaikan dengan penuh keikhlasan. Kita harus selalu insyaf bahwa ia, bagaimana pun juga, termasuk orang-orang yang sedang mengajar kecintaan dari Allah, Rasul dan Ali. Kita mesti malu pada diri kita sendiri bahwa kesalahan kita bisa jadi lebih banyak dan lebih patut dipersalahkan dibanding kesalahannya.


Semoga Allah mempertemukan kita dengan para pemandu yang ikhlas, dan menjauhkan kita dari sikap yang menyakitinya. Berikanlah kesabaran kepadanya sehingga kami tidak kehilangannya karena kehilangannya merupakan bencana bagi kami. Dan masukkanlah kami ke dalam pintu di mana Ali dengan penuh senyum dan perhatian keluar membawa ilmu Rasulullah untuk menyelamatkan kita dari kebodohan dan kesesatan. Amieen.

Catatat Kaki


1. Muhammad Husain Thaba’thaba’i, Tafsir al-Mizan 1/99-107.

2. Sayyid Muhsin Al-Kharrazi, Bidayah Al-Maa’rif hal. 153-189.

3. Tim Markaz Risalah, Al-Amru Baena Amrain hal. 96.






Fathimah sa Menurut Al-Quran

Sayyidah_Fathimah_as_Menurut_Al-Quran 
Kendati membahas topik Ahlul bait a.s. – termasuk Sayyidah Fathimah s.a.- merupakan hal yang sangat baik dan terpuji, akan tetapi perlu diakui, manusia tidak akan mampu membahasnya secara utuh dan sempurna; mengingat sesuatu yang terbatas tak akan mampu membatasi sosok yang tak terbatas.  
Beliau adalah salah satu kalimat Allah dan kesempurnan-Nya yang tak berakhir; kesempurnaan yang menurut ungkapan Allah, tuhan Yang maha segala-galanya, beliau adalah Kautsar (kebaikan yang melimpah).
Oleh karenanya, betapapun sifat dan atribut yang disandangkan kepada beliau, analisa dan kajian apapun yang dikemukakan, akan terasa kurang dan kurang. Abu Abdillah a.s.,  setelah menafsirkan  Al-Qadar dengan beliau, mengatakan:” Barangsiapa  yang mengenal Fathimah sebenar-benarnya maka dia telah mendapatkan lailatul Qadar.” Lebih lanjut beliau bersabda:” Karena (pada dasarnya) Fathimah dinamakan demikian karena makhluk tak mampu mengenal siapa sebenarnya beliau.” (Bihar, jilid 43, halaman 65). Begitulah gambaran kemustahilan seseorang untuk mengenal sosok suci Fathimah.
Hanya saja, kemustahilan ini tidak seharusnya membuat seseorang berhenti untuk berusaha mengenal sosok teladan ini, karena sebagaimana hakikat dan waktu lailatul Qadar tidak diketahuinamun manusia dianjurkan untuk berusaha, menghidupkan dan mengisi malam-malam yang dapat dimungkinkan sebagai malam penuh berkah tersebut dengan doa dan ibadah, maka dalam rangka mengenal sayyidah Fathimah juga demikian. Manusia hendaknya tidak berptutus asa mencari jalan dan sarana guna mengenal sosok wanita penghulu dunia akhirat ini.
Tanpa diragukan lagi, sarana terbaik untuk memahami hakikat putri Rasul ini adalah menyimak ungkapan al-Quran dan selanjutnya sabda-sabda sang ayah dan Ahlul baitnya yang sama-sama bersumber dari wahyu.
Dengan memperhatikan al-Quran akan tampak jelas bahwa sayyidah Fathimah s.a. memiliki posisi yang terhormat, di mana bukti kongkretnya terdapat banyak ayat yang turun berkaitan dengan beliau dan keluarganya.
Berikut ini beberapa keutamaan Fathimah menurut penuturan al-Quran dan hadis. Kami hanya membawakan listnya saja dan insya Allah pada kesempatan mendatang satu persatu item tersebut akan kami bahas:

Fathimah s.a., Kautsar Rasulullah Saw

Kautsar memiliki arti yang luas, yaitu kebaikan yang melimpah. Dan kebaikan ini memiliki mishdaq (personifikasi) yang begitu banyak. Akan tetapi mayoritas mufasir baik Syi’ah maupun Ahli sunah mengakui bahwa mishdaq paling sempurna dari kautsar ini adalah sayyidah Fathimah s.a.  Wujud suci Fathimah s.a. merupakan berkah yang tiada bandingannya bagi sang ayah. Mengapa tidak dari beliaulau muncul para sosok penerus pemegang panji Islam yang senantiasa menjaga agama suci ini dari penyimpangan.

Dalam sebuah riwayat yang menjelaskan turunnya surah ini disebutkan:” Kaum musyrikin selalu mengolok-olok nabi dengan ungkapan yang sangat menyakitkan hati, bahwa beliau seorang yang tidak memiliki keturunan. Untuk menepis celotehan-celotehan ini, Allah berfirman dalam al-Quran:

 انا اعطیناک الکوثر

Nama  Fathimah s.a.

Bukan itu saja, malah nama beliau juga memiliki berkah yang begitu besar. Dalam berbagai hadis yang menyebutkan sebab penamaan beliau dengan Fathimah disebutkan bahwa penamaan ini karena para pengikut dan pecintanya terhindar dari api neraka. 
Keluarga Fathimah s.a.

Tiada satupun keluarga yang dijamin dari kesalahan dan dosa selain keluarga beliau,  Allah Swt berfirman:

إِنَّما يُريدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطَهِّرَكُمْ تَطْهيراً

” Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya.” (Al-Ahzab: 33).

Putra-putra Fathimah

Putra-putra Fathimah adalah sosok-sosok maksum yang berkat titah Allah Swt mereka mengemban tugas untuk memberikan hidayat kepada umat manusia.

وَ جَعَلْنا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنا لَمَّا صَبَرُوا


Dan Kami jadikan dari mereka, para pemimpin yang memberi petunjuk atas perintah Kami, setelah mereka bersabar…(As-Sajdah: 24 dan Al-Anbiya’, ayat 73)
Fathimah Di  Akhirat

Mayoritas Ahli tafsir sepakat bahwa ayat-ayat awal surah Ad-Dahr turun berkaitan dengan beliau dan keluarga. Di mana karena sedekah penuh ikhlas yang mereka lakukan; memberi makan si miskin, anak yatim dan seorang tawanan dengan santapan buka puasa yang mereka perlukan sendiri. Mereka dijanjikan  15 pahala di sana. Ketenangan, taman-taman surgawi, buah-buahan, dayang-dayang dan imbalan yang lain.

Kecintaan Terhadap Fathimah, Upah Risalah Nabi

Tanpa diragukan lagi, sayyidah Fathimah merupakan salah satu Qurba, (kerabat dekat) di mana Allah dalam surah Syura ayat 23, berfirman:” katakanlah (wahai rasul) aku tidak meminta upah dari kalian kecuali kecintaan terhadap Qurba.

Ibnu Hajar, salah seorang ulama Ahli sunah menuturkan sebuah riwayat dalam kitabnya Syawaiqul muhriqah,pasal pertama, bab 11, yang berbunyi:”Saat ayat di atas turun, Rasulullah ditanya: wahai rasul siapakah familimu yang wajib dicintai itu? Beliau bersabda:Ali, Fathimah, dan kedua putranya.” http://www.qurandanhadits.com/fathimah-sa-menurut-al-quran/





Menjadi Manusia Seutuhnya

PIC-534-1356814634 
Manusia adalah sebuah ruh yang dikurung dalam sebuah kurungan yaitu ‘tubuh’ dan ‘dunia’. Dalam sebuah hadis dikatakan,

إنّ الله لا ينظر إلى أجسامكم ولا إلى صوركم ولكنّ ينظر إلى قلوبكم
“Sesungguhnya Allah Swt tidak melihat pada bentuk kalian, dan tidak pula pada wajah kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian”
Yang dimaksud hati yang akan dilihat Allah dari diri kita dalam hadis ini, adalah kondisi atau kualitas jiwa kita. Dalam hadis yang lain dikatakan juga,



إذا أراد الله بعبد خيرا جعل له واعظا من نفسه يأمره وينهاه
“Jika Allah menginginkan pada seorang hamba suatu kebaikan, Allah akan menjadikan dirinya sebagai penasihat bagi jiwanya untuk memerintahnya dan melarangnya.”

Ini karena, orang yang tidak dapat menasehati dirinya, nasihat apapun tidak akan bermanfaat lagi baginya. Maka dari itulah jiwa yang dapat menasihati dirinya menjadi kebaikan yang luar biasa yang diberikan oleh Tuhan kepada seorang hamba. Dan satu jiwa yang dapat membebaskan dirinya dari kurungannya, akan mampu untuk membebaskan jiwa-jiwa yang lain. Akan tetapi, satu-satunya orang yang dapat mempersiapkan diri kita untuk masa depan adalah diri kita sendiri. Dan semua itu dimulai dari sebuah pilihan, untuk menjadi budak dari kurungan kita, atau ,menjadi tuan atas diri kita sendiri.
Untuk apakah kita diciptakan? Dalam sebuah ayat, Allah mengatakan,

إنّ أكرمكم عند الله أتقاكم

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.”

Allah mengatakan dalam Al-Quran bahwa ketika manusia mengalami kesusahan, apabila ia bertakwa, maka Allah akan menyeleseikan masalahnya. Ini karena tidak ada di-Mata Tuhan selain ketakwaan. Maka, usaha dari hamba-Nya yang diterima adalah yang mengandung takwa, kesabaran yang diterima adalah kesabaran yang mengandung ketakwaan. Memang, bagi sebagian orang, kebahagiaan itu berarti harus sukses dalam perekonomian, juga, keluarga dan rumah tangganya harus selalu akur, berpendidikan dan berkedudukan tinggi. Memang secara lahiriah, kehidupan seperti itu tampak sangat ideal dan pasti diidam-idamkan. Namun apakah orang-orang seperti itu yang pasti akan dicintai oleh Tuhan? Apakah kehidupan yang seperti itu yang diminta dan diinginkan oleh Tuhan dari kita?

Kebahagiaan bagi orang beriman adalah dapat dicintai dan mencintai Tuhannya, walaupun mungkin ia sedang dalam kondisi ekonomi yang sulit, atau pendidikan duniawinya pas-pasan dan serba terbatas, dan lain sebagainya. Karena, pendidikan duniawi yang tinggi, sukses dan sejahtera dalam perekomian, dan tujuan-tujuan duniawi lainnya, bisa jadi kita bukan diciptakan untuk semua itu. Ibarat sebuah mobil apabila selalu kita gunakan untuk mundur, walaupun memang ia bisa melakukan itu, namun ia bisa menjadi rusak. Karena, ia bukan diciptakan untuk mundur. Seperti itulah juga kita. Kita diciptakan untuk menjadi orang-orang yang bertakwa. Jika kita memaksakan diri untuk melawan arus penciptaan kita ini, maka, sebagaimana kita merasa berat ketika menaiki tangga karena melawan gravitasi, kita juga akan merasa hidup ini berat tanpa ketakwaan kepada Allah.

Selain itu, bahanya jiwa manusia adalah, selalu mengalami pertumbuhan, namun kita tidak dapat melihat perubahannya. Dan kita bisa melihat wujud asli jiwa kita itu ketika sudah meninggal. Tapi setelah meninggal, dan jika ternyata hasilnya tidak memuaskan, bahkan tidak seperti yang kita inginkan, maka kita sudah tidak bisa lagi kembali ke alam dunia lagi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa intensitas diri atau jiwa kita mau tidak mau akan terus bertambah seiring berjalannya usia kita. Namun tak banyak dari kita yang juga dapat mengetahui apakah pertumbuhan tersebut ke arah baik, atau sebaliknya. Sebagaimana yang dianalogikan oleh Ayatullah Mishbah Yazdi, bahwa kereta akan terus berjalan maju, tidak pernah mundur. Akan tetapi orang-orang di dalamnya ada yang berjalan ke depan atau pun ke belakang. Dan mereka semua tetap akan sama-sama sampai di stasiun. Namun, ketika sampai, ada yang menempati gerbong depan, dan ada pula yang berada di gerbong belakang. Bagitu juga dengan kehidupan kita. Kita semua pun akan sama-sama sampai pada Tuhan. Akan tetapi, apabila kita sampai pada Tuhan dalam keadaan yang baik, maka Tuhan akan menyambut kita. Dan apabila kita  sampai dengan keadaan yang buruk (naudzubillahi min dzalik) Tuhan akan berkata:

قال اخسئوا فيها ولا تكلمون
“Allah berfirman: ‘tinggallah dengan hina di dalamnya (neraka jahannam) dan janganlah kamu berbicara dengan-Ku lagi.”

Manusia adalah sebaik-baiknya makhluk dan yang diberi potensi paling luar biasa dari makhluk-makhluk lainnya. Bahkan kita memiliki potensi yang sama dengan potensi yang dimiliki oleh manusia teragung, Nabi besar kita, Muhammad saw. Jangan sampai kita menyia-nyiakan potensi tersebut terlalu banyak. Ibarat kita diberi uang satu milyar sebulan, dan kita hanya menggunakan darinya seribu rupiah dalam sebulan. Ini sangat ironis.
Dalam kitabnya, Allah menyebutkan bahwa diri-Nya adalah harta karun yang tersembunyi dan menciptakan hamba-hambaNya supaya mengenaliNya. Jelas bahwa orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui tidaklah sama. Sebagaimana manager marketing gajinya tidak sama dengan agen pemasaran, padahal intinya mereka sama-sama berusaha menjual  barang yang sama.
Sekarang dari manakah kita akan mengenali Tuhan kita? Allah telah mengatakan dalam firman-Nya yang agung,

ذلك الكتاب لا ريب فيه هدًى للمتقين

Satu kebenaran yang pasti, akan melahirkan banyak kebenaran-kebenaran pasti yang lainnya. Seperti kepastian bahwa sebuah sekolah akan diliburkan, maka akan lahir kepastian-kepastian lain. Seperti, murid-murid tidak datang kesekolah untuk belajar. Guru-guru tidak datang untuk mengajar. Dan sebagainya. Di dalam Al-Quran, kita mendapati 6000 lebih kalimat-kalimat yang sudah pasti benar. Maka berapa banyak kebenaran-kebenaran lainnya yang bisa kita dapatkan darinya? Itu berarti, Al-Quran adalah fasilitas luar biasa yang diberikan Tuhan kita supaya kita dapat mengenali-Nya.

Kemudian, yang perlu kita persiapkan sekarang adalah alat-alat untuk mempelajari Al-Quran, yang salah satunya adalah bahasa Al-Quran yang menggunakan bahasa arab. Dan pastinya, ini bukanlah kebetulan kenapa Allah menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran.
Surat At Thaha ayat 113

وكذالك انزلنه قرآنا عربيّا وصرّفنا فيه من الوعيد لعلّهم يتّقون او يُحدث لهم ذكرا

“Dan demikianlah Kami Menurunkan Al-Quran dalam bahasa Arab, dan kami telah Menerangkan dengan berulang kali di dalamnya sebagian dari ancaman, agar mereka bertakwa atau agar Al-Quran itu menimbulkan pengajaran bagi mereka.”

Istilah Al-Quran ‘arabiyyan, meskipun berarti ‘dalam bahasa arab’ namun disini ia merupakan petunjuk kepada kefasihan dan retorika Al-Quran dan juga kejelasan konsep-konsepnya. Bukti bagi arti ini adalah bahwa, sebagaimana dikatakan oleh beberapa orang ahli bahasa dunia, bahasa Arab mengandung kata-kata yang paling ekspresif dan kesusastraannya merupakan kesusastraan yang terkuat.
Surat Yusuf ayat 2:

انّا انزلنه قرانًا عربيًا لعلّكم تعقلون

“Sesungguhnya Kami Menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”

Tak peduli dalam bahasa apapun Al-Quran diwahyukan, bangsa lain akan harus mengenalnya. Akan tetapi diwahyukannya Al-Quran dalam bahasa Arab memiliki beberapa keuntungan, diantaranya adalah sebagai berikut:

·      Bahasa Arab memiliki kemampuan besar untuk membentuk kata-kata dan memiliki aturan tata bahasa yang demikian pasti, yang tidak bisa ditemukan dengan mudah dalam bahasa lain yang manapun.
·      Menurut beberapa riwayat, bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan di surga.
·    Daerah dimana Al-Quran diwahyukan adalah daerah yang penduduknya menggunakan bahasa Arab dan tampaknya adalah mustahil bagi kitab suci ini untuk diwahyukan dalam bahasa lain.
Bagaimanapun, tujuan Al-Quran bukanlah untuk sekedar dibaca, disenandungkan, ditelusuri ataupun dibaca demi mendapatkan berkah. Tujuan utamanya adalah untuk dipahami dengan pemahaman yang kompherensif dan menjangkau maknanya yang dalam, serta mendorong manusia agar mempraktekkan apa yang dibacanya.

Petunjuk yang terdapat dalam sepuluh surat, terhadap fakta bahwa Al-Quran telah diwahyukan dalam bahasa Arab, adalah jawaban terhadap tuduhan bahwa Nabi suci saw telah mempelajarinya dari seorang yang bukan berbangsa Arab dan bahwa isinya adalah cara berpikir yang didatangkan dari luar dan bukan wahyu yang berasal dari Allah.

Sementara itu, semua muslim harus berusaha belajar bahasa Arab sebagai bahasa kedua, sebab ia merupakan bahasa wahyu Ilahi dan kunci bagi pemahaman Al-Quran suci dan ilmu-ilmu keislaman.

Surat Ar-Ra’d ayat 37:


وكذلك انزلنه حكما عربيا و لئن تبعت  اهوآءهم بعد ما جاءك من العلم مالك من الله من وّليّ وّ لا واق
“Dan demikianlah, Kami telah Menurunkan Al-Quran itu sebagai peraturan yang benar dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap siksa Allah.”

Dalam kitab tafsir Majma’ al Bayân disebutkan bahwa alasan mengapa ia diturunkan dalam bahasa Arab adalah karena pengembannya seorang nabi berbangsa Arab. Dengan perkataan lain, penerapan kata ‘arabiyyan’ dalam ayat ini merupakan rujukan pada kenyataan bahwa bahasa yang dipakai Rasulullah saw adalah bahasa Arab, dan karena alasan ini maka cara perlakuan Allah adalah bahwa setiap Nabi harus menyampaikan kitabNya dalam bahasa kaumnya sendiri. Allah menyatakan dalam surah Ibrahim ayat ke 4: “Kami tidak mengirimkan seorang nabi pun kecuali orang-orang yang berkomunikasi dalam bahasa kaumnya sendiri.”
Surat An-Nahl ayat 103:
و لقد نعلم انّهم يقولون انّما يعلّمه بشر لسان الذي يلحدون اليه اعجمي وهذا لسان عربي مبين
“Dan sesungguhya Kami Mengetahui bahwa mereka berkata, ‘Sesungguhnya Al-Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).’ Padahal bahasa yang mereka tuduhkan bahwa Muhammad belajar kepadanya adalah bahasa ‘ajam, sedangkan Al-Quran adalah menggunakan bahasa Arab yang terang.”

Tampaknya ada seorang asing, bukan orang Arab, yang tinggal di Mekkah pada masa Nabi, dan orang-orang kafir menuduh Nabi saw menerima pengajaran Al-Quran darinya yang kemudian menisbatkan pengajaran tersebut kepada Allah. Padahal kita dapat mempertanyakan, bagaimana mungkin dua orang yang tidak memahami bahasa masing-masing, terlibat dalam proses belajar mengajar? Dan, bagaimana mungkin itu dibenarkan bila waktu itu, tak seorang pun yang mengatakan bahwa orang asing tersebut adalah guru Nabi? Juga, bagaimana bisa kata-kata yang diwahyukan selama 23 tahun dalam berbagai situasi dan kondisi, tidak saling bertentangan satu sama lain? Mengapa orang yang dikatakan sebagai guru itu tidak mengklaim dirinya sendiri sebagai nabi? Bagaimana mungkin itu terjadi, sementara tak seorang pun yang mampu menjawab tantangan Al-Quran yang mengatakan bahwa jika ada seorang saja yang mampu membuat satu surah saja yang sebanding dengan surah Al-Quran, maka Al-Quran akan menarik klaim kebenaran yang dikemukakannya? Bagaimana mungkin pula itu terjadi, sementara kata-kata yang diucapkan selama ‘zaman jahiliyah’ itu mengandung bagian-bagian yang belum dapat dipahami dan rahasia-rahasia yang dikandungnya belum terungkap oleh para ilmuwan bahkan di masa sekarang ini? Dan bagaimana mungkin pula sebuah kitab, yang satu surahnya saja belum mampu disusun oleh orang-orang Arab kafir tersebut, dimunculkan dan diajarkan oleh seorang non-Arab?
Bagaimana pun, ayat mulia di atas secara tak langsung dan dengan cara yang benar, merujuk pada dalih-dalih yang mendasari tuduhan-tuduhan yang dilontarkan lawan-lawan nabi Islam saw, yang mengatakan bahwa mereka mengklaim seorang laki-laki telah mengajarkan ayat-ayat Al-Quran kepadanya. Al-Quran suci menepis semua tuduhan tak berdasar ini dan menyatakan dengan tegas bahwa Allah mengetahui bahwa mereka mengklaim seorang laki-laki telah mengajarkan ayat-ayat al Quran kepadanya. Al-Quran suci menepis semua tuduhan tak berdasar ini dan menyatakan dengan tegas bahwa mereka mengabaikan kenyataan bahwa bahasa yang digunakan orang yang mereka tuduh sebagai pengasal Al-Quran itu bukanlah bahasa Arab; sementara Al-Quran diwahyukan dalam bahasa Arab yang jelas dan fasih.
Dari ayat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa mukjizat yang diunjukkan Al-Quran tidaklah terbatas pada isinya semata. Kata-kata yang digunakan Al-Quran juga mencapai derajat mukjizat, sementara daya tarik, kemanisan, dan keserasian khusus sapat ditemukan dalam kata-kata dan struktur kalimatnya yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia.
Selain sebagai bahasa Al-Quran, bahasa Arab juga menjadi bahasa banyak dari kitab-kitab agama yang akan sangat terbatas untuk dipelajari apabila kita tidak bisa berbahasa Arab. Juga, bahasa Arab adalah bahasa yang menjadi persyaratan wajib bagi para marja fikih. Karena tanpa pemahaman bahasa Arab yang luas, dan benar, mereka tak akan bisa menyimpulkan sebuah hukum dari sumber-sumber hukum yang berbahasa Arab dengan tepat. Keistimewaan bahasa Arab yang lainya, yaitu ia adalah bahasa dari semua amalan ibadah fikih kita. Adapula beberapa amalan yang tidak sah apabila tidak berbahasa Arab. Seperti shalat, akad nikah, dan masih banyak lagi.
Adapun belajar ilmu dunia, apabila kemudian kita dapat memanfaatkannya di jalan Tuhan, itu hanya akan menjadi amal sholeh kita saja. Adapun ilmunya, tidak akan berlaku atau kita pakai lagi di akhirat. Betapa anehnya apabila kita tahu bahwa hidup kita akan kekal di akhirat tapi hanya menyiapkan bekal yang hanya berlaku di dunia.
Juga akan berbeda perlakuannya apabila misalnya kita memberikan sebuah piala emas kepada seorang anak kecil, dengan apabila kita memberikanya kepada orang yang sudah dewasa. Anak kecil mungkin akan memperlakukan piala emas tersebut dengan biasa-biasa saja. Bahkan mungkin ia akan melempar-lemparkannya, mengisinya dengan pasir, dan sebagainya. Namun apabila orang dewasa yang menerimanya, mungkin bahkan ia tak akan membiarkan sembarang orang untuk menyentuh piala tersebut.
Dan sekarang, kita telah mengetahui sebagian dari betapa besarnya kebutuhan kita akan bahasa Arab. Jangan sampai kita menyia-nyiakan Al-Quran kita seperti anak kecil dalam percontohan tadi.

Mungkin memang sudah banyak dari kita yang bisa berbahasa Arab, selain itu juga bisa memahami Al-Quran, dan merasakan benih-benih ketakwaan. Namun kita tidak boleh berhenti sampa disitu saja, dan merasa sudah menunaikan tugas kita dalam hal ini. Karena, sebagaimana seseorang yang mempunyai sebuah mobil maka ia akan membutuhkan bengkel untuk perawatannya, begitu juga orang yang semakin kaya dan mempunyai seratus mobil, ia justru akan semakin membutuhkan bengkel. Sebanyak apapun yang kita miliki, kita tetaplah fakir. Sebab, selamanya kita akan menjadi yang membutuhkan Tuhan. Dan Tuhan selamanya akan menjadi Yang kita butuhkan.

Seorang ulama besar, Sayyid Baqir as Shadr yang telah mempelajari filsafat, bahkan sampai pada tingkat ‘irfan. Pada sebuah kesempatan, ia  menyampaikan bahwa ia dengan segala apa yang telah dipelajarinya, sempat merasa pengetahuan-pengetahuannya telah membuatnya cukup untuk menjadi orang yang layak diperhitungkan pemikiran-pemikirannya. Namun, ketika ia telah merasa di penghujung umur, dan kemudian menggunakan saat-saat terakhirnya untuk mempelajari Al-Quran, ia masih merasa menyesal atas usianya, dan menganggap dirinya telah menyia-nyiakan umurnya karena tak ia pergunakan secara maksimal dalam mempelajari Al-Quran. Lalu bagaimanakah dengan kita?






Tafsir Surah Al-Insyirah ( فاذا فرغت فانصب )

فاذا فرغت فانصب

“Maka jika kamu telah selesai (menyampaikan agama Allah) angkatlah (pemimpin umat setelahmu).


tafsir-surah-al-insyirah 

Demikian firman Allah SWT dalam surah Al-Insyirah. Surah Alam Nasrah termasuk surah yang diperselisihkan statusnya, apakah makkiyah atau madaniyah. Akan tetapi konteks pembicaraan yang termuat di dalamnya, menguatkan pendapat bahwa ia Madaniyah (turun setelah hijrah).

Di Dalam surah ini, kita melihat adanya penekanan-penekanan khusus pada nikmat-nikmat dan anugrah Allah yang dikhususkan kepada Nabi Saw. Allah membuka surat ini dengan firman-Nya

ألم نشرح لك صدرك

“Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu”

Ar-Ragib Al-Isfahani berkata, “Asal arti kata syarh adalah membeber daging, dan kata syarhu shadr artinya dibeber dan dilapangkannya dada dengan cahaya ilahi, ketentraman dari Allah dan ruh dari-Nya”.

Arti dilapangkannya dada Nabi Saw. ialah dibeberkannya sehingga mampu mengemban wahyu yang diturunkan kepadanya dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada umat serta menanggung gangguan dan kesulitan yang akan menimpanya di jalan da’wah. Dengan kata lain, menjadikan jiwa Nabi Saw. dalam kesiapan yang sempurna untuk menerima anugrah agung yang akan dicurahkan kepadanya dari sisi Allah SWT.


Kemudian Allah SWT melanjutkan dengan menyebut anugrah lain;


ووضعنا عنك وزرك * الذي أنقض ظهرك

“Dan kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu”


Kata وزر (wizrun) berarti beban dan kata kerja أنقض berasal dari kata kerja dengan tiga huruf نقض yang artinya mematahkan. Allah SWT telah meletakkan (menghilangkan) beban berat yang hampir-hampir mematahkan punggung Nabi Saw. Beban berat yang dimaksud ialah beban ilahi dan kesungguh-sungguhan dalam berdak’wah menyampaikan risalah, dan berbagai resiko serta rintangan yang beliau hadapi. Allah menghilangkannya dan memberikan kelapangan dada dan taufiq (kemudahan) sehingga semua itu menjadi terasa ringan untuk beliau pikul.
Karena risalah Allah itu berat, maka tidak mungkin mampu dipikul oleh seorang hamba tanpa pertolongan dan taufiq dari Allah.

انا سنلقي عليك قولا ثقيلا

“Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”.

ورفعنا لك ذكرك
“Dan kami tinggikan bagimu sebutan (namamu)”


Allah SWT mengangkat sebutan Nabi di atas sebutan manusia lain. Diantaranya dengan menggandengkan nama beliau dengan nama Allah SWT dalam syahadatain yang merupakan asas agama Allah. Setiap orang muslim akan selalu menyebut nama beliau bersama nama Tuhannya pada setiap sholat yang ia tegakkan setiap hari lima kali. Di samping itu nama beliau akan selalu disebut-sebut bersama nama Allah dalam azan, iqamat dan khutbah-khutbah di atas mimbar.

Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda;

قال لي جبرائيل : قال الله عز و جل اذا ذكرتُ ذكرتَ معي

“Jibril berkata, bahwa Allah berfirman; ‘jika Aku disebut maka kamu juga disebut bersama-ku”.


Disamping pengangkatan sebutan Nabi Saw. Di dunia ini, Allah juga mengangkat dan meninggikan sebutan beliau di langit pada alam non materi, sehingga para malaikat di sana sangat merindukan untuk berjumpa dan berkhidmat untuk Nabi Saw. Kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa disamping kesusahan pasti ada kemudahan. Allah SWT berfirman;

فان مع العسر يسرا * ان مع العسر يسرا

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”.


Ayat ini menyebutkan alasan bagi diletakkannya beban berat dan mengangkat sebutan Nabi. Dalam ayat ini, Allah menjelaskan alasan dihilangkannya beban berat dari Nabi Saw. bahwa hal itu merupakan sunnah ilahiyah, tidak ada keadaan yang akan langgeng dan abadi, semuanya akan mengalami perubahan.

Tugas dakwa yang beliau pikul adalah hal yang berat. Berpalingnya umat manusia dari kebenaran da’wa beliau dan pengingkaran akan kerasulan beliau serta usaha gigih mereka untuk memadamkan sebutan beliau selaku Rasul Allah juga hal yang sangat berat bagi beliau. Dan kesemuannya telah dihilangkan dengan banyaknya orang yang mulai sadar dan menerima kebenaran.

Dan dengan ditinggikannya sebutan beliau membenamkan ambisi mereka. Ini semua sesuai dengan sunnah Allah, yaitu Dia akan mendatangkan kemudahan setelah adanya kesulitan. Lalu kenyataannya di atas dikuatkan dengan menyebut ان مع العسر يسرا, karena fungsi pengulangan ini adalah untuk taukid.

فاذا فرغت فانصب * و الى ربك فارغب
“Maka jika kamu telah selesai (dari sebuah urusan), kerjakan dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmu-lah hendaknya kamu berharap”.


kata فانصب (huruf shadnya dapat dibaca fatha atau kasrah) pada ayat ini berasal dari kata نصب (dengan dibaca fathah hurus shodnya) yang berartikan capek. Di dalam ayat tersebut tidak disebutkan kaitan dua kata kerja فارغب-فانصب selesai dan bersungguh-sungguh. Dan tidak disebutkan kaitan, muta’allaq kata kerja itu dapat berfungsi memberi makna keumuman.

Jadi tidak ada pembatasan makna jika kamu teleh selesai dari melakukan pekerjaan tertentu itu saja, maka bersungguh-sungguhlah dalam melakukan pekerjaan lain. maka atas dasar ini, apa yang disebutkan para mufasir tentang kaitan dua kata kerja itu sebenarnya harus kita fahami sebagai sekedar menyebut salah satu 

atau sebagian kaitan. Ia tidak sedang membatasi kaitan kata kerja itu.quran-dan-hadits-1


Sebagian ulama mufassir menafsirkan ayat ini sebagai berikut; “Jika kamu (Muhammad) selesai menyampaikan risalah Allah, maka bersungguh-sungguhlah (capekkanlah dirimu) dengan beribadah kepada Allah, berdo’a dan memohon syafaat.


Dan ada pula yang menafsirkan, “Apabila kamu selesai menunaikan sholat wajib, capekkanlah dirimu dengan mengerjakan sholat sunnah”. Dan ada penafsiran ketiga, Apabila kamu telah selesai dari urusan duniamu, kerjakan ibadah dengan sungguh-sungguh”.


Sementara itu, ada pula yang menyebut bahwa kaitan dua kata kerja pada ayat di atas ialah, “Jika telah menyelesaikan tugas berat dalam menyampaikan ajaran agama Allah dan membimbing umat islam, maka tunjuklah seorang pemimpin yang akan melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan. Jangan biarkan umat tanpa pemimpin yang akan menunjuki mereka jalan kebenaran dan kebahagiaan.


Penafsiran seperti itu pernah disampaikan oleh syahid Muthahari dan ulama lain berdasarkan riwayat-riwayat yang ada, beliau berkata; “Jika kamu selesai menyampaikan risalah dan agama Allah angkatlah Ali as. sebagai khalifah yang memikul tugasmu selaku Imamul Ummah (pemimpin umat tertinggi).


Lebih lanjut Muthahri mengatakan, “Kaum syiah menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, bahwa kemudahan yang di dapat oleh Nabi Saw itu, beliau perolehnya dari jalan Ali as. …Ali as adalah pembela dan pembantu Nabi Saw. Dan mereka benar dalam penafsiran ini sebab logika dan fakta mendukung kebenarannya. Beliau juga mengatakan bahwa penafsiran itu sangat sesuai dengan ayat surah Thaha yang menyebutkan beberapa permohonan Nabi Musa as.

Apa yang disebutkan Muthahari didukung oleh beberapa riwayat yang disabdakan para imam suci Ahlulbayt as. dari jalur syiah, dan juga oleh riwayat-riwayat dari jalur Ahlisunnah.


1. Al-Qummi meriwayatkan dari imam Ja’far as, beliau menjelaskan, “Jika kamu selesai dari (menjelaskan perkara kenabian) maka angkatlah Ali as. (sebagai khalifahmu), dan hanya kepada Tuhanmu-lah kamu berharap dalam masalah ini.

2. Dalam kitab Ta’wilul Ayat disebutkan sebuah riwayat dari imam Ja’far Shodiq as tentang ayat ini, “Ketika Rasulullah Saw sedang menunaikan haji, maka turunlah ayat tersebut; jika kamu selesai melaksanakan ibadah haji, maka angkatlah Ali as sebagai imam bagi umat manusia.

Pendapat Penulis Allah SWT memerintah Nabi-Nya untuk menjelaskan masalah shalat, zakat, puasa dan haji kemudia setelah selesai semua beliau diperintahkan agar mengangkat Ali sebagai washinya.


Mulla Al-Faidh al-Qasyani berkata, “yang dapat disimpulkan dari riwayat-riwayat itu bahwa kata فانصب berasal dari kata نصب (dengan dibaca kasrah huruf shadnya) yang berarti mengangkat, maka arti ayat tersebut sebagai berikut, “Jika kamu selesai menyampaikan risalah dan hukum Allah, maka angkatlah seorang sebagai mercusuar hidayahmu bagi manusia, dan duduklah ia sebagai khalifah mu, agar ia menduduki kedudukanmu sepeninggalmu, agar petunjuk dan risalah (yang menyambungkan) antara Allah dan hamba-hamba-Nya tidak terputus. Bahkan terus berlanjut dan tegak dengan tegaknya seorang imam sampai haru kiamat.


Dalam Nahjul Balagah imam Ali as juga menegaskan bahwa Rasulullah Saw telah meninggalkan bagi umatnya apa yang pernah ditinggalkan para nabi sebelumnya, yaitu syariat yang terang dan pemandu umat yang akan memberikan hidayah kepada jalan kebenaran.


Imam Ali as bersabda, “Dan Nabi Saw telah meninggalkan pada kalian apa yang telah ditinggalkan para nabi pada umat mereka. Mereka (umat) tidak dibiarkan tanpa jalan yang jelas (syari’at) dan tanda yang tegak (para washi penerus mereka). 

Hadis Keutamaan Sayyidina Ali Bin Abi Thalib KW

Sayyidina Ali bin abi thalib merupakan sahabat, menantu, serta murid setia Rasulullah SAW yang mempunyai banyak keutamaan seperti disebutkan dalam beberapa hadis Nabi SAW yang terdapat dalam kitab-kitab hadis shahih.
Berikut ini beberapa hadis keutamaan Sayyidina Ali bin abi Thalib yang terucap dari yang Mulia Rasulullah SAW:

1). Sayyidina Ali adalah Pintu gerbang Ilmu Nabi SAW.

Hadis Pertama:
ثنا أبو الحسين محمد بن أحمد بن تميم القنطري ثنا الحسين بن فهم ثنا محمد بن يحيى بن الضريس ثنا محمد بن جعفر الفيدي ثنا أبو معاوية عن الأعمش عن مجاهد عن بن عباس رضى الله تعالى عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أنا مدينة العلم وعلي بابها فمن أراد المدينة فليأت الباب
Telah menceritakan kepada kami Abu Husain Muhammad bin Ahmad bin Tamim Al Qanthari yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Fahm yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Dharisy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far Al Faidiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah dari Al ‘Amasy dari Mujahid dari Ibnu Abbas RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya dan siapa yang hendak memasuki kota itu hendaklah melalui pintunya” [Mustadrak As Shahihain Al Hakim no 4638 dishahihkan oleh Al Hakim dan Ibnu Ma’in]
Hadis kedua:
حدثنا ابن عوف حدثنا محفوظ بن بحر الأنطاكي حدثنا موسى بن محمد الأنصاري الكوفي عن أبي معاوية عن الأعمش عن مجاهد عن ابن عباس رضي الله عنهما مرفوعا أنا مدينة الحكمة وعلي بابها
Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Auf yang berkata telah menceritakan kepada kami Mahfuzh bin Bahr Al Anthakiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Musa bin Muhammad Al Anshari Al Kufi dari Abi Muawiyah dari Al ‘Amasy dari Mujahid dari Ibnu Abbas RA secara marfu’[dari Rasulullah SAW] “Aku adalah kota hikmah dan Ali adalah pintunya”. [Min Hadits Khaitsamah bin Sulaiman 1/184 no 174].
Hadis ini shahih diriwayatkan oleh para perawi tsiqah. Khaitsamah bin Sulaiman adalah seorang Imam tsiqat Al Muhaddis dari Syam seperti yang dikatakan oleh Adz Dzahabi [As Siyar 15/412 no 230].

2). Sayyidina Ali adalah Pemimpin Bagi Setiap Mukmin Sepeninggal Nabi SAW.

Diriwayatkan dengan berbagai jalan yang shahih dan hasan bahwa Rasulullah SAW bersabda kalau Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Beliau SAW. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imran bin Hushain RA, Buraidah RA, Ibnu Abbas RA dan Wahab bin Hamzah RA. Rasulullah SAW bersabda:
إن عليا مني وأنا منه وهو ولي كل مؤمن بعدي
Ali dari Ku dan Aku darinya dan Ia adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggalKu.
Hadis di atas adalah lafaz riwayat Imran bin Hushain RA. Disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/111 no 829, Sunan Tirmidzi 5/296, Sunan An Nasa’i 5/132 no 8474, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 7/504, Musnad Abu Ya’la 1/293 no 355, Shahih Ibnu Hibban 15/373 no 6929, Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 18/128, dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1187.

3). Sayyidina Ali adalah Orang yang pertama Kali Masuk Islam.

Berikut ini adalah riwayat Shahih bahwa yang masuk islam pertama kali adalah Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad 4/368:
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع ثنا شعبة عن عمرو بن مرة عن أبي حمزة مولى الأنصار عن زيد بن أرقم قال أول من أسلم مع رسول الله صلى الله عليه و سلم علي رضي الله تعالى عنه
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Amru bin Murrah dari Abu Hamzah Mawla Al Anshari dari Zaid bin Arqam yang berkata “Orang yang pertama kali masuk Islam dengan Rasulullah SAW adalah Ali RA”.
Hadis riwayat Zaid bin Arqam ini disebutkan dalam Syarh Musnad Ahmad Tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain hadis no 19177 bahwa sanadnya shahih. Imam Ahmad juga menyebutkan hadis Zaid dalam Fadhail As Shahabah 2/637 no 1000 dimana pentahqiq kitab tersebut Syaikh Wasiullah bin Muhammad Abbas berkata “sanadnya shahih”. Diriwayatkan pula oleh Al Hakim dalam Mustadrak As Shahihain 3/136 no 4663 dan Beliau mengatakan bahwa sanadnya shahih. Adz Dzahabi juga menshahihkannya dalam Talkhis Al Mustadrak. An Nasa’i menyebutkan hadis Zaid dalam Al Khasa’is hal 26 hadis no 3 dan berkata Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini dalam Tahdzib Al Khasa’is no 3 bahwa sanadnya shahih. Imam Tirmidzi juga meriwayatkan hadis ini dalam Sunan Tirmidzi 5/642 no 3735 dan berkata Abu Isa At Tirmidzi “hadis hasan shahih”. Syaikh Al Albani juga menyatakan shahih hadis ini dalam Shahih Sunan Tirmidzi no 3735.

4). Sayyidina Ali adalah as-Shiddiq.


Sayyidina Ali pernah berkhutbah di hadapan orang-orang dan mengakui kalau dirinya adalah Ash Shiddiq disebabkan Beliau adalah orang yang pertama kali membenarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, masuk islam dan beribadah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Riwayat Mu’adzah Al Adawiyah:

حدثنا زياد بن يحيى أبو الخطاب قال حدثنا نوح بن قيس وحدثني أبو بكر مصعب بن عبد الله بن مصعب الواسطي قال حدثنا يزيد بن هارون قال أنبأ نوح بن قيس الحداني قال حدثنا سليمان بن عبد الله أبو فاطمة قال سمعت معاذة العدوية تقول سمعت علي بن أبي طالب رضي الله عنه يخطب على منبر البصرة وهو يقول أنا الصديق الأكبر آمنت قبل أن يؤمن أبو بكر وأسلمت قبل أن يسلم
Telah menceritakan kepada kami Ziyad bin Yahya Abul Khaththab yang berkata telah menceritakan kepada kami Nuh bin Qais. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Mush’ab bin ‘Abdullah bin Mush’ab Al Wasithi yang berkata telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun yang berkata telah memberitakan kepada kami Nuh bin Qais Al Hadaaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin ‘Abdullah Abu Fathimah yang berkata aku mendengar Mu’adzah Al ‘Adawiyah yang berkata aku mendengar Ali bin Abi Thalib radiallahu’anhu berkhutbah di atas mimbar Bashrah dan ia mengatakan “aku adalah Shiddiq Al Al Akbar aku beriman sebelum Abu Bakar beriman dan aku memeluk islam sebelum ia memeluk islam” [Al Kuna Ad Duulabiy 5/189 no 1168]
Hadis ini juga disebutkan Ibnu Abi Ashim dalam Al Ahad Wal Matsani 1/151 no 187, Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa 2/131 no 616, Ibnu Ady dalam Al Kamil 3/274 dan Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 4 no 1835 semuanya dengan jalan sanad dari Nuh bin Qais dari Sulaiman bin Abdullah Abu Fathimah dari Mu’adzah Al ‘Adawiyah dari Ali radiallahu ‘anhu. Riwayat Ad Duulabiy di atas diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Sulaiman bin Abdullah Abu Fathimah.

5). Sayyidina Ali Adalah Saudara Nabi, Pewaris Nabi dan Wazir Nabi SAW.

Telah diriwayatkan dalam hadis shahih kalau imam Ali telah mewarisi Nabi SAW. Hal ini diakui oleh Qutsam bin Abbas RA. Beliau adalah putra dari paman Nabi SAW. Al Ijli menyebutkan kalau Qutsam bin Abbas RA termasuk sahabat Nabi SAW [Ma’rifat Ats Tsiqah no 1514].

أخبرنا أبو النضر محمد بن يوسف الفقيه ثنا عثمان بن سعيد الدارمي ثنا النفيلي ثنا زهير ثنا أبو إسحاق قال عثمان وحدثنا علي بن حكيم الأودي وعمر بن عون الواسطي قالا ثنا شريك بن عبد الله عن أبي إسحاق قال سألت قثم بن العباس كيف ورث علي رسول الله صلى الله عليه وسلم دونكم قال لأنه كان أولنا به لحوقا وأشدنا به لزوقا
Telah mengabarkan kepada kami Abu Nadhr Muhammad bin Yusuf Al Faqih yang berkata telah menceritakan kepada kami Utsman bin Sa’id Ad Darimi yang berkata telah menceritakan kepada kami An Nufaili yang berkata telah menceritakan kepada kami Zuhair yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq. Utsman [Ad Darimi] berkata dan telah menceritakan kepada kami Ali bin Hakim Al Awdiy dan ‘Amru bin ‘Awn Al Wasithi yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Syarik bin Abdullah dari Abu Ishaq yang berkata aku bertanya kepada Qutsam bin Abbas “bagaimana Ali bisa mewarisi Nabi SAW tanpa kalian?” Ia berkata “karena diantara kami Ali adalah orang yang pertama mengikuti Nabi dan orang yang paling dekat kedudukannya di sisi Beliau” [Mustadrak Shahihain 3/136 no 4633]

Hadis ini adalah hadis shahih. Al-Hakim at-Tirmidzi dan Adz Dzahabi telah bersepakat menshahihkanny

Bukti Imam Ali Adalah Pintu Kota Ilmu



Ilmu Imam Ali Di Atas Semua Sahabat Nabi Yang Lain

Siapa yang tidak mengenal Imam Ali?. Beliau adalah Ahlul Bait yang terkenal dengan kemuliaan dan keutamaannya. Beliau adalah orang yang paling dicintai Allah dan RasulNya. Beliau adalah Ksatria yang teguh membela kebenaran dan menjadi panutan bagi setiap pencari kebenaran. Tidak ada satupun yang meragukan keilmuan Imam Ali kecuali orang yang memiliki sesuatu di hatinya.

Sungguh Jiwa Mulia selalu memiliki daya tarik dan daya tolak, tertariklah mereka yang hatinya bersih dan tertolaklah mereka yang kotor hatinya. Tidakkah manusia melihat betapa sejarah hidupNya dipenuhi mutiara yang bersinar. Cahayanya menyilaukan mempesona bagi para pecinta kebenaran dan menyakitkan hati para pendengki. Mutiara itu terpelihara dalam untaian kesucian, dan tak akan pernah pudar oleh suara-suara sumbang. 


Sebagian dari manusia entah mengapa terkelabui oleh pikiran yang lusuh, mereka menunjukkan sikap sinis terhadap keutamaan Imam Ali. Mereka tidak mau menerima jika keutamaan Imam Ali adalah sebaik-baik keutamaan yang ada diantara semua Sahabat Nabi yang lain. Mereka menginginkan Imam Ali sama seperti sahabat lainnya yaitu di bawah kedudukan ketiga khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka mengaku berpegang kepada hadis tetapi pada kenyataannya mereka menolak banyak hadis lainnya. Jika kita melihat kriteria keutamaan dari segi Ilmu, Maka Imam Ali jelas memiliki keilmuan yang jauh lebih tinggi dibanding sahabat yang lain termasuk ketiga khalifah.

Diriwayatkan oleh Abdurrazaq As Shan’ani dalam Tafsir Abdurrazaq 3/241

عبد الرزاق عن معمر عن وهب بن عبد الله عن أبي الطفيل قال شهدت عليا وهو يخطب وهو يقول سلوني فوالله لا تسألوني عن شئ يكون إلى يوم القيامة إلا حدثتكم به وسلوني عن كتاب الله فوالله ما من آية إلا وأنا أعلم بليل نزلت أم بنهار أم في سهل أم في جبل


Abdurrazaq dari Ma’mar dari Wahab bin Abdullah dari Abu Thufail yang berkata ‘aku menyaksikan Ali berkata dalam khutbahnya “Bertanyalah kalian kepadaku, Demi Allah tidaklah kalian bertanya kepadaku tentang sesuatu sampai hari kiamat kecuali aku akan menceritakannya kepada kalian. Bertanyalah kalian kepadaku tentang Kitab Allah, karena Demi Allah tidak ada satupun dari ayat-ayat Al Quran kecuali Aku mengetahui kapan ia diturunkan pada malam atau siang hari dan dimana diturunkan, di lembah atau di gunung”.

Atsar ini sanadnya shahih dan telah diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya.

  • Abdurrazaq bin Hamam As Shan’ani adalah penulis kitab Tafsir dan Al Mushannaf. Ibnu Hajar dalam Taqrib At Tahdzib 1/599 menyebutnya sebagai seorang hafiz yang tsiqat.
  • Ma’mar bin Rasyd Al Azdi Abu Urwah adalah perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan. Dia adalah perawi yang tsiqat. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 10 no 441menyebutkan bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Al Ajli, Ibnu Hibban, An Nasa’i, dan Yaqub bin Syaibah. Dalam At Taqrib 2/202 Ibnu Hajar menyatakan bahwa ia tsiqat tsabit.
  • Wahab bin Abdullah Al Kufi disebutkan dalam At Tahdzib juz 11 no 280 kalau telah meriwayatkan darinya Ma’mar bin Rasyd dan ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in dan Al Ajli. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/292 menyatakan kalau ia tsiqat.
  • Abu Thufail Amr bin Watsilah disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/464 kalau ia seorang sahabat Nabi SAW.

Atsar tersebut dengan matan yang sama juga diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya Jami’ Bayan Al Ilmi Wa Fadhlih 1/464 no 726 dengan sanad sebagai berikut

حدثني أحمد بن فتح قال حدثنا حمزة بن محمد قال حدثنا اسحاق بن ابراهيم قال حدثنا محمد بن عبد الأعلى قال حدثنا محمد بن ثور عن معمر عن وهب بن عبد الله عن أبي الطفيل

Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Fath yang berkata telah menceritakan kepada kami Hamzah bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul A’la yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Tsawr dari Ma’mar dari Wahab bin Abdullah dari Abi Thufail.

Syaikh Abu Asybal Samir Az Zuhairi pentahqiq kitab Jami’ Bayan Al Ilmi berkata tentang atsar ini

إسناده صحيح ورجاله ثقات

Sanadnya Shahih dan para perawinya terpercaya.
Oleh karena itu tidak diragukan lagi kalau Atsar ini shahih dan Imam Ali memang berkata demikian. Perkataan Imam Ali menunjukkan keluasan ilmu yang beliau miliki dan tentu semua itu terjadi atas izin Allah SWT. Segala puji bagi Allah SWT yang memberikan ilmu kepada hambaNya yang disucikan. Patut juga untuk dikatakan disini bahwa perkataan Imam Ali itu tidak pernah diucapkan oleh satupun sahabat yang lainnya termasuk ketiga khalifah.


Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Fadhail As Shahabah no 1098

حدثنا عبد الله نا عثمان بن أبي شيبة نا سفيان عن يحيى بن سعيد قال أراه عن سعيد قال لم يكن أحد من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يقول سلوني الا علي بن أبي طالب

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Yahya bin Sa’id yang berkata menurutku dari  Sa’id yang berkata “Tidak ada seorangpun dari Sahabat Nabi SAW yang pernah berkata “Bertanyalah kepadaku” kecuali Ali bin Abi Thalib.

Syaikh Washiullah bin Muhammad Abbas pentahqiq kitab Fadha’il Shahabah berkata tentang atsar ini bahwa “Sanadnya Shahih”. Hal ini membuktikan bahwa di antara semua sahabat Nabi yang lain hanya Imam Ali yang memiliki tingkat keilmuan luas seperti yang Beliau AS katakan sendiri.

Fatimah Az-Zahra’ : Keutamaan beliau didalam Hadis

Hadis-hadis Keutamaan Sayyidah Fathimah Az Zahra, beliau adalah Fatimah az-Zahra bintu Muhammad ibni Abdillah Rasulullah SAW, mempunyai julukan/gelar al-batuul, az-Zakiyyah, Sayyidatun Nisa’il Alamin, at-Thohiroh, al-Ma’shimah, dll.

Hadis riwayat Bukhari dalam Shahih Bukhari kitab nikah bab Dzabb ar-Rajuli:

Bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Fathimah adalah sebahagian daripadaku; barangsiapa ragu terhadapnya, berarti ragu terhadapku, dan membohonginya adalah membohongiku”

Hadis dalam Sahih Bukhari jilid VIII, Sahih Muslim jilid VII, Sunan Ibnu Majah jilid I hlm 518 , Musnad Ahmad bin Hanbal jilid VI hlm 282, Mustadrak Al Hakim jilid III hlm156:

Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Fatimah, tidakkah anda puas menjadi sayyidah dari wanita sedunia (atau) menjadi wanita tertinggi dari semua wanita dari ummat ini atau wanita mukmin”.

Hadis shahih riwayat Ahmad,Thabrani,Hakim,Thahawi dalam Shahih Al Jami’As Saghir no 1135 dan Silsilah Al Hadits Al Shahihah no1508:

Rasulullah SAW bersabda: ” Wanita penghuni surga yang paling utama adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Mazahim istri Firaun.”

Hadis riwayat Bukhari dalam Shahih Bukhari Kitab Bad’ul Khalq bab Manaqib Qarabah Rasululllah SAW:

Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Fathimah adalah bahagian dariku, barangsiapa yang membuatnya marah, membuatku marah!”

Hadis riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak dengan sanad hasan:

Bahwa ada malaikat yang datang menemui Rasulullah SAW dan berkata: “sesungguhnya Fathimah adalah penghulu seluruh wanita di dalam surga”.

Hadis riwayat Al Bukhari dalam kitab Al Maghazi:

Rasululah SAW bersabda kepada Fathimah: “Tidakkah Engkau senang jika Engkau menjadi penghulu bagi wanita seluruh alam”.

Hadis-hadis diatas hanyalah beberapa saja, adapun hadis lain yang menunjukkan keutamaan Sayyidah Fatimah Az-zahra’ sangatlah banyak ditemukan dikitab-kitab hadits, seperti shahih bukhari, shahih muslim, musnad ahmad, at-Tirmidzi dll.

Keutamaan Fatimah bukanlah hanya karena beliau adalah putri dari Rasulullah SAW semata,  akan tetapi keutamaan dan kemuliaan beliau memang ditunjang beberapa hal penting seperti keutamaan Akhlaq yang mulia, ilmu pengetahuan yang tinggi, kefasihan yang mengungguli kaum pria sekalipun, kesabaran, ketabahan, kesederhanaan, kezuhudan, ketegaran hati dan lainya.


Selain sifat-sifat yang dimiliki Sayyidah Fatimah as tersebut, terdapat keunikan lain akan keutamaan beliau, yaitu beliau adalah putri dari Rasulullah SAW, Putri dari Khadijah al-Kubra (Pemuka wanita Islam pertama), Istri dari Sayyidina Ali bin abi thalib KW (yang merupakan sahabat terdekat Nabi SAW dan orang pertama kali masuk Islam), beliau adalah Ibu dari Sayyidain al-Hasan wal-Husain, dan beliau merupakan salah satu anggota khusus keluarga Nabi SAW yang disebut sebagai Ahlul Bait Yang Suci.

Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Hadis Kepemimpinan Imam Ali)

Beliau Saudara Ja’far mengawali tulisannya dengan masalah Imamah yang diyakini oleh Syiah sebagai rukun iman. Berangkat dari sini beliau mempermasalahkan bagaimana dengan umat Islam yang tidak mempercayai Imamah dengan kata lain Islam Sunni. Sebenarnya pandangan Syiah terhadap keislaman Sunni ini sudah ditetapkan oleh ulama Syiah bahwa Sunni adalah sah keislamannya. Ini adalah pendapat yang muktabar di sisi Syiah seperti dalam tulisan saya. Tidak hanya Muhammad Husain Kasyif Al-Githa yang menyatakan seperti itu, Sayyid Abdul Husain Syarafudin Al Musawi dan Murtadha Muthahhari juga berpandangan demikian. Dan pandangan ini memiliki landasan dari hadis-hadis Imam Ahlul Bait as di sisi Syiah.
Beliau kemudian melanjutkan

Jika seandainya Imamah termasuk rukun iman maka seharusnya ada dalil-dalil yang jelas dan tegas dari Al-Qur’an maupun hadis nabi Muhammad SAW tentang hal ini.
Maka jawab saya di sisi Syiah masalah ini jelas memiliki landasan yang kuat dari Al Quran(ini masalah penafsiran) walaupun tidak bersifat tegas(karena memerlukan hadis) tetapi masalah ini memiliki nash yang tegas dalam hadis-hadis Imam Ahlul Bait as di sisi Syiah. Kemudian saudara Ja’far menulis

Setahu saya tidak ada dalil (dari Qur’an maupun hadis) yang mengatakan secara jelas dan tegas bahwa Ali bin Abi Thalib r.a berikut keturunan-keturunannya adalah pengganti rasulullah SAW.
Jawab saya, saya setuju kalau dalam Al Quran tidak ada penunjukkan jelas masalah ini tetapi bagi Syiah banyak sekali hadis-hadis Imam Ahlul Bait as yang bersifat jelas tentang ini.
Sepertinya yang beliau maksud hadis itu hanyalah hadis-hadis dari golongan Sunni saja sedangkan di sisi Syiah maka itu tidak disebut hadis. Pandangan seperti ini adalah tidak benar dan berat sebelah, Syiah mempunyai dasar yang kuat untuk berpegang pada hadis-hadis Imam Ahlul Bait as. Mari kita perjelas

Syiah berpegang pada hadis-hadis Imam Ahlul Bait as adalah sesuai dengan landasan mereka yaitu Hadis Tsaqalain yang tidak hanya shahih dan mutawatir di sisi Syiah tetapi juga shahih di sisi Sunni.
Sunni sering mendakwa Syiah membuat-buat hadis dengan mengatasnamakan Ahlul Bait as. Pernyataan ini adalah pernyataan sepihak dan maaf sangat subjektif. Ulama Sunni seringkali menuduh perawi-perawi hadis Syiah sebagai pemalsu hadis. Hal ini tidak bisa diterima karena Syiah memiliki bukti yang jelas dari kitab Rijal mereka tentang perawi-perawi hadis Syiah. Dengan kata lain mengapa Ulama Syiah harus menghukum perawi-perawi hadis mereka dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh Ulama Sunni. Bukankah Ulama Sunni sendiri menetapkan ukuran perawi-perawi hadis mereka(sunni) dengan sumber mereka sendiri tidak dari sumber Syiah.
Baiklah mari kita ikuti kehendak penulis(beliau) dengan berlandaskan hadis-hadis di sisi Sunni saja. Beliau berkata

Adapun dalil-dalil yang mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib r.a adalah khalifah / imam setelah Rasulullah SAW adalah hadis maudhu’ (palsu) dan dha’if (lemah).
Sekali lagi yang dimaksud hadis di sini maksudnya hadis di sisi Sunni. Mari kita lihat hadis yang beliau maksud,

. “Barangsiapa yang ingin hidup seperti hidupku, ingin meninggal seperti aku meninggal, dan bertempat di surga yang telah dijanjikan Allah SWT kepadaku dan pohon-pohon ditanam oleh kedua tangan-Nya maka dia harus menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin, sebab dia tidak akan mengeluarkan kamu dari kebenaran dan tidak akan memasukkan kamu ke dalam kesesatan” (Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Ath-Thabrani(bukan At Thabari seperti yang dikutip penulis) dalam Al-Mu’jamal Kabir, Ibnu Syahin dalam Syarah as-Sunnah).
Albani berkata : Hadis ini maudhu’ (lihat kitabnya Silsilah al-Ahadits al-dah’ifah wa Mawdhu’ah karya Nashiruddin Albani).


Penulis(beliau) menyatakan hadis ini maudhu’ berdasarkan pernyataan Syaikh Al Albani di atas. Hadis ini dan hadis no 2 serta no 3 memiliki matan yang sama(dengan sedikit tambahan tentang keturunan Ali bin Abi Thalib), hadis ini dijadikan hujjah oleh Ulama Syiah Syaikh Syarafuddin Al Musawi dalam Al Muraja’at dan beliau menyatakan bahwa hadis tersebut shahih. Pernyataan ini ditolak oleh Syaikh Al Albani yang justru menyatakan hadis tersebut maudhu’. Yang perlu diperhatikan adalah hadis ini diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak jilid 3 hal 128 dan beliau menyatakan shahih. Paling tidak ini bisa dijadikan alasan dari pihak Syiah bahwa ada ulama sunni yang menshahihkan hadis ini. Walaupun begitu saya sendiri lebih cenderung untuk menyatakan bahwa hadis ini dhaif karena dalam perawinya ada Yahya binYa’la Al Aslami yang dikenal dhaif. Oleh karena itu Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak menolak pernyataan shahihnya hadis ini oleh Al Hakim.

Kemudian saudara Ja’far melanjutkan dengan mengutip hadis “Sesungguhnya Ali bagian diriku dan aku bagian darinya. Dan dia adalah pemimpin setiap orang mukmin yang sesudahku” (Musnad Imam Ahmad, Sunan Tirmidzi, dari Ja’far bin Sulaiman). Anehnya beliau mencantumkan hadis ini dalam contoh hadis dhaif atau maudhu’ karena kredibilitas Ja’far bin Sulaiman Al Dhab’i.

Dalam Mizan Al Itidal Adz Dzahabi jilid 1 hal 408 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 2 hal 95 terdapat keterangan tentang Ja’far bin Sulaiman.

• Yahya bin Main menyatakan bahwa Ja’far bin Sulaiman tsiqat
• Ahmad bin Hanbal menilai Ja’far tidak tercela
• Ibnu Saad menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat tetapi tasyayyu
• Hammad bin Zaid berkata perihal Ja’far ”Tidak terlarang menerima riwayatnya meskipun dia Syiah dan banyak menceritakan tentang Ali dan orang Basrah berlebih-lebihan dalam memuji Ali”
• Ahmad bin Adiy menegaskan ”Ja’far itu orang Syiah tetapi itu bukan masalah. Dia juga meriwayatkan hadis-hadis yang menerangkan keutamaan Abu Bakar dan Umar dan hadis-hadisnya tidak ditolak. Menurut pendapatku dia termasuk orang yang pantas diterima riwayatnya”.
• Ibnu Hibban berkata ”Ja’far seorang tsiqat dalam meriwayatkanhadis”.
Berdasarkan ini maka Ja’far bin Sulaiman adalah tsiqat. Keraguan yang disampaikan penulis perihal Ja’far bin Sulaiman seperti dalam kata-kata Sedangkan dalam kitabnya, Ad-Dhu’afa’,bukhari berkata,”Dia diperselisihkan dalam sebagian hadisnya”. Ibnu Syahiin dan Ibnu Ammar mengatakan bahwa Ja’far bin Sulaiman dhaif. Keraguan seperti ini tidak tepat dan tidak bisa dijadikan hujjah karena

• Jika keadaan suatu perawi telah jelas ketsiqatannya maka setiap jarh yang dikemukakan harus disertai alasan yang kuat. Jadi tidak hanya sekedar jarh(celaan).
• Penulis(beliau) tidak menyampaikan apa alasan jarh terhadap Ja’far bin Sulaiman. Dari kitab Al Mizan memang beredar isu kalau Ja’far bin Sulaiman memaki Abu Bakar dan Umar(kemungkinan besar hal ini yang menyebabkan keraguan terhadap Ja’far bin Sulaiman). Saya tidak menemukan alasan yang lain tentang celaan terhadap Ja’far bin Sulaiman selain hal ini. Tetapi isu ini telah dibantah oleh Ulama hadis seperti Ibnu Adiy bahkan Al Dzahabi berkata ketika membenarkan pernyataan Ibnu Adiy ”terbukti bahwa Ja’far bin Sulaiman juga meriwayatkan hadis keutamaan Abu Bakar dan Umar. Jadi Ja’far itu jujur dan polos”.
Ja’far bin Sulaiman adalah perawi hadis Shahih Muslim dan Kitab Sunan serta beliau telah dikenal tsiqat. Oleh karena itu berdasarkan hal ini maka hadis yang dikemukakan saudara penulis itu adalah hadis yang shahih.. Hadis yang dipermasalahkan penulis itu adalah hadis Sunan Tirmidzi no 3712 yang dinyatakan hasan gharib oleh Tirmidzi dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Hadis dengan matan seperti ini juga diriwayatkan dalam Musnad Ahmad jilid I hal 330 hadis no 3062 & 3063 yang dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad. Selain itu hadis ini juga diriwayatkan Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 3 hal 134 dan beliau menyatakan hadis tersebut shahih. Pernyataan Al Hakim ini dibenarkan oleh Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak. Jadi kesimpulannya hadis tersebut adalah shahih dan dalam hal ini saya menunjukkan keheranan saya terhadap pernyataan penulis yang memasukkan hadis ini dalam contoh hadis dhaif dan maudhu’.
Kemudian beliau penulis itu melanjutkan

Seandainya masalah imamah adalah masalah yang termasuk sangat-sangat penting (termasuk rukun iman / syarat kesempurnaan iman) maka harusnya Rasulullah SAW menyatakan keimamahan Ali dan keturunannya dengan tegas dan sering,
Pernyataan seperti ini sedikit kurang jelas menurut saya. Bagi Syiah keimamahan Ali dan keturunannya bersifat tegas, dan dalil-dalil tentang ini dapat ditemukan dalam kitab Sunni. Bukankah jika Rasulullah SAW menetapkan hal ini berapapun banyaknya mau sedikit atau sering maka itu sudah menjadi hujjah yang nyata.
Kemudian pernyataan beliau yang menyamakan rukun iman dan syarat kesempurnaan iman itu juga layak dikritisi maksudnya. Rukun iman adalah berkaitan dengan apa yang kita yakini. Apa salahnya jika Syiah meyakini setiap apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW tentang Imamah(menurut mereka). Lalu apa hubungannya dengan syarat kesempurnaan iman, apakah penulis ingin menyatakan bahwa jika tidak meyakini Imamah maka imannya tidak sempurna. Disini perlu diperjelas keyakinan terhadap Imamah adalah keyakinan yang bersumber dari Rasulullah SAW(menurut Syiah). Tentu saja bagi mereka yang menganggap dalil syiah itu samar atau tidak benar jelas tidak akan mengimaninya. Jadi perbedaannya ada pada persepsi masing-masing.
Saudara Ja’far melanjutkan

sehingga dengan demikian akan dijumpai banyak hadis-hadis yang shahih yang diriwayatkan dari banyak jalur serta tidak ada/sangat sedikit perselihan dalam masalah sanadnya mengenai hal tsb.
Dalil disisi Syiah jelas sangat banyak oleh karena itu mereka mengimaninya. Sedangkan dalil di sisi Sunni maka Syiah lagi-lagi berkata juga banyak, contohnya adalah hadis Al Ghadir yang mutawatir di sisi Sunni. Hadis Al Ghadir ini dari sisi sanad tidak bisa ditolak tetapi Sunni memang mengartikan lain hadis ini. Yang perlu diingat kesalahan atau penolakan memang selalu saja bisa dicari-cari.
Seprti yang dikatakan saudara Ja’far

Akan tetapi kenyataan yang ada adalah sebaliknya; hadis-hadis tentang keimamahan Ali dan keturunannya adalah hadis yang maudhu’ atau dha’if atau jika tidak maudhu’/dhaif maka akan dijumpai banyak perselisihan dalam hal sanadnya atau sedikit jalur periwayatannya.
Jawab saya: cukup banyak dalil shahih di sisi Sunni yang dijadikan dasar oleh Ulama Syiah hanya saja Sunni menafsirkan lain dalil-dalil tersebut. Oleh karena itu seharusnya yang perlu ditelaah adalah penafsiran mana yang benar atau lebih benar. Mari selanjutnya kita bahas ayat-ayat Al Quran yang dibicarakan oleh penulis tersebut.

4 Tanggapan

  1. yang jadi masalah???? kenapa kalian tidak pelajari keduanya????
    Kemudian Berijtihadlah, selanjutnya yuk….. berlomba-lomba membuat kebaikan??? buat bekal diakhirat sana.

    Gitu aja kok repot???
  2. Kalimat terakhir yang berbunyi :
    ” Jawab saya: cukup banyak dalil shahih di sisi Sunni yang dijadikan dasar oleh Ulama Syiah hanya saja Sunni menafsirkan lain dalil-dalil tersebut. Oleh karena itu seharusnya yang perlu ditelaah adalah penafsiran mana yang benar atau lebih benar. ”

    Mari kita telaah…..
    Menurut Ali r.a. sendiri sebagai seseorang yang diakukan oleh syiah sebagai pemegang amanah keimamahan menyatakan bahwa beliau tidaklah merasa sebagai imam pengganti beliau saw.
    Hadits 2

    حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ أَبِي حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيُّ وَكَانَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ أَحَدَ الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ تِيبَ عَلَيْهِمْ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ خَرَجَ مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجَعِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَقَالَ النَّاسُ يَا أَبَا حَسَنٍ كَيْفَ أَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَصْبَحَ بِحَمْدِ اللَّهِ بَارِئًا فَأَخَذَ بِيَدِهِ عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ لَهُ أَنْتَ وَاللَّهِ بَعْدَ ثَلَاثٍ عَبْدُ الْعَصَا وَإِنِّي وَاللَّهِ لَأَرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْفَ يُتَوَفَّى مِنْ وَجَعِهِ هَذَا إِنِّي لَأَعْرِفُ وُجُوهَ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عِنْدَ الْمَوْتِ اذْهَبْ بِنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْنَسْأَلْهُ فِيمَنْ هَذَا الْأَمْرُ إِنْ كَانَ فِينَا عَلِمْنَا ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِنَا عَلِمْنَاهُ فَأَوْصَى بِنَا فَقَالَ عَلِيٌّ إِنَّا وَاللَّهِ لَئِنْ سَأَلْنَاهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنَعَنَاهَا لَا يُعْطِينَاهَا النَّاسُ بَعْدَهُ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أَسْأَلُهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

    Telah menceritakan kepadaku Ishaaq : telah mengkhabarkan kepada kami Bisyr bin Syu’aib bin Abi Hamzah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Al-Azhariy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullah bin Ka’b bin Maalik Al-Anshaariy – dan Ka’b bin Maalik adalah salah satu dari tiga orang yang diberikan ampunan (oleh Allah karena tidak ikut serta dalam perang Tabuk) : Bahwasannya Abdullah bin ‘Abbaas telah menceritakan kepadanya : ‘Aliy bin Abi Thaalib keluar dari menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat beliau sakit yang menyebabkan kematian beliau, orang-orang bertanya : “Wahai Abu Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam?” Ia menjawab; “Alhamdulillah, beliau sudah sembuh”. Ibnu Abbas berkata : “’Abbaas bin Abdul Muththalib memegang tangannya dan berkata : ‘Demi Allah, tidakkah kamu lihat bahwa beliau akan wafat tiga hari lagi, dan engkau akan diperintahkan dengannya ?. Sesungguhnya aku mengetahui wajah bani ‘Abdul-Muththallib ketika menghadapi kematiannya. Mari kita menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu kita tanyakan kepada siapa perkara (kepemimpinan) ini akan diserahkan? Jika kepada (orang) kita, maka kita mengetahuinya dan jika pada selain kita maka kita akan berbicara dengannya, sehingga ia bisa mewasiatkannya pada kita.” Lalu ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu berkata; “Demi Allah, bila kita memintanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau menolak, maka selamanya orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita. Karena itu, demi Allah, aku tidak akan pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4447].
    Hadits 3
    حدثنا إسماعيل بن أبي حارث، ثنا شبابة بن سوَّار، ثنا شُعيب ابن ميمون، عن حصين بن عبد الرحمن، عن الشعبي عن شقيق، قال : قيل لعلي رضي الله عنه : ألا تَستخلف ؟ قال : ما استخلف رسول الله صلى الله عليه وسلم فَستخلف، وإن يردِ الله تبارك وتعالى بالناس خيرًَا فَسيجمَعهم على خيرهم، كما جمعهم بعد نبيِّهم على خيرهم.

    Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Abi Haarits : Telah menceritakan kepada kami Syabaabah bin Sawwaar : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Maimuun, dari Hushain bin ‘Abdirrahmaan, dari Asy-Sya’biy, dari Syaqiiq, ia berkata : Dikatakan kepada ‘Aliy : “Tidakkah engkau mengangkat pengganti (khalifah) ?”. Ia menjawab : “Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat pengganti hingga aku harus mengangkat pengganti. Seandainya Allah tabaaraka wa ta’ala menginginkan kebaikan kepada manusia, maka Ia akan menghimpun mereka di atas orang yang paling baik di antara mereka sebagaimana Ia telah menghimpun mereka sepeninggal Nabi mereka di atas orang yang paling baik di antara mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar 3/164 no. 2486]. http://musuhsyiah.blogspot.com/2013/04/takhrij-riwayat-tidak-adanya-khalifah.html
    Dari paparan di atas kita ketahui bahwa syiah mengklaim bahwa Ali ra adalah khalifah pengganti Rosululloh saw setelah wafat beliau, ini merupakan takwil yang salah, karena menurut hadits 1 di saat terakhir Rosululloh saw akan wafatpun Ali ra dan Abbas ra tidak merasa ditunjuk menjadi pengganti beliau. Dipertegas lagi hadits 2 di saat terakhirnya-pun Ali ra, beliau meneladani Rosululloh saw untuk tidak menunjuk pengganti.
    Mana yang benar…. syiah atau Ali ra.
  3. Jadi menurut ente Ali ra, beliau meneladani Rosululloh saw untuk TIDAK MENUNJUK pengganti.
    Trus kalau gitu kenapa Abu Bakar MENUNJUK Umar sebagai pengganti. Naah menurut ente gimana tuuuuh. Rosululloh saw sendiri menurut ente mencontohkan untuk gak menunjuk pengganti jadi menurut ente tindakan Abu Bakar menunjuk Umar itu harus dihukumi mencontoh siapa
  4. @abu azifah
    Saya sangat heran cara berpikir anda. Apakah masih sehat. Anda menegaskan sesuai hadits diatas bahwa sampai akhir hidup Rasulullah SAW tidak menunjuk pengganti. Jadi menurut anda setelah Rasulullah berjuang begitu lama menjalankan perintah Allah kemudian ditinggalkan begitu saja. Tidak ada yang melanjutkan untuk memberi petunjuk. Aneh. Sedangkan dalam Alqur’an begitu banyak Firman Allah yang menyatakan bahwa disetiap masa. setiap kaum akan ada orang2 yang akan Allah beri pentunjuk untuk memberi petunjuk pada kaumnya. Jadi kalau menurut anda Allah tidak memberi petunjuk pada Rasulullah untuk menunjuk orang/ penerus sesudah Rasulullah SAW. Wasalam
 

Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Hadis 12 Khalifah)


Hadis 12 Khalifah
https://secondprince.wordpress.com/2007/10/11/jawaban-untuk-saudara-ja%E2%80%99far-tentang-imamah-hadis-12-khalifah/

Saudara Ja’far juga membahas hadis 12 khalifah dalam tulisannya

dari Jabir bin Samurah, ia berkata, “Saya masuk bersama ayah saya kepada Nabi SAW. maka saya mendengar beliau berkata, ‘Sesungguhnya urusan ini tidak akan habis sampai melewati dua belas khalifah.’ Jabir berkata, ‘Kemudian beliau berbicara dengan suara pelan. Maka saya bertanya kepada ayah saya, ‘Apakah yang dikatakannya?’ Ia berkata, ‘Semuanya dari suku Quraisy.’ Dalam riwayat yang lain disebutkan, ‘Urusan manusia akan tetap berjalan selama dimpimpin oleh dua belas orang.’ Dalam satu riwayat disebutkan. ‘Agama ini akan senantiasa jaya dan terlindungi sampai dua belas khalifah. (H.R.Shahih Muslim, kitab “kepemimpinan”, bab”manusia pengikut bagi Quraisy dan khalifah dalam kelompok Quraisy”).

Kemudian penulis menambahkan dalam Catatan :

Dalam berbicara masalah khalifah atau pemimpin maka Rasulullah SAw jelas menggunakan kata ‘khalifah’ atau ‘Amri’ sebagaimana yang bisa dilihat pada hadis diatas, bukan kata ‘Maulah’. Hadis ini bisa dijadikan tambahan argumentasi bahwa hadis ‘Man kuntu maulah fa’aliyyun maulah’ bukanlah berbicara tentang pemimpin / khalifah. Maulah dalam hadis tsb tidak diartikan sebagai imam atau khalifah.


Jawab saya ;Sebenarnya justru bisa saja itu berarti dalam masalah kekhalifahan Rasulullah SAW bisa menggunakan kata Khalifah, Amir, Wali atau Maula.


Penulis(Ja’far) menyatakan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan dalil bahwa khalifah yang dimaksud adalah 12 Imam AhlulBait. Alasannya yang pertama bahwa

Dalam hadis tersebut tidak ada tercantum khalifah dari Ahlul Bayt, yang ada adalah khalifah dari Quraisy.


Jawab saya :Benar sekali dan Ahlul Bait adalah dari Quraisy, lengkapnya seperti ini Bani Hasyim adalah yang termulia dari suku Quraisy dan Ahlul Bait adalah yang termulia dari Bani Hasyim. Tidak berlebihan kalau dikatakan Ahlul Bait semulia-mulia dari Quraisy . Dalam Hadis Shahih Muslim Kitab keutamaan, Bab keutamaan nasab Nabi no: 2276 diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda Sesungguhnya Allah telah memilih (suku) Kinanah daripada anak keturunan Ismail dan telah memilih (bangsa) Quraisy daripada (suku) Kinanah, dan telah memilih daripada (bangsa) Quraisy Bani Hasyim dan telah memilih aku daripada Bani Hasyim.


Alasan kedua penulis

Rasulullah SAW tidak menyebutkan nama-nama siapakah yang menjadi khalifah tersebut.

Sayangnya disisi Syiah(Imamiyah) hadis-hadis tentang ini cukup jelas. Kemudian penulis mengartikan hadis itu

sebagai Hadis ini menunjukkan masa kejayaan islam ketika dipimpin dua belas khalifah tersebut. Lantas siapakah dua belas orang tersebut? Kita hanyalah bisa menebak-nebak. Kita bisa menebaknya sebagian dengan melihat sejarah Islam pada khalifah mana islam berjaya. Misalnya: Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Umar bin Abdul Aziz dan lain-lain dengan syarat ketika mereka menjadi khalifah islam berjaya. Khalifah ini juga tidak terbatas pada masa kekhalifahan islam yang ada dulu, tetapi berlaku juga ketika khilafah islamiyah akan tegak kembali. Siapapun yang menjadi khalifah baik dulu maupun yang akan datang sampai hitungannya ada dua belas dimana Islam berjaya pada masa mereka menjadi khalifah maka merekalah dua belas orang yang disebut oleh Nabi SAW tsb. Intinya, dua belas orang tsb adalah dua belas khalifah terhebat (yang berasal dari suku Quraisy yang menjayakan islam) dari semua khalifah islam yang pernah ada dan yang akan datang.


Sebagai sebuah penafsiran, yang seperti ini boleh-boleh saja dan perlu ditambahkan Ulama Sunni sendiri berbeda-beda penafsirannya terhadap hadis ini bahkan banyak yang tidak sependapat dengan penafsiran penulis(saudara Ja’far). Saya hanya ingin membahas kata-kata Saudara Ja’far Intinya, dua belas orang tsb adalah dua belas khalifah terhebat (yang berasal dari suku Quraisy yang menjayakan islam) dari semua khalifah islam yang pernah ada dan yang akan datang. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kalau khalifah islam yang ada untuk umat Islam itu hanya 12 belas.


Sebelumnya saya ingin menunjukkan sebuah hadis dalam Musnad Ahmad no 3781 diriwayatkan dari Masyruq yang berkata”Kami duduk dengan Abdullah bin Mas’ud mempelajari Al Quran darinya. Seseorang bertanya padanya ‘Apakah engkau menanyakan kepada Rasulullah SAW berapa khalifah yang akan memerintah umat ini?Ibnu Mas’ud menjawab ‘tentu saja kami menanyakan hal ini kepada Rasulullah SAW dan Beliau SAW menjawab ‘Dua belas seperti jumlah pemimpin suku Bani Israil’. Dalam Fath Al Bari Ibnu Hajar Al Asqallani menyatakan hadis Ahmad dengan kutipan dari Ibnu Mas’ud ini memiliki sanad yang baik. Hadis ini juga dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad. Merujuk ke hadis di atas ternyata Khalifah untuk umat Islam itu hanya 12 belas. Padahal kenyataannya ada banyak sekali khalifah yang memerintah umat Islam.


Bagi Ulama Syiah hadis ini merujuk kepada 12 Imam Ahlul Bait sebagai pengganti Rasulullah SAW. Jika kita mengambil premis bahwa ada banyak sekali khalifah yang memerintah umat Islam atau khalifah yang dimiliki umat Islam maka jelas sekali pemerintahan yang dimaksud bukanlah pemerintahan Islam yang memiliki banyak kahlifah yang terbagi dalam Khulafaur Rasyidin(di sisi Sunni), Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan Dinasti Utsmaniyyah karena mereka semua jauh lebih banyak dari 12. Dari sini dapat dimengerti mengapa Ulama Syiah menyatakan bahwa khalifah yang dimaksud disini adalah 12 khalifah pengganti Rasulullah SAW. Tentu saya pribadi tidak akan menilai penafsiran mana yang lebih baik. Saya hanya ingin menampilkan bahwa penafsiran Ulama Syiah terhadap hadis 12 khalifah ini juga ada dasarnya.


Sayangnya sang penulis justru berkata

Berbeda dengan syi’ah, dimana bagi mereka nama-nama imam tsb telah disebutkan oleh Rasulullah SAW. Tetapi manakah hadis yang mengatakan nama-nama khalifah tsb? Hadis yang menunjukkan nama-nama tsb hanyalah hadis dari syi’ah. Hadis itupun bahkan hadis yang palsu/dibuat-buat.

Disini kembali penulis menunjukkan subjektivitasnya, baginya setiap hadis dari syiah adalah palsu dan dibuat-buat, tentu saya tidak akan membuang waktu dengan menanggapi ulang masalah ini.


Adapun bukti yang beliau maksud


Buktinya syi’ah dalam sejarahnya terpecah belah menjadi beberapa firqah karena mereka berselisih siapakah yang akan menjadi imam selanjutnya setelah satu imam meninggal. (Lihat Al-Milal wa Al-Nihal).
Tentu saja kata Syiah disini sedikit ambigu, kalau seandainya dari awal yang kita bicarakan ini Syiah Imamiyah(dan saya rasa memang itu) maka pernyataan penulis itu tidak ada artinya. Mereka yang berpecah belah dari Syiah imamiyah tidaklah lagi disebut Syiah kecuali sebagai sebutan saja. Syiah Zaidiyah dan Syiah Ismailiyah tidaklah disebut Syiah oleh Syiah Imamiyah. Lagipula adanya orang yang menyalahi nash tidaklah berarti nash itu sendiri palsu. Logika darimana itu, bukankah bisa juga sebaliknya berarti orang tersebut telah membangkang atau melanggar nash. Sekali lagi sang penulis menunjukkan subjektivitasnya.

Saya rasa cukup sekian uraian saya, Uraian ini lebih bersifat deskriptif yang disertai analisis terhadap tulisan saudara Ja’far tersebut. Tulisan ini jelas tidak bertujuan menyatakan bahwa Syiah Imamiyah adalah satu-satunya mahzab yang benar. Yang ingin ditekankan dalam tulisan ini bahwa Syiah Imamiyah adalah mahzab Islam yang memiliki dasar dan dalil sebagai mahzab yang diakui dalam Islam

Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Hadis Al Ghadir)


Hadis Al Ghadir
https://secondprince.wordpress.com/2007/10/11/jawaban-untuk-saudara-ja%E2%80%99far-tentang-imamah-hadis-al-ghadir/
 
Sebelumnya saya telah mengatakan bahwa hadis al Ghadir adalah mutawatir, pernyataan ini adalah benar dan diakui oleh ulama Sunni yang telah membuat kitab khusus tentang riwayat-riwayat hadis Al Ghadir diantaranya


• Ibnu Jarir Ath Thabari dalam kitabnya Al Wilayah Fi Thuruq Al Ghadir
• Ibnu Uqdah dalam kitabnya Al Wilayah Fi Thuruq Hadits Al Ghadir
• Abu Bakar Al Ja’abi dalam kitabnya Man Rawa Hadits Ghadir Kum
• Abu Sa’id As Sijistani dalam kitabnya Ad Dirayah Fi Hadits Al Wilayah
Walaupun begitu perlu diperhatikan mutawatir disini adalah mutawatir ma’nawi Artinya hadis-hadis tersebut memiliki matan yang bermacam-macam dan dapat dikelompokkan menjadi

• Matan yang Mutawatir, Artinya matan ini ada dalam setiap hadis Al Ghadir apapun sanadnya, matan itu adalah perkataan Rasulullah SAW di Ghadir Kum “barang siapa menganggap Aku Maulanya maka Ali adalah Maulanya”. Oleh karenanya perkataan ini bisa dikatakan bersifat pasti kebenarannya karena sanadnya mutawatir.
• Matan yang shahih, artinya matan ini diriwayatkan dalam hadis-hadis Al Ghadir tetapi tidak semua hadis Al Ghadir meriwayatkan matan ini. Adapun hadis yang mengandung matan ini sanadnya shahih. Yaitu antara lain matan yang mengandung perkataan Rasulullah SAW bahwa Sebentar lagi Rasulullah SAW akan dipanggil ke hadirat Allah SWT. Atau matan yang mengandung perkataan Rasulullah SAW kepada umatnya untuk berpegang kepada dua hal Kitab Allah dan Ahlul BaitKu, matan yang mengandung peristiwa kesaksian di Rahbah oleh beberapa sahabat terhadap Imam Ali, matan yang mengandung perkataan Rasulullah SAW ”bukankah Kalian telah mengetahui bahwa sesungguhnya Aku lebih berhak atas orang-orang mukmin dari pada diri mereka sendiri?” dan Matan yang mengandung ucapan selamat Umar kepada Ali(matan selamat ini diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 4 hal 281 dalam sanadnya terdapat Zaid bin Hasan Al Anmathi, tentang beliau Abu Hatim berkata hadisnya mungkar tapi Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat, Syaikh Al Albani telah menshahihkan hadis dalam Sunan Tirmidzi no3 786 dan dalam sanadnya ada Zaid bin Hasan, oleh karena itu saya menyimpulkan bahwa hadis dalam Musnad Ahmad itu shahih.)
• Matan yang diperselisihkan sanadnya atau dhaif(menurut Ulama Sunni), artinya matan ini diriwayatkan dalam hadis Al Ghadir dimana sanad hadisnya adalah dhaif di sisi Ulama Sunni. Yaitu matan hadis Al Ghadir yang mengandung Ayat Tabligh Al Maidah 67 dan Al Maidah ayat 3.
Mari kita lihat kembali pernyataan penulis(Ja’far) seputar hadis Al Ghadir, beliau mengutip pernyataan Al Alusi

Adapun pada saat khutbah Rasulullah sepulang dari haji wada’ tersebut tidak didapati hadis yang shahih mengenai pengangkatan Ali sebagai khalifah / pemimpin / menjadikannya maula. Al-Alusi berkata, “Riwayat-riwayat tentang Ghadir Khum – yang di dalamnya terdapat perintah kepada Nabi SAW untuk mengangkat Ali sebagai khalifah – tidak shahih dan sama sekali tidak diterima oleh AhluSunnah” (Tafsir Al-Alusi).
Jika yang dimaksudkan adalah hadis dengan perkataan maula itu, maka dalam hal ini Al Alusi keliru karena pengangkatan Ali sebagai maula di Ghadir Kum telah dishahihkan banyak ulama Ahlus Sunnah seperti At Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi, Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, Al Hakim dalam Al Mustadrak dan Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak. Tentu Ulama syiah menafsirkan maula sebagai pemimpin, sedangkan ulama sunni menafsirkan maula sebagai sahabat atau yang dicintai.
Tetapi jika yang dimaksudkan adalah hadis dengan turunnya Al Maidah ayat 67 dan Al Maidah ayat 3 maka saya sependapat. Karena hadis tentang itu terdapat keraguan pada sanadnya dan saya setuju dengan pernyataan penulis bahwa Al Maidah ayat 3 berdasarkan dalil shahih disisi Sunni turun di arafah.
Penulis(Ja’far) mengkritik hadis Al Ghadir yang mengandung matan maula dengan berkata

Masih ada beberapa hadis lain yang serupa dua hadis diatas dalam Musnad Imam Ahmad. Kata-kata ‘Man kuntu MAULAH fa’aliyyun maulah’ (Siapa yang aku sebagai PEMIMPINNYA maka Ali sebagai PEMIMPINNYA) tidak dapat dijadikan dalil bahwa Ali adalah khalifah setelah rasulullah SAW wafat.
Mari kita telaah masing-masing alasannya

Alasan pertama Imam Ahmad bin Hanbal yang meriwayatkan hadis tsb adalah AhluSunnah. Jika Imam Ahmad menafsirkan hadis tsb sebagai dalil yang menjadikan Ali sebagai khalifah/imam setelah rasulullah wafat maka dia seharusnya menjadi ulama syi’ah. Akan tetapi, Imam Ahmad adalah seorang ahlusunnah, dengan begitu Imam Ahmad tidak menafsirkan hadis tsb sebagai dalil penunjukkan Ali sebagai pengganti Rasullah SAW.
Alasan ini rancu sekali dan bagi saya orang yang memakai alasan seperti ini tidak perlu jauh-jauh menggunakan dalil dan pembahasan dalam mengkritik Syiah, dia cukup berkata seandainya Syiah itu benar maka Ulama-ulama sunni akan menjadi Syiah tetapi kenyataannya tidak maka Syiah tidak benar. Nah selesai urusannya. Kalau ingin melakukan pembahasan maka harus melihat dalil itu sendiri dan menilai penafsiran mana yang benar antara Ulama Sunni dan Syiah. Dalam hal ini Penulis telah melakukan Fallacy Argumentum Ad Verecundiam.

Alasan kedua Pengartian kata ‘maulah’ dalam konteks hadis tsb sebagai ‘pemimpin’ tidak tepat. Maulah dalam hadis tsb berarti loyalitas atau kecintaan, sesuai dengan akar katanya yaitu ‘Wali’.
Mari kita telaah, si penulis berargumen bahwa berdasarkan konteksnya maula itu bukan berarti pemimpin. Anehnya beliau malah mengartikan maula berdasar akar kata. Ulama Syiah berkata Maula adalah lafal Musytakarah(punya banyak arti) dan untuk mengetahui arti yang tepat adalah dengan melihat konteksnya pada hadis Al Ghadir.
Mari kita lihat apa kata Ulama Syiah tentang makna maula. Dalam Hadis Al Ghadir terdapat kata-kata Rasulullah SAW bahwa beliau sebentar lagi akan dipanggil ke hadirat Allah ” Kurasa seakan-akan aku segera akan dipanggil (Allah), dan segera pula memenuhi panggilan itu, Maka sesungguhnya aku meninggalkan kepadamu Ats Tsaqalain(dua peninggalan yang berat). Yang satu lebih besar (lebih agung) dari yang kedua : Yaitu kitab Allah dan Ittrahku. Jagalah Baik-baik dan berhati-hatilah dalam perlakuanmu tehadap kedua peninggalanKu itu, sebab Keduanya takkan berpisah sehingga berkumpul kembali denganKu di Al Haudh.
Bukankah kata-kata ini berarti Rasulullah SAW telah mewasiatkan sebelum beliau meninggal untuk mengikuti Al Quran dan Ahlul Bait, adalah wajar kalau hal ini diartikan Ulama Syiah sebagai Rasulullah SAW menyerahkan kepemimpinan Agama kepada Ahlul Bait.

Kemudian kata-kata “Bukankah Aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri.. Orang-orang menjawab “Ya”. Hingga akhirnya Rasulullah SAW berkata” Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah juga maulanya. Ulama Syiah menafsirkan kata lebih berhak menunjukkan bahwa maula yang dimaksud berkaitan dengan kekuasaan dan tidak tepat jika diartikan sahabat atau dicintai. Selain itu kata-kata terakhir Ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya. Menunjukkan bahwa pada saat itu Imam Ali dianugerahkan tanggung jawab yang memungkinkan beliau dicintai atau dimusuhi orang, tanggung jawab ini lebih tepat diartikan kekuasaan ketimbang yang dicintai.
Oleh karena itu Ulama Syiah menafsirkan maula sebagai pemimpin ditambah lagi ucapan selamat Umar kepada Ali yang menurut Syiah janggal diberikan hanya karena Ali dinobatkan sebagai yang dicintai, Ulama syiah berkata apakah sebelumnya Imam Ali adalah musuh sehingga ketika dinobatkan sebagai yang dicintai maka beliau diberi selamat.
Sedangkan kata-kata penulis

Seandainya maulah diartikan sebagai imam / khalifah maka seharusnya para sahabat tidak menjadikan Abu Bakar r.a sebagai khalifah setelah Rasulullah SAW. Mana mungkin mayoritas sahabat mengkhianati Rasulullah SAW. Para sahabat tidak pernah menafsirkan hadis tsb sebagai dalil penunjukkan Ali. Kalau kita menganggap hadis tsb sbg dalil penunjukkan Ali maka otomatis para sahabat adalah orang yang tidak melaksanakan amanat Rasulullah SAW
maka saya katakan itulah tepatnya kenapa Ulama Sunni berkeras bahwa kata maula itu bukan pemimpin. Disini penulis sudah memahami dengan prakonsepsinya terlebih dahulu tentang shahabat baru menilai nash hadis Al Ghadir bedanya dengan Syiah mereka memahami nash hadis Al Ghadir terlebih dahulu baru menilai shahabat.
Mengenai hadis tentang murtadnya shahabat Nabi kecuali beberapa orang di sisi Syiah, maka saya memilih untuk berdiam diri karena saya tidak mengetahui shahih tidaknya hadis tersebut di sisi Syiah dan apa arti murtad yang dimaksud. Karena yang saya tahu ada cukup banyak Sahabat Nabi yang diakui oleh Syiah bukan hanya beberapa orang, Silakan dirujuk pada Ikhtilaf Sunnah Syiah karya Syaikh Al Musawi hal 205-214. Saya juga ingin mengingatkan penulis bahwa di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim terdapat hadis yang jika diartikan secara literal mengindikasikan cukup banyak shahabat Nabi yang masuk neraka karena berpaling setelah Nabi SAW wafat.
Contohnya hadis Shahih Bukhari juz 8 hal 150 diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda ”Akan datang di hadapanKu kelak sekelompok shahabatKu tapi kemudian mereka dihalau. Aku bertanya ”wahai TuhanKu mereka adalah shahabat-shahabatKu”. Lalu dikatakan ”Engkau Tidak mengetahui apa yang mereka perbuat sepeninggalmu. Sesungguhnya mereka murtad dan berpaling.”. Tentu Ulama Sunni memiliki pemahaman sendiri terhadap hadis ini dengan berkata bahwa memang ada yang murtad dan yang murtad itu tidak lagi disebut sebagai shahabat. Yang ingin saya tekankan kalau Ulama Sunni bisa melakukan penafsiran terhadap teks mereka. Kenapa kita tidak bisa mendengar apa kata Ulama Syiah tentang hadis mereka.

Alasan yang ketiga Hadis-hadis tsb lebih tepatnya menceritakan keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib bukan dalil tentang penunjukkannya.
Saya setuju kalau hadis itu menunjukkan keutamaan tapi keutamaan sebagai apa, nah disinilah terjadi beda penafsiran. Syiah justru berkata itulah keutamaan Imam Ali yang ditunjuk sebagai pengganti Rasulullah SAW.

10 Tanggapan


  1. mas secondprince tolong dong buat tanggapan atas tulisan di blog abuhaekal.wordpress.com yang menganggap hadis al Dar, Safinah, Khalifah 12 dsb berderajat dhaif dan tidak ada kaitannya dengan Ahlul Bait sebagai penerus kepemimpinan pasca Nabi Muhammad.
    Tanggapan anda yang sudah anda buat diatas sangat bermanfaat buat saya yang sedang mencari kebenaran

    Terima kasih
  2. Sebenarnya Ayat Tabligh itu banyak kok riwayatnya di sisi Sunni. Apa benar matan hadis Al Ghadir yang mengandung ayat tabligh sanadnya dhaif. Bukannya banyak yang menyatakan bahwa ayat tabligh turun berkaitan dengan peristiwa Al Ghadir
  3. @T Mulya]
    hmm, begitu ya :)

    @almirza
    sejauh sanad yang saya ketahui perselisihannya ada pada Athiyyah
    tapi kalau Mas punya rujukan lain tolong ditunjukkan :D

  4. Saya sependapat dengan Mirza, saya rasa anda perlu mencari lagi sanad-sanad hadis tentang ayat tabligh
    coba cari di sumber yang saya sebutkan

  5. @Ali
    hmm, ya saya terus mencari Mas
    terimaksih sarannya
    Hmm soal sumber Mas
    kayaknya sanadnya juga bermasalah

  6. Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
    Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
    Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
  7. Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
    Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
    Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
    segera kunjungi
  8. Indonesia gempar …
    Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
    Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
    Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
    segera kunjungi
  9. Indonesia gempar …
    Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
    Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
    Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
    segera kunjungi
    isi web :
    * Imam Ali dan Imam Hasan Membai’at Karena Terintimidasi dan Mencegah Pertumpahan Darah Internal
    * Bukti Imamah Ali Yang Meruntuhkan Aswaja Sunni !!!! 3 WASIAT SAAT NABI SAKIT
    * Kenapa Syi’ah Hanya Mengakui Keshahihan Sebagian Hadis Aswaja Sunni ??? Hadis Palsu Dalam Kitab Bukhari Muslim Terungkap ! HADiS YANG MERUGiKAN AHLUL BAiT ADALAH PALSU
    * Mayoritas Peserta Ghadir Kum Akui Imamah Ali, Tapi Tidak Mau Membai’at Ali
    * Nabi SAW bilang tidak semua sahabat adil.. Kok Ulama Aswaja membantahnya !!!
    * SALAFi WAHABi MEMAKAi HADiS DHA’iF SYi’AH SEBAGAI BLACK CAMPAiGN
    * Kesalahan Terfatal Aswaja Sunni Karena Membela Mu’awiyah Yang Kekejaman nya Melebihi Fira’un… 12 khulafaur rasyidin Syi’ah Dizalimi Rezim Umayyah – Abbasiyah
  10. Indonesia gempar …Indonesia guncang
    Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
    Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
    Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
    segera kunjungi
    isi web :
    * Imam Ali dan Imam Hasan Membai’at Karena Terintimidasi dan Mencegah Pertumpahan Darah Internal
    * Bukti Imamah Ali Yang Meruntuhkan Aswaja Sunni !!!! 3 WASIAT SAAT NABI SAKIT
    * Kenapa Syi’ah Hanya Mengakui Keshahihan Sebagian Hadis Aswaja Sunni ??? Hadis Palsu Dalam Kitab Bukhari Muslim Terungkap ! HADiS YANG MERUGiKAN AHLUL BAiT ADALAH PALSU
    * Mayoritas Peserta Ghadir Kum Akui Imamah Ali, Tapi Tidak Mau Membai’at Ali
    * Nabi SAW bilang tidak semua sahabat adil.. Kok Ulama Aswaja membantahnya !!!
    * SALAFi WAHABi MEMAKAi HADiS DHA’iF SYi’AH SEBAGAI BLACK CAMPAiGN
    * Kesalahan Terfatal Aswaja Sunni Karena Membela Mu’awiyah Yang Kekejaman nya Melebihi Fira’un… 12 khulafaur rasyidin Syi’ah Dizalimi Rezim Umayyah – Abbasiyah

Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Ayat Tabligh)

Ayat Tabligh
https://secondprince.wordpress.com/2007/10/11/jawaban-untuk-saudara-ja%E2%80%99far-tentang-imamah-ayat-tabligh/

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari manusia . Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S.Al-Ma’idah : 67)
Berkenaan dengan ayat ini penulis berkata

Ayat ini dinamakan Syi’ah sebagai ayat tabligh, karena menurut Syi’ah dengan ayat ini Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan hal yang sangat penting bagi umat islam yaitu penunjukkan dan pengangkatan Ali r.a sebagai pengganti beliau. Peristiwa pengangkatan ini menurut syi’ah terjadi di Ghadir Kum sepulang dari haji Wada’ tanggal 18 Dzulhijjah.
Pernyataan ini memang cukup banyak ditemukan dalam literatur hadis Syiah dari para Imam Ahlul Bait as.
Kemudian mengenai literatur dalam sumber Sunni, Ulama Syiah cenderung menyatakan bahwa pendapat ini juga pendapat kebanyakan ahli tafsir Sunni. Hal ini yang dibantah oleh Penulis tersebut dalam menanggapi Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin an-Antaki, seorang bekas Qadhi Besar Mazhab Syafi’i di Halab, Syria, seorang yang masuk syi’ah dalam karyanya Limadza Akhtartu Mahzab Ahlul Bayt (Mengapa aku memilih mahzab Ahlul Bait) . Dalam buku itu Syaikh Mar’i Al Amin berkata “Semua ahli Tafsir Sunnah dan Syi’ah bersepakat bahwa ayat ini diturunkan di Ghadir Khum mengenai ‘Ali AS bagi melaksanakan urusan Imamah.” lalu tulisnya lagi “…Aku berpendapat sebenarnya para ulama Islam telah bersepakat bahwa ayat al-Tabligh (Surah al-Maidah(5):67) telah diturunkan kepada ‘Ali AS secara khusus bagi mengukuhkan khalifah untuknya. Di hari tersebut riwayat hadith al-Ghadir adalah Mutawatir. Ianya telah diriwayatkan oleh semua ahli sejarah dan ahli Hadith dari berbagai golongan dan ianya telah diperakukan oleh ahli Hadith dari golongan Sunnah dan Syi’ah”.
Sang penulis benar-benar tidak setuju dengan pernyataan ini sehingga dia berkata

Benarkah bahwa hadis Al-Ghadir adalah mutawatir? Semua ahli tafsir Sunnah sepakat bahwa ayat ini turun kepada Ali r.a di Ghadir Kum? Sungguh kebohongan yang amat besar !.
Jawaban saya Hadis Al Ghadir benar mutawatir, dan memang semua ahli tafsir sunnah tidak sepakat bahwa ayat ini turun kepada Ali ra di Ghadir Kum. Yang benar adalah memang ada riwayat tentang turunnya ayat ini untuk Imam Ali di dalam literatur Sunni yaitu dalam Tafsir Ibnu Abi Hatim dalam tafsir Al Maidah ayat 67, Al Wahidi dalam Asbabun Nuzul Al Maidah ayat 67 dan Tarikh Ibnu Asakir dalam bab biografi Ali bin Abi Thalib.Yang kesemuanya berpangkal dari sanad Ali bin Abas dari Amasy dari Athiyah dari Abu Said Al Khudri dia berkata: Diturunkan ayat ini: “Wahai Rasul Allah! Sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu” [al-Maidah 5:67] ke atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada Hari Ghadir Khum berkenaan ‘Ali bin Abi Thalib.
Sanad hadis ini diperselisihkan oleh ulama sunni dan syiah. Kebanyakan ahli hadis Sunni menyatakan riwayat ini dhaif karena pada sanadnya terdapat Athiyah bin Sa’ad al Junadah Al Aufi. Dalam Mizan Al ‘Itidal jilid 3 hal 79 didapat keterangan tentang Athiyah


• Menurut Adz Dzahabi Athiyyah adalah seorang tabiin yang dikenal dhaif
• Abu Hatim berkata hadisnya dhaif tapi bisa didaftar atau ditulis
• An Nasai juga menyatakan Athiyyah termasuk kelompok orang yang dhaif
• Abu Zara’ah juga memandangnya lemah.
• Menurut Abu Dawud Athiyyah tidak bisa dijadikan sandaran atau pegangan.
• Menurut Al Saji hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah, Ia mengutamakan Ali ra dari semua sahabat Nabi yang lain.
• Salim Al Muradi menyatakan bahwa Athiyyah adalah seorang syiah.
• Abu Ahmad bin Adiy berkata walaupun ia dhaif tetapi hadisnya dapat ditulis.
Oleh karena itu tidak berlebihan kalau ahli hadis sunni menyatakan hadis tersebut dhaif. Tetapi ulama syiah menolak hal ini dengan menyatakan bahwa Athiyyah adalah perawi yang dipercaya di sisi Syiah bahkan ada ulama Sunni yang menta’dilkan beliau.

• Dalam Tahdzîb at-Tahdzîb jilid 7 hal 220 Al-Hafidz Ibnu Hajar telah berkata tentang biografi Athiyyah, “Ad-Dawri telah berkata dari Ibnu Mu’in bahwa ‘Athiyyah adalah seorang yang saleh.” Selain itu dalam Mizan Al ‘Itidal ketika Yahya bin Main ditanya tentang hadis Athiyyah ,ia menjawab “Bagus”.
• Dalam Tahdzîb at-Tahdzîb jilid 2 hal 226 dan Mizan Al ‘Itidal jilid 3 hal 79, Ibnu Saad memandang Athiyyah tsiqat, dan berkata insya Allah ia mempunyai banyak hadis yang baik, sebagian orang tidak memandang hadisnya sebagai hujjah.
• Sibt Ibnul Jauzi(cucu Ibnu Jauzi) dalam kitabnya Tadzkhiratul Khawass memandangnya sebagai perawi yang bisa dipercaya.
• Athiyyah bin Sa’ad adalah perawi Bukhari dalam Adab Al Mufrad, perawi dalam Sunan Nasa’i, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah dan Musnad Ahmad bin Hanbal.
Sebenarnya juga tidak berlebihan kalau Ulama Syiah memandang Athiyyah sebagai perawi yang tsiqat apalagi dalam literatur mereka Athiyyah memang perawi syiah yang tsiqat. Oleh karena itu ulama syiah menolak pernyataan dhaif kepada Athiyyah, mereka berkata itu hanyalah kecenderungan Sunni untuk mendhaifkan perawi yang bermahzab syiah. Mengapa Athiyyah dinyatakan dhaif oleh sebagian kalangan?dan mengapa riwayatnya tidak diterima oleh sebagian Ulama Sunni, Jawabannya karena

• Athiyyah adalah perawi yang bermahzab syiah dan mengutamakan Ali ra dari semua sahabat Nabi yang lain. Dan biasanya riwayat seorang perawi Syiah tentang mahzabnya ditolak oleh Ulama Sunni
Athiyyah dipandang dhaif karena sifat tadlis. Dalam Tahdzib at Tahzib dan Mizan Al ‘Itidal, ketika membicarakan Athiyyah dan riwayatnya dari Abu Said, Ahmad menyatakan bahwa hadis Athiyyah itu dhaif, beliau berkata “Sampai kepadaku berita bahwa Athiyyah belajar tafsir kepada Al Kalbi dan memberikan julukan Abu said kepadanya ,Agar dianggap Abu said Al Khudri.”. Hal ini juga dikuatkan oleh pernyataan Ibnu Hibban “Athiyyah mendengar beberapa hadis dari Abu said Al Khudri. Setelah Al Khudri ra meninggal ,ia belajar hadis dari Al Kalbi. Dan ketika Al Kalbi berkata Rasulullah SAW bersabda ‘demikian demikian’maka Athiyyah menghafalkan dan meriwayatkan hadis itu dengan menyebut Al Kalbi sebagai Abu Said. Oleh sebab itu jika Athiyyah ditanya siapakah yang menyampaikan hadis kepadamu?maka Athiyyah menjawab Abu Said. Mendengar jawaban ini orang banyak mengira yang dimaksudkannya adalah Abu Said Al Khudri ra, padahal sebenarnya Al Kalbi”.
Sayangnya kedua alasan ini tidak diterima oleh Ulama Syiah, tentang alasan pertama mereka berkata itu sangat subjektif bukankah tidak ada salahnya kalau perawi tersebut meyakini apa yang ia riwayatkan. Singkatnya seperti ini Ulama Sunni jelas dari awal menganggap Syiah itu ahlul bid’ah oleh karenanya riwayat yang mendukung mahzab syiah mesti ditolak, menurut Ulama Sunni perawi syiah jelas sekali akan membuat riwayat yang mendukung mahzab mereka. Sedangkan ulama Syiah jelas tidak terima dinyatakan seperti itu makanya mereka bilang ulama sunni subjektif. Bukankah juga mungkin karena meyakini riwayat(yang katanya mendukung mahzab syiah) maka perawi itu lantas berpegang pada mahzab Syiah.
Alasan yang kedua juga tidak mematikan hujjah ulama Syiah karena mereka dapat berkata apa buktinya pernyataan Ahmad dan Ibnu Hibban itu benar, bukankah bisa saja itu hanya sekedar kabar-kabar yang disebarkan untuk mendiskreditkan Athiyyah, Dalam Tahdzîb at-Tahdzîb jilid 2 hal 226 Ibnu Hajar Al’Asqalani telah berkata,

Ibnu Sa’ad telah berkata, “Athiyyah pergi bersama Ibnu al- Asy’ats, lalu Hajjaj menulis surat kepada Muhammad bin Qasim untuk memerintahkan ‘Athiyyah agar mencaci maki Ali, dan jika dia tidak melakukannya maka cambuklah dia sebanyak empat ratus kali dan cukurlah janggutnya. Muhammad bin Qasim pun memanggilnya, namun ‘Athiyyah tidak mau mencaci maki Ali, maka dijatuhkanlah ketetapan Hajaj kepadanya. Kemudian ‘Athiyyah pergi ke Khurasan, dan dia terus tinggal di sana hingga Umar bin Hubairah memerintah Irak. ‘Athiyyah tetap terus tinggal di Khurasan hingga meninggal pada tahun seratus sepuluh hijrah. Insya Allah, dia seorang yang dapat dipercaya, dan dia mempunyai hadis-hadis yang layak.”

Ada sebuah kemungkinan bahwa Athiyyah adalah orang yang dikenal tsiqat pada saat itu tetapi mungkin karena sikap terang-terangannya dalam memuliakan Imam Ali di atas sahabat yang lain sampai-sampai mengundang kecurigaan dari bani Umayyah. Oleh karenanya mungkin untuk menjatuhkan beliau disebarkanlah kabar-kabar yang mendiskreditkan beliau. Sayangnya ini adalah sebuah kemungkinan dan belum bisa dibuktikan. Baik Ulama Sunni dan Ulama Syiah dipengaruhi kecenderungan masing-masing dalam melihat pribadi Athiyyah.
Lantas mengapa Ulama Syiah berkeras bahwa riwayat turunnya ayat Al Maidah 67 dan Al Maidah 3 berkenaan peristiwa Al Ghadir adalah mutawatir di sisi Sunni? Jawabannya adalah mereka Ulama Syiah ketika menyebut riwayat turunnya Al Maidah 67 dan Al Maidah 3 sering merujuk ke kitab-kitab yang seringkali sulit dirujuk oleh Ulama Sunni seperti kitab Al Wilayah Fi Thuruq Al Ghadir Ath Thabari. Kitab ini dibuat Ath Thabari pada akhir-akhir hidupnya dan sayangnya sekarang sudah tidak bisa ditemukan lagi. Yang ada hanyalah kitab-kitab yang memuat kutipan dari kitab Ath Thabari tersebut. Memang kitab-kitab yang mengutip kitab Ath Thabari itu kebanyakan adalah kitab-kitab Ulama Syiah. Hal ini bisa dimaklumi karena Ulama Syiah punya kecenderungan kuat untuk memelihara riwayat-riwayat Al Ghadir sebagai hujjah mereka terhadap Sunni.

Sayangnya kitab Ath Thabari ini sudah tidak ada lagi disisi Sunni, entahlah apa sebabnya kitab ini bisa tidak terpelihara di sisi Sunni. Oleh karenanya ketika Ulama Syiah berhujjah dengan riwayat dalam kitab ini maka Ulama Sunni sekarang mentah-mentah menolaknya. Lucunya mereka Ulama Sunni berkata bahwa itu hanyalah buatan-buatan Syiah saja, atau ada yang menuduh Ath Thabari itu Syiah dan yang berlebihan menuduh kitab Al Wilayah Fi Thuruq Al Ghadir itu dibuat oleh Syiah dan mengatasnamakan Ath Thabari. Padahal terdapat bukti yang jelas bahwa kitab Al Wilayah Fi Thuruq Al Ghadir adalah benar-benar eksis dulunya dan merupakan hasil karya Ibnu Jarir Ath Thabari yang Sunni.

Penolakan terhadap kitab Ath Thabari ini juga didasari bahwa dalam Tafsir Ath Thabari tentang Al Maidah ayat 67 dan Al Maidah ayat 3, beliau Ath Thabari tidak menyebut sedikitpun tentang peristiwa Al Ghadir. Sayangnya hal ini bukanlah dasar yang kuat untuk menolak kitab Al Wilayah Ath Thabari. Karena seperti yang sudah saya sebutkan kitab Al Wilayah ini dibuat pada akhir-akhir kehidupan Ath Thabari artinya jauh selepas beliau mengarang Tafsir Ath Thabari. Jadi ada kemungkinan beliau merubah pandangannya atau bisa jadi lingkungan kemahzaban yang kental di masa Ath Thabari tidak memungkinkannya untuk memasukkan riwayat Al Ghadir dalam Tafsir Beliau. Tapi sayangnya ini hanyalah sebuah kemungkinan dan memerlukan pembuktian.

Bagi saya pribadi hujjah tidak bisa berdasarkan kemungkinan oleh karenanya saya lebih berdiam diri dalam masalah ini dan mungkin lebih baik untuk tidak menerima riwayat tentang ayat tabligh ini karena masih ada keraguan dalam sanadnya. Jadi memang pernyataan Syaikh Mar’i Al Amin itu keliru, ahli tafsir Sunni tidak bersepakat tentang turunnya ayat tabligh untuk Imam Ali.

Walaupun begitu rupanya si penulis melihat kekeliruan Syaikh Mar’i Al Amin ini sebagai kebohongan besar. Entahlah, bagi saya ini adalah kecenderungan kemahzaban saja, sama halnya dengan yang terjadi pada Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj As Sunnah yang membuat banyak kekeliruan karena berlebih-lebihan dalam membantah Ulama Syiah Ibnul Muthhahhar(Allamah Al Hilli). Keinginan Ibnu Taimiyyah untuk terus membantah itu membuatnya banyak menolak hadis-hadis shahih seperti hadis Tsaqalain, dengan mengatakan banyak yang menolak hadis tsaqalain padahal kenyataannya tidak demikian.
Mari kita lanjutkan, kemudian penulis juga menjadi berlebih-lebihan ketika berkata

Mana mungkin tulisan tsb berasal dari seorang yang banyak mempelajari agama (seorang Qadhi Besar) kecuali tulisan tsb berasal dari ulama syi’ah sendiri. Benarkah buku tsb berasal dari seorang yang keluar dari Mahzab Syafi’i lalu masuk Syi’ah? Jangan-jangan buku tsb dibuat oleh orang syi’ah sendiri dan mengatasnamakannya dari seorang AhluSunnah.
Sayangnya bukti kuat dalam masalah ini adalah buku itu sendiri. Dalam Limadza Akhtartu Mahzab Ahlul Bayt (Mengapa aku memilih mahzab Ahlul Bait), pengarang syaikh Mar’i Al Amin sendiri mengatakan bahwa beliau awalnya Qadhi Halab bermahzab syafii yang kemudian masuk Syiah. Tentu saja kesaksian ini lebih patut dipercaya ketimbang dugaan-dugaan tanpa bukti. Anehnya sepertinya penulis itu adem ayem saja menerima kabar bahwa Ayatullah Uzma Al Burqu’i adalah ulama Syiah yang keluar dari mahzab syiah yang ia kutip dari Gen Syiah Ustad Mamduh Al Buhairi.

Kemudian sang penulis menganalogikan dugaannya dengan dugaan lain yang sama tak berdasarnya


Seperti halnya buku Al-Muraja’at, dialog Sunni-Syi’ah antara Syaikh Al-Azhar Salim Al-Bisyri dengan seorang syi’ah yaitu Syarafuddin Al-Musawi. Kitab Al-Muraja’at diterbitkan 20 tahun setelah Syekh Salim Al-Bisyri meninggal. DR.Ali Ahmad As-Salus, ulama AhluSunnah dari Qatar pakar aliran Syi’ah bertemu dengan putra Syekh Salim Al-Bisyri dan putranya tersebut berkata, “Saya telah membaca (mempelajari) hadis dari ayahku selama 30 tahun dan beliau tidak sedikitpun menyebutkan tentang Syi’ah kepadaku. Beliau juga tidak pernah menyembunyikan sesuatu kepadaku.”
Ada kepincangan dalam cara berpikir penulis, Beliau meragukan kitab Al Muraja’at sebagai buat-buatan saja oleh Syaikh Al Musawi singkatnya dialog dalam buku itu fiktif Padahal buku itu sendiri menjelaskan tentang terjadinya dialog tersebut. Tidak masalah dengan diterbitkannya buku itu 20 tahun kemudian. Hal ini juga diakui terang-terangan oleh Syaikh Al Musawi dalam buku itu dimana beliau menjelaskan karena sesuatu hal maka buku ini baru bisa diterbitkan. Pincangnya adalah penulis itu dengan mudahnya mempercayai apa yang dikatakan Ali As Salus dalam Imamah dan Khilafah yang berhujjah dengan perkataan anaknya Syaikh Salim Al Bisyri yang tidak jelas siapa namanya, kapan ia mengatakan itu, dimana, dan siapa saksinya. Bukankah kalau memang benar begitu si anak tersebut lebih berhak untuk membersihkan nama ayahnya dari tuduhan, sayangnya sampai saat ini saya belum menemukan karya yang membantah Al Muraja’at oleh anak tersebut. Lagipula apakah pernyataan anak tersebut adalah hujjah mati bahwa dialog dalam buku itu fiktif. Bukankah bisa saja sang Ayah merahasiakan dialog tersebut dari anaknya. Dugaan-dugaan tidak bisa dijadikan dasar dalam berhujjah karena hanya melahirkan suatu kemungkinan tetapi tidak mengabaikan kemungkinan yang lain.

Saya tunjukkan sedikit kekeliruan Ali As Salus dalam Imamah dan Khilafah, beliau Ali As Salus telah membuat dugaan bahwa kitab Al Wilayat Fi Thuruq Al Ghadir yang dikarang oleh Ibnu Jarir Ath Thabari adalah bukan dikarang oleh Ath Thabari yang sunni melainkan oleh Ath Thabari yang syiah. Dugaan ini jelas tidak berdasar sama sekali. Pernyataannya ini jelas bertentangan dengan apa yang dikatakan Ibnu Katsir dalam Al Bidayah Wa An Nihayah yang menjelaskan bahwa kitab itu memang dikarang oleh Ibnu Jarir Ath Thabari yang sunni. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Adz Dzahabi dalam Tadzkirat Al Huffaz, Adz Dzahabi menulis bahwa ” ketika Al Thabari mendengar bahwa Ibnu Abi Dawud menolak keotentikan hadis Al Ghadir, beliau menulis buku mengenai keotentikannya dan keutamaan Ahlul Bait” kemudian Adz Dzahabi menambahkan bahwa dia sendiri melihat satu jilid karya Ath Thabari tentang Thuruq Hadis Al Ghadir dan dibuat kagum oleh besarnya jumlah periwayatnya. Yang bisa kita ambil sebagai pelajaran adalah tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa setiap dugaan memerlukan bukti agar bisa dipercaya. Tapi sayangnya ada banyak orang yang lebih mudah mempercayai dugaan karena dipengaruhi kecenderungannya.

2 Tanggapan


  1. Bukannya ahli tafsir sunni sepakat kalau alMaidah ayat 67 turun di ghadir kum
    banyak kitab tafsir Sunni yang meriwayatkannya

    Almaidah ayat 3 itu juga turun di ghadir kum, anda bisa lihat riwayat ini dalam Ma Nazal Quran Ali oleh AlIsfahani,kalau tidak salah

  2. @Ali
    Saya berterimakasih kalau Mas mau membahas lebih lanjut soal Kesepakatan ahli Tafsir sunni
    Rasanya saya juga pernah baca hadis dalam sumber yang Mas sebutkan
    Dan Maaf sanadnya juga bermasalah Mas

Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Ayat Al Wilayah)

Ayat Al Wilayah
https://secondprince.wordpress.com/2007/10/11/jawaban-untuk-saudara-ja%E2%80%99far-tentang-imamah-ayat-al-wilayah/
  “Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka ruku’ (kepada Allah)” (Q.S.Al-Ma’idah ayat 55)
Ayat ini dikatakan oleh Ulama Syiah sebagai ayat yang turun kepada Imam Ali, mereka berkata “Orang-orang yang beriman yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya ruku” berkenaan kepada Ali yang ketika itu memberikan cincinnya kepada peminta-minta ketika beliau dalam posisi ruku’ dalam sholat.

Dan sepertinya sang penulis(saudara Ja’far) menunjukkan keraguannya tentang hal ini. Beliau berkata

Hadis-hadis tentang asbabun nuzul ayat ini adalah hadis-hadis yang periwayatnya diperselihkan atau bahkan mungkin hadis dhaif/maudhu’.
Pernyataan ini adalah tidak benar, hadis yang menerangkan asbabun nuzul ayat ini memiliki banyak sanad yang diriwayatkan dalam berbagai kitab Ahlus Sunnah, sebagian hadisnya memang diperselisihkan perawinya dan dhaif tetapi sebagian lagi ada yang shahih. Oleh karena itu hadis-hadis tersebut satu sama lainnya saling menguatkan.
Dalam kitab Lubab Al Nuqul fi Asbabun Nuzul Jalaludin As Suyuthi hal. 93 beliau menjabarkan jalur-jalur dari hadis asbabun nuzul ayat ini, kemudian ia berkata ” Dan ini adalah bukti-bukti yang saling mendukung”. Atau dapat dilihat dalam Edisi terjemahannya dari Kitab As Suyuthi oleh A Mudjab Mahali dalam Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al Quran hal 326 menguatkan asbabun nuzul ayat ini untuk Imam Ali. Beliau membawakan hadis At Thabrani dalam Al Awsath dan mengkritiknya karena terdapat perawi yang majhul dalam sanadnya tetapi kemudian beliau melanjutkan keterangannya ”Sekalipun hadis ini ada rawi yang majhul(tidak dikenal) tetapi mempunyai beberapa hadis penguat di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Abdil Wahab bin Mujahid dari Ayahnya dari Ibnu Abbas. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawih dari Ibnu Abbas dan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mujahid dan Ibnu Abi Hatim dari Salamah bin Kuhail. Hadis ini satu sama lainnya saling kuat menguatkan”.
Pernyataan Ulama Syiah bahwa mayoritas ahli hadis dan ahli tafsir menyatakan bahwa ayat ini turun untuk Imam Ali, sebenarnya juga dinyatakan oleh Ulama Sunni At Taftazani Asy Syafii dalam Syarh Al Maqashid, Al Jurjani dalam Syarh Al Mawaqif dan Al Qausyaji dalam Syarh Tajrid. Bahkan Al Alusi dalam Ruh Al Ma’ani jilid 6 hal 167 mengatakan bahwa turunnya ayat tersebut untuk Imam Ali ra adalah pendapat kebanyakan Ahli hadis.
Saya ingin sekali meminta kepada penulis tersebut siapa yang menyatakan hadis asbabun nuzul ayat ini untuk Imam Ali adalah dhaif atau maudhu’ setelah menganalisis semua jalur sanadnya. Sekedar pernyataan dari Ali As Salus dalam Imamah dan Khilafah atau Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj As Sunnah jelas tidak kuat. Alasannya karena mereka yang saya sebutkan itu tidak menganalisis semua jalur sanad hadis asbabun nuzul ayat Al Wilayah. Mereka hanya mencacat sebagian hadisnya, seperti Ali As Salus yang hanya membahas hadis ini dalam Tafsir Ath Thabari kemudian langsung memutuskan bahwa riwayat tersebut dhaif tanpa melihat banyak sanad lainnya dari kitab lain. Apalagi Ibnu Taimiyyah yang melakukan banyak kekeliruan dalam Minhaj As Sunnah antara lain beliau mengatakan bahwa hadis asbabun nuzul ayat ini tidak ditemukan dalam Tafsir Ath Thabari dan Tafsir Al Baghawi padahal kenyataannya kedua kitab tafsir itu memuat hadis yang kita bicarakan ini.
Kemudian sang penulis(Ja’far) juga menyatakan keraguan bahwa Ayat Al Wilayah ini turun untuk Imam Ali, beliau berkata

Dalam ayat tsb sangat jelas bahwa “orang-orang yang beriman…” adalah jamak, maka bagaimana mungkin ayat itu menunjuk kepada satu orang yaitu Ali bin Abi Thalib r.a.
Disini letak kekeliruan sang penulis dimana beliau telah menempatkan subjektivitasnya dalam menilai suatu nash. Ulama Syiah Syaikh Al Musawi dalam Al Muraja’at telah menyatakan bahwa memang ada ayat Al Quran yang kata-katanya jamak tetapi ditujukan untuk orang tertentu. Saya tidak akan menukil pernyataan Syaikh Al Musawi cukuplah kiranya saya menukil pernyataan penulis sendiri dalam pembahasan Ayat Al Mubahalah

“Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Isa sesudah datang ilmu , maka katakanlah : “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Q.S.Ali Imran : 61).
Tentang ayat ini penulis(saudara Ja’far) berkata

Kebanyakan ahli Tafsir menyatakan Asbabun nuzul ayat ini berkenaan dengan Rasulullah SAW yang bermuhabalah dengan ahlul kitab nasrani. Kemudian Rasulullah mengajak Hasan, Husen, Fatimah dan Ali dalam bermuhabalah dengan orang Nasrani tsb. ‘Anak-anak kami’ mengacu kepada Hasan dan Husein, ‘Isteri-isteri kami’ mengacu kepada Fatimah Az-Zahra, dan ‘diri kami’ mengacu kepada Ali bin Abi Thalib.
Pernyataan An Nisaana yang diterjemahkan istri-istri kami atau perempuan perempuan kami adalah bersifat jamak, lalu mengapa hanya mengacu pada Sayyidah Fatimah Az Zahra saja.(perlu diingatkan bahwa dalam Shahih Muslim jelas bahwa hanya Sayyidah Fatimah Az Zahra as satu-satunya wanita yang diseru Nabi SAW untuk menyertai Beliau SAW bermubahalah). Jadi kalau pernyataan tentang ayat mubahalah ini diterima lantas mengapa mempermasalahkan Ayat Al Wilayah.
Selanjutnya saudara Ja’far menuliskan Syi’ah mengatakan bahwa penggunaan kata


“orang-orang yang beriman..dst” padahal ayat tersebut berkenaan dengan Ali dimaksudkan agar perbuatan Ali yang sangat peduli dan tidak menunda-nunda membantu orang miskin padahal ia (Ali) lagi sholat dicontoh oleh umat islam.
Jawabanku; Bagaimana mungkin Allah menjadikan perbuatan memberikan zakat/sedekah ketika sholat sebagai teladan yang ‘terukir’ dalam Qur’an padahal Sholat membutuhkan konsentrasi yang penuh?
.
Pernyataan seperti dimaksudkan agar perbuatan Ali yang sangat peduli dan tidak menunda-nunda membantu orang miskin padahal ia (Ali) lagi sholat dicontoh oleh umat islam, sebenarnya juga dikemukakan oleh Ulama Sunni Az Zamakhsyari dalam Tafsir Al Kasyaf ketika membahas ayat Al Wilayah. Yang ingin penulis(saudara Ja’far) sampaikan adalah bagaimana mungkin bisa dibolehkan dalam shalat padahal shalat membutuhkan konsentrasi penuh. Sebelum menjawab penulis maka marilah kita perhatikan hadis-hadis ini. “Bunuhlah kedua binatang yang hitam itu sekalipun dalam (keadaan) shalat, yaitu ular dan kalajengking.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan lainnya, shahih)
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat meng-hadap ke arah sesuatu yang menjadi pembatas baginya dari manusia, kemudian ada yang mau melintas di hadapannya, maka hendaklah dia mendorongnya dan jika dia memaksa maka perangilah (cegahlah dengan keras). Sesungguhnya (perbuatannya) itu adalah (atas dorongan) syaitan.” (Muttafaq ‘alaih)
“Dari Jabir bin Abdullah , ia berkata, ‘Telah mengutus-ku Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam sedang beliau pergi ke Bani Musthaliq. Kemudian beliau saya temui sedang shalat di atas onta-nya, maka saya pun berbicara kepadanya. Kemudian beliau memberi isyarat dengan tangannya. Saya ber-bicara lagi kepada beliau, kemudian beliau kembali memberi isyarat sedang saya mendengar beliau membaca sambil memberi isyarat dengan kepalanya. Ketika beliau selesai dari shalatnya beliau bersabda, ‘Apa yang kamu kerjakan dengan perintahku tadi? Sebenarnya tidak ada yang menghalangiku untuk bicara kecuali karena aku dalam keadaan shalat’.” (HR. Muslim)
Dari Ibnu Umar, dari Shuhaib , ia berkata: “Aku telah melewati Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam ketika beliau sedang shalat, maka aku beri salam kepadanya, beliau pun membalasnya dengan isyarat.” Berkata Ibnu Umar: “Aku tidak tahu terkecuali ia (Shuhaib) berkata dengan isyarat jari-jarinya.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan selain mereka, hadits shahih)
“Dari Abu Qatadah Al-Anshari berkata, ‘Aku melihat Nabi Shallallaahu alaihi wasallam mengimami shalat sedangkan Umamah binti Abi Al-‘Ash, yaitu anak Zainab putri Nabi Shallallaahu alaihi wasallam berada di pundak beliau. Apabila beliau ruku’, beliau meletak-kannya dan apabila beliau bangkit dari sujudnya beliau kembalikan lagi Umamah itu ke pundak beliau.” (HR. Muslim)
“Dari Aisyah radhialaahu anha, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam sedang shalat di dalam rumah, sedangkan pintu tertutup, kemudian aku datang dan minta dibukakan pintu, beliau pun berjalan menuju pintu dan membukakannya untukku, kemudian beliau kembali ke tempat shalatnya. Dan terbayang bagiku bahwa pintu itu menghadap kiblat.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan lainnya, hadits hasan)
“Dari Ibnu Abbas , ia berkata, ‘Aku pernah menginap di (rumah) bibiku, Maimunah, tiba-tiba Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bangun di waktu malam mendirikan shalat, maka aku pun ikut bangun, lalu aku ikut shalat bersama Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarik kepalaku dan menempatkanku di sebelah kanannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Seandainya kita memakai logika yang dipakai oleh saudara penulis itu maka kita akan mengatakan maka Bagaimana mungkin membunuh ular atau kalajengking, menghadang orang yang lewat, memberi isyarat kepada orang yang berbicara atau memberi salam, menggendong anak, membukakan pintu dan menarik tubuh orang ketika shalat menjadi teladan karena bukankah shalat membutuhkan konsentrasi penuh. Lantas apakah hadis-hadis itu mesti ditolak?.
Mari kita lanjutkan tulisan Beliau

Memang sangat bagus untuk tidak menunda-nunda membantu orang miskin yang butuh kepada kita tetapi sholat tidaklah memakan waktu yang lama, bukankah lebih baik jika orang miskin tsb meminta setelah sholat usai? atau jika dilihat dari sudut pandang orang miskin tsb, maka Al-Qur’an membolehkan/tidak menegur orang miskin meminta sedekah kepada orang yang lagi sholat padahal menurut saya (dan semua orang) perbuatan orang miskin tsb kurang beradab.
Apakah benar perbuatan orang miskin tersebut kurang beradab? Saya heran apakah penulis membaca sendiri hadis tentang ayat Al Wilayah ini. Bukankah pada hadis itu dijelaskan bahwa awalnya pengemis itu meminta-minta di masjid kepada beberapa orang di masjid(yang sedang tidak shalat) tetapi tidak ada satupun yang memberi. Ketika itu Imam Ali sedang shalat kemudian Beliau memberi isyarat kepada pengemis dengan jarinya yang bercincin dan pengemis itu mendekat kemudian pengemis itu mengambil cincin tersebut.
Tentu saja tidak ada yang mengatakan kalau pengemis itu langsung meminta kepada orang yang shalat. Pengemis itu mendekat ketika Imam Ali sendiri berisyarat. Bukankah memberi isyarat dalam shalat adalah hal yang dibolehkan. Seandainya juga pengemis itu langsung meminta kepada Imam Ali yang ketika itu sedang shalat apakah lantas dikatakan tidak beradab lalu bagaimana dengan Jabir bin Abdullah yang berbicara dua kali kepada Nabi SAW yang ketika itu sedang shalat atau Ibnu Umar yang memberi salam kepada Nabi SAW ketika Beliau SAW sedang shalat. Apakah Nabi SAW selanjutnya melarang mereka Jabir bin Abdullah dan Ibnu Umar? Tidak kok(lihat saja hadis yang saya kutip di atas). Yang perlu ditambahkan adalah Ayat Al Wilayah ini juga dimasukkan oleh ahli tafsir Sunni Abu Bakar Al Jashshash dalam kitabnya Tafsir Ahkam Al Quran sebagai dasar bahwa sedikit gerakan dalam shalat tidak membatalkan shalat dan sedekah sunah dapat dinamai zakat.
Kata-kata beliau

Syi’ah juga menyebutkan bahwa bersedekah ketika ruku’ dalam sholat itu tidak mengurangi posisi Amirul Mukminin (Ali), bahkan tindakan itu diikuti para imam sesudahnya.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan kata-kata ini tetapi penulis menanggapi dengan

Di sini timbul pertanyaan, “Jika tindakan ini merupakan cermin keutamaan penghulu para Imam (Ali r.a) yang diikuti oleh para imam, lalu mengapa tindakan ini tidak dilakukan oleh manusia terbaik, Nabi Muhammad SAW? Juga tidak dilakukan oleh para sahabat yang lain?
Jawab saya: apakah setiap keutamaan seseorang itu harus diikuti oleh orang lain, bukankah setiap orang memiliki keutamaan masing-masing. Apakah seandainya suatu keutamaan tidak diikuti oleh beberapa orang maka gugurlah keutamaan itu?. Bukankah banyak keutamaan Imam Ali yang tidak dimiliki oleh sahabat yang lain.
Mengenai tafsir Al Maidah ayat 55 yang beliau jelaskan adalah penafsiran yang menyesuaikan dengan urutan ayat. Tafsir yang beliau kemukakan itu sama dengan tafsir ayat tersebut dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir. Pendapat saya tentang tafsir ini boleh-boleh saja. Tidak ada masalah, justru yang jadi masalah jika kita mengabaikan banyak hadis yang menjelaskan asbabun nuzul ayat ini.

Ayat Al Wilayah Al Maidah 55 Turun Untuk Imam Ali

 

Ayat Al Wilayah Al Maidah 55 Turun Untuk Imam Ali

Menanggapi komentar seseorang dalam tulisan saya Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Ayat Al Wilayah) maka dengan ini saya nyatakan saya akan berusaha menampilkan tulisan yang akan memperjelas Shahihnya pernyataan Ayat Al Wilayah Al Maidah Ayat 55 Turun Untuk Imam Ali.

Ayat yang dimaksud adalah

Sesungguhnya Waliy kamu hanyalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka Ruku’ (kepada Allah).

Kalau terjemahan versi Departemen Agama adalah sebagai berikut

Sesungguhnya Penolong kamu hanyalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka Tunduk (kepada Allah).

Ayat di atas diturunkan untuk Imam Ali AS sehubungan dengan peristiwa dimana Beliau memberikan sedekah kepada seorang peminta-minta ketika sedang ruku’ dalam shalat. Ada banyak hadis yang menjelaskan tentang Asababun Nuzul ayat ini . Di antara hadis-hadis tersebut ada yang shahih dan dhaif ,walaupun begitu As Suyuthi salah seorang Ulama Ahlus Sunnah dalam Kitabnya Lubab An Nuqul Fi Asbabun Nuzul menyatakan bahwa sanad hadis tersebut saling kuat-menguatkan. Berikut ini saya akan menampilkan salah satu hadis shahih tentang Asbabun Nuzul ayat tersebut.
.


Hadis Shahih Dalam Tafsir Ibnu Katsir
Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir jilid 5 hal 266 Al Maidah ayat 55 diriwayatkan dari Ibnu Mardawaih dari Sufyan Ats Tsauri dari Abi Sinan dari Dhahhak bin Mazahim dari Ibnu Abbas yang berkata

“ketika Ali memberikan cincinnya kepada peminta-minta selagi Ia Ruku’ maka turunlah ayat “Sesungguhnya Waliy kamu hanyalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka Ruku’.”(Al Maidah 55).

Hadis ini diriwayatkan oleh perawi-perawi yang dikenal tsiqah. Walaupun begitu Ibnu Katsir mencacatkan hadis ini karena menurutnya Ad Dhahhak tidak bertemu dengan Ibnu Abbas jadi hadis tersebut Munqathi(terputus sanadnya).
Menurut kami pernyataan Ibnu Katsir tersebut keliru, Ad Dhahhak mendengar dari Ibnu Abbas. Berikut adalah sedikit analisis mengenai sanad Ad Dhahhhak dari Ibnu Abbas.
.
Ad Dhahhak bertemu dengan Ibnu Abbas
Dalam kitab As Saghir Al Bukhari dan Tarikh Al Kabir jilid 4 hal 332 Bukhari menyatakan bahwa Ad Dhahhak meninggal tahun 102 H, ada yang mengatakan tahun 105 H dan usianya telah mencapai 80 tahun. Sedangkan Ibnu Abbas meninggal tahun 68 H atau 70 H sebagaimana yang dikatakan Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir jilid 5 hal 3. Hal ini menunjukkan bahwa Ad Dhahhak lahir tahun 22 H atau 25 H sehingga beliau satu masa dengan Ibnu Abbas dan ketika Ibnu Abbas meninggal usia Ad Dhahhak mencapai lebih kurang 45 tahun. Adanya kemungkinan bertemu dan satu masa ini sudah cukup untuk menyatakan bahwa sanad Ad Dhahhak dari Ibnu Abbas adalah bersambung(muttasil) dan tidak terputus(munqathi). Persyaratan ketersambungan sanad dengan dasar perawi-perawi tsiqah tersebut dalam satu masa adalah kriteria yang ditetapkan Imam Muslim dalam kitab hadisnya Shahih Muslim. Maka berdasarkan Syarat Imam Muslim, Adh Dhahhak yang tsiqah satu masa dengan Ibnu Abbas maka sanad Adh Dhahhak dari Ibnu Abbas adalah bersambung atau muttasil.


.

Alasan Ulama Menyatakan Inqitha’ Sanad Adh Dhahhak Dari Ibnu Abbas
Lantas Mengapa ada ulama seperti Ibnu Katsir menyatakan bahwa sanad Ad Dhahhak dari Ibnu Abbas adalah terputus atau munqathi?. Hal ini dikarenakan adanya riwayat dalam Kitab Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim jilid 4 no 2024 dari Abdul Malik bin Abi Maysarah yang berkata Ia pernah bertanya kepada Adh Dhahhak “Apakah kamu mendengar sesuatu dari Ibnu Abbas?”. Adh Dhahhak menjawabnya tidak. Abdul Malik kemudian bertanya “Jadi dari mana kamu ambil cerita yang kamu katakan dari Ibnu Abbas?”. Adh Dhahhak menjawab dari fulan dan dari fulan


.

Kritik Terhadap Inqitha’ Sanad Ad Dhahhak Dari Ibnu Abbas
Alasan tersebut tetap saja tidak menafikan bersambungnya sanad Adh Dhahhak dari Ibnu Abbas dengan pertimbangan.

  • Hal ini karena terdapat riwayat yang lain, justru menyatakan bahwa Adh Dhahhak mendengar dari Ibnu Abbas. Ibnu Hajar dalam Tahdzib At Tahdzib jilid 4 hal 398 meriwayatkan dari Abu Janab Al Kalbi yang mendengar Ad Dhahhak berkata “Aku menyertai Ibnu Abbas selama 7 tahun”. Riwayat ini sudah jelas menyatakan bahwa Adh Dhahhak memang bertemu Ibnu Abbas apalagi dikuatkan oleh bahwa beliau memang satu masa dengan Ibnu Abbas.
  • Adh Dhahhak bin Muzahim Adalah seorang tabiin yang terkenal tsiqah dan amanah sedangkan riwayat Ibnu Abi Hatim berkesan beliau meriwayatkan hal yang ia dengar dari orang lain kemudian menisbatkannya kepada Ibnu Abbas tanpa mendengar sendiri dari Ibnu Abbas.
  • Riwayat Ibnu Abi Hatim tertolak(dengan pertimbangan-pertimbangan di atas) atau dapat saja diterima dengan pengertian bahwa apa yang dikatakan Adh Dhahhak itu berkaitan dengan beberapa hadis yang dinisbatkan kepada beliau dari Ibnu Abbas. Padahal beliau sendiri tidak mendengar riwayat itu langsung dari Ibnu Abbas.
Pernyataan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Syarh Musnad Ahmad bin Hanbal telah menolak pernyataan Inqitha’(keterputusan) Adh Dhahhak dari Ibnu Abbas. Beliau menyatakan bahwa hal itu keliru dan beliau telah menshahihkan hadis dengan sanad Adh Dhahhak dari Ibnu Abbas. Salah satunya tertera dalam Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 Syarh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir catatan kaki hadis no 2262, dimana beliau berkata

“…Adh Dhahhak bin Muzahim AlHilali Abu Al Qasim adalah seorang tabiin, dia meriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan yang lainnya, dia orang yang tsiqah lagi amanah sebagaimana yang dinyatakan Ahmad. Sebagian mereka mengingkari mendengarnya Adh Dhahhak dari Ibnu Abbas atau sahabat lainnya, demikian yang diisyaratkan Al Bukhari pada biografinya dengan ungkapan Humaid ‘mursal’. Mengenai hal ini banyak sekali catatan, bahkan hal itu keliru karena ia meninggal pada tahun 102 ada juga yang mengatakan tahun 105 dan usianya telah mencapai 80 tahun atau lebih…”.
.

Semua pertimbangan di atas menunjukkan bahwa yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwa sanad Adh Dhahhak dari Ibnu Abbas adalah bersambung atau tidak terputus. Dalam hal ini Ibnu Katsir keliru ketika mencacat hadis tersebut dan derajat hadis tersebut sebenarnya shahih. Wallahu ‘Alam.

Kedustaan Penulis Kitab Lillahi Tsumma Lil-Tarikh “Mengapa Saya Keluar Dari Syiah” [Sayyid Husain Al Musawi]

Kedustaan Penulis Kitab Lillahi Tsumma Lil-Tarikh “Mengapa Saya Keluar Dari Syiah” [Sayyid Husain Al Musawi]
https://secondprince.wordpress.com/2010/05/27/kedustaan-penulis-kitab-lillahi-tsuma-lil-tarikh-%E2%80%9Cmengapa-saya-keluar-dari-syiah%E2%80%9D-sayyid-husain-al-musawi/

Kitab Lillahi Tsuma Lil-Tarikh yang ditulis oleh orang yang menyebut dirinya Husain Al Musawi termasuk kitab yang menjadi andalan salafy nashibi untuk merendahkan mahzab syiah. Banyak pengikut salafiyun yang tidak henti-hentinya berhujjah dengan kitab ini. Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Mengapa Saya Keluar Dari Syiah?”. Judul yang provokatif dan tentu saja para pembaca akan sulit menemukan hal-hal yang baik di dalam kitab tersebut.

Pokok bahasan ini bisa dibilang sudah basi dan cukup banyak para pengikut syiah yang telah membahas kitab ini. Mereka pengikut syiah menyatakan kalau penulis kitab ini “fiktif” dan kitab tersebut penuh dengan kedustaan. Tentu saja adalah hak syiah untuk membela diri dari siapapun yang merendahkan mahzab mereka. Kami telah membaca sebagian tulisan pengikut syiah tersebut dan berusaha menelitinya dengan bantuan teman-teman yang memang lebih kompeten untuk itu. Berikut adalah sedikit bukti yang menunjukkan kedustaan yang ada di dalam kitab tersebut.

Ternyata jati diri Husain Al Musawi tidaklah dikenal di kalangan syiah, pernyataan bahwa ia seorang mujtahid, murid Syaikh Muhammad Kasyf Al Ghita, pernah belajar di Najaf dan sebagainya hanya bersumber dari kitab itu sendiri. Dengan kenyataan ini terdapat tiga kemungkinan

  • Husain Al Musawi benar akan kesaksiannya mengenai dirinya sendiri tetapi Syiah berusaha menyangkalnya
  • Husain Al Musawi berdusta akan kesaksiannya mengenai dirinya oleh karena itu Syiah tidak mengenalnya
  • Husain Al Musawi itu tidak pernah ada, tokoh ini adalah tokoh fiktif dan orang yang menulis kitab tersebut menggunakan nama palsu Husain Al Musawi

Sangatlah sulit untuk membuktikan dengan pasti yang mana dari ketiga kemungkinan tersebut yang benar. Tetapi secara metodologis kita dapat menggunakan metode sederhana yang sesuai dengan standar ilmu hadis atau rijalul hadis. Dalam ilmu jarh wat ta’dil seseorang itu dinilai tsiqat atau tidak, pendusta atau tidak diantaranya dengan menilai riwayat-riwayat yang dibawakan oleh orang tersebut. Apakah benar adanya ataukah suatu kedustaan?. Jika terbukti bahwa seseorang itu berdusta maka riwayatnya tidak bisa diterima dan tetaplah jarh “kadzab” padanya. Oleh karena itu kami akan menggunakan kesaksian sang penulis kitab tersebut “Husain Al Musawi”. Penulis kitab tersebut berkata

وفي ختام مبحث الخمس لا يفوتني أن أذكر قول صديقي المفضال الشاعر البارع المجيد أحمد الصافي النجفي رحمه الله، والذي تعرفت عليه بعد حصولي على درجة الاجتهاد فصرنا صديقين حميمين رغم فارق السن بيني وبينه، إذ كان يكبرني بنحو ثلاثين سنة أو أكثر عندما قال لي: ولدي حسين لا تدنس نفسك بالخمس فإنه سحت، وناقشني في موضوع الخمس حتى أقنعني بحرمته

Dan diakhir pembahasan tentang khumus ini, saya tidak akan melewatkan perkataan seorang teman yang utama, penyair besar dan terkenal, Ahmad Ash Shaafiiy An Najafiiy rahimahullah, dan saya mengenal beliau setelah saya mencapai derajat ijtihad [mujtahid]. Kami menjalin pertemanan yang sangat baik walaupun terdapat perbedaan umur yang jauh, dimana dia lebih tua dari saya tiga puluh tahun atau lebih. Dia berkata kepada saya “Anakku Husain, janganlah kamu kotori dirimu dengan khumus karena ia adalah haram”. Dia berdiskusi dengan saya tentang khumus sampai saya merasa yakin akan keharamannya. [Lillahi Tsumma Lil-Tarikh hal 95-96]

Disebutkan bahwa Ahmad bin Ali Ash Shaafiiy An Najafiiy lahir tahun 1314 H dan wafat pada tahun 1397 H [Mu’jam Rijal Al Fikr Wal Adab Fil Najaf 2/793 Syaikh Muhammad Hadi Al Amini]. 


Dengan berdasarkan data ini maka dapat diperkirakan kalau si penulis “Husain Al Musawi” yang lebih muda tiga puluh tahun atau lebih dari Ahmad Ash Shaafiiy lahir pada tahun 1314+30=1344 H atau lebih. Kemudian sang penulis berkata

في زيارتي للهند التقيت السيد دلدار علي فأهداني نسخة من كتابه (أساس الأصول) جاء في (ص51) (إن الأحاديث المأثورة عن الأئمة مختلفة جداً لا يكاد يوجد حديث إلا وفي مقابله ما ينافيه، ولا يتفق خبر إلا وبإزائه ما يضاده) وهذا الذي دفع الجم الغفير إلى ترك مذهب الشيعة

Dalam kunjungan saya ke india, saya bertemu dengan Sayyid Daldar Ali, dia memperlihatkan kepada saya kitabnya yaitu Asaas Al Ushul. Disebutkan dalam halaman 51 “bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan dari para Imam sangat bertentangan . Tidak ada satu hadispun kecuali ada hadis lain yang menafikannya, tidak ada suatu khabar yang sesuai kecuali terdapat kabar yang menantangnya”. Inilah yang menyebabkan sebagian besar manusia meninggalkan mahzab syiah [Lillahi Tsumma Lil-Tarikh hal 134]

Disebutkan bahwa Sayyid Daldar Ali bin Muhammad An Naqawiiy penulis kitab Asaas Al Ushul wafat pada tahun 1235 H [Adz Dzarii’ah ilaa Tashanif Asy Syii’ah 2/4 Syaikh Agha Bazrak Ath Thahraani]

Berdasarkan keterangannya sendiri maka Husain Al Musawi diperkirakan lahir pada tahun 1344 H atau di atas tahun tersebut dan berdasarkan keterangannya sendiri Husain Al Musawi bertemu dengan Sayyid Daldar Ali yang wafat pada tahun 1235 H. Bagaimana mungkin Husain Al Musawi yang belum lahir bisa bertemu dengan Sayyid Daldar Ali?. Bukankah Husain Al Musawi lahir lebih dari 100 tahun setelah wafatnya Sayyid Daldar Ali. Bagi kami, ini jelas sekali menunjukkan kedustaan yang nyata. Pengakuan Husain Al Musawi di atas itu sudah pasti dusta. Jika seseorang telah terbukti berdusta dalam kitab yang ia tulis maka sangatlah wajar untuk meragukan keabsahan isi-isi kitabnya. Tidak diragukan lagi kalau Husain Al Musawi itu seorang pendusta atau mungkin saja ia adalah tokoh fiktif yang tidak pernah ada tetapi dibuat-buat oleh penulis kitab tersebut. Wallahu ‘alam


Aneh bin ajaib ternyata bukti seperti ini luput dari pandangan salafy nashibi. Tentu saja jika para salafy hanya menelan bulat setiap apa yang mereka baca maka tidaklah mengherankan kalau mereka tidak melihat kedustaan sang penulis. Tetapi bukankah para salafy itu membanggakan diri sebagai seorang yang objektif dan ilmiah seperti yang diumbar-umbar oleh Mamduh Farhan Al Buhairi [penulis gen syiah], orang yang memberikan kata pengantar untuk tulisan Husain Al Musawi. Sungguh manis di mulut tetapi pahit di hati, begitulah orang-orang yang mengidap penyakit “Syiahpobhia” di hatinya. Begitu besarnya kebencian mereka terhadap Syiah sehingga membuat mereka jatuh dalam kedustaan. 
https://secondprince.wordpress.com/2010/05/27/kedustaan-penulis-kitab-lillahi-tsuma-lil-tarikh-%E2%80%9Cmengapa-saya-keluar-dari-syiah%E2%80%9D-sayyid-husain-al-musawi/

Ayat Tathhir Khusus Untuk Ahlul Kisa’


Cahaya Di Atas Cahaya

Seterang Apapun Tetap Harus Membuka Mata

Ayat Tathhir Khusus Untuk Ahlul Kisa’

Dalam pembahasan sebelumnya kami pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait dalam Al Ahzab ayat 33 adalah Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS. Merekalah Ahlul Bait yang dimaksud dan bukan seperti yang dinyatakan oleh sebagian orang bahwa Ahlul Bait tersebut adalah istri-istri Nabi.


إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا

Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. (QS : Al Ahzab 33)

Kali ini kami hanya ingin menunjukkan bahwa dalil-dalil yang shahih telah menetapkan dan mengkhususkan bahwa ayat di atas ditujukan kepada mereka yang terkenal dengan sebutan Ahlul Kisa’ yaitu Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS.

Dalam Sunan Tirmidzi hadis no 3205 dalam Shahih Sunan Tirmidzi Syaikh Al Albani
عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه و سلم قال لما نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه و سلم { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا فاطمة و حسنا و حسينا فجللهم بكساء و علي خلف ظهره فجللهم بكساء ثم قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة وأنا معهم يا نبي الله ؟ قال أنت على مكانك وأنت على خير

Dari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi SAW yang berkata “Ayat ini turun kepada Nabi SAW {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.} di rumah Ummu Salamah, kemudian Nabi SAW memanggil Fatimah, Hasan dan Husain dan menutup Mereka dengan kain dan Ali berada di belakang Nabi SAW, Beliau juga menutupinya dengan kain. Kemudian Beliau SAW berkata “ Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”.

Hadis ini menjelaskan bahwa Ayat yang saat itu turun di rumah Ummu Salamah RA hanya penggalan Al Ahzab 33 yang berbunyi {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.}. Ayat ini dalam hadis di atas disebutkan bahwa ditujukan untuk Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS. Ayat ini tidak turun untuk istri-istri Nabi SAW. Buktinya adalah sebagai berikut

Perhatikan Al Ahzab ayat 32,33 dan 34 berikut

Ayat ke-32 berbunyi begini
Hai Istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.
Ayat ke-33 berbunyi begini
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.
Ayat ke-34 berbunyi begini
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.

Yang dicetak tebal adalah bagian yang khusus untuk Ahlul Kisa’ dan bukan istri-istri Nabi SAW. Sehingga jika digabungkan maka hasilnya begini

Bagian yang untuk Istri-istri Nabi SAW adalah berikut

Hai Istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.

Sedangkan bagian untuk Ahlul Kisa’ adalah berikut

Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.


Kedua bagian ini diturunkan secara terpisah dan hadis Sunan Tirmidzi di atas adalah bukti jelas bahwa kedua bagian ini turun terpisah. Mari kita buat Rekontruksi.

.


Hipotesis Null

Seandainya memang kedua bagian tersebut turun bersamaan maka bunyinya akan seperti ini.

Hai Istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.

Mari kita andaikan bahwa ayat tersebut turun dengan bunyi(lafaz) seperti ini di rumah Ummu Salamah

Verifikasi

Dengan menggunakan hadis Sunan Tirmidzi di atas sebagai alat penguji maka ada hal yang aneh disini yaitu

  • Hadis Sunan Tirmidzi hanya menyebutkan bahwa ayat yang turun saat itu hanya bagian yang ini saja Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. {Tidak sesuai dengan hipotesis}
  • Hadis Sunan Tirmidzi menyebutkan bahwa tepat ketika ayat tersebut turun Rasulullah SAW anehnya tidak memanggil Istri-istri Beliau. Bukankah ayat tersebut turun di rumah Ummu Salamah dan istri-istri Beliau jelas punya rumah sendiri maka jika memang ayat tersebut bunyinya seperti itu dan tertuju untuk istri-istri Beliau maka sudah pasti Beliau akan langsung memanggil Istri-istri Beliau yang lain. Hadis Sunan Tirmidzi malah menunjukkan hal yang berbeda yaitu justru Rasulullah SAW memanggil orang lain yang bukan istriNya yaitu Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS. {Tidak sesuai dengan hipotesisnya}
  • Hadis Sunan Tirmidzi menunjukkan Tepat setelah ayat tersebut turun Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Hal ini adalah aneh dan sangat tidak sinkron karena Apalagi yang perlu ditanyakan, apakah kata-kata awal pada ayat ke-32 Hai Istri-istri Nabi masih kurang jelas sehingga Ummu Salamah perlu bertanya kepada Nabi. Jika memang ayat tersebut ditujukan untuk istri-istri Nabi maka Ummu Salamah tidak akan bertanya apapun. Ya sudah jelas kan kalau beliau adalah istri Nabi. Apakah Ummu Salamah tidak memahami kata-kata yang mudah seperti itu?. Adanya pertanyaan tersebut telah menggugurkan postulat awal bahwa ayat tersebut diturunkan untuk Istri-istri Nabi SAW. {Tidak sesuai dengan hipotesis}


.

Hipotesis Tandingan

Ayat Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya turun sendiri untuk Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS.

Verifikasi

Dengan menggunakan hadis Sunan Tirmidzi sebagai penguji maka didapatkan sebagai berikut

  • Hadis Sunan Tirmidzi membuktikan bahwa bunyi ayat yang turun di rumah Ummu Salamah hanyalah ini Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. {Sesuai dengan hipotesisnya}
  • Dalam hadis Sunan Tirmidzi ketika ayat ini turun Rasulullah SAW memanggil Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS kemudian menutupinya dengan kain. {Sesuai dengan hipotesisnya}
  • Hadis Sunan Tirmidzi menunjukkan Tepat setelah ayat tersebut turun dan Rasul SAW menyelimuti Ahlul Kisa’ maka Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Hal ini dapat dimengerti karena pada bunyi ayat yang turun itu memang tidak disebutkan kata istri-istri Nabi sehingga Ummu Salamah bertanya apakah Ia bersama mereka sebagai yang dituju dalam ayat tersebut.{Sesuai dengan hipotesisnya bahwa ayat tersebut terpisah dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang berbicara tentang Istri-istri Nabi}.

Dapat dilihat bahwa Hadis Sunan Tirmidzi itu justru membuktikan kebenaran hipotesis tandingan bahwa Ayat tersebut khusus untuk Ahlul Kisa’.

..

Syubhat Para Penentang

Ada sebagian orang yang menentang pengkhususan Ayat Tathhir untuk Ahlul Kisa’. Mereka mengatakan bahwa ayat tersebut awalnya turun khusus untuk istri-istri Nabi kemudian di perluas kepada Ahlul Kisa’. Kekeliruan mereka telah ditunjukkan oleh Hadis Sunan Tirmidzi di atas dan hadis-hadis lain yang mengkhususkan Ayat Tathhir untuk Ahlul Kisa’(hadis ini akan ditunjukkan nanti). Kami telah membuktikan bahwa Hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas justru menyelisihi pernyataan mereka bahwa ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi SAW.

Mereka yang menentang tersebut mengajukan syubhat bahwa adanya doa Rasulullah SAW justru membuktikan bahwa ayat tersebut tidak tertuju untuk mereka. Untuk apa lagi di doakan jika memang ayat tersebut untuk Ahlul Kisa’. Adanya doa menunjukkan bahwa mereka sebelumnya tidak termasuk dalam ayat Tathhir sehingga Rasul SAW berdoa agar Ahlul Kisa’ bisa ikut masuk ke dalam ayat tersebut.

Syubhat ini mengakar pada prakonsepsi bahwa ayat tersebut turun untuk Istri-istri Nabi SAW. Seandainya mereka benar-benar berpegang pada teks hadis Sunan Tirmidzi maka tidak akan muncul syubhat seperti ini.

Perhatikan, pada mulanya ayat tersebut turun dengan bunyi seperti ini Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Ingat hanya kata-kata ini, dan kalau mereka para penentang itu berpegang pada hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas maka kami katakan siapa yang dituju dengan kata-kata ini?. Adakah mereka bisa mengatakannya atau menjawab. Kalau mereka menjawab ayat itu untuk istri-istri Nabi SAW, maka dari mana mereka bisa tahu?. Secara ayat itu hanya berbunyi Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Kalau mereka mengatakan dari ayat sebelum ini(yang ada kata-kata istri Nabi) maka sudah ditunjukkan bahwa Hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas menentang anggapan mereka. Bukankah telah dibuktikan bahwa ayat sebelumnya itu terpisah dari ayat yang kita bicarakan ini.

Maka mari kembali pada Hadis Sunan Tirmidzi di atas. Untuk mengetahui siapa yang dituju oleh ayat ini maka tidak bisa tidak, hanya bersandar pada keterangan Rasulullah SAW. Tepat setelah ayat ini turun maka tugas Beliaulah untuk menjelaskan siapa Ahlul Bait yang dimaksud. Dan Hadis Sunan Tirmidzi di atas menunjukkan siapa Ahlul bait dalam ayat yang baru turun Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.

Tepat setelah ayat ini turun maka Rasulullah SAW menunjukkan Siapa Ahlul bait yang dimaksud.

  • Beliau langsung memanggil siapa itu orang-orang yang dimaksud Ahlul Bait
  • Beliau mengkhususkannya dengan Perbuatan yaitu menyelimuti orang-orang tersebut dengan kain. Tindakan Rasulullah SAW menyelimuti dengan kain ini hanya bisa dipahami sebagai pengkhususan.
  • Setelah diselimuti maka Beliau kembali menegaskan dengan kata-kata yang jelas yaitu Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Kata-kata ini adalah keputusan final siapa Ahlul Bait yang dimaksud dan Rasulullah SAW menggunakan lafal maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya untuk menunjukkan kepada siapapun yang mendengarnya bahwa inilah Ahlul Bait yang tertera dalam kata-kata Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.


Oleh karena itu tepat setelah Ummu Salamah menyaksikan penyelimutan itu dan mendengar kata-kata Rasulullah SAW, beliau langsung mengerti bahwa merekalah yang dimaksud dalam ayat tersebut dan Ummu Salamah berharap ikut bersama mereka yang dituju oleh ayat tersebut dengan bertanya kepada Rasul SAW ”Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?”. Jadi Doa itu justru menjadi penegas yang kuat sebagai pengkhususan Ahlul Bait pada Ahlul Kisa’. Dan ini akan dipahami jika memang berpegang pada teks-teks hadis Sunan Tirmidzi di atas.

Para penentang itu mengajukan syubhat yang lain bahwa jawaban Rasulullah SAW terhadap pertanyaan Ummu Salamah “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan” adalah petunjuk bahwa Rasulullah SAW menyadari bahwa Ummu Salamah termasuk dalam ayat tersebut sehingga beliau berkata ”kamu dalam kebaikan”.

Syubhat ini terlihat jelas adalah sebuah pembenaran. Lihat pertanyaan Ummu Salamah adalah ”Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?” . Dan Jawaban pertanyaan ini hanya ada dua yaitu

  • Ummu Salamah bersama Mereka
  • Ummu Salamah tidak bersama Mereka

Jawaban Rasulullah SAW adalah “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”. Mereka para penentang itu mengatakan bahwa kata-kata Rasul SAW ini adalah isyarat bahwa Ummu Salamah memang Ahlul Bait yang dimaksud. Bisa dikatakan ini hanyalah klaim yang langsung ditetapkan berdasarkan konsepsi bahwa Ahlul Bait disini adalah istri-istri Nabi. Sama seperti sebelumnya jika mereka memang berpegang pada teks hadis ini maka dapat diketahui bahwa pernyataan mereka itu jelas dipaksakan. Bagaimana Mereka bisa mengartikan bahwa kata-kata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan” mengandung makna bahwa Ummu Salamah bersama Mereka adalah Ahlul Bait yang tertuju dalam ayat ini?.

Mari kita lihat kata-kata itu “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri” Jika dengan kata-kata ini saja maka yang dimaksud adalah Ummu Salamah tetap di tempatnya sendiri atau punya kedudukan sendiri. Kedudukan itu ada dua kemungkinan

  • Bersama Mereka Ahlul Bait
  • Tidak bersama Mereka Ahlul Bait

Hadis Sunan Tirmidzi di atas menunjukkan apa yang dilakukan Rasul SAW ketika ayat Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya ini turun. Ingat kata-kata ini saja tidak menunjukkan siapa Ahlul Bait yang dimaksud, sekali lagi kami tekankan disitulah Peran Rasulullah SAW. Dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas Rasul telah melakukan pengkhususan dengan perkataan dan perbuatan mengenai siapa Ahlul Bait tersebut. Jika memang kata-kata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri” memiliki arti bahwa Ummu Salamah selaku istri Nabi adalah Ahlul Bait bersama mereka maka Rasulullah SAW akan menetapkan hal yang sama yang ia lakukan pada Ahlul Kisa’ sebelumnya. Maka Beliau akan

  • Memanggil Istri-istriNya
  • Menyelimuti Mereka Istri-istriNya dengan kain
  • Mengatakan dengan kata-kata Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya.

Proses inilah yang dilakukan Rasul SAW kepada siapa yang dituju sebagai Ahlul Bait dalam ayat tersebut. Oleh karena Rasul SAW tidak melakukan hal ini maka arti kata-kata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri” lebih ke arah bahwa itu berarti Ummu Salamah punya kedudukan sendiri yang berbeda dengan Mereka Ahlul Kisa’. Jadi Ummu Salamah tidak bersama Mereka Ahlul Bait.

Para penentang mengajukan alasan bahwa semua itu tidak perlu dilakukan karena sudah jelas ayat tersebut untuk Istri-istri Nabi sedangkan yang dilakukan Nabi terhadap Ahlul Kisa’ karena mereka tidak tercakup dalam ayat tersebut sehingga Rasulullah SAW repot-repot melakukan ketiga hal yang dimaksud.

Perhatikan kata-kata yang dicetak tebal, itu sekali lagi menunjukkan kalau mereka lebih berpegang pada konsepsi mereka ketimbang hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas. Bagaimana mereka bisa tahu bahwa ayat tersebut untuk istri-istri Nabi, jika ayat tersebut bunyinya hanya “Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya”. Ingat Hadis Shahih Sunan Tirmidzi menyatakan bahwa bunyi ayat yang turun itu Cuma ini. Jika mereka mengatakan bahwa dari ayat sebelumnya maka sekali lagi Hadis Shahih Sunan Tirmidzi telah menyelisihi anggapan mereka seperti yang sudah dari awal kami jelaskan.


Begitu pula kata-kata Rasul SAW “dan kamu dalam kebaikan”, Ahlul Bait dalam Ayat Tathhir adalah keutamaan besar dan merupakan kebaikan yang sangat besar oleh karena itu Ummu Salamah berharap ikut masuk dalam ayat ini. Kata-kata “dan kamu dalam kebaikan” jelas tidak bisa begitu saja diartikan sebagai tanda bahwa Ummu Salamah adalah Ahlul Bait yang dimaksud karena kebaikan itu ada banyak atau dengan kata lain Menjadi Ahlul Bait yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah satu-satunya kebaikan yang ada walaupun jelas itu adalah kebaikan yang paling besar. Apakah kata-kata “dan kamu dalam kebaikan” ini saja mengandung makna bahwa Ummu Salamah adalah Ahlul Bait?. Jelas tidak, dan mereka para penentang itu memahaminya begitu karena dari awal mereka sudah menetapkan bahwa Ahlul Bait pada ayat tathhir adalah Istri-istri Nabi. Konsepsi yang dari awal mereka yakini wakaupun hadis Shahih Sunan Tirmidzi diatas menyelisihi anggapan mereka.

Oleh karena itu menyatakan begitu saja bahwa kata-kata “dan kamu dalam kebaikan” sebagai tanda bahwa Ummu Salamah adalah Ahlul Bait merupakan klaim yang dipaksakan. Kata-kata tersebut juga dapat dipahami sebagai penolakan halus dari Nabi SAW bahwa meskipun Ummu Salamah tidak bersama mereka sebagai Ahlul Bait dalam ayat tathhir maka beliau Ummu Salamah tetaplah memiliki kebaikan tersendiri. Penafsiran ini bersandar pada kata-kata sebelumnya yang tertera dalam hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas.

Syubhat lain yang juga sering dijadikan dasar dalam menolak pengkhususan bahwa Ahlul Bait yang dimaksud dalam Ayat Tathhir adalah Ahlul Kisa’ adalah tidak adanya kata-kata tegas yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menolak Ummu Salamah sebagai Ahlul Bait dalam ayat tersebut.

Perhatikan baik-baik, hadis Sunan Tirmidzi di atas menunjukkan penetapan Rasulullah SAW mengenai Siapa Ahlul Bait yang dimaksud dalam Ayat Tathhir maka kata-kata tegas yang menetapkan jelas jauh lebih diperlukan dibanding kata-kata tegas yang menolak. Bukankah jika tidak diketahui siapa Ahlul Bait yang dimaksud maka yang diperlukan adalah kata-kata yang jelas menetapkan siapa mereka dan bukan kata-kata yang jelas menolak. Mereka para penentang berkeras pada isyarat paksaan mereka karena mereka berasa lebih mengetahui duduk perkara sebenarnya dibanding Ummu Salamah Istri Nabi SAW.

Contoh nyata akan sikap ini kami lihat pada salah satu penulis Hafiz Firdaus yang ketika membahas ayat ini beliau menyatakan bahwa Ummu Salamah saat itu bertanya kepada Nabi SAW karena pada saat itu Nabi SAW belum memberitahukan ayat tersebut kepadanya sehingga ia bertanya dalam kondisi tidak tahu.

Hal ini yang kami katakan berasa lebih mengetahui dibanding Ummu Salamah RA sendiri. Syubhat Hafiz Firdaus ini jelas-jelas hanya mencari alasan. Apakah Sampai Ummu Salamah meriwayatkan hadis tersebut, beliau tetap belum diberi tahu oleh Nabi SAW?. Apa buktinya ada sesuatu yang harus diberitahukan Nabi SAW kepada Ummu Salamah?. Jangan-jangan memang tidak ada yang perlu diberitahukan Nabi SAW. Kalau memang ada, kenapa Ummu Salamah tidak mengungkapkannya dalam hadis di atas. Jika memang ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi SAW mengapa hal pertama yang dilakukan oleh Nabi SAW malah memanggil orang lain dan kenapa saat itu Beliau tidak memanggil istri-istrinya?. Syubhat itu justru mengundang banyak pertanyaan yang malah akan menjatuhkannya sendiri

Berikut akan kami kemukakan hadis yang menetapkan pengkhususan bahwa Ahlul Bait dalam ayat tathhir adalah Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS

حدثنا فهد ثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا حرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن جعفر بن عبد الرحمن البجلي عن حكيم بن سعيد عن أم سلمة قالت نزلت هذه الآية في رسول الله وعلي وفاطمة وحسن وحسين إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا
Telah menceritakan kepada kami Fahd yang berkata telah menceritakan kepada kami Usman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir bin Abdul Hamid dari ’Amasy dari Ja’far bin Abdurrahman Al Bajali dari Hakim bin Saad dari Ummu Salamah yang berkata Ayat {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya} turun ditujukan untuk Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.

Hadis di atas diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ath Thahawi dalam kitabnya Musykil Al Atsar juz 1 hal 227. Hadis ini juga diriwayatkan dalam Tarikh Al Kabir Al Bukhari juz 2 biografi no 2174(disini Bukhari hanya menyebutkan sanadnya dan sedikit penggalan hadis tersebut) dan Tarikh Ibnu Asakir juz 14 hal 143. Hadis di atas adalah hadis yang shahih dan diriwayatkan oleh para perawi tsiqat(terpercaya).

  • Abu Ja’far Ath Thahawi penulis kitab Musykil Al Atsar adalah seorang Fakih dan Hafiz bermahzab Hanafi, kredibilitasnya jelas sudah tidak diragukan lagi. Dalam kitab ini Ath Thahawi membuat Bab khusus yang menerangkan tentang Ayat Tathhir. Beliau membawakan beberapa riwayat yang berkaitan dengan ini dan kesimpulan dalam pembahasan beliau tersebut adalah Ayat Tathhir khusus untuk Ahlul Kisa’ saja.
  • Fahd, Beliau adalah Fahd bin Sulaiman bin Yahya dengan kuniyah Abu Muhammad Al Kufi. Beliau adalah seorang yang terpercaya (tsiqah) dan kuat (tsabit) sebagaimana dinyatakan oleh Adz Dzahabi dalam Tarikh Al Islam juz 20 hal 416 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Ibnu Asakir juz 48 hal 459 no 5635.
  • Usman bin Abi Syaibah adalah perawi Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Dalam Kitab Tahdzib At Tahdzib juz 7 biografi no 299, Ibnu Main berkata ”ia tsiqat”, Abu Hatim berkata ”ia shaduq(jujur)” dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.
  • Jarir bin Abdul Hamid, dalam Kitab Tahdzib At Tahdzib juz 2 biografi no 116 beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Main, Al Ajli, Imam Nasa’i, Al Khalili dan Abu Ahmad Al Hakim. Ibnu Kharrasy menyatakannya Shaduq dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.
  • Al ’Amasy adalah Sulaiman bin Mihran Al Kufi. Dalam Tahdzib At Tahdzib juz 4 biografi no 386, beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Al Ajli, Ibnu Main, An Nasa’i dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.
  • Ja’far bin Abdurrahman disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam At Ta’jil Al Manfaah juz 1 hal 387 bahwa Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Imam Bukhari menyebutkan biografinya dalam Tarikh Al Kabir juz 2 no 2174 seraya mengutip kalau dia seorang Syaikh Wasith tanpa menyebutkan cacatnya. Disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat juz 6 no 7050 bahwa ia meriwayatkan hadis dari Hakim bin Saad dan diantara yang meriwayatkan darinya adalah Al ’Amasy.
  • Hakim bin Sa’ad, sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 biografi no 787 bahwa beliau adalah perawi Bukhari dalam Adab Al Mufrad, dan perawi Imam Nasa’i. Ibnu Main dan Abu Hatim berkata bahwa ia tempat kejujuran dan ditulis hadisnya. Dalam kesempatan lain Ibnu Main berkata laisa bihi ba’sun(yang berarti tsiqah). Al Ajli menyatakan ia tsiqat dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.

Jadi sudah jelas bahwa hadis di atas sanadnya shahih dan para perawinya tsiqat(terpercaya). Hadis tersebut menjadi bukti yang jelas bahwa Ayat Tathhir Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya turun untuk Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS. Dan hadis ini juga menjadi bukti yang menguatkan kalau Hadis Sunan Tirmidzi mengandung makna bahwa Ahlul Bait dalam Ayat Tathhir adalah Ahlul Kisa’ saja.

.

Salam Damai

Catatan :

  • Percaya atau tidak, kami sebenarnya malas menulis. Dan kami kembali menulis ini karena kami kembali membicarakan ini. Jika ada yang ingin kami membuat banyak tulisan tentang ini(lagi) maka tolong sering-sering ajak bicaralah Mas SP itu. :mrgreen:
  • Jika anda menangkap elemen kekasaran pada tulisan ini maka lemparkan saja itu ke dunia lain, jangan biarkan dunia anda berubah menjadi dunia lain pula :mrgre
  •  

Hadis Yang Menjelaskan Siapa Ahlul Bait Yang Disucikan Dalam Al Ahzab 33


Hadis Yang Menjelaskan Siapa Ahlul Bait Yang Disucikan Dalam Al Ahzab 33

Dalam Al Qur’anul Karim terdapat ayat yang cukup fenomenal dan menjadi kontroversi diantara pengikut salafy dan pengikut syiah. Syiah meyakini kalau Ahlul Bait dalam Al Ahzab 33 [ayat tathir] bukanlah istri-istri Nabi sedangkan salafy dan para nashibi justru mengkhususkan bahwa ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi. Selain itu terdapat penafsiran baru dari kalangan “mereka yang terinfeksi virus nashibi” yaitu mereka mengatakan kalau Al Ahzab 33 turun memang untuk istri-istri Nabi hanya saja Nabi SAW memperluas makna Ahlul Bait itu kepada Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain.

Dalam pembahasan ini kami akan membuktikan bahwa penafsiran ini keliru, yang benar adalah Al Ahzab 33 turun untuk Ahlul Kisa’ yaitu Nabi SAW, Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain. Tentu saja kami akan membawakan riwayat-riwayat shahih yang menjadi bukti kejahilan mereka.

عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه و سلم قال لما نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه و سلم { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا فاطمة و حسنا و حسينا فجللهم بكساء و علي خلف ظهره فجللهم بكساء ثم قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة وأنا معهم يا نبي الله ؟ قال أنت على مكانك وأنت على خير

Dari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi SAW yang berkata “Ayat ini turun kepada Nabi SAW [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] di rumah Ummu Salamah, kemudian Nabi SAW memanggil Fatimah, Hasan dan Husain dan menutup Mereka dengan kain dan Ali berada di belakang Nabi SAW, Beliau juga menutupinya dengan kain. Kemudian Beliau SAW berkata “ Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?”. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”. [Shahih Sunan Tirmidzi no 3205].

Salafy nashibi berusaha berdalih dengan mengatakan bahwa hadis di atas bukan berarti mengkhususkan Ahlul Bait untuk Ahlul Kisa’ justru hadis di atas merupakan perluasan dari makna Ahlul Bait oleh Nabi SAW. Ayat tersebut memang turun untuk istri-istri Nabi tetapi Nabi SAW karena kecintaannya juga menginginkan ayat tersebut untuk Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain. Hujjah mereka ini batal dengan alasan berikut
  • Hadis Sunan Tirmidzi di atas menyebutkan bahwa ketika ayat tersebut turun Rasulullah SAW langsung memanggil Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain bukannya memanggil istri-istri Beliau. Ini bukti kalau ayat tersebut ditujukan untuk Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain dan bukan untuk istri-istri Nabi SAW.
  • Ummu Salamah tidak merasa kalau dirinya adalah Ahlul Bait yang dimaksud, padahal jika memang seperti yang diklaim para nashibi kalau Ahlul Bait dalam Al Ahzab 33 turun untuk istri-istri Nabi SAW maka Ummu Salamah pasti tahu kalau dirinyalah Ahlul Bait yang dimaksud dan Beliau tidak perlu mengajukan pertanyaan kepada Nabi [“Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?”] bahkan dalam riwayat lain Ummu Salamah bertanya [“Apakah Aku termasuk Ahlul Bait?”].
Nashibi berusaha membela diri dengan mengatakan kalau Ummu Salamah awalnya tidak tahu kalau ayat tersebut ditujukan untuknya sehingga pada saat itu ia bertanya dalam kondisi tidak tahu, barulah setelah itu ia mengetahui kalau ayat tersebut turun untuknya. Jawaban ini batal dengan alasan berikut

  • Pada awalnya nashibi mengatakan kalau ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi SAW dan Nabi SAW berkehendak agar Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain juga masuk dalam Ahlul Bait.  Kalau memang benar kejadiannya seperti itu maka ketika ayat tersebut turun Rasulullah SAW pertama-tama akan memberitahu Ummu Salamah karena sudah jelas beliau adalah istri Nabi SAW [apalagi ayat tersebut turun di rumahnya sehingga Nabi SAW bisa langsung memberitahu] kemudian Rasulullah SAW juga akan memanggil istri-istri Beliau yang lain untuk menyampaikan ayat tersebut. Setelah ayat tersebut disampaikan kepada orang-orang yang dituju maka barulah Rasulullah SAW melakukan keinginan atau kehendaknya agar Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain ikut masuk sebagai Ahlul Bait. Tetapi fakta yang ada dalam hadis shahih justru menyebutkan kalau Rasulullah SAW malah langsung memanggil Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain bukan istri-istrinya bahkan Rasulullah SAW tidak menyampaikan ayat tersebut kepada Ummu Salamah yang dari awal berada disana. Sungguh mustahil mengatakan kalau Nabi SAW lebih mendahulukan kehendak atau keinginannya dan menunda untuk menyampaikan firman Allah kepada orang yang dituju.
  • Kalau memang seperti yang dikatakan nashibi Ummu Salamah bertanya dalam kondisi tidak tahu atau Nabi SAW belum memberitahu kalau ayat tersebut turun untuknya selaku istri Nabi maka setelah itu sudah pasti Ummu Salamah akan diberitahu oleh Nabi SAW. Tentunya ketika Ummu Salamah meriwayatkan hadis ini kepada para tabiin maka saat itu Ummu Salamah pasti sudah mengetahui kalau pertanyaan yang ia ajukan sebelumnya kepada Nabi adalah kesalahpahamannya [karena pada dasarnya ia tidak perlu bertanya, toh ayat itu untuknya]. Jadi Ummu Salamah pasti akan menjelaskan kesalahpahamannya itu kepada para tabiin tetapi faktanya dalam riwayat-riwayat Ummu Salamah pertanyaan itu tetap ada dan tidak ada penjelasan Ummu Salamah kalau sebenarnya ia sudah salah paham. Ini justru membuktikan kalau arguman nashibi itu tidak bernilai dan hanya basa basi semata.

Al Ahzab 33 memang turun untuk Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain. Merekalah yang dituju dalam ayat tersebut bukannya seperti yang dikatakan nashibi kalau ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi dan ahlul kisa’ hanyalah perluasan ahlul bait berdasarkan kehendak Nabi. Perhatikan riwayat Ummu Salamah berikut

عن حكيم بن سعد قال ذكرنا علي بن أبي طالب رضي الله عنه عند أم سلمة قالت فيه نزلت (إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا) قالت أم سلمة جاء النبي صلى الله عليه وسلم إلى بيتي, فقال: “لا تأذني لأحد”, فجاءت فاطمة, فلم أستطع أن أحجبها عن أبيها, ثم جاء الحسن, فلم أستطع أن أمنعه أن يدخل على جده وأمه, وجاء الحسين, فلم أستطع أن أحجبه, فاجتمعوا حول النبي صلى الله عليه وسلم على بساط, فجللهم نبي الله بكساء كان عليه, ثم قال: “وهؤلاء أهل بيتي, فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا, فنزلت هذه الآية حين اجتمعوا على البساط; قالت: فقلت: يا رسول الله: وأنا, قالت: فوالله ما أنعم وقال: “إنك إلى خير”

Dari Hakim bin Sa’ad yang berkata “kami menyebut-nyebut Ali bin Abi Thalib RA di hadapan Ummu Salamah. Kemudian ia [Ummu Salamah] berkata “Untuknyalah ayat [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun . Ummu Salamah berkata “Nabi SAW datang ke rumahku dan berkata “jangan izinkan seorangpun masuk”. Lalu datanglah Fathimah maka aku tidak dapat menghalanginya menemui Ayahnya, kemudian datanglah Hasan dan aku tidak dapat melarangnya menemui kakeknya dan Ibunya”. Kemudian datanglah Husain dan aku tidak dapat mencegahnya. Maka berkumpullah mereka di sekeliling Nabi SAW di atas hamparan kain. Lalu Nabi SAW menyelimuti mereka dengan kain tersebut kemuian bersabda “Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya”. Lalu turunlah ayat tersebut ketika mereka berkumpul di atas kain. Ummu Salamah berkata “Wahai Rasulullah SAW dan aku?”. Demi Allah, beliau tidak mengiyakan. Beliau hanya berkata “sesungguhnya engkau dalam kebaikan”. [Tafsir At Thabari 22/12 no 21739]

Riwayat Hakim bin Sa’ad di atas dikuatkan oleh riwayat dengan matan yang lebih singkat dari Ummu Salamah yaitu

حدثنا فهد ثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا حرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن جعفر بن عبد الرحمن البجلي عن حكيم بن سعيد عن أم سلمة قالت نزلت هذه الآية في رسول الله وعلي وفاطمة وحسن وحسين  إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا

Telah menceritakan kepada kami Fahd yang berkata telah menceritakan kepada kami Usman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir bin Abdul Hamid dari ’Amasy dari Ja’far bin Abdurrahman Al Bajali dari Hakim bin Saad dari Ummu Salamah yang berkata Ayat [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun ditujukan untuk Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 1/227]

Riwayat Hakim bin Sa’ad ini sanadnya shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat

  • Fahd, Beliau adalah Fahd bin Sulaiman bin Yahya dengan kuniyah Abu Muhammad Al Kufi. Beliau adalah seorang yang terpercaya (tsiqah) dan kuat (tsabit) sebagaimana dinyatakan oleh Adz Dzahabi  dan Ibnu Asakir [Tarikh Al Islam 20/416 dan Tarikh Ibnu Asakir 48/459 no 5635]
  • Usman bin Abi Syaibah adalah perawi Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Main berkata ”ia tsiqat”, Abu Hatim berkata ”ia shaduq(jujur)” dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 7  no 299]
  • Jarir bin Abdul Hamid, beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Main, Al Ajli, Imam Nasa’i, Al Khalili dan Abu Ahmad Al Hakim. Ibnu Kharrasy menyatakannya Shaduq dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 2 no 116]
  • Al ’Amasy adalah Sulaiman bin Mihran Al Kufi. Beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Al Ajli, Ibnu Main, An Nasa’i dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386]
  • Ja’far bin Abdurrahman disebutkan oleh Ibnu Hajar bahwa Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Ta’jil Al Manfaah 1/ 387].  Imam Bukhari menyebutkan biografinya seraya mengutip kalau dia seorang Syaikh Wasith tanpa menyebutkan cacatnya [Tarikh Al Kabir juz 2 no 2174]. Disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat bahwa ia meriwayatkan hadis dari Hakim bin Saad dan diantara yang meriwayatkan darinya adalah Al ’Amasy. [Ats Tsiqat juz 6 no 7050]
  • Hakim bin Sa’ad, sebagaimana disebutkan bahwa beliau adalah perawi Bukhari dalam Adab Al Mufrad, dan perawi Imam Nasa’i. Ibnu Main dan Abu Hatim berkata bahwa ia tempat kejujuran dan ditulis hadisnya. Dalam kesempatan lain Ibnu Main berkata laisa bihi ba’sun(yang berarti tsiqah). Al Ajli menyatakan ia tsiqat dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 no 787]

Riwayat Ummu Salamah dikuatkan oleh riwayat Abu Sa’id Al Khudri sebagai berikut

حدثنا الحسن بن أحمد بن حبيب الكرماني بطرسوس حدثنا أبو الربيع الزهراني حدثنا عمار بن محمد عن سفيان الثوري عن أبي الجحاف داود بن أبي عوف عن عطية العوفي عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه في قوله عز و جل إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قال نزلت في خمسة في رسول الله صلى الله عليه و سلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهم

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ahmad bin Habib Al Kirmani yang berkata telah menceirtakan kepada kami Abu Rabi’ Az Zahrani yang berkata telah menceritakan kepada kami Umar bin Muhammad dari Sufyan Ats Tsawri dari Abi Jahhaf Daud bin Abi ‘Auf dari Athiyyah Al ‘Aufiy dari Abu Said Al Khudri RA bahwa firman Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun untuk lima orang yaitu Rasulullah SAW Ali Fathimah Hasan dan Husain radiallahuanhum [Mu’jam As Shaghir Thabrani 1/231 no 375]

Riwayat Abu Sa’id ini sanadnya hasan karena Athiyyah Al Aufy seorang yang hadisnya hasan dan Hasan Al Kirmani seorang yang shaduq la ba’sa bihi.

  • Hasan bin Ahmad bin Habib Al Kirmani dia seorang yang shaduq seperti yang disebutkan Adz Dzahabi [Al Kasyf no 1008]. Ibnu Hajar menyatakan ia la ba’sa bihi [tidak ada masalah] kecuali hadisnya dari Musaddad [At Taqrib 1/199]
  • Abu Rabi’ Az Zahrani yaitu Sulaiman bin Daud seorang Al Hafizh [Al Kasyf no 2088] dan Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/385]
  • Umar bin Muhammad Ats Tsawri seorang yang tsiqah, ia telah dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Ma’in, Ali bin Hujr, Abu Ma’mar Al Qathi’I, Ibnu Saad dan Ibnu Syahin. Disebutkan dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 4832].
  • Sufyan Ats Tsawri seorang Imam Al Hafizh yang dikenal tsiqah. Adz Dzahabi menyebutnya sebagai Al Imam [Al Kasyf no 1996] dan Ibnu Hajar menyatakan ia Al hafizh tsiqah faqih ahli ibadah dan hujjah [At Taqrib 1/371]
  • Daud bin Abi Auf Abu Jahhaf, ia telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in dan Ahmad bin Hanbal. Abu Hatim berkata “hadisnya baik” dan An Nasa’i berkata “tidak ada masalah dengannya”. [At Tahdzib juz 3 no 375] dan Ibnu Syahin telah memasukkan Abul Jahhaf sebagai perawi tsiqah [Tarikh Asma’ Ats Tsiqat no 347].
Athiyyah Al Aufy adalah seorang yang hadisnya hasan, kami telah membuat pembahasan yang khusus mengenai Beliau. Beliau adalah seorang tabiin dan pencacatan terhadapnya tidaklah tsabit seperti yang telah kami bahas.

Ummu Salamah sendiri tidak memahami seperti pemahaman nashibi. Ummu Salamah mengakui kalau ia bukan ahlul bait yang dimaksud dan jawaban Nabi “kamu dalam kebaikan” dipahami oleh Ummu Salamah bahwa ia tidak termasuk dalam Ahlul Bait Al Ahzab 33 yang disucikan

عن أم سلمة رضي الله عنها أنها قالت : في بيتي نزلت هذه الآية { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت } قالت : فأرسل رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى علي و فاطمة و الحسن و الحسين رضوان الله عليهم أجمعين فقال : اللهم هؤلاء أهل بيتي قالت أم سلمة : يا رسول الله ما أنا من أهل البيت ؟ قال : إنك أهلي خير و هؤلاء أهل بيتي اللهم أهلي أحق

Dari Ummu Salamah RA yang berkata “Turun dirumahku ayat [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait] kemudian Rasulullah SAW memanggil Ali Fathimah Hasan dan Husain radiallahuanhu ajma’in dan berkata “Ya Allah merekalah Ahlul BaitKu”. Ummu Salamah berkata “wahai Rasulullah apakah aku termasuk Ahlul Bait?”. Rasul SAW menjawab “kamu keluargaku yang baik dan Merekalah Ahlul BaitKu Ya Allah keluargaku yang haq”. [Al Mustadrak 2/451 no 3558 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi].

حدثنا الحسين بن الحكم الحبري الكوفي ، حدثنا مخول بن مخول بن راشد الحناط ، حدثنا عبد الجبار بن عباس الشبامي ، عن عمار الدهني ، عن عمرة بنت أفعى ، عن أم سلمة قالت : نزلت هذه الآية في بيتي : إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا ، يعني في سبعة جبريل ، وميكائيل ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم ، وعلي ، وفاطمة ، والحسن ، والحسين عليهم السلام وأنا على باب البيت فقلت : يا رسول الله ألست من أهل البيت ؟ قال إنك من أزواج النبي عليه السلام  وما قال : إنك من أهل البيت

Telah menceritakan kepada kami Husain bin Hakam Al Hibari Al Kufi yang berkata telah menceritakan kepada kami Mukhawwal bin Mukhawwal bin Rasyd Al Hanath yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdul Jabar bin ‘Abbas Asy Syabami dari Ammar Ad Duhni dari Umarah binti Af’a dari Ummu Salamah yang berkata “Ayat ini turun di rumahku [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] dan ketika itu ada tujuh penghuni rumah yaitu Jibril Mikail, Rasulullah Ali Fathimah Hasan dan Husain. Aku berada di dekat pintu lalu aku berkata “Ya Rasulullah Apakah aku tidak termasuk Ahlul Bait?”. Rasulullah SAW berkata “kamu termasuk istri Nabi Alaihis Salam”. Beliau tidak mengatakan “sesungguhnya kamu termasuk Ahlul Bait”. [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 1/228]

Riwayat Ummu Salamah ini memiliki sanad yang shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat

  • Husain bin Hakam Al Hibari Al Kufi adalah seorang yang tsiqat [Su’alat Al Hakim no 90] telah meriwayatkan darinya para perawi tsiqat dan hafiz seperti Ali bin Abdurrahman bin Isa, Abu Ja’far Ath Thahawi dan Khaitsamah bin Sulaiman.
  • Mukhawwal adalah Mukhawwal bin Ibrahim bin Mukhawwal bin Rasyd disebutkan Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 19021]. Abu Hatim termasuk yang meriwayatkan darinya dan Abu Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil 8/399 no 1831].
  • Abdul Jabbar bin Abbas disebutkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Dawud dan Al Ajli bahwa tidak ada masalah padanya. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 209]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Taqrib 1/552]. Adz Dzahabi menyatakan ia seorang syiah yang shaduq [Al Kasyf no 3085]
  • Ammar Ad Duhni yaitu Ammar bin Muawiyah Ad Duhni dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, An Nasa’i, Abu Hatim dan Ibnu Hibban [At Tahdzib juz 7 no 662]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 1/708] tetapi justru pernyataan ini keliru dan telah dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Ammar Ad Duhni seorang yang tsiqat [ Tahrir At Taqrib no 4833]
  • Umarah binti Af’a termasuk dalam thabaqat tabiin wanita penduduk kufah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 5 no 4880]. Hanya saja Ibnu Hibban salah menuliskan nasabnya. Umarah juga dikenal dengan sebutan Umarah Al Hamdaniyah [seperti yang diriwayatkan oleh Ath Thahawi dalam Musykil Al Atsar]. Al Ajli menyatakan ia tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqah no 2345].

عن أم سلمه رضي الله عنها قالت نزلت هذه الاية في بيتي إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قلت يارسول الله ألست من أهل البيت قال إنك إلى خير إنك من أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم قالت وأهل البيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهم أجمعين

Dari Ummu Salamah RA yang berkata “Ayat ini turun di rumahku [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya]. Aku berkata “wahai Rasulullah apakah aku tidak termasuk Ahlul Bait?. Beliau SAW menjawab “kamu dalam kebaikan kamu termasuk istri Rasulullah SAW”. Aku berkata “Ahlul Bait adalah Rasulullah SAW, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radiallahuanhum ajma’in”.[Al Arba’in Fi Manaqib Ummahatul Mukminin Ibnu Asakir hal 106]

Ibnu Asakir setelah meriwayatkan hadis ini, ia menyatakan kalau hadis ini shahih. Hadis ini juga menjadi bukti kalau Ummu Salamah sendiri mengakui bahwa Ahlul Bait yang dimaksud dalam Al Ahzab 33 firman Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] adalah Rasulullah SAW, Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain.

Nashibi mengatakan kalau Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain pada awalnya tidak termasuk Ahlul Bait dalam Al Ahzab 33, mereka bukanlah yang dituju oleh ayat tersebut tetapi karena kecintaan Rasulullah SAW kepada mereka maka Beliau menyelimuti mereka agar mereka bisa ikut masuk sebagai Ahlul Bait. Perkataan nashibi ini merupakan perkataan yang bathil karena Ahlul Kisa’ sendiri mengakui kalau merekalah yang dimaksud dalam Firman Allah SWT Al Ahzab 33. Diriwayatkan dari Abu Jamilah bahwa Imam Hasan pernah berkhutbah di hadapan orang-orang dan beliau berkata

ياأهل العراق اتقوا الله فينا, فإِنا أمراؤكم وضيفانكم, ونحن أهل البيت الذي قال الله تعالى: {إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيراً} قال فما زال يقولها حتى ما بقي أحد في المسجد إِلا وهو يحن بكاءً

Wahai penduduk Iraq bertakwalah kepada Allah tentang kami, karena kami adalah pemimpin kalian dan tamu kalian dan kami adalah Ahlul Bait yang difirmankan oleh Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya]. Beliau terus mengingatkan mereka sehingga tidak ada satu orangpun di dalam masjid yang tidak menangis [Tafsir Ibnu Katsir 3/495]

Riwayat Imam Hasan ini memiliki sanad yang shahih. Ibnu Katsir membawakan sanad berikut

قال ابن أبي حاتم: حدثنا أبي, حدثنا أبو الوليد, حدثنا أبو عوانة عن حصين بن عبد الرحمن عن أبي جميلة قال: إِن الحسن بن علي


Ibnu Abi Hatim berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan  kepada kami Abu Walid yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Hushain bin Abdurrahman dari Abi Jamilah bahwa Hasan bin Ali berkata [Tafsir Ibnu Katsir 3/495]

Ibnu Abi Hatim dan Abu Hatim telah dikenal sebagai ulama yang terpercaya dan hujjah sedangkan perawi lainnya adalah perawi tsiqah

  • Abu Walid adalah Hisyam bin Abdul Malik seorang Hafizh Imam Hujjah. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [2/267]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 5970]
  • Abu Awanah adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yaskuri. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/283]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqah [Al Kasyf no 6049].
  • Hushain bin Abdurrahman adalah seorang yang tsiqah. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqah [At Taqrib 1/222] dan Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat hujjah [Al Kasyf no 1124]
  • Abu Jamilah adalah Maisarah bin Yaqub seorang tabiin yang melihat Ali dan meriwayatkan dari Ali dan Hasan bin Ali. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 693]. Ibnu Hajar menyatakan ia maqbul [At Taqrib 2/233]. Pernyataan Ibnu Hajar keliru karena Abu Jamilah adalah seorang tabiin dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqah bahkan Ibnu Hibban menyebutnya dalam Ats Tsiqat maka dia adalah seorang yang shaduq hasanul hadis seperti yang dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib [Tahrir At Taqrib no 7039].

Tulisan ini kami cukupkan sampai disini dan tentu kami tertarik untuk melihat berbagai dalih nashibi yang mau membela keyakinan or dogma yang sudah lama jadi penyakit mereka. Entah mengapa mereka seperti keberatan kalau Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain mendapatkan keistimewaan dan keutamaan yang khusus. Apapun cara mereka, kebathilan akan selalu terungkap dan dikalahkan oleh kebenaran.

Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Ahlul Bait (Ahlul Bait Dalam Ayat Tathir Bukan istri-istri Nabi SAW)


Ayat Tathir Surah Al Ahzab 33 Bukan Untuk Istri-istri Nabi SAW.

Telah dibuktikan dalam hadis-hadis shahih bahwa ayat Innamaa Yuriidullaahu Liyudzhiba ’Ankumurrijsa Ahlalbayti Wayuthahhirakum Tathhiiraa.(QS Al Ahzab 33) adalah ayat yang turun sendiri terpisah dari ayat sebelum maupun sesudahnya. Hal ini bisa dilihat dari

  • Hadis Shahih Sunan Tirmidzi menyatakan Diriwayatkan dari Umar bin Abu Salamah yang berkata, “ Ayat berikut ini turun kepada Nabi Muhammad SAW, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.(QS Al Ahzab 33). Ayat tersebut turun di rumah Ummu Salamah. Dari hadis tersebut diketahui ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa penyelimutan Ahlul Bait SAW yaitu Sayyidah Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as.
  • Hadis riwayat An Nasai dalam Khashaish Al Imam Ali hadis 51 dan dishahihkan oleh Abu Ishaq Al Huwaini Al Atsari. Diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqqash Dan ketika ayat ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.(QS Al Ahdzab 33)” turun Beliau SAW memanggil Ali,Fathimah,Hasan dan Husain lalu bersabda Ya Allah mereka adalah keluargaku”.

Hadis-hadis tersebut jelas menyatakan bahwa ayat Innamaa Yuriidullaahu Liyudzhiba ’Ankumurrijsa Ahlalbayti Wayuthahhirakum Tathhiiraa.(QS Al Ahzab 33) turun sendiri terpisah dari ayat sebelum dan sesudahnya dan ditujukan untuk Ahlul Kisa’ yaitu Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as.

Hadis Shahih Sunan Tirmidzi itu juga menjelaskan bahwa Ayat Tathir jelas tidak ditujukan untuk Istri-istri Nabi SAW. Bukti hal ini adalah

  • Pertanyaan Ummu Salamah, jika Ayat yang dimaksud memang turun untuk istri-istri Nabi SAW maka seyogyanya Ummu Salamah tidak perlu bertanya Dan apakah aku beserta mereka wahai Rasulullah SAW?. Bukankah jika ayat tersebut turun mengikuti ayat sebelum maupun sesudahnya maka adalah jelas bagi Ummu Salamah bahwa Beliau ra juga dituju dalam ayat tersebut dan Beliau ra tidak akan bertanya kepada Rasulullah SAW. Adanya pertanyaan dari Ummu Salamah ra menyiratkan bahwa ayat ini benar-benar terpisah dari ayat yang khusus untuk Istri-istri Nabi SAW.
  • Penolakan Rasulullah SAW terhadap pertanyaan Ummu Salamah, Beliau SAW bersabda “ engkau mempunyai tempat sendiri dan engkau menuju kebaikan”. Hal ini menunjukkan Ummu Salamah selaku salah satu Istri Nabi SAW tidaklah bersama mereka Ahlul Bait yang dituju oleh ayat ini. Beliau Ummu Salamah ra mempunyai kedudukan tersendiri.

Untuk meyakinkan mari kita lihat Asbabun Nuzul ayat sebelum Ayat Tathir yaitu Al Ahzab ayat 28 dan 29 “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik (28). Dan jika kamu sekalian menghendaki Allah dan Rasulnya-Nya serta di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar (29).

Dalam kitab Lubab An Nuqul Fi Asbabun Nuzul As Suyuthi, Beliau membawakan riwayat Muslim, Ahmad dan Nasa’i yang berkenaan turunnya ayat ini, riwayat itu jelas berkaitan dengan peristiwa lain(bukan penyelimutan) dan ditujukan kepada istri-istri Nabi SAW.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Abu Bakar meminta izin berbicara kepada Rasulullah SAW akan tetapi ditolaknya. Demikian juga Umar yang juga ditolaknya. Tak lama kemudian keduanya diberi izin masuk di saat Rasulullah SAW duduk terdiam dikelilingi istri-istrinya(yang menuntut nafkah dan perhiasan). Umar bermaksud menggoda Rasulullah SAW agar bisa tertawa dengan berkata “ya Rasulullah SAW sekiranya putri Zaid, istriku minta belanja akan kupenggal lehernya”.
Maka tertawa lebarlah Rasulullah SAW dan bersabda “Mereka ini yang ada disekelilingku meminta nafkah kepadaku”. Maka berdirilah Abu Bakar menghampiri Aisyah untuk memukulnya dan demikian juga Umar menghampiri Hafsah sambil keduanya berkata “Engkau meminta sesuatu yang tidak ada pada Rasulullah SAW”. Maka Allah menurunkan ayat “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik (28) sebagai petunjuk kepada Rasulullah SAW agar istr-istrinya menentukan sikap.

Beliau mulai bertanya kepada Aisyah tentang pilihannya dan menyuruh bermusyawarah lebih dahulu dengan kedua ibu bapaknya . Aisyah menjawab “Apa yang mesti kupilih?”. Rasulullah SAW membacakan ayat Dan jika kamu sekalian menghendaki Allah dan Rasulnya-Nya serta di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar (29). Dan Aisyah menjawab “Apakah soal yang berhubungan dengan tuan mesti kumusyawarahkan dengan Ibu Bapakku? Padahal aku sudah menetapkan pilihanku yaitu Aku memilih Allah dan RasulNya”.(diriwayatkan oleh Muslim, ahmad dan Nasa’i dari Abiz Zubair yang bersumber dari Jubir)

Oleh karena itu jelas sekali kekeliruan saudara Ja’far dalam tulisannya, dimana dia berkata

“Lihatlah bahwasanya ayat-ayat sebelum (Q.S.Al-Ahzab 28-32) dan sesudah (Q.S.Al-Ahzab 34) dari ayat 33 bercerita tentang istri Nabi SAW, maka tidak mungkin secara logika ayat 33 tsb menyimpang topiknya (mengkhususkan tentang Ali, Fatimah, Hasan dan Husein) padahal ayat 33 tsb ada ditengah-tengah ayat-ayat yang bercerita tentang istri Nabi SAw. Juga salah jika dikatakan ayat 33 tsb hanya berlaku untuk istri nabi SAW padahal Ali, Fatimah, Hasan dan Husein juga termasuk didalamnya sebagaimana hadis shahih Muslim yang disebut diatas”.

Jawab saya :Berdasarkan hadis Asbabun Nuzul yang shahih maka didapati bahwa Ayat Tathir turun berkaitan dengan peristiwa lain yang tidak berhubungan dengan istri-istri Nabi SAW. Hal ini berbeda dengan ayat sebelumnya yang memang ditujukan terhadap istri-istri Nabi SAW.

Mari kita lihat Al Ahzab ayat 33 yang berbunyi ”dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya (33)”. Telah jelas berdasarkan hadis Shahih Sunan Tirmidzi bahwa ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya turun khusus ditujukan untuk Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as dan bukan untuk istri-istri Nabi SAW. Jadi bisa disimpulkan kalau penggalan pertama Al Ahzab 33 memang ditujukan untuk Istri-istri Nabi SAW sedangkan penggalan terakhir berdasarkan dalil shahih turun sendiri dan ditujukan untuk pribadi-pribadi yang lain. Hal ini bisa saja terjadi jika ada dalil shahih yang berkata demikian.

Saudara Ja’far menolak hal ini dengan berkata

Jelas sekali pangkal ayat 33 tsb mengacu pada para istri Nabi SAW. Atau kata-katanya maka tidak mungkin secara logika ayat 33 tsb menyimpang topiknya (mengkhususkan tentang Ali, Fatimah, Hasan dan Husein) padahal ayat 33 tsb ada ditengah-tengah ayat-ayat yang bercerita tentang istri Nabi SAW.

Mungkin Secara logika Penulis adalah wajar jika satu ayat biasanya diturunkan secara keseluruhan. Hal ini memang benar tetapi satu ayat Al Quran juga bisa diturunkan dengan sepenggal-sepenggal dan berkaitan dengan peristiwa yang berlainan karena memang ada dalil shahih yang menunjukkan demikian. Ayat Tathir di atas jelas salah satunya. Mari kita lihat contoh lain yaitu Al Maidah ayat 3 dan 4.

Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan agamamu sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepadaku. Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Al Maidah ayat 3).

Penggalan Al Maidah ayat 3 yaitu Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah kuridhai Islam itu jadi agama bagimu berdasarkan dalil yang shahih turun di arafah dan ayat ini masyhur sebagai ayat Al Quran yang terakhir kali turun. Saya akan mengutip hadis yang sebelumnya pernah ditulis oleh saudara Ja’far

Dari Thariq bin Syihab, ia berkata, ‘Orang Yahudi berkata kepada Umar, ‘Sesungguhnya kamu membaca ayat yang jika berhubungan kepada kami, maka kami jadikan hari itu sebagai hari besar’. Maka Umar berkata, ‘Sesungguhnya saya lebih mengetahui dimana ayat tersebut turun dan dimanakah Rasulullah SAW ketika ayat tersebut diturunkan kepadanya, yaitu diturunkan pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) dan Rasulullah SAW berada di Arafah. Sufyan berkata: “Saya ragu, apakah hari tsb hari Jum’at atau bukan (dan ayat yang dimaksud tersebut) adalah “Pada pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (H.R.Muslim, kitab At-Tafsir)

Dalam kitab Lubab An Nuqul Fi Asbabun Nuzul As Suyuthi berkenaan dengan Al Maidah ayat 3 membawakan riwayat Ibnu Mandah dalam Kitabus Shahabah dari Abdullah bin Jabalah bin Hibban bin Hajar dari bapaknya yang bersumber dari datuknya yaitu.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Hibban sedang menggodog daging bangkai, Rasulullah SAW ada bersamanya. Maka turunlah Al Maidah ayat 3 yang mengharamkan bangkai. Seketika itu juga isi panci itu dibuang. Riwayat ini jelas berkaitan dengan peristiwa yang berbeda dengan peristiwa hari arafah tetapi ayat yang dimaksud jelas sama-sama Al Maidah ayat 3. Dari sini bisa disimpulkan bahwa Al Maidah ayat 3 turun sepenggal-sepenggal dan penggalan “Pada pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” turun di Arafah.

Mari kita lihat Al Maidah ayat 4, Mereka menyakan kepadamu :Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah sangat cepat hisabNya.(Al Maidah ayat 4).

Dalam kitab Lubab An Nuqul Fi Asbabun Nuzul, As Suyuthi berkenaan dengan Al Maidah ayat 4 membawakan riwayat Ath Thabrani, Al Hakim, Baihaqi dan lainnya bersumber dari Abu Rafi’, riwayat Ibnu Jarir dan riwayat Ibnu Abi Hatim. Dikemukakan bahwa Adi bin Hatim dan Zaid bin Al Muhalhal bertanya kepada Rasulullah SAW ”kami tukang berburu dengan anjing dan anjing suku bangsa dzarih pandai berburu sapi, keledai dan kijang, padahal Allah telah mengharamkan bangkai. Apa yang halal bagi kami dari hasil buruan itu? Maka turunlah Al Maidah ayat 4 yang menegaskan hukum hasil buruan.(riwayat Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Said bin Jubair).

Berdasarkan riwayat-riwayat di atas Al Maidah ayat 3 dan 4 diturunkan berkaitan dengan makanan yang halal dan haram tetapi di tengah-tengah ayat tersebut terselip pembicaraan lain yaitu “Pada pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. Padahal telah jelas bahwa ayat ini diturunkan di arafah sebagai tanda bahwa agama Islam telah sempurna.

Lihat baik-baik Al Maidah ayat 4 turun setelah Al Maidah ayat 3 yang mengharamkan bangkai, ini dilihat dari kata-kata padahal Allah telah mengharamkan bangkai pada hadis asbabun Nuzul Al Maidah ayat 4 riwayat Ibnu Abi Hatim di atas. Oleh karena itu ketika Al Maidah ayat 3 turun mengharamkan bangkai, penggalan “Pada pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” belum turun karena Al Maidah ayat 4 turun setelah Al Maidah ayat 3 yang mengharamkan bangkai. Seandainya penggalan ini turun bersamaan dengan pengharaman bangkai maka tidak akan ada syariat lain lagi yang diturunkan karena agama Islam telah sempurna tetapi kenyataannya setelah pengharaman bangkai Al Maidah ayat 3 diturunkan Al Maidah ayat 4 tentang apa yang dihalalkan.

Pernyataan Bahwa Ayat Tathir ini dikhususkan untuk Ahlul Kisa’ saja yaitu Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as dan bukan untuk istri-istri Nabi SAW tidak hanya dinyatakan oleh Syiah saja. Bahkan ada Ulama Sunni yang berpandangan demikian. Ulama Sunni yang dimaksud yaitu

  • Abu Ja’far Ath Thahawi (yang terkenal dengan karyanya Aqidah Ath Thahawiyah) juga menyatakan hal yang serupa dalam karyanya Musykil Al Atsar jilid I hal 332-339 dalam pembahasannya tentang hadis-hadis Ayat Tathir dimana dia berkata ”Karena maksud sebenarnya dari ayat suci ini hanyalah Rasulullah SAW sendiri, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan tidak ada lagi orang selain mereka”.
  • Sayyid Alwi bin Thahir dalam kitab Al Qaulul Fashl jilid 2 hal 292-293 mengutip pernyataan Sayyid Ali As Samhudi yang menyatakan bahwa Ayat Tathir khusus untuk Ahlul Kisa’ dan bukan istri-istri Nabi SAW.

Tuduhan Dusta Terhadap Ulama Syiah Oleh Husain Al Musawi dalam Kitab Lillahi Tsumma Lil Tarikh


Tuduhan Dusta Terhadap Ulama Syiah Oleh Husain Al Musawi dalam Kitab Lillahi Tsumma Lil Tarikh


Tulisan ini sekali lagi ingin menunjukkan kedustaan besar yang dilakukan oleh orang yang disebut Husain Al Musawi penulis kitab Lillahi Tsumma Lil Tarikh atau yang dalam edisi Indonesia-nya terbit dengan judul “Mengapa Saya Keluar Dari Syiah” terbitan Pustaka Al Kautsar. Kitab ini menjadi rujukan kaum salafiyun dalam mencela syiah yang justru membuktikan betapa tercelanya mereka yang menyebut dirinya sebagai salafiyun itu. Dalam kitab ini terdapat banyak kedustaan yang cukup untuk membuat kitab ini tidak layak dijadikan hujjah dan kami ingatkan tidak perlu menjadi seorang syiah untuk mengetahui kedustaan yang ada dalam kitab ini. Zaman sekarang informasi sudah mudah didapat, jika ada keinginan maka mudah untuk mengumpulkan informasi tentang suatu mahzab baik syiah ataupun sunni.

Tuduhan dusta yang kami maksud adalah perkataan Husain Al Musawi bahwa Sayyid Syarafudin Al Musawi salah seorang ulama syiah membolehkan homoseks. Disini Husain Al Musawi mengaku menyaksikan Sayyid Syarafudin Al Musawi berfatwa demikian. Husain Al Musawi berkata dalam kitab Lillahi Tsumma Lil Tarikh hal 69-71

كنا أحد الأيام في الحوزة فوردت الأخبار بأن سماحة السيد عبدالحسين شرف الدين الموسوي قد وصل بغداد، وسيصل إلى الحوزة ليلتقي سماحة الإمام آل كاشف الغطاء. وكان السيد شرف الدين قد سطع نجمه عند عوام الشيعة وخواصهم، خاصة بعد أن صدر بعض مؤلفاته كالمراجعات، والنص والاجتهاد

Suatu hari di Hauzah sampai kabar kepada saya bahwa yang mulia Sayyid Abdul Husain Syarafudin Al Musawi datang ke Baghdad dan akan datang ke hauzah untuk bertemu yang mulia Imam Kasyif Al Ghita. Sayyid Syarafudin adalah orang yang sangat dihormati di kalangan syiah baik orang awam maupun orang-orang khusus, terutama setelah terbitnya kitab tulisannya Al Muraja’at dan kitab Nash Wal Ijtihad.

Catatan kami: Perhatikan dengan baik disini Husain Al Musawi mengaku bahwa saat itu ia sudah berada di Hauzah artinya ketika Sayyid Syarafudin Al Musawi belum sampai ke Najaf, Husain Al Musawi sudah berada di sana dan mendengar kabar Sayyid Syarafudin akan datang ke Hauzah.

ولما وصل النجف زار الحوزة فكان الاحتفاء به عظيماً من قبل الكادر الحوزي علماء وطلاباً وفي جلسة له في مكتب السيد آل كاشف الغطاء ضمت عدداً من السادة وبعض طلاب الحوزة، وكنت أحد الحاضرين، وفي أثناء هذه الجلسة دخل شاب في عنفوان شبابه فسلم فرد الحاضرون السلام، فقال للسيد آل كاشف الغطاء:سيد عندي سؤال، فقال له السيد: وجه سؤالك إلى السيد شرف الدين

Ketika dia [Sayyid Syarafudin] sampai di Najaf, ia mengunjungi hauzah. Orang-orang di hauzah baik para ulama maupun para pelajarnya memberikan penyambutan yang meriah kepadanya. Dan dalam suatu majelis di kantor Sayyid Kasyif Al Ghita yang dihadiri oleh banyak tokoh dan sebagian pelajar dan saya adalah salah seorang yang ikut hadir di sana. Ketika majelis itu dimulai maka masuklah seorang pemuda yang sangat belia mengucapkan salam dan mereka yang hadir menjawab salamnya. Kemudian ia berkata kepada Sayyid Kasyif Al Ghita “Sayyid saya mempunyai pertanyaan”. Sayyid berkata kepadanya “sampaikan pertanyaanmu kepada Sayyid Syarafudin”

Catatan kami: Disini Husain Al Musawi mengaku ketika Sayyid Syarafudin datang ke Najaf dan mengunjungi hauzah, ia ikut menyaksikan langsung bahkan ia berada di majelis khusus dimana datang seorang pemuda yang ingin menanyakan suatu masalah.

قال السائل: سيد أنا أدرس في لندن للحصول على الدكتوراه، وأنا ما زلت أعزب غير متزوج، وأريد امرأة تعينني هناك -لم يفصح عن قصده أول الأمر- فقال له السيد شرف الدين:تزوج ثم خذ زوجتك معك.فقال الرجل: صعب علي أن تسكن امرأة من بلادي معي هناك.فعرف السيد شرف الدين قصده فقال له: تريد أن تتزوج امرأة بريطانية إذن؟

Penanya berkata “Sayyid, saya belajar di London untuk meraih gelar doctor, sementara saya masih bujangan dan belum menikah, saya menginginkan ada seorang wanita yang dapat menemani saya disana. [pada awalnya penanya itu tidak mengungkapkan maksudnya dengan jelas]. Sayyid Syarafudin berkata “Menikahlah, kemudian bawalah istrimu bersamamu”. Pemuda itu berkata “sulit bagi saya untuk tinggal disana bersama istri dari negri saya berasal”. Sayyid Syarafudin mengerti maksudnya dan ia berkata “maksudnya, kamu ingin menikahi wanita inggris [britanian]?”.

قال الرجل: نعم، فقال له شرف الدين: هذا لا يجوز، فالزواج باليهودية أو النصرانية حرام

فقال الرجل: كيف أصنع إذن؟

فقال له السيد شرف الدين: ابحث عن مسلمة مقيمة هناك عربية أو هندية أو أي جنسية أخرى بشرط أن تكون مسلمة

Laki-laki itu berkata “benar”. Syarafudin berkata “ini tidak boleh, menikah dengan yahudi atau nashrani adalah haram”. Laki-laki itu berkata “bagaimana yang harus saya lakukan?”. Sayyid Syarafudin berkata “carilah muslimah yang bermukim disana baik dari bangsa Arab atau india atau yang lainnya dengan syarat ia seorang muslimah.

فقال الرجل: بحثت كثيراً فلم أجد مسلمات مقيمات هناك تصلح إحداهن زوجة لي، وحتى أردت أن أتمتع فلم أجد، وليس أمامي خيار إما الزنا وإما الزواج وكلاهما متعذر علي.أما الزنا فإني مبتعد عنه لأنه حرام، وأما الزواج فمتعذر علي كما ترى وأنا أبقى هناك سنة كاملة أو أكثر ثم أعود إجازة لمدة شهر، وهذا كما تعلم سفر طويل فماذا أفعل؟

Laki-laki itu berkata “Saya sudah lama mencarinya tetapi tidak menemukan muslimah yang bermukim disana yang baik untuk menikahi saya, bahkan untuk dinikahi dengan mut’ah pun saya tidak menemukannya. Dihadapanku tidak ada pilihan selain zina atau menikah dan semuanya tidak bisa saya lakukan. Adapun zina, saya tidak mau melakukannya karena itu haram sedangkan menikah adalah sesuatu yang sulit sebagaimana anda lihat. Saya tinggal disana selama satu tahun penuh atau lebih kemudian saya kembali untuk berlibur selama satu bulan. Dan ini sebagaimana anda ketahui adalah perjalanan yang panjang, apa yang harus saya lakukan?.

سكت السيد شرف الدين قليلاً ثم قال: إن وضعك هذا محرج فعلاً .. على أية حال أذكر أني قرأت رواية للإمام جعفر الصادق، إذ جاءه رجل يسافر كثيراً ويتعذر عليه اصطحاب امرأته أو التمتع في البلد الذي يسافر إليه بحيث أنه يعاني مثلما تعاني أنت، فقال له أبو عبد الله:(إذا طال بك السفر فعليك بنكح الذكر) هذا جواب سؤالك

Sayyid Syarafudin terdiam kemudian ia berkata “sesungguhnya kamu dalam keadaan darurat”, tetapi saya ingat, saya membaca suatu riwayat Imam Ja’far Ash Shiddiq yaitu jika datang seorang laki-laki sering bepergian sedangkan ia tidak ditemani oleh istrinya dan tidak pula bisa melakukan mut’ah di suatu negri dimana ia melakukan perjalanan kesana, sehingga ia merasakan kesulitan seperti kamu ini maka Abu Abdullah berkata “Jika perjalananmu berlangsung lama maka menikahlah dengan laki-laki”. Inilah jawaban atas pertanyaanmu.


Kisah Husain Al Musawi ini dan dialog yang ia sampaikan adalah dusta besar. Aneh sekali jika ada seorang ulama islam membolehkan seorang laki-laki untuk menikah dengan laki-laki. Untuk membuktikan kedustaan kisah ini cukup dengan kesaksian Husain Al Musawi sendiri dalam kitab tersebut. Perlu diketahui Sayyid Syarafudin Al Musawi datang ke Najaf pada tahun 1355 H sebagaimana yang disebutkan oleh ulama syiah Ali Al Muhsin [Lillah Wa Lilhaqiqah 1/10]. Sedangkan telah disebutkan sebelumnya tahun lahir Husain Al Musawi berdasarkan kesaksiannya sendiri

وفي ختام مبحث الخمس لا يفوتني أن أذكر قول صديقي المفضال الشاعر البارع المجيد أحمد الصافي النجفي رحمه الله، والذي تعرفت عليه بعد حصولي على درجة الاجتهاد فصرنا صديقين حميمين رغم فارق السن بيني وبينه، إذ كان يكبرني بنحو ثلاثين سنة أو أكثر عندما قال لي: ولدي حسين لا تدنس نفسك بالخمس فإنه سحت، وناقشني في موضوع الخمس حتى أقنعني بحرمته

Dan diakhir pembahasan tentang khumus ini, saya tidak akan melewatkan perkataan seorang teman yang utama, penyair besar dan terkenal, Ahmad Ash Shaafiiy An Najafiiy rahimahullah, dan saya mengenal beliau setelah saya mencapai derajat ijtihad [mujtahid]. Kami menjalin pertemanan yang sangat baik walaupun terdapat perbedaan umur yang jauh, dimana dia lebih tua dari saya tiga puluh tahun atau lebih. Dia berkata kepada saya “Anakku Husain, janganlah kamu kotori dirimu dengan khumus karena ia adalah haram”. Dia berdiskusi dengan saya tentang khumus sampai saya merasa yakin akan keharamannya. [Lillahi Tsumma Lil-Tarikh hal 95-96]
Disebutkan bahwa Ahmad bin Ali Ash Shaafiiy An Najafiiy lahir tahun 1314 H dan wafat pada tahun 1397 H [Mu’jam Rijal Al Fikr Wal Adab Fil Najaf 2/793 Syaikh Muhammad Hadi Al Amini]. Dengan berdasarkan data ini maka dapat diperkirakan kalau si penulis “Husain Al Musawi” yang lebih muda tiga puluh tahun atau lebih dari Ahmad Ash Shaafiiy lahir pada tahun 1314+30=1344 H atau lebih.


Husain Al Musawi lahir tahun 1344 H atau di atas tahun 1344 H dan Sayyid Syarafudin datang ke Najaf tahun 1355 H maka usia Husain Al Musawi saat itu adalah 11 tahun atau kurang dari 11 tahun artinya ia masih anak-anak. Dan ingatlah kembali, Husain Al Musawi berdasarkan pengakuannya sendiri ia sudah berada di hauzah menuntut ilmu disana ketika ada kabar akan datangnya Sayyid Syarafudin ke Najaf. Sekarang lihatlah pengakuan lain Husain Al Musawi dalam kitab dustanya tersebut

ولدت في كربلاء، ونشأت في بيئة شيعية في ظل والدي المتدين درست في مدارس المدينة حتى صرت شاباً يافعاً، فبعث بي والدي إلى الحوزة العلمية النجفية أم الحوزات في العالم لأنـهل من علم فحول العلماء ومشاهيرهم في هذا العصر أمثال سماحة الإمام السيد محمّد آل الحسين كاشف الغطاء

Saya lahir di karbala dan saya tumbuh di lingkungan orang-orang syiah dalam asuhan ayahku yang taat beragama. Saya belajar di sekolah-sekolah yang ada di kota sampai saya menjadi seorang pemuda. Kemudian ayahku mengirimkanku ke hauzah kota ilmu di Najaf dimana para ulama terkenal zaman ini menimba ilmu disana seperti yang mulia Imam Sayyid Muhammad Al Husain Kasyif Al Ghita [Lillahi Tsumma Lil Tarikh hal 8-9]


Berdasarkan pengakuan Husain Al Musawi ia telah menjadi seorang pemuda dewasa ketika Ayahnya mengirimnya ke Najaf untuk menuntut ilmu. Anehnya peristiwa kedatangan Sayyid Syarafudin ke Najaf terjadi ketika usia Husain Al Musawi masih kurang dari sebelas tahun artinya ia masih anak-anak dan masih berada di karbala. Lantas mengapa ia mengaku-ngaku berada di Najaf dan mengaku ikut hadir menyaksikan dialog dusta tersebut. Telitilah dengan baik maka para pembaca, anda akan menemukan banyak kedustaan yang dilakukan oleh orang yang disebut Husain Al Musawi. Kesaksiannya dan tuduhannya terhadap ulama syiah hanyalah dusta dan salafiyun yang terus bertaklid buta pada kedustaan ini memang kualitasnya tidak jauh berbeda dari Husain Al Musawi.

Hal lain yang memperkuat kedustaan Husain Al Musawi adalah ia mengaku hidup di lingkungan syiah, mengenal orang-orang syiah tetapi anehnya dalam tradisi syiah, sebutan Sayyid pada ulama mereka diperuntukkan bagi mereka yang merupakan keturunan Ahlul Bait seperti halnya Sayyid Syarafudin Al Musawi. Muhammad Husain Kasyif Al Ghita bukan keturunan Ahlul Bait sehingga ia tidak disebut dengan sebutan Sayyid di sisi pengikut Syiah, mereka menyebutnya dengan sebutan Syaikh atau Al Imam Kasyif Al Ghita. Tetapi anehnya berulang kali Husain Al Musawi menyebut Kasyf Al Ghita dengan sebutan Sayyid, ia mengaku sebagai ulama syiah yang menjadi murid langsung Kasyf Al Ghita tetapi tidak mengenal sebutan gurunya yang orang awam syiahpun mengetahuinya. Salam Damai

Mengungkap Kebodohan dan Kedustaan Syaikh Al Albani dan Pengikutnya Abul Jauzaa : Tuduhan Dusta Terhadap Syaikh Al Musawi


Syaikh Al Albani dalam kitabnya Silsilah Ahadiits Ash Shahihah no 2487 telah menyatakan tuduhan dusta kepada Syaikh Syarafuddin Al Musawi penulis kitab Al Muraja’at [Dialog Sunni-Syiah]. Syaikh Al Albani menyatakan kalau Syaikh Al Musawi telah memanipulasi atau mengubah hadis. Tuduhan dusta ini diikuti pula oleh pengikut salafy Abul Jauzaa’ dalam salah satu tulisannya. Abul Jauzaa’ terang-terangan membuat judul tulisan yang provokatif yaitu Mengungkap Kebodohan dan Kedustaan Abdul Husain Asy Syi’i Dalam Kitab Al Muraja’at – Manipulasi Hadits.

Tulisan ini adalah studi kritis terhadap tulisan saudara Abul Jauzaa tersebut sebagai bantahan terhadapnya dan Syaikhnya yang terhormat yaitu Syaikh Al Albani. Insya Allah akan diungkapkan siapa sebenarnya yang bodoh dan dusta itu.


.

Hadis yang dibicarakan itu adalah hadis Rasulullah SAW dimana Imam Ali dikatakan akan berperang dalam penafsiran Al Qur’an sebagaimana Rasul SAW berperang dalam penurunan Al Qur’an. Hadis tersebut adalah hadis yang shahih sebagaimana telah diakui oleh Syaikh Al Albani dan pengikutnya. Kami katakan pernyataan mereka bahwa hadis ini shahih adalah pernyataan yang benar dan tidak ada alasan bagi kami untuk menolaknya.

Kami akan memberikan catatan ringkas mengenai kutipan di atas. Hadis yang ditakhrij oleh Syaikh Al Albani itu memiliki lafaz yang berbeda-beda. Lafaz yang ditulis Syaikh adalah lafaz Ahmad dalam Musnad-nya 3/82 no 11790. Sedangkan Lafaz Ahmad dalam Musnad-nya 3/33 no 11307 adalah “dan berdirilah  Abu bakar dan Umar”.  lafaz An Nasa’i dalam Al Khasa’is no 55 tidak dengan lafaz “dan diantara kami ada Abu Bakar dan Umar” tetapi dengan lafaz “Abu Bakar berkata ‘saya kah?’ Rasulullah SAW menjawab “tidak”, Umar berkata ‘saya kah?’ Rasulullah SAW menjawab “tidak”. Begitu pula lafaz yang ada pada kitab Musnad Abu Ya’la no 1086. Perbedaan lafaz itu adalah hal yang biasa dan tidak ada masalah dalam pengutipan hadis jika seseorang mengeluarkan salah satu lafaz saja dari hadis-hadis tersebut. Yang aneh bin ajaib adalah jika menuduh dusta atau menuduh seseorang memanipulasi hadis hanya karena lafaz hadis yang berbeda.
.
.
Kami katakan memang benar Syaikh Al Musawi keliru tetapi kekeliruannya disini karena ia mengikuti apa yang tertera dalam kitab Al Kanz Ali Mutaqqi Al Hindi. Penyebutan Said bin Manshur oleh Syaikh Al Musawi disebabkan syaikh hanya membaca apa yang tertulis dalam kitab Al Kanz tanpa menelitinya kembali. Sedangkan kesalahan Syaikh soal penulisan kitab Abu Ya’la, memang benar Abu Ya’la tidak memiliki kitab Sunan dan kitab yang dimaksud adalah Musnad Abu Ya’la. Walaupun begitu Syaikh Al Musawi sendiri di tempat yang lain yaitu dalam Al Muraja’at catatan kaki dialog no 44 ketika mengutip hadis ini, ia memang menyebutkan kitab Musnad Abu Ya’la bukan Sunan

أخرجه الامام أحمد بن حنبل من حديث أبي سعيد في مسنده، ورواه الحاكم في مستدركه، أبو يعلى في المسند

Dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Hadis Abu Sa’id di dalam Musnadnya dan diriwayatkan Al Hakim dalam Al Mustadraknya dan Abu Ya’la di dalam Al Musnad.


Kalau memang kesalahan Syaikh Al Musawi ini disebut sebagai kebodohan maka kami katakan orang pertama yang harus dikatakan begitu adalah penulis Kitab Al Kanz. Karena kesalahan tersebut bersumber dari kode yang ada di kitab tersebut. Bagi kami pribadi kesalahan tersebut adalah hal yang lumrah, cukup banyak para ulama yang melakukan kesalahan seperti itu. Anehnya baik Syaikh Al Albani maupun pengikutnya Abul Jauzaa hanya bersemangat untuk merendahkan Syaikh Al Musawi saja, dan tidak berkomentar apapun mengenai penulis kitab Al Kanz. Kenapa? Apakah karena Syaikh Al Musawi itu syiah sedangkan penulis kitab Al Kanz itu Sunni maka yang berdusta hanya Syiah sedangkan yang Sunni tidak, walaupun sebenarnya yang Syiah hanya mengutip dari yang Sunni? Mereka mengatakan bahwa ada kesalahan penulisan dalam kitab Al Kanz maka mengapa pula tidak bisa dikatakan ada kesalahan penulisan dalam kitab Al Muraja’at.

.
.

Kutipan diatas inilah yang menunjukkan kebodohan dan kedustaan Syaikh Al Albani dan pengikutnya Abul Jauzaa’. Tuduhan mereka bahwa Syaikh Al Musawi yang mengganti lafaz tersebut adalah dusta. Syaikh Syarafuddin Al Musawi hanya menyalin apa yang tertulis dalam Kitab Al Kanz. Berikut hadisnya dalam Kitab Al Kanz no 36351

مسند أبي سعيد } قال كنا جلوسا في المسجد فخرج رسول الله صلى الله عليه و سلم فجلس إلينا ولكأن على رؤسنا الطير لا يتكلم منا أحد فقال : إن منكم رجلا يقاتل الناس على تأويل القرآن كما قوتلتم على تنزيله فقام أبو بكر فقال : أنا هو يا رسول الله ؟ قال : لا فقام عمر فقال : أنا هو يا رسول الله ؟ قال : لا ولكنه خاصف النعل في الحجرة فخرج علينا علي ومعه نعل رسول الله صلى الله عليه و سلم يصلح منها

Musnad Abu Sa’id : Ia berkata “kami duduk-duduk di dalam masjid kemudian Rasulullah SAW datang dan ikut duduk bersama kami. Seolah-olah di atas kepala kami ada burung-burung hingga tak seorangpun diantara kami yang berbicara. kemudian Rasulullah SAW bersabda “Diantara kamu ada seseorang yang berperang atas penafsiran Al Qur’an sebagaimana kamu diperangi dalam penurunannya. Maka berdirilah Abu Bakar dan berkata “sayakah orangnya wahai Rasulullah?. Beliau SAW menjawab “bukan”. Umar pun berdiri dan berkata “sayakah orangnya wahai Rasulullah?. Beliau SAW menjawab “bukan, dia adalah yang sedang menjahit sandal “. kemudian Ali datang kepada kami bersama sandal Rasulullah SAW yang sudah diperbaikinya.

Silakan perhatikan kata-kata yang dicetak biru. Itulah lafaz hadis yang menurut Syaikh Al Albani dan pengikutnya Abul Jauzaa’ telah dirubah atau diganti oleh Syaikh Al Musawi. Penulis kitab Al Kanz Ali Al Hindi memang menuliskan hadis tersebut dengan lafaz seperti itu. Jika memang hal ini disebut kedustaan maka seharusnya yang mereka tuduh melakukan kedustaan adalah penulis kitab Al Kanz bukan Syaikh Al Musawi. Kami yakin Syaikh Al Albani telah membaca kitab Al Kanz buktinya ia bisa mengetahui adanya kesalahan kode dalam kitab tersebut tetapi entah mengapa ia tetap menuduh Syaikh Al Musawi yang mengubah lafaz hadisnya. Maka siapakah yang sebenarnya berdusta?.
.
.
Hal lain yang menunjukkan kebodohan dan kedustaan Syaikh Al Albani dan pengikutnya Abul Jauzaa’ adalah hadis dengan lafaz seperti itu ternyata memang terdapat di dalam kitab lain yaitu Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no 32618 dengan sanad yang shahih. Berikut kutipannya

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Ghaniyyah dari Ayahnya dari Isma’il bin Rajaa’ dari Ayahnya dari Abu Sa’id Al Khudri RA yang berkata “kami duduk-duduk di dalam masjid kemudian Rasulullah SAW datang dan ikut duduk bersama kami. Seolah-olah di atas kepala kami ada burung-burung hingga tak seorangpun diantara kami yang berbicara. kemudian Rasulullah SAW bersabda “Diantara kamu ada seseorang yang berperang atas penafsiran Al Qur’an sebagaimana kamu diperangi dalam penurunan Al Qur’an. Maka berdirilah Abu Bakar dan berkata “sayakah orangnya wahai Rasulullah?. Beliau SAW menjawab “bukan”. Umar pun berdiri dan berkata “sayakah orangnya wahai Rasulullah?. Beliau SAW menjawab “bukan, dia adalah yang sedang menjahit sandal “. kemudian Ali datang kepada kami bersama sandal Rasulullah SAW yang sudah diperbaikinya.

Hadis tersebut bersanad shahih dengan syarat Muslim karena semua perawinya adalah perawi tsiqat dan perawi Muslim.

  • Ibnu Abi Ghaniyyah adalah Yahya bin Abdul Malik bin Humaid bin Abi Ghaniyyah. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 11 no 406 bahwa ia adalah perawi Bukhari Muslim dan dinyatakan tsiqat oleh Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’in, Al Ajli, Ibnu Hibban, Abu Dawud dan Daruquthni. Disebutkan dalam Tahrir At Taqrib no 7598 kalau ia seorang yang tsiqat.
  • Ayah Ibnu Abi Ghaniyyah adalah Abdul Malik bin Humaid bin Abi Ghaniyyah. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 6 no 743, ia juga adalah perawi Bukhari dan Muslim dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban dan Al Ajli. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/615 menyatakan ia tsiqat.
  • Ismail bin Rajaa’ Az Zubaidi adalah perawi Muslim, Ibnu Hajar menyebutkan dalam At Tahdzib 1 no 548 kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim, Ibnu Ma’in, An Nasa’i dan Ibnu Hibban. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/94 menyatakan ia tsiqat.
  • Rajaa’ bin Rabi’ah Az Zubaidi Abu Ismail Al Kufi adalah Ayah Ismail seorang perawi Muslim, Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 3 no 501 menyatakan bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dan Al Ajli. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/298 menyatakan ia shaduq.

Oleh karena itu hadis dengan lafaz seperti itu memang shahih dan justru orang yang mengatakan dusta itulah sebenarnya yang menunjukkan kebodohan dan melakukan kedustaan. Jika memang tidak suka dikatakan bodoh dan dusta maka jangan seenaknya menuduh orang lain bodoh dan dusta. Semoga Allah SWT mengampuni kita semua. Wassalam


.
Catatan :

  • Judul tulisan sepertinya hanya disesuaikan dengan tulisan yang dibantah :mrgreen:
  • Jika ada yang berkeberatan terhadap judul tersebut silakan diberi tanggapan dan masukan. Insya Allah jika kami keliru akan diperbaiki :)

Kedudukan Hadis “Ali Khalifah Setelah Nabi SAW”

Kedudukan Hadis “Ali Khalifah Setelah Nabi SAW”

Imam Ali AS memiliki kemuliaan yang tinggi dalam Islam. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa kedudukan Imam Ali AS di sisi Rasulullah SAW sama seperti kedudukan Nabi Harun AS di sisi Nabi Musa AS. Seharusnya kita sebagai umat Islam menerima dengan baik keutamaan Imam Ali AS dan mengecam sikap-sikap yang menurunkan atau meragukan keutamaan Beliau. Berikut akan kami sajikan hadis keutamaan Imam Ali AS yang mungkin memicu keraguan dari sebagian orang.

Al Hafiz Ibnu Abi Ashim Asy Syaibani dalam Kitabnya As Sunnah hal 519 hadis no 1188 telah meriwayatkan sebagai berikut

ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari ‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “KedudukanMu di sisiKu sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja Engkau bukan seorang Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu.
.
.

Kedudukan Hadis

Syaikh Al Albani dalam kitabnya Zhilal Al Jannah Fi Takhrij As Sunnah hal 520 hadis no 1188 memberikan penilaian bahwa hadis ini sanadnya hasan, dimana Beliau menyatakan bahwa semua perawinya tsiqat. Hadis ini telah diriwayatkan oleh para perawi Bukhari Muslim kecuali Abi Balj yang dinilai shaduq sehingga Syaikh Al Albani menyatakan hadis tersebut hasan. Setelah kami melakukan penelitian lebih lanjut maka kami temukan bahwa hadis ini adalah hadis Shahih dan Yahya bin Sulaim Abi Balj adalah perawi tsiqat. Berikut analisis terhadap para perawinya.
.

Analisis Perawi Hadis

Muhammad bin Al Mutsanna

Muhammad bin Al Mutsanna Abu Musa Al Bashri adalah seorang Hafiz yang tsiqat. Hadisnya telah dijadikan hujjah oleh Bukhari dan Muslim serta Ashabus Sunan. Beliau telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama diantaranya Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Daruquthni, Al Khatib dan Ibnu Hajar. Dalam At Tahdzib juz 9 no 698 disebutkan

قال عبد الله بن أحمد عن بن معين ثقة وقال أبو سعد الهروي سألت الذهلي عنه فقال حجة وقال صالح بن محمد صدوق اللهجة

Abdullah bin Ahmad berkata dari Ibnu Ma’in “tsiqah” dan Abu Sa’ad Al Harawi bertanya kepada Adz Dzahili yang berkata “hujjah” dan Shalih bin Muhammad berkata “shaduq hujjah”.

وقال أبو حاتم صالح الحديث صدوق

Abu Hatim berkata “ hadisnya baik, shaduq (jujur)”

Ibnu Syahin memasukkan Muhammad bin Al Mutsanna dalam kitabnya Tarikh Asma Ats Tsiqat no 1278. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit dalam Taqrib At Tahdzib 2/129. Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 5134 juga menyatakan Muhammad bin Al Mutsanna tsiqat.
.
.

Yahya bin Hamad

Yahya bin Hamad Al Bashri adalah seorang perawi tsiqat yang dijadikan hujjah oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud dalam Nasikh Wa Mansukh, Trimidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Disebutkan dalam At Tahdzib juz 11 no 338

قال بن سعد كان ثقة كثير الحديث وقال أبو حاتم ثقة وذكره بن حبان في الثقات

Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat dan memiliki banyak hadis”. Abu Hatim berkata “tsiqat” dan disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat.

Al Ajli dalam Ma’rifat Ats Tsiqat no 1971 menyatakan Yahya bin Hamad tsiqat. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/300 menyatakan ia tsiqat. Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 6158 juga menyatakannya tsiqat.

Abu Awanah

Abu Awanah atau Wadhdhah bin Abdullah Al Yasykuri adalah perawi yang dijadikan hujjah oleh Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan, Ia telah meriwayatkan hadis dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dan telah meriwayatkan darinya Yahya bin Hamad. Abu Awanah telah dinyatakan tsiqah oleh Al Ajli, Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, Ibnu Ma’in dan yang lainnya. Al Ajli dalam Ma’rifat Ats Tsiqah no 1937 berkata

وضاح أبو عوانة بصرى ثقة مولى يزيد بن عطاء الواسطي

Wadhdhah Abu Awanah orang Bashrah yang tsiqat mawla Yazid bin Atha’ Al Wasithi

Ibnu Syahin memasukkan namanya dalam Tarikh Asma Ats Tsiqat no 1508 dan berkata

قال يحيى بن معين أبو عوانة ثقة واسمه الوضاح

Yahya bin Ma’in berkata “Abu Awanah tsiqat namanya adalah Wadhdhah”

Dalam At Tahdzib juz 11 no 204 disebutkan bahwa Abu Hatim, Abu Zar’ah Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abdil Barr menyatakan Abu Awanah tsiqat, Ibnu Kharrasy menyatakan ia shaduq dan Yaqub bin Abi Syaibah menyatakan Abu Awanah seorang Hafiz yang tsabit dan shalih. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/283 menyatakan Abu Awanah tsiqat tsabit dan Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 6049 juga menyatakan ia tsiqah.
.
.

Yahya bin Sulaim Abi Balj

Yahya bin Sulaim adalah perawi Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Beliau dikenal dengan kunniyah Abu Balj dan ada pula yang menyebutnya Yahya bin Abi Sulaim. Beliau telah dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Sa’ad dan Daruquthni. Dalam At Tahdzib juz 12 no 184 Ibnu Hajar menyebutkan

وقال بن معين وابن سعد والنسائي والدارقطني ثقة وقال البخاري فيه نظر وقال أبو حاتم صالح الحديث لا بأس به

Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Nasa’i dan Daruquthni menyatakan ia tsiqat. Bukhari berkata “perlu diteliti lagi” dan Abu Hatim berkata “hadisnya baik dan tidak ada masalah dengannya”.

Yaqub bin Sufyan Al Fasawi dalam Ma’rifat Wa Tarikh 3/106 menyebutkan tentang Abu Balj

قال يعقوب بن سفيان أبي بلج كوفي لا بأس به

Yaqub bin Sufyan berkata “Abi Balj Al Kufi tidak ada masalah dengannya”

Pernyataan Bukhari “fihi nazhar (perlu diteliti lagi)” terhadap Yahya bin Sulaim Abi Balj tidaklah benar. Kami telah menelusuri karya-karya Bukhari seperti Tarikh As Shaghir dan Tarikh Al Kabir ternyata tidak ada keterangan bahwa Bukhari menyatakan Abu Balj dengan sebutan “fihi nazhar”. Selain itu, Bukhari sendiri tidak memasukkan Abu Balj dalam kitabnya Adh Dhua’fa As Shaghir yang berarti Bukhari tidak menganggapnya cacat. Bukhari menyebutkan biografi Yahya bin Abi Sulaim Abu Balj dalam Tarikh Al Kabir juz 8 no 2996 dan beliau menyebutkan

يحيى بن أبي سليم قال إسحاق نا سويد بن عبد العزيز وهو كوفي ويقال واسطي أبو بلج الفزاري روى عنه الثوري وهشيم ويقال يحيى بن أبي الأسود وقال سهل بن حماد نا شعبة قال نا أبو بلج يحيى بن أبي سليم

Yahya bin Abi Sulaim, Ishaq berkata telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Abdul Aziz “dia orang Kufah dan dikatakan juga orang Wasith Abu Balj Al Fazari, telah meriwayatkan darinya Tsawri dan Hasym, ada yang mengatakan Yahya bin Abil Aswad”. Sahl bin Hamad berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Balj Yahya bin Abi Sulaim. 


Dalam biografi Abu Balj yang disebutkan Bukhari tidak ada pernyataan Bukhari yang menyebutnya cacat apalagi dengan sebutan fihi nazhar bahkan dari keterangan Bukhari dapat diketahui bahwa Syu’bah telah meriwayatkan dari Yahya bin Abu Sulaim Abu Balj. Hal ini berarti Syu’bah menganggap Abu Balj sebagai tsiqah karena telah sangat dikenal bahwa Syu’bah tidak meriwayatkan kecuali dari para perawi tsiqah. Oleh karena itu tidak diragukan lagi kalau Abu Balj seorang yang tsiqat.
.

Amr bin Maimun

Amr bin Maimun Al Audi adalah seorang tabiin yang tsiqah termasuk Al Mukhadramun menemui masa jahiliyah tetapi tidak bertemu dengan Nabi SAW. Ia meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA. Al Ajli dalam Ma’rifat Ats Tsiqah no 1412 berkata

عمرو بن ميمون الأودي كوفي تابعي ثقة

Amr bin Maimun Al Audi Tabiin kufah yang tsiqat.

Ibnu Hajar menyebutkan dalam At Tahdzib juz 8 no 181 bahwa selain Al Ajli, Amr bin Maimun juga dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Nasa’i dan Ibnu Hibban. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/747 mengatakan kalau Amr bin Maimun adalah mukhadramun yang dikenal tsiqat.
.

Kesimpulan

Hadis di atas telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat. Dimana semua perawinya adalah perawi Bukhari dan Muslim kecuali Yahya bin Sulaim Abi Balj dan dia adalah perawi yang tidak diragukan ketsiqahannya. Oleh karena itu hadis tersebut sanadnya Shahih.
.
Catatan :

  • Semoga Hadis  ini bisa didiskusikan dengan sebijak mungkin tanpa hujatan dan tuduhan :)
  • Kepada seseorang, silakan dibaca hadiah saya yang tertunda :mrgreen:
  • Analisis Tafsir Salafy Terhadap Hadis Ali Khalifah Setelah Nabi SAW

    Analisis Tafsir Salafy Terhadap Hadis Ali Khalifah Setelah Nabi SAW
    Al Hafiz Ibnu Abi Ashim Asy Syaibani dalam Kitabnya As Sunnah hal 519 hadis no 1188 telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih sebagai berikut

    ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي

    Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari ‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “KedudukanMu di sisiKu sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja Engkau bukan seorang Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu.

    Salafy berkata

    Hadits di atas dipergunakan dalil oleh kaum Syi’ah sebagai legalitas kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu (yang seharusnya menjadi khalifah setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – bukan Abu Bakr Ash-Shaiddiq radliyallaahu ‘anhu).
    Aneh sekali, seolah-olah setiap hadis yang membicarakan kekhalifahan harus dipandang dari sudut yang mana tafsir Sunni dan yang mana tafsir Syiah. Seolah-olah sebuah tafsir harus dipahami dalam kerangka mana anda berdiri. Apakah anda orang sunni? maka tafsirnya harus begini. Kalau anda menafsirkan begitu maka itu adalah tafsir Syiah. Pahamilah sebuah hadis bagaimana hadisnya sendiri berbicara karena kebenaran tidak terikat dengan apakah anda Sunni ataukah Syiah.
    Sungguh dugaan mereka keliru. Tidak ada sisi pendalilan atas klaim mereka terhadap hadits tersebut.
    Yang keliru berkata keliru. Bagaimana mungkin dikatakan tidak ada sisi pendalilan atas klaim Syiah. Padahal salafy sendiri juga mengklaim. Orang lain juga dengan mudah berkata sebaliknya “Sungguh dugaan salafy keliru, tidak ada sisi pendalilan atas klaim salafy terhadap hadis tersebut”.
    Dalam memahami satu hadits tentu saja harus dipahami berbarengan dengan hadits lain yang semakna agar menghasilkan satu pemahaman yang komprehensif.
    Mari kita memahami dengan pemahaman yang komprehensif dan mari kita lihat bersama siapa yang mendudukkan dalil dengan semestinya dengan berpegang pada hadisnya dan mana yang menundukkan hadis pada keyakinan yang dianut.
    Sa’d bin Abi Waqqash radliyallaahu ‘anhu membawakan hadits semisal dalam Ash-Shahiihain

    عن سعد بن أبي وقاص قال خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب في غزوة تبوك فقال يا رسول الله تخلفني في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون مني بمنزلة هارون من موسى غير انه لا نبي بعدي

    Dari Sa’d bin Abi Waqqaash ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas ‘Ali bin Abi Thaalib saat perang Tabuk (untuk menjaga para wanita dan anak-anak di rumah). ‘Ali pun berkata : ‘Wahai Rasulullah, engkau hanya menugasiku untuk menjaga anak-anak dan wanita di rumah ?’. Maka beliau menjawab : ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 4416 dan Muslim no. 2404].

    Hadis Shahihain ini diucapkan Nabi SAW pada perang Tabuk, tetapi Salafy mengklaim bahwa keutamaan yang dimiliki Imam Ali kedudukan Beliau di sisi Nabi SAW seperti kedudukan Harun di sisi Musa adalah terkhusus pada perang Tabuk saja dan tidak untuk setelahnya. Jelas sekali klaim mereka ini memerlukan bukti. Mana bukti dari hadis diatas yang menunjukkan bahwa keutamaan kedudukan Harun di sisi Musa hanya berlaku saat perang Tabuk saja. Hadis di atas hanya menunjukkan bahwa keutamaan tersebut berlaku saat Perang Tabuk tetapi tidak menafikan kalau keutamaan tersebut berlaku untuk seterusnya. Sebuah hadis dengan lafaz yang umum akan berlaku sesuai keumumannya kecuali terdapat pernyataan tegas soal kekhususannya. Dan maaf kita tidak menemukan adanya kekhususan bahwa hadis di atas hanya berlaku saat perang tabuk saja. Kekhususan sebab tidak menafikan keumuman lafal.

    Salafy berkata

    Dari hadits ini kita dapat mengetahui apa makna “khalifah” sebagaimana dimaksud pada hadits pertama. Makna “khalifah” di sini adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Konteks hadits dan peristiwanya menyatakan demikian
    Konteks hadis menyatakan bahwa Imam Ali adalah khalifah pengganti Rasulullah SAW saat Perang Tabuk. Dan hal ini adalah bagian dari keumuman lafal kedudukan Imam Ali di sisi Nabi SAW seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Selain itu lafal “Tidak sepantasnya Aku pergi Kecuali Engkau sebagai Khalifahku” memiliki arti jika Rasulullah SAW pergi atau tidak ada maka Imam Ali adalah pengganti Beliau. Hal ini selaras dengan kedudukan Harun di sisi Musa. Kedudukan tersebut mencakup jika Nabi Musa AS tidak ada atau pergi dan Nabi Harun AS masih hidup maka Nabi Harun AS yang akan menjadi penggantinya. Perhatikanlah kita menerima keduanya baik konteks hadis dan teks hadis yang umum.

    Salafy berkata

    Jika mereka (kaum Syi’ah) menyangka dengan hadits ini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengamanatkan kepemimpinan (khilaafah) kaum muslimin kepada ‘Ali secara khusus setelah wafat beliau, niscaya akan banyak khalifah di kalangan shahabat yang ditunjuk beliau – jika kita mengqiyaskannya sesuai dengan ‘illat haditsnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas serupa kepada ‘Utsman bin ‘Affaan, Ibnu Ummi Maktum, Sa’d bin ‘Ubaadah, dan yang lainnya.
    Sungguh persangkaan mudah sekali keliru. Bagaimana Syiah menafsirkan hadis itu maka itu urusan mereka. Sekarang yang kita bahas adalah apa makna sebenarnya hadis ini. Jika salafy mengqiyaskan dengan illat hadis yang diklaim seenaknya maka begitulah jadinya. Jika salafy hanya berpegang pada asumsi mereka dan menafikan lafal hadisnya maka nampaklah kekeliruan mereka. Kekeliruan salafy adalah mereka bermaksud bahwa keutamaan Kedudukan Harun di sisi Musa itu hanya sebatas perang Tabuk saja dan ini terkait dengan kepemimpinan Imam Ali saat di Madinah saja dan itu pun saat Perang Tabuk saja. Kalau memang Salafy mengakui bahwa banyak sahabat yang mendapat kepemimpinan seperti itu maka jika kita mengqiyaskan dengan illat yang dimaksud salafy niscaya keutamaan Kedudukan Harun di sisi Musa tidak hanya milik Imam Ali tetapi juga milik sahabat lain yang mendapat tugas dari Nabi SAW. Adakah salafy berkeyakinan seperti itu?.

    Salafy berkata

    Jika ada yang bertanya :

    Mengapa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan redaksi yang sama kepada para shahabat lain saat mereka menjadi pengganti/wakil beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurus wanita dan anak-anak ?.

    Dijawab :

    Perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali : “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, namun engkau bukanlah seorang nabi….dst.” adalah untuk menghibur sekaligus pembelaan terhadap ‘Ali atas cercaan kaum munafiq.
    Saya tidak menafikan bahwa bisa saja untuk dikatakan bahwa perkataan itu untuk menghibur. Tetapi walau bagaimanapun perkataan yang diucapkan oleh Rasulullah SAW adalah sebuah kebenaran. Rasulullah SAW memberikan hiburan bahwa keutamaan Imam Ali di sisi Beliau adalah seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Hal ini mencakup berbagai kedudukan yang dimiliki Harun di sisi Musa kecuali yang telah dikhususkan oleh Rasulullah SAW bahwa itu tidak termasuk yaitu Kenabian. Jika memang salafy berkeyakinan bahwa kata-kata tersebut hanya sekedar perumpamaan artinya kepemimpinan Ali saat perang Tabuk serupa dengan kepemimpinan Harun saat Musa pergi ke Thursina dan hanya terbatas untuk itu saja. Maka tidak ada faedahnya kata-kata “namun engkau bukanlah seorang nabi”. Adanya kata-kata mengkhususkan seperti itu menunjukkan bahwa kedudukan tersebut tidaklah khusus tetapi bersifat umum yaitu Mencakup semua kecuali apa yang telah dikhususkan oleh Nabi SAW bahwa itu tidak termasuk yaitu Kenabian.
    Juga, untuk menegaskan keutamaan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu di sisi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja, sebuah penegasan keutamaan merupakan jalan yang paling ampuh untuk menangkal cercaan kaum munafiqin tersebut.
    Tentu saja benar dan sebuah keutamaan yang disematkan kepada Imam Ali tidaklah akan sirna atau hilang jika kaum munafik sudah tidak mencela. Apakah salafy ingin mengatakan bahwa tujuan keutamaan tersebut hanya untuk menangkal cercaan kaum munafik saja tetapi tidak menjelaskan kedudukan yang sebenarnya?. Keutamaan tersebut menjelaskan kedudukan sebenarnya Imam Ali di sisi Nabi SAW dan kedudukan tersebut akan terus ada dan melekat pada Imam Ali.
    Adz-Dzahabiy berkata :
    “……..Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menugaskan ‘Aliy bin Abi Thaalib menjaga keluarganya dan mengurus segala keperluannya. Kaum munafiqin pun menyebarkan berita buruk karena penugasan tersebut dan berkata : ‘Tidaklah beliau menugaskannya (untuk tinggal di Madinah/tidak ikut berperang) kecuali karena ia (‘Ali) merasa berat untuk berangkat (jihad) dan kemudian diberikan keringanan (oleh beliau). Ketika kaum munafiqin mengatakan hal itu, ‘Ali bergegas mengambil senjatanya dan kemudian keluar untuk menyusul Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Jarf. ‘Ali berkata : “Wahai Rasulullah, kaum munafiqin mengatakan bahwa engkau menugaskan aku karena engkau memandang aku berat untuk berangkat jihad dan kemudian memberikan keringanan”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Mereka telah berdusta ! Kembalilah, aku menugaskanmu selama aku meninggalkanmu di belakangku untuk mengurus keluargaku dan keluargamu. ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?”. Maka ‘Ali pun akhirnya kembali ke Madinah” [Taariikhul-Islaam, 1/232].
    Perhatikanlah hadis di atas. Mari kita berikan analogi yang sama buat salafy. Jika kita memahami hadis riwayat Adz Dzahabi maka disitu disebutkan bahwa Rasulullah SAW menugaskan Imam Ali untuk mengurus keluarga Nabi dan keluarga Ali. Hal ini terlihat dari kata-kata Kembalilah, aku menugaskanmu selama aku meninggalkanmu di belakangku untuk mengurus keluargaku dan keluargamu. Kemudian setelah itu Rasulullah SAW mengucapkan ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?”. Dengan cara berpikir salafy maka kita dapat mengatakan bahwa illat hadis Manzilah adalah tugas untuk mengurus keluarga Nabi dan keluarga Ali. Lantas mengapa mereka sebelumnya mengatakan Makna “khalifah” bagi Imam Ali di sini adalah  pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Apakah semua orang di Madinah saat itu hanya keluarga Nabi dan keluarga Imam Ali saja?. Yah begitulah kontradiksi salafy dalam memahami hadis.

    Salafy berkata

    Lantas : “Apa makna : khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di ?” – sebagaimana riwayat Ibnu Abi ‘Aashim. Bukankah ia menunjukkan lafadh mutlak yang menunjukkan ‘Ali merupakan pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal beliau ? Dan lafadh mukmin ini meliputi seluruh shahabat yang hidup pada waktu itu ?
    Bahkan hal itu telah terjawab pada penjelasan sebelumnya.
    Anehnya silakan anda perhatikan baik-baik. Penjelasan sebelumnya jauh berbeda dengan penjelasan salafy setelah ini. Sebelumnya ia mengatakan bahwa makna khalifah tersebut Makna “khalifah” bagi Imam Ali di sini adalah  pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk.

    Salafy berkata

    Makna : khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di ; ini mempunyai dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah sebagaimana perkataan mereka (Syi’ah) – yaitu menjadi pengganti beliau secara mutlak setelah beliau wafat;
    Ternyata sisi pendalilan itu ada, kata-kata tersebut sangat jelas. Anehnya salafy sebelumnya berkata Tidak ada sisi pendalilan atas klaim mereka terhadap hadits tersebut.

    Salafy berkata

    sedangkan kemungkinan kedua bahwa perkataan itu menunjukkan ‘Ali menjadi pengganti beliau bagi seluruh orang mukmin (para shahabat) hanya saat setelah kepergian beliau menuju Tabuk. Kemungkinan kedua inilah yang kuat.
    Lihatlah baik-baik adakah salafy mengatakan sebelumnya bahwa khalifah itu bagi seluruh orang mukmin. Bukankah kita lihat bahwa sebelumnya salafy berkata Makna “khalifah” bagi Imam Ali di sini adalah  pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Jika memang kemungkinan kedua ini yang terkuat maka kepemimpinan tersebut juga bagi ayah atau suami mereka yang ikut berjihad saat perang Tabuk, karena bukankah mereka juga termasuk orang mukmin. Anehnya kalau memang begitu maka kepemimpinan tersebut tidak terbatas pada di Madinah saja (seperti klaim Salafy) tetapi juga mencakup orang mukmin lain yang tidak berada di Madinah. Sekali lagi kita melihat hal-hal yang kontradiksi.
    Sejauh ini salafy tidak memiliki dasar untuk mengatakan bahwa khalifah yang dimaksud hanya terkhusus saat perang Tabuk saja. Mereka hanya mengklaim begitu saja bahwa itu dikhususkan tanpa menunjukkan bukti yang mengkhususkannya. Siapa yang mengkhususkan?. Ketika Rasul SAW berkata untuk setiap orang mukmin maka ada yang berkata khusus untuk anak-anak dan wanita di Madinah saja. Ketika Rasul SAW berkata “setelahku” maka ada yang berkata khusus untuk perang Tabuk saja. Siapa yang mengkhususkan kalau bukan klaim mereka sendiri. Padahal lafal hadis yang diucapkan Rasulullah SAW menunjukkan bahwa Imam Ali adalah pengganti beliau secara mutlak bagi setiap mukmin setelah beliau wafat.

    Salafy berkata

    Kalimat ‘min ba’dii’ (setelahku) di sini maknanya bukan mencakup setelah wafat beliau. Namun ia muqayyad (terikat) pada ‘illat hadits yang disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari. Yaitu : ‘Ali menjadi pengganti Nabi setelah keberangkatan beliau menuju Tabuk dalam hal pengurusan wanita dan anak-anak di Madinah.
    Tidak ada dasar bahwa lafal tersebut muqayyad karena illat hadis yang dimaksud hanyalah klaim salafy semata. Pertama-tama mari kita kembalikan pada riwayat Adz Dzahabi bukankah disana dengan cara berpikir salafy maka ‘illat hadis adalah Ali menjadi pengganti Nabi setelah keberangkatan beliau menuju Tabuk dalam hal pengurusan keluarga Nabi dan keluarga Ali. Bukankah ‘illat dari riwayat Al Bukhari dan ‘illat riwayat yang dikutip Adz Dzahabi berbeda, bagaimana bisa salafy luput melihat hal ini. Bagi saya pribadi kepemimpinan Imam Ali di perang Tabuk baik terhadap keluarga Nabi dan keluarga Ali ataupun terhadap wanita dan anak-anak Madinah adalah bagian dari keumuman Kedudukan Ali di sisi Nabi seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Dan ini mencakup kedudukan Harun yang akan menjadi pengganti bagi Musa jika Musa pergi atau tidak ada, dengan syarat saat itu Nabi Harun AS masih hidup. Dengan kata lain bagian dari kedudukan tersebut adalah Seseorang akan menjadi pengganti bagi orang yang dimaksud jika seseorang tersebut masih hidup. Oleh karena itulah Rasulullah SAW menjelaskan dengan kata-kata selanjutnya bahwa Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu. Kata-kata ini dengan jelas mendudukkan Imam Ali sebagai khalifah bagi setiap Mukmin selepas Nabi SAW karena selepas Nabi SAW Imam Ali masih hidup.

    Salafy berkata

    Karena kalimat sebelumnya berbunyi : “Tidak sepantasnya aku pergi” – yaitu kepergian beliau menuju Tabuk.
    Satu hal yang perlu diingat hadis riwayat Ibnu Abi Ashim yang memuat kata-kata ini tidak menunjukkan bukti yang pasti bahwa kata-kata ini diucapkan pada perang Tabuk. Ada saja kemungkinan bahwa hadis ini diucapkan Nabi di saat yang lain sehingga perkataan tidak sepantasnya aku pergi dijelaskan oleh kata-kata setelahKu sehingga yang dimaksud kepergian itu adalah kepergian saat Nabi SAW wafat. Salafy tidak bisa menafikan kemungkinan ini hanya dengan klaimnya semata. Seandainya pula hadis ini diucapkan saat Perang Tabuk maka perkataan tersebut diartikan bahwa saat Perang Tabuk Nabi juga telah mengatakan bahwa khalifah sepeninggal Beliau SAW adalah Imam Ali.

    Salafy berkata

    Sungguh sangat aneh (jika tidak boleh dikatakan mengada-ada) bagi mereka yang paham akan lisan Arab atas perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak sepantasnya aku pergi (menuju Tabuk) kecuali engkau sebagai “khalifah”-ku bagi setiap mukmin setelahku” – mencakup setelah wafat beliau.
    Sungguh sangat aneh (jika tidak dikatakan mengada-ada) bagi mereka yang paham akan lisan arab bahwa perkataan khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di berarti khalifah bagi wanita dan anak-anak saat perang Tabuk. Secara bahasa arab itu berarti Khalifah bagi setiap orang mukmin sepeninggal Nabi SAW. Dan tentu lafaz ba’di memiliki arti sepeninggal (wafat). Aneh sekali jika orang yang paham lisan arab dengan mudah menafikan makna ba’di sebagai sepeninggal (wafat).

    Salafy berkata


    Penyamaan ‘Ali bin Abi Thaalib dengan Harun dalam hadits semakin membatalkan klaim mereka. Sebagaimana diketahui bahwa Harun tidak pernah menggantikan Musa ‘alaihimas-salaam sebagai khalifah memimpin Bani Israil. Ia wafat ketika Musa masih hidup, dan hanya menggantikan untuk sementara waktu dalam pengurusan (memimpin) Bani Israil saat Musa pergi untuk bermunajat kepada Rabbnya. Tidak ada riwayat sama sekali yang menjelaskan bahwa Harun ‘alaihis-salaam menjadi khilafah/pemimpin bagi Bani Israil sepeninggal (wafat) Musa, melainkan hanya waktu itu saja. Yang menggantikan Musa setelah wafatnya dalam memimpin Bani Israel adalah Nabi Yusya’ bin Nuun ‘alaihis-salaam
    Justru salafy mengetahui tetapi tidak memahami. Penyerupaan yang dimaksud dalam hadis di atas adalah penyerupaan Kedudukan orang yang satu di sisi orang yang lain. Artinya kedudukan Imam Ali di sisi Rasul SAW seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Mengapa Nabi Musa AS menunjuk Nabi Harun AS sebagai penggantinya karena Nabi Harun AS adalah wazir Musa, keluarga dan sekutu dalam urusannya. Sama halnya dengan mengatakan bahwa kedudukan Harun saat itu di sisi Musa adalah kedudukan yang paling layak dan tepat sebagai pengganti Musa jika Musa akan pergi atau jika Musa tidak ada. Kedudukan ini sudah jelas dimiliki Harun semasa hidupnya artinya jika Nabi Harun AS masih hidup maka dialah yang akan ditunjuk sebagai pengganti Nabi Musa AS. Begitu pula dengan kedudukan Imam Ali di sisi Nabi SAW, jika Imam Ali masih hidup maka dialah yang akan menggantikan Nabi SAW oleh karena itu Rasulullah SAW menjelaskan dengan kata-kata Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin sepeninggalKu. Karena sepeninggal Nabi SAW Imam Ali masih hidup
    Salafy mengutip Nawawi yang sebenarnya tidak sedang menjelaskan hadis riwayat Ibnu Abi Ashim
    Berkata An-Nawawi rahimahullah :
    وليس فيه دلالة لاستخلافه بعده لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما قال هذا لعلي رضي الله عنه حين استخلفه على المدينة في غزوة تبوك ويؤيد هذا أن هارون المشبه به لم يكن خليفة بعد موسى بل توفي في حياة موسى قبل وفاة موسى نحو أربعين سنة على ما هو المشهور عند أهل الأخبار والقصص
    “Tidak ada petunjuk (dilaalah) di dalamnya bahwa ‘Ali sebagai pengganti setelah (wafatnya) beliau. Hal itu dikarenakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallaqm hanya bersabda kepada ‘Ali radliyallaahu ‘anhu saat menjadikannya sebagai pengganti di Madinah pada waktu (beliau berangkat menuju) Perang Tabuk. Dan ini diperkuat bahwasannya Harun ‘alaihis-salaam yang diserupakan/disamakan dengan ‘Aliy, tidak pernah menjadi khalifah sepeninggal Musa. Bahkan ia meninggal saat Musa masih hidup sekitar 40 tahun sebelum wafatnya Musa – berdasarkan hal yang masyhur menurut para ahli sejarah”
    Perkataan ini tidak jauh berbeda dengan kata-kata salafy sebelumnya. Tetapi coba lihat kata-kata

    وليس فيه دلالة لاستخلافه بعده

    Kata-kata Nawawi diartikan salafy dengan Tidak ada petunjuk (dilaalah) di dalamnya bahwa ‘Ali sebagai pengganti setelah (wafatnya) beliau. Kali ini dengan mudah salafy memaknai kata yang dicetak biru sebagai setelah (wafatnya) Beliau. Anehnya dalam hadis riwayat Ibnu Abi Ashim ia menafikan bahwa kata tersebut berarti wafat. Sekali lagi kontradiksi
    Salafy berkata
    Harun ‘alaihis-salaam adalah seorang waziir bagi Musa dalam memimpin Bani Israail sebagaimana ditegaskan oleh Allah melalui firman-Nya :
    وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي * هَارُونَ أَخِي * اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي * وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي
    “Dan jadikanlah untukku seorang wazir (pembantu) dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku” [QS. Thaha : 29-32].
    Seorang wazir mempunyai tugas untuk membantu dan memberi dukungan terhadap imam. Begitu pula dengan Nabi Harun yang menjadi waziir bagi Nabi Musa ‘alaihimas-salaam.[3] Jika Syi’ah hendak menyamakan kedudukan ‘Ali dengan Harun, maka cukuplah mereka berpendapat ‘Ali berkedudukan sebagai waziir bagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bukan sebagai imam/khalifah yang ditunjuk. Oleh karena itu, klaim Syi’ah tentang keimamahan ‘Ali bin Abi Thaalib melalui hadits ini sungguh sangat tidak tepat.
    Berdasarkan ayat Al Qur’an yang dikutip salafy maka Nabi Harun AS tidak hanya seorang wazir Musa tetapi juga keluarga dan saudara Musa, orang yang meneguhkan kekuatan Musa dan merupakan sekutu Musa dalam urusannya. Kedudukan Harun di sisi Musa ini dimiliki oleh Imam Ali di sisi Rasul SAW. Tidak hanya itu, Nabi Harun AS juga ditunjuk sebagai Imam atau khalifah bagi kaumnya ketika Musa AS akan pergi

    وَقَالَ مُوسَى لاَِخِيه هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلاَ تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِين

    “Musa berkata kepada saudaranya yaitu Harun “Gantikan Aku dalam memimpin kaumku, dan perbaikilah, dan jangan kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS Al-A’raf: 142)

    Hal ini menunjukkan salah satu kedudukan Harun di sisi Musa adalah Beliau menjadi khalifah semasa hidupnya (selagi hidup) jika Nabi Musa AS akan pergi. Maka begitu pula kedudukan Imam Ali di sisi Nabi SAW, Beliau semasa hidupnya (selagi hidup) menjadi khalifah jika Nabi Muhammad SAW pergi.

    Salafy berkata

    Kita tidak mengingkari bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Namun membawanya kepada makna ‘Ali adalah orang yang ditunjuk sebagai khalifah/amirul-mukminin sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka inilah yang tidak kita sepakati. Tidaklah setiap lafadh yang menunjukkan keutamaan itu selalu berimplikasi kepada kepemimpinan
    Cara berpikir seperti ini jelas-jelas terbalik. Kita tidak mengingkari bahwa lafal hadis Manzilah riwayat Ibnu Abi Ashim memuat lafal Khalifah sepeninggal Nabi SAW dan sudah jelas lafal khalifah berimplikasi kepada kepemimpinan Imam  Ali sepeninggal Nabi SAW. Hal ini menunjukkan hadis Manzilah memiliki makna umum (termasuk dalam hadis shahihain) dan merupakan keutamaan Imam Ali RA yang sangat besar di sisi Nabi SAW.

    Salafy berkata

    Ada yang sangat memaksakan kehendak dengan menafikkan akal sehat yang padahal sangat mudah untuk memahaminya.
    Mereka katakan bahwa Harun itu akan menggantikan Musa jika Harun masih hidup sepeninggal Musa. Begitulah kata mereka.
    Jika yang dimaksud akal sehat adalah setiap yang mendukung keyakinan salafy maka akal tersebut sudah menjadi tidak sehat. Karena sebuah keyakinan harus diukur dengan standar kebenaran bukan standar kebenaran yang harus ditundukkan pada keyakinan. Sudah jelas kedudukan Harun di sisi Musa adalah Harun akan selalu menjadi pengganti Musa jika Musa tidak ada dan saat itu Harun masih hidup. Siapapun yang berakal sehat tidak akan menafikan hal ini.

    Salafy berkata
    Pertanyaannya : Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyamakan kedudukan ‘Ali radliyallaahu ‘anhu dengan Harun; apakah beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui bahwa Harun telah meninggal sebelum Nabi Musa meninggal dan tidak pernah memegang tampuk khalifah/imam memimpin Bani Israel sepeninggal Musa ?
    Sudah jelas Rasulullah SAW tahu, oleh karena itulah untuk menghapus syubhat dari para pengingkar maka Rasulullah SAW memberikan penjelasan khusus yaitu Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu. Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW mengetahui bahwa Imam Ali masih hidup sepeninggal Beliau SAW, dan tentu sebagaimana layaknya Harun akan menjadi pengganti Musa jika Harun masih hidup maka Imam Ali akan menjadi pengganti Rasul SAW jika Imam Ali masih hidup.

    Salafy berkata

    Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa Harun hanyalah menjadi pengganti (khalifah) bagi Musa untuk mengurus Bani Israel hanya saat Musa pergi ke Bukit Tursina.
    Kita sudah jelaskan bahwa kedudukan Harun di sisi Musa itu tidak hanya soal pengganti Musa ketika Musa pergi ke bukit Thursina saja. Kita telah jelaskan bahwa Harun adalah wazir Musa, keluarga dan saudara Musa, orang yang meneguhkan kekuatan Musa dan sekutu Musa dalam urusannya. Oleh karena itu tidak ada satupun yang layak menggantikan Musa selain Harun jika Nabi Harun AS masih hidup. Inilah kedudukan Harun di sisi Musa yang tidak dipahami oleh salafy. Beginilah cara mereka mengurangi keutamaan Imam Ali dengan menafikan keumuman dan mengkhususkan dengan situasi tertentu saja.

    Salafy berkata

    Oleh karena itu, beliau mengqiyaskan kedudukan mulia Harun ini kepada ‘Ali yang beliau tugaskan untuk mengurus orang-orang yang tinggal di Madinah saat beliau tinggalkan berperang menuju Tabuk.
    Rasulullah SAW menjelaskan keutamaan Imam Ali di sisi Beliau dengan kata-kata kedudukanMu di sisi Ku seperti Kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahKu. Pengecualian yang ditetapkan oleh Rasul SAW adalah untuk membatasi keumuman kedudukan Harun yang memang banyak di sisi Musa. Jika seperti yang salafy katakan bahwa hal itu hanya pengqiyasan untuk situasi yang khusus maka tidak ada faedahnya disebutkan pengecualian. Jika memang sudah dikhususkan mengapa harus dikecualikan.

    Salafy berkata


    Namun karena Syi’ah hendak memaksakan untuk membawa pengertian ini kepada penunjukan Khalifah sepeninggal Nabi, datanglah tafsir-tafsir aneh mengenai hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
    Begitulah salafy selalu mengatakan aneh setiap tafsir yang bertentangan dengan mereka karena salafy hendak memaksakan untuk melindungi keyakinan mereka dan menunjukkan kedengkian mereka terhadap mahzab lain. Mereka tidak bisa mengakui kebenaran pada mahzab lain karena menurut mereka apapun setiap mahzab yang menentang mereka maka sudah jelas tafsirnya akan aneh-aneh. Tidakkah cukup kata-kata Rasulullah SAW yang sangat jelas, ternyata tidak karena dalih selalu bisa dicari-cari. Pengingkar akan selalu ada dan itu tidak tergantung dari mahzab apa ia berasal. Untuk menentukan ingkar atau tidak anda hanya perlu melihat dengan jelas siapa yang berpegang pada hadis Rasul SAW dan siapa yang berpegang pada keyakinan pribadi. Sekali lagi saya tekankan kepada para pencari kebenaran, anda tidak perlu menjadi sunni atau syiah untuk memahami hadis di atas dan anda tidak perlu terkelabui oleh syubhat bahwa kalau anda memahami begitu maka anda akan menjadi syiah, atau kalau anda memahami seperti ini maka anda adalah sunni. Cukup pahami hadis tersebut sebagaimana hadis tersebut berbicar  
  •  
  • Hadis Safinah : Imam Ali Bagi Umat Seperti Bahtera Nuh dan Pintu Pengampunan Bani Israil

    Hadis Safinah : Imam Ali Bagi Umat Seperti Bahtera Nuh dan Pintu Pengampunan Bani Israil

    Hadis Safinah atau Bahtera Nuh menjelaskan kalau Ahlul Bait adalah pintu keselamatan bagi umat islam. Ahlul Bait layaknya bahtera Nuh bagi umat barang siapa yang menaikinya maka ia akan selamat.

    حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُعَلَّى بْنِ مَنْصُورٍ ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ ، عَنْ أَبِي الأَسْوَدِ ، عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي مَثَلُ سَفِينَةِ نُوحٍ ، مَنْ رَكِبَهَا سَلِمَ وَمَنْ تَرَكَهَا غَرِقَ

    Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Mu’alla bin Manshur yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Maryam yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah dari Abul Aswad dari Amir bin Abdullah bin Zubair dari ayahnya bahwa Nabi SAW bersabda “Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh barang siapa yang menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang meninggalkannya akan celaka [Kasyf Al Astar Zawaid Musnad Al Bazzar 3/222 no 2613]

    Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Abdullah bin Lahii’ah dia seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan i’tibar. Abdullah bin Lahii’ah dinyatakan dhaif dari segi dhabit atau hafalannya.
  • Yahya bin Mu’alla bin Manshur adalah perawi Ibnu Majah yang tsiqat. Al Khatib berkata “tsiqat”. [At Tahdzib juz 11 no 461]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/316]. Dalam Tahrir At Taqrib ia dinyatakan tsiqat [Tahrir At Taqrib no 7650]
  • Ibnu Abi Maryam adalah Sa’id bin Hakam bin Muhammad perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Ma’in berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 4 no 23]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit faqih” [At Taqrib 1/350]
  • Abdullah bin Lahii’ah adalah perawi Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ahmad bin Shalih menyatakan ia tsiqat. Mereka memperbincangkan hafalannya dimana dikatakan ia mengalami ikhtilath setelah kitabnya terbakar. Abu Hatim dan Abu Zur’ah menyatakan bahwa hadisnya ditulis dan dapat dijadikan i’tibar [At Tahdzib juz 5 no 648]. Ibnu Hajar berkata “shaduq dan mengalami ikhtilath setelah kitabnya terbakar” [At Taqrib 1/526]
  • Abul Aswad adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Nawfal perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 9 no 508]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 2/105]
  • Amir bin Abdullah bin Zubair adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Hibban, Al Ijli dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 5 no 117]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/462]

Hadis Abdullah bin Zubair yang diriwayatkan Ibnu Lahii’ah dikuatkan oleh hadis Abdullah bin Abbas riwayat Hasan bin Abi Ja’far berikut

حدثنا علي بن عبد العزيز حدثنا مسلم بن إبراهيم ثنا الحسن بن أبي جعفر عن أبي الصهباء عن سعيد بن جبير عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : مثل أهل بيتي مثل سفينة نوح من ركب فيها نجا ومن تخلف عنها غرق

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdul ‘Aziz yang berkata telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim yang berkata telah menceritakan kepada kami Hasan bin Abi Ja’far dari Abu Shahba’ dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh barang siapa yang menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang meninggalkannya akan celaka” [Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 3/46 no 2638]

Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan shaduq hasanul hadis kecuali Hasan bin Abi Ja’far ia seorang yang dhaif tetapi hadisnya dapat dijadikan i’tibar. Cacat yang ada pada Hasan bin Abi Ja’far karena di dalam hadisnya terdapat hal-hal yang diingkari dan ini dikarenakan waham [kesalahan] atau hafalan yang tidak dhabit sedangkan dirinya sendiri adalah seorang yang shaduq.

  • Ali bin Abdul ‘Aziz adalah Syaikh Thabrani yang tsiqat. Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun” [Su’alat Hamzah no 389]. Ibnu Abi Hatim berkata “shaduq” [Al Jarh Wat Ta’dil 6/196 no 1076]
  • Muslim bin Ibrahim adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Abu Hatim, Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “shalih” [At Tahdzib juz 10 no 220]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat ma’mun” [At Taqrib 2/177]
  • Hasan bin Abi Ja’far adalah perawi Ibnu Majah dan Tirmidzi yang dhaif tetapi ia bukanlah seorang pendusta melainkan seorang yang jujur dan hadisnya dapat dijadikan i’tibar. Ia dinyatakan dhaif karena sering meriwayatkan hadis mungkar. Amru bin Ali berkata “shaduq munkar al hadits, yahya tidak meriwayatkan darinya”. Nasa’i menyatakan dhaif. Bukhari berkata “munkar al hadits”. Abu Hatim berkata “tidak kuat, dia seorang syaikh shalih hanya saja sebagian hadis-hadisnya terdapat hal yang diingkari”. Abu Zur’ah berkata “tidak kuat”. Ibnu Hibban mengatakan kalau ia seorang yang baik, rajin beribadah, doanya selalu diijabahkan hanya saja ia melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis dari hafalannya sehingga tidak bisa dijadikan hujjah dan ia memiliki keutamaan. Muslim bin Ibrahim yang meriwayatkan darinya berkata “ia termasuk orang yang paling baik”. Abu Bakar bin Abil Aswad berkata “Ibnu Mahdi awalnya meninggalkan hadisnya tetapi kemudian Ibnu Mahdi meriwayatkan darinya “[periwayatan Ibnu Mahdi berarti Hasan tsiqah menurutnya]. Ibnu Ady menyatakan bahwa Hasan bin Abi Ja’far memiliki hadis-hadis shalih [baik], hadis-hadisnya lurus dan shalih, di sisiku ia bukanlah seorang pendusta ia seorang yang shaduq. Cacat yang ada pada Hasan bin Abi Ja’far karena di dalam hadisnya terdapat hal-hal yang diingkari dan ini dikarenakan waham atau hafalan yang tidak dhabit sedangkan dirinya sendiri adalah seorang yang shaduq. [At Tahdzib juz 2 no 482]
  • Abu Shahba’ Al Kufi adalah orang kufah shaduq hasanul hadis. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat. [At Tahdzib juz 12 no 644]. Ibnu Hajar berkata “maqbul” [At Taqrib 2/420] dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir At Taqrib no 8180]
  • Sa’id bin Jubair adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Qasim Thabari berkata “ia tsiqat imam hujjah kaum muslimin”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat seraya berkata “fakih ahli ibadah yang memiliki keutamaan” [At Tahdzib juz 4 no 14]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit fakih” [At Taqrib 1/349]

Kedua hadis di atas saling menguatkan sehingga derajatnya naik menjadi hasan lighairihi. Ibnu Hajar Al Haitsami berkata tentang hadis Safinah ini “hadis ini memiliki banyak jalan yang saling menguatkan satu sama lain” [Ash Shawaiq Al Muhriqah 2/445]. Al Hafizh As Sakhawi menyatakan hadis ini hasan [Al Baladaniyaat hal 186]. Sebagian orang yang dengki kepada kemuliaan Ahlul Bait telah menolak hadis ini dan menyatakan kalau hadis Safinah palsu. Alhamdulillah Imam Ali sendiri sebagai Ahlul Bait Nabi SAW telah mengakui bahwa kedudukannya bagi umat seperti bahtera Nuh dan pintu pengampunan bani Israil.

حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ هِشَامٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَمَّارٌ عَنِ الأَعْمَشِ عَنِ الْمِنْهَالِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ إنَّمَا مَثَلُنَا فِي هَذِهِ الأُمَّةِ كَسَفِينَةِ نُوحٍ وَكِتَابِ حِطَّةٍ فِي بَنِي إسْرَائِيلَ

Telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah bin Hisyaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Ammar dari Al A’masy dari Minhal dari Abdullah bin Al Harits dari Ali yang berkata “Sesungguhnya kedudukan kami bagi umat ini seperti bahtera Nuh dan pintu pengampunan bani Israil” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no 32110]

Kedudukan Atsar ini Shahih. Para perawinya adalah perawi terpercaya hanya saja Al A’masy dikenal sebagai mudallis tetapi hal ini tidak mencacatkan atsar tersebut karena Al A’masy adalah mudallis martabat kedua yaitu mudallis yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab shahih.

  • Mu’awiyah bin Hisyaam adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim dan Ashabus Sunan. Abu Dawud dan Al Ijli menyatakan “tsiqat”. Abu Hatim dam Ibnu Sa’ad berkata “shaduq”. As Saji berkata “shaduq yahiim”. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan mengutip Utsman bin Abi Syaibah yang berkata “shaduq tidak bisa dijadikan hujjah” [At Tahdzib juz 10 no 403]. Ibnu Hajar memberikan predikat “shaduq lahu awham” [At Taqrib 2/197] dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Muawiyah bin Hisyaam seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir At Taqrib no 6771]. Adz Dzahabi menyatakan “tsiqat” [Al Kasyf no 5535]
  • Ammar adalah Ammar bin Ruzaiq perawi Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Ibnu Hibban, Ibnu Syahin dan Ali bin Madini menyatakan “tsiqat”. Abu Hatim, Nasa’i dan Al Bazzar berkata “tidak ada masalah padanya” [At Tahdzib juz 7 no 648]. Ibnu Hajar menyatakan “tidak ada masalah” [At Taqrib 1/706] dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Ammar bin Ruzaiq seorang yang tsiqat [Tahrir At Taqrib no 4821]
  • Al A’masy adalah Sulaiman bin Mihran Al A’masyi perawi kutubus sittah yang tsiqat. Al Ijli dan Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386]. Ibnu Hajar menyebutkannya sebagai mudallis martabat kedua yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab shahih [Thabaqat Al Mudallisin no 55]
  • Minhal bin Amru adalah perawi Bukhari dan Ashabus Sunan yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in, Nasa’i dan Al Ijli berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Daruquthni berkata “shaduq” [At Tahdzib juz 10 no 556]. Ibnu Hajar menyatakan “shaduq pernah melakukan kesalahan” [At Taqrib 2/216] tetapi pernyataan ini tidaklah benar sehingga dalam Tahrir At Taqrib dikoreksi kalau Minhal bin Amru seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 2918]
  • Abdullah bin Al Harits Al Anshari adalah tabiin yang tsiqat perawi kutubus sittah. Abu Zur’ah, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Sulaiman bin Harb berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “ditulis hadisnya” [At Tahdzib juz 5 no 331]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/485]

Sebagian pengikut salafy berusaha melemahkan atsar ini dengan menyebarkan syubhat kalau atsar ini dhaif karena tadlis Al A’masy. Syubhat ini terlalu lemah untuk dibantah yang hanya menunjukkan kedangkalan ilmu hadis yang mereka miliki. Jika tadlis Al A’masy merupakan suatu cacat maka alangkah banyaknya hadis dalam kutubus sittah yang menjadi dhaif. Cukuplah disebutkan kalau ahli hadis seperti Al Hakim dan Adz Dzahabi bersepakat menshahihkan hadis ‘an anah Al A’masy dari Minhal [Talkhis Al Mustadrak 1/96 no 110] bahkan para muhaqqiq seperti Syaikh Syu’aib Al Arnauth menshahihkan hadis ‘an anah A’masy dari Minhal seraya berkata “shahih sesuai syarat Bukhari” [Musnad Ahmad 2/13 no 4622] begitu pula Syaikh Salafy Al Albani juga menyatakan shahih hadis ‘an anah A’masy dari Minhal [Shahih Sunan Abu Dawud no 3212 dan Shahih Sunan Ibnu Majah no 339]

Jumat, 01 Mei 2015 16:23

Pidato Presiden Iran Hassan Rouhani di depan Ulama, Tokoh, Cendekiawan dan Akademisi Indonesia di Jakarta


Segala puji bagi Allah, Tuhan Pengatur alam semesta. Shalawat dan salam Allah Swt kita kirimkan kepada Junjungan kita Nabi Besar Muhammad, keluarganya yang suci, dan sahabatnya yang mulia.

Saya beserta rombongan yang menyertai merasa sangat gembira karena mendapatkan kesempatan untuk bertemu dan bertatap muka dengan para ulama, tokoh, dan kalangan cendekiawan di negeri Indonesia yang merupakan sahabat dan saudara kami.

Indonesia memiliki kedudukan istimewa di dunia Islam dan merupakan negeri yang berpenduduk Muslim terbesar. Indonesia menjadi contoh dari manifestasi akhlak dan sikap persaudaraan serta hidup berdampingan secara damai dengan pelbagai pemeluk agama dan individu-individu yang heterogen yang hidup di negeri ini.

Hari ini sangat mendesak bagi negara-negara Islam dan bagi kalian para ulama, tokoh masyarakat, kalangan akademisi serta para pakar, untuk masing-masing kita memikirkan secara serius mana yang terpenting dan yang penting bagi dunia Islam.

Membuat skala prioritas bagi masalah-masalah penting dunia Islam merupakan tugas pertama kita. Sebagaimana Nabi saw bersabda bahwa kita harus senantiasa memikirkan persoalan-persoalan umat Islam.

Kita harus melihat masyarakat Islam, dunia Islam, dan seluruh Muslimin seperti benih dari satu batang tubuh. Kita harus menganalisa dalam masalah-masalah budaya dan religi; manakah yang paling penting dan mana yang penting. Islam adalah hal yang paling penting dan prinsip/dasar bagi kita, sedangkan  mazhab Syiah, Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali, semuanya adalah cabang atau cagak. Dan semua mazhab tersebut adalah aliran yang berasal dari satu sumber yang bernama Islam. Bila sumber air itu terancam, maka aliran-aliran pun akan kering. Sebelum kita berpikir tentang aliran air mazhab ini atau mazhab itu, kita harus memikirkan sumber Islam: wahyu, tauhid, Alquran, kenabian dan dasar agama.

Hari ini, dunia Islam—karena ulah musuh-musuh Islam dan orang-orang yang bodoh serta oknum-oknum yang lalai dan melupakan prinsip-prinsip—telah mengalami perpecahan. Saya mengingatkan kembali perkataan Imam Khomeini yang menyatakan: “Siapa saja dari Syiah yang menyerang Sunni, dan sebaliknya siapa saja dari Sunni yang menyerang Syiah, ia bukan Syiah dan juga bukan Sunni.”  Sekarang adalah momentum persatuan dunia Islam.

Hari ini, masalah pertama yang penting bagi kita Muslimin adalah: jiwa manusia dan bukan hanya jiwa orang Islam, melainkan jiwa seluruh manusia. Kita tidak boleh membiarkan pembunuhan orang-orang yang tidak berdosa. Satu orang saja yang tidak berdosa terbunuh adalah sama dengan membunuh seluruh manusia. Dan membunuh satu wanita yang tidak berdosa berarti membunuh seluruh manusia. Di mana Anda temukan ajaran dan kitab suci yang memiliki ungkapan yang indah seperti ini?[1]

Nabi mengatakan bahwa seruan dan teriakan orang-orang yang teraniaya itu penting bagi kita. Dan siapa pun yang meminta tolong kepada kita, kita harus segera menolongnya, baik dia Muslim maupun non-Muslim.

Bila seseorang, apa pun agama dan mazhabnya; Syiah, Sunni, Yahudi, Kristen atau Budha, dibunuh secara teraniaya dan tanpa dosa, maka dilihat dari sisi hak-hak manusia, mereka sama dan sederajat.

Kita tidak hanya sedih dan prihatin atas terbunuhnya seorang Muslim, bahkan kita juga prihatin atas terbunuhnya setiap manusia yang tak berdosa, apa pun mazhab, ras dan kewargaannya, baik dia orang Arab maupun Persia, baik orang Indonesia maupun bukan, baik berasal dari Timur maupun Barat dunia Islam, baik dari Afrika maupun Asia, dan bahkan dari belahan dunia manapun. Alhasil, kehidupan manusia bagi kita merupakan hal yang paling penting. Keamanan manusia bagi kita merupakan hal yang penting. Ini merupakan tugas negara dan juga ulama serta para pemikir.

Sebagai seorang Muslim, kita harus menjadi pelopor dalam menjaga kehidupan dan keamanan manusia. Bagaimana mungkin kita diam dan menahan diri saat menyaksikan orang-orang yang tidak berdosa terbunuh di Yaman, Irak, Suriah, Libya, dan di mana pun dari kawasan dunia Islam, bahkan bila ada seorang yang tidak berdosa di jantung Eropa atau di Amerika terbunuh maka kita mesti peduli. Terbunuhnya setiap orang yang tidak berdosa, bagi kita mengundang kesedihan dan keprihatinan yang mendalam.

Mungkin Anda pernah mendengar kisah seorang perempuan Nasrani yang dilecehkan dan perhiasan serta harta bendanya dirampas. Imam Ali mengatakan, “Bila seseorang meninggal dunia karena empati dan merasa prihatin atas intimidasi yang dialami oleh seorang yang tak berdosa, maka ia tidak boleh dicela.”

Sahabat besar Nabi Saw, Ali bin Abi Thalib menjelaskan bahwa seseorang yang bersedih dan berempati  karena melihat orang yang tak berdosa diintimidasi, lalu karena itu ia meninggal dunia maka ia tidak boleh dipersoalkan kenapa ia mati hanya gara-gara menahan kesedihan dan keprihatinan terhadap orang lain.

Hari ini, prioritas pertama kita di dunia adalah menjaga kehidupan dan keamanan manusia di seluruh dunia. Tentu tugas ini bukan hanya terbatas bagi dunia Islam. Namun sebagai seorang Muslim dan sesuai dengan tugas keagamaan, kita menilai bahwa hak hidup bagi seluruh manusia adalah sama dan sederajat secara yuridis. Dan kita mengecam setiap bentuk pembunuhan terhadap orang yang tak berdosa, apa pun warga negara dan mazhabnya.

Masalah kedua yang dewasa ini begitu penting bagi kita adalah kemuliaan kita; kemuliaan dunia Islam dan kemuliaan Muslimin. Seluruh umat Islam dan semua orang-orang yang mengikuti dan meneladani perjalanan Nabi Muhammad saw harus merasakan kejayaan dan kemuliaan.

Sangat disayangkan, sebagian oknum di dunia Islam justru menginjak-injak kemuliaan umat Islam. Ironis sekali, dengan nama jihad dan agama, mereka mengangkat senjata dan pedang atas nama Nabi Muhammad saw dan Islam. Dan mereka merusak kemuliaan dan citra kita Muslimin di dunia. Akibat ulah oknum-uknum tersebut, banyak sekali anak-anak muda dan masyarakat dunia mulai meragukan kebesaran Islam. Oknum-oknum itu menyebabkan munculnya Islam phobia pada masyarakat dunia. Tentu kita harus merasa bertanggung jawab  atas realita yang menyedihkan ini.

Hari ini, berpangku tangan dan diam di hadapan serangan terhadap identitas, realitas, dan hakikat Islam merupakan dosa besar. Hari ini, kita semua harus merasakan tanggung jawab dalam masalah ini. Negara-negara Islam, masyarakat Muslim, ulama-ulama Islam, kaum cendekiawan, kalangan akademisi, dan para pakar memikul tanggung jawab yang berat di pundak mereka.

Kita harus memaksimalkan seluruh potensi kita dan tekad kita untuk menghadapi masalah ini. Kita sesama Muslim berabad-abad hidup secara damai. Buktinya, Anda lihat di Irak terdapat tempat-tempat ibadah dari pelbagai mazhab Islam atau dari pelbagai agama yang terkait dengan permulaan sejarah Islam, dan bahkan sebelum datangnya Islam, sampai sekarang pun masih ada situs-situs historis itu. Tetapi, oknum-oknum yang biadab yang mengatasnamakan jihad, mereka merusak bangunan-bangunan dan tempat-tempat ibadah, dan sayangnya mereka berbuat kerusakan atas nama agama dan Islam.

Mari kita perhatikan ayat pertama yang berbicara tentang jihad dalam Alquran! Ayat pertama jihad yang turun menyatakan bahwa jihad Islam itu untuk “pertahanan”. Dan ayat sebelumnya mengatakan “Karena kaum Muslimin tertindas dan teraniaya, maka mereka diizinkan untuk berjihad.” Jadi, jihad Islam adalah untuk membela orang yang teraniaya. Jihad Islam untuk membela tempat-tempat ibadah, gereja-gereja dan sinagoge. Islam adalah agama yang membela semua kalangan. Jihad Islam adalah membela semua kelompok.

Saya katakan dan saya tanya kepada mereka yang menyebut dirinya sebagai orientalis atau pakar Islam yang secara bohong dan dusta menyatakan bahwa Islam adalah agama pedang, “Apakah Islam masuk ke Indonesia dengan pedang?” Saya bertanya kepada mereka, “Apakah Islam masuk ke Timur Asia juga dengan pedang?”

Islam bukan agama pedang, Islam agama dakwah dan logika. Islam sama sekali tidak pernah memaksakan agama kepada orang lain. Tidak ada paksaan dalam agama.[2]  Konsep agama tidak sesuai dengan pedang. Yakni, agama berarti keyakinan, dan keyakinan tidak mungkin diwujudkan dengan pedang.

Adalah kebohongan besar penyataan yang mengatakan bahwa tapal batas negeri-negeri Islam adalah tapal batas darah. Tapal batas Islam adalah tapal batas rasio, logika, dan kasih sayang. Nabi Junjungan kita adalah Nabi pembawa dan penebar rahmat. Saya bertanya kepada kalian ulama, cendekiawan, dan kaum intelektual, “Apakah sikap dan perilaku Nabi saw terhadap kaum Yahudi, Nasrani, dan pelbagai pemikiran dan akidah yang berbeda ketika memasuki Madinah dan mulai membentuk pemerintahan Islam dan waktu itu kekuasaanya belum begitu kuat berbeda atau berubah saat beliau telah mencapai puncak kekuasaannya di tahun-tahun terakhir dari hidupnya? Bukankah di Madinah terdapat para pengikut pelbagai ajaran/agama? “

Nabi saw tidak pernah mengusir kaum Yahudi dan Nasrani dari Madinah. Dan bahkan beliau bersabar dan menahan diri terhadap orang-orang munafik yang dikenalinya. Nabi Islam membawa agama bagi kita, yaitu agama toleransi dan hidup berdampingan secara damai dengan orang lain; agama kasih sayang dan rahmat.

Ada sebagian orang yang secara dusta menulis di pelbagai buku bahwa Islam adalah agama kekerasan. Dan kelompok-kelompok teroris yang muncul saat ini adalah hasil didikan Islam. Kemudian mereka mengeksploitasi tindakan teroris untuk berbohong kepada masyarakat dunia dan mengatakan bahwa Islam adalah agama kekerasan.

Islam bukanlah agama kekerasan. Kita tidak boleh bersikap diam di hadapan kelompok-kelompok yang hari ini telah melayangkan pukulan dan serangan terbesar terhadap eksistensi Islam dan Alquran serta Nabi Saw. Kita harus memiliki satu suara dan harus bangkit untuk menghadapi kekerasan, radikalisme dan terorisme.
Islam adalah agama moderat, logika, dan rasio. Kita harus menjelaskan Islam yang sesungguhnya kepada penduduk dunia. Hari ini, tugas yang besar ini berada di pundak kita. Islam adalah agama toleransi dan kemudahan. Saat Rasulullah Saw mengutus Ali bin Abi Thalib dan Mu’adz Ibn Jabal ke Yaman, yang hari ini dibombardir dan dibumihanguskan serta berlumuran darah, kepada dua orang utusan tersebut, beliau bersabda, “Saat kalian berada di Yaman, hendaklah agama dan penjelasan kalian adalah penjelasan yang mengandung kabar gembira. Hendaklah perilaku kalian dengan masyarakat membuat mereka tidak mengambil jarak dengan Islam. Permudahlah urusan rakyat dan jangan kalian persulit. Islam adalah agama mudah; agama toleransi.” Kita harus menjelaskan agama seperti ini kepada seluruh penduduk dunia. Persatuan dunia Islam saat ini merupakan tugas dan tanggung jawab terbesar bagi kita.

Masalah ketiga yang sangat penting bagi dunia Islam adalah ekspansi dan kemajuan. Islam adalah agama peradaban, ilmu pengetahuan, dan agama kesucian zahir dan batin. Nabi saw berulang kali mewasiatkan supaya masyarakat memperhatikan kesucian zahir dan batin. Dan setelah berlangsung berabad-abad dari wasiat Nabi saw tersebut, Raja Louis XIV dari Perancis justru berbangga karena sepanjang hidupnya tidak pernah pergi ke kamar mandi. Demikianlah kondisi Eropa setelah berabad-abad dari masa Islam. Islam adalah agama yang mengajarkan kesucian dan kebersihan zahir dan batin kepada masyarakat. Islam memotivasi masyarakat untuk mempelajari ilmu, mengembangkan ilmu serta bersikap toleransi terhadap sesama. Bahkan Nabi saw mengatakan bahwa “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”

Agama kita adalah agama akhlak; agama kelakuan yang baik, dan agama perdamaian. Agama ini menginginkan kemajuan peradaban ilmu dan pengetahuan bagi kita. Kita kaum Muslim, selama belum memiliki pertumbuhan ilmiah dan ekonomi, kita tidak akan mampu berlepas diri dari konspirasi-konspirasi musuh-musuh Islam, dan mereka yang berbuat aniaya terhadap dunia Islam.

Kita harus bekerja sama di bidang kemajuan ilmu dan pengetahuan. Iran telah banyak berkorban dan membayar cukup mahal untuk mencapai kemajuan dan perkembangan ilmu. Kami diembargo karena mengembangkan ilmu dan pengetahuan. Barat mengembargo kami karena kemajuan ilmu pengetahuan. Dan embargo yang diterapkan Barat terhadap kami  semata-mata karena mereka menginginkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi itu hanya dimonopoli oleh mereka. Mereka tidak suka bila monopoli ini (teknologi dan pengetahuan) dicabut dari mereka. Mereka berpikir bahwa hegemoni mereka terhadap dunia adalah hegemoni militer, ekonomi, dan ilmu pengetahuan.

Kita harus meruntuhkan hegemoni-hegemoni ini. Ilmu dan pengetahuan adalah milik semua bangsa. Saat universitas-uiversitas dan ilmu pengetahuan ada di genggaman umat Islam, kita menganggap bahwa mengajarkan ilmu kepada orang lain merupakan zakat ilmu, dan kita mengharuskan dan mewajibkan diri kita untuk mengajarkan ilmu kepada orang-orang lain. Dan masyarakat Barat dan Eropa juga belajar ilmu dari dunia Islam.  Dan tanpa pamrih, kita berikan ilmu kepada mereka. Ironisnya, mereka justru sekarang ingin mencegah kita dari mendapatkan kemajuan ilmu pengetahuan.

Kita menganggap bahwa pertumbuhan, ekspansi, dan perkembangan ilmu dan teknologi merupakan hak semua manusia, dan termasuk hak Muslimin. Oleh karena itu, di bidang ini kita harus bekerja sama. Para pakar, kalangan akademisi, dan cendekiawan–baik di bidang riil maupun dunia maya–harus saling bersinergi.

Bila kita memperhatikan dan mempertimbangkan prioritas-prioritas dunia Islam, kita akan memiliki dunia yang lain. Kita memiliki tanggung jawab dan tugas besar di hadapan anak-anak dan generasi kita di masa yang akan datang.

Kita tidak boleh membiarkan anak-anak muda kita mengalami keraguan terkait dengan Islam dan warisan besar Nabi Saw. Dan kita tidak boleh membiarkan oknum-oknum yang dengan melancarkan perang perpecahan dan membangkitkan isu-isu perbedaan, mereka menyebarkan kekerasan dan radikalisme atas nama agama. Agama berlepas diri dari mereka semua. Agama kita adalah agama kasih sayang dan cinta, agama persaudaraan. Oleh karena itu, hendaklah dalam pernyataan dan perilaku kita, kita memperhatikan pandangan yang proporsional dan moderat.

Perkataan dan pernyataan kita harus kuat dan kokoh, yakni memiliki kekokohan rasional dan logis. Ini adalah tanggung jawab kita dan misi kita. Para ilmuwan dan para pakar Indonesia dan Iran, begitu juga negara-negara Islam lainnya harus bersatu dalam satu barisan untuk menghadapi serangan-serangan yang dilakukan terhadap Islam.

Islam Indonesia dan Iran adalah Islam moderat dan kasih sayang. Kita di Iran melihat bahwa Syiah dan Sunni hidup berdampingan secara damai. Bila Anda bepergian ke Teheran, ibu kota Iran, Anda akan melihat banyak dari tempat-tempat ibadah yang terkait dengan abad-abad yang lampau, dan sampai hari ini tempat-tempat ibadah itu masih ada. Di DPR dan Parlemen kita (Majelis Syura Islami), baik Syiah maupun Sunni, baik Yahudi maupun Masihi, dan juga Zoroaster, mereka semua berdampingan dan berada dalam satu barisan. Ini adalah logika Islam dan Nabi saw serta kitab Alquran.

Kami—karena nikmat Islam, Alquran dan Sunah Nabi  saw–belajar persaudaraan dan persatuan dari Islam.  Menurut hemat kami, menjaga keamanan umat Islam di seluruh dunia Islam adalah tanggung jawab negara Islam.

Sebagaimana kami membela orang-orang Syiah Libanon, kami juga membela orang-orang Sunni di Gaza. Bagi kami, Ahlu Sunnah di Gaza atau Syiah di Lebanon, Sunni di Irak atau Syiah di Irak, masyarakat Kristen di Irak dan Lebanon, bila mereka memang teraniaya, maka kami akan membela mereka.

Hari ini adalah hari yang mengharuskan kita untuk gotong royong dan bangkit guna membela agama Allah dan Islam. “Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” ( QS. Muhammad: 7 )

Wassalamu ’alaikum. (IRIB Indonesia)


[1] . Yang dimaksud adalah ayat “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS. al-Maidah, 32)
[2] . Sesuai dengan ayat, “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah, 256)

  •  

1 komentar:

  1. KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
    dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor togel.nya yang AKI
    berikan 4 angka [3398] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI.
    dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
    ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI. insya
    allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
    kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
    sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka main togel
    yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI JAYA WARSITO,,di no (((085-342-064-735)))
    insya allah anda bisa seperti saya…menang togel 730 JUTA , wassalam.


    dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....







    Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!


    1"Dikejar-kejar hutang

    2"Selaluh kalah dalam bermain togel

    3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel


    4"Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat


    5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
    tapi tidak ada satupun yang berhasil..







    Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI JAYA WARSITO akan membantu
    anda semua dengan Angka ritual/GHOIB:
    butuh angka togel 2D ,3D, 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
    100% jebol
    Apabila ada waktu
    silahkan Hub: KI JAYA WARSITO DI NO: [[[085-342-064-735]]]


    ANGKA RITUAL: TOTO/MAGNUM 4D/5D/6D



    ANGKA RITUAL: HONGKONG 2D/3D/4D/



    ANGKA RITUAL; KUDA LARI 2D/3D/4D/



    ANGKA RITUAL; SINGAPUR 2D/3D/4D/



    ANGKA RITUAL; TAIWAN,THAILAND



    ANGKA RITUAL: SIDNEY 2D/3D/4D/



    DAN PESUGIHAN TUYUL

    BalasHapus