Senin, 06 Agustus 2012

MEDIA MASA...??? TRAGEDI MUSLIM ROHINYA...???... BERITA DI-POTONG-POTONG...TIDAK SEJUJURNYA..TERGANTUNG SELERA...DAN TUJUAN MEREKA..??? >> PADAHAL ROHINGNYA ITU... PENUH DENGAN ANTI MUSLIM DAN DICAMPUR-BAURKAN DENGAN KEBENCIAN ETNIS...??? ATAU SEBALIKNYA...KEBENCIAN ETNIK BERCAMPUR DENGAN KEBENCIAN AGAMA ... ??? MENGAPA ETNIS..?? MENGAPA AGAMA ISLAM...??? ATAU ADA KEPENTINGAN TERSELUBUNG DIBALIK ITU SEMUA...??? KONON ADA HARTA KARUN TERSEMBUNYI DIBUMI ROHINGNYA...???.AGAMA ISLAM ADALAH AGAMA YANG REFERENSINYA...DAN KITAB2 SUCINYA...SANGAT JELAS-GAMBLANG-DAPAT DITAKAR DENGAN KEILMUAN-AKALSEHAT...DAN DAPAT DIAPAKAI SEBAGAI SUMBER PEMBANDING-PEMBENAR-DAN HUKUM KONSEPSI UMAT MANUSIA...KARENA SANGAT JELAS-KOMPREHENSIF DAN SEMPURNA...!!!>>..“Rohingya Terlunta: Wajah Kaum Minoritas yang Tertindas” ...>>> .....Riefqi Muna, Ph.D dari Litbang Muhammadiyah mengatakan, pelanggaran kemanusiaan secara defacto telah terjadi di Myanmar. Ini bukan hanya terjadi dalam rentang yang pendek, tapi sistematik, terulang, dan secara terus menerus, baik dalam konteks masyarakat muslim maupun Budha. Dalam hal ini, negara terlibat di dalamnya. ..>>...Menurut Nashihin, peristiwa Rohingya, mirip-mirip dengan peristiwa Ambon, yakni sebuah peristiwa politik lokal yang seolah agama. Terlebih, katanya, ini menjelang pemilu di Myanmar. “Ketika kerusuhan terjadi, AuSan Su Kyi sedang keliling Eropa. Ketika ditanya wartawan, apa pendapat anda tentang kewarganegaraan etnis Rohingya, ia menjawab tidak tahu. Katanya, saya harus cek dulu status kewarganegaraan mereka. Ini membuktikan etnis Muslim Rohingya diabaikan. Ia takut karir politiknya habis, sehingga tidak berani bersikap.”..>> ..Nashihin mencatat, sejak Myanmar merdeka hingga sekarang, sudah 19 kali operasi militer dilakukan, 11 kali diantaranya dilakukan oleh junta mileter yang berkuasa. Orang Rohingya lalu hukum kerja paksa. Apa yang terjadi di Myanmar adalah sebuah state violence. “Orang Rohingya tidak boleh sekolah dan bekerja. Maka status komunal violence itu berubah menjadi state violence. Bagaimana pun, mereka yang berada di wilayah suatu negara, harus diakui kewarganegarannya." ...>>.....media massa memberitakannya sepotong-potong menurut versi, misi dan “gizi” media itu sendiri....>> .."Hari ini PBB dan ASEAN tidak menyentuh agamanya, hanya kekerasan militernya saja. Untuk itu Kementrian Luar negeri, PBB dan ASEAN harus memberi perlindungan bagi muslim Rohingya. Caranya, dengan memberi pengakuan status kewarganegaraan mereka. ....>>.....Pelanggaran HAM Disponsori Negara Sementara itu, Ifdal Kasim dari Komnas HAM mengatakan, apa yang terjadi di Myanmar adalah sebuah pelanggran HAM yang disponsori oleh negara. KOmnas HAM sendiri, diakuinya, sejak 2009 sudah menangani kasus pengungsi Rohingya di Aceh dan Tanjung Pinang. Komnas HAM juga berupaya mencarikan jalan untuk memfasilitasi pengungsi. Dalam hal ini Komnas HAM mengajak IOM dan UNHCR sebagai pihak yang menjembatani...>>> ADA APA DENGAN PBB...YANG TERLALU SARAT DENGAN KEPENTINGAN BARAT DAN...ANTI MUSLIM...???...PERHATIKAN ROHINGNYA....!!! PERHATIKAN UIGHUR....!!!.... PERHATIKAN PALESTINA...!!!!... PERHATIKAN KASHMIR...!!!!...>>> MEREKA SEMUA ADA UNSUR ETNIS-DAN AGAMA..ISLAM..???..>>> MEREKA DITINDAS DAN DIJAJAH DAN DIZHOLIMI...DENGAN BERBAGAI DALIH DAN CARA...>>> BERSATULAH UMAT ISLAM SELURUH DUNIA...DAN JANGAN MAU DI-OBOK2 DAN DI ADU DOMBA.. SESAMA MUSLIM... HAYYOOO ... BANGKITLAH UMAT ISLAM SEUTUHNYA...!!! ALLAHU AKBAR...!!!..>>> Ngawur!! Muslim Rohingya Dikatakan Sebagai Pemberontak..>>..Muhammad Rofiq, salah seorang pengungsi Rohingya yang kini tinggal di Cisarua-Boro, tidak benar pendapat, bahwa Muslim Rohingya ingin mendirikan negara, dan merusak kuil. Mengingat etnis Rohingya secara jumlah sangat sedikit, sehingga tidak mungkin terpikir untuk mendirikan negara sendiri...>>



 

Ngawur!! Muslim Rohingya Dikatakan Sebagai Pemberontak

JAKARTA (VoA-Islam) – Dalam sebuah Dialog Interaktif bertajuk “Rohingya Terlunta: Wajah Kaum Minoritas yang Tertindas” yang digelar ICIS (International Conference of Islamic Scholars), dikatakan, bahwa etnis Muslim Rohingya ingin mendirikan negara terpisah, yakni negara untuk Rohingya sendiri. Stigma ekstrim dan fundamental pun dilekatkan pada etnis Rohingya. Ini adalah sebuah penyesatan opini, dan upaya memutar balikkan fakta apa yang sesungguhnya terjadi di Myanmar.

Hadir sebagai narasumber dalam dialog tersebut, yakni: KH. Hasyim Muzadi (Sekjen ICIS), Muhammad Nashihin (Pemred Republika), Ifdhal Kasim (Ketua Komnas HaM), Riefqi Muna, Ph.D (Litbang PP Muhammadiyah), dan Rafidin Djamin (Wakil RI di Komisi HAM ASEAN).

Muhammad Rofiq, salah seorang pengungsi Rohingya yang kini tinggal di Cisarua-Boro, tidak benar pendapat, bahwa Muslim Rohingya ingin mendirikan negara, dan merusak kuil. Mengingat etnis Rohingya secara jumlah sangat sedikit, sehingga tidak mungkin terpikir untuk mendirikan negara sendiri.

Muhammad Anshor (Direktur Departemen HAM Kemenlu) mengatakan, Muslim Rohingya yang terusir di Myanmar, dan yang berteduh di kamp-kamp pengungsian adalah sebuah konflik komunal. Eskalasi konflik itu meningkat pada akhir Mei lalu yang diwarnai oleh tragedi kemanusiaan, baik dalam bentuk pemerkosaan maupun pembunuhan.

Anshor menjelaskan, ada sekitar 30 ribu etnis Muslim Rohingya, dan 14 ribu etnis Rakhin, termasuk yang selamat di Indonesia. Ia menyalahkan media massa, khususnya media online yang memberitakan secara sepihak, terkait kondisi Muslim Rohingya. Ia juga menyesalkan, jika banyak foto yang sudah direkayasa di media maya. Angka yang mati pun terjadi simpang siur, ada yang mengatakan yang syahid mencapai 7000-9000 orang. “Di Kemlu, kami menekuni masalah Rohingya sudah lama, terutama masalah pengungsi dan demokratisasi di Myanmar.”

Bicara sejarah, ternyata banyak pendapat berbeda mengenai asal muasal etnis Rohingya. Sejak tahun 1970-an dan 1978, Junta militer sudah melakukan politik diskriminasi pada etnis Rohingya. Politik diskriminasi kemudian didukung oleh sentimen publik Myanmar secara umum, dimana dikatakan bahwa etnis Rohingya dianggap sebagai pendatang, bukan sebagai orang Myanmar.

Diskriminasi semakin mengental pada tahun 1982, ketika dikeluarkan UU kewarganegaaraan, sehingga berdampak buruk bagi etnis Rohingya, karena telah dicabut status kewarganegaraannya (stateless).

Anshor malah mengatakan, orang Rohingya sendiri justru lari dari kampung halamannya ke negara tetangga, Bangladesh, ada sekitar 300-400 ribu di Bangladesh. Di negara itu, mereka beranak pinak, hingga ketika kembali ke Myanmar menjadi sulit diterima sebagai warga negara Myanmar. Begitu juga yang ada di perbatasan Thailand.

Tekan Bangladesh
Junta militer Myanmar kemudian memperlakukan etnis Rohingya untuk kerja paksa. Stigma ektrim dan fundamental pun dilekatkan pada etnis Rohingya, karena dituduh ingin mendirikan negara terpisah, yakni negara untuk Rohingya sendiri. Di negeri sendiri terlunta, di negara adopsi seperti Bangladesh pun tidak diakui. Maka begitu etnis Rohingya masuk ke negara Bangladesh, mereka akan dicegah dan ditangkap.
Setidaknya, ada tiga LSM internasional yang hendak memberi bantuan, namun oleh Bangladesh justru dihentikan. Pemerintah Bangladesh khawatir, etnis muslim Rohingya akan kembali berbondong-bondong untuk datang ke Bangladesh.

Ansor melihat, masih ada harapan pemerintah Myanmar terus melakukan perbaikan, sehingga peluang penyelesaian dan  kemajuan demokratisasi baru di Myanmar akan lebih terbuka. Presiden Myanmar mengatakan, untuk generasi ke-3 orang Rohingya (di negara bagian Rakhine) yang mendaftar akan mendapat rekomendasi dari negara bagian. Sedangkan untuk generasi ke-4 dan seterusnya otomatis diterima sebagai warga Myanmar. “Ini suatu kemajuan.” Desastian

KH. Hasyim Muzadi: Komnas HAM Kadang Humanis, Westenis, & Semau Gue

JAKARTA (VoA-Islam) -  http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/08/06/20152/kh-hasyim-muzadi-komnas-ham-kadang-humanis-westenis-semau-gue/
Menyikapi permasalahan internasional seperti Muslim Rohingya, hendaknya kita  membiasakan diri untuk melihatnya secara komprehensif. Terkadang, media massa  memberitakannya sepotong-potong menurut versi, misi dan “gizi” media itu sendiri. Akibatnya umat menyikapi berita tersebut juga secara sepotong-sepotong.  Itu tidak baik.

Demikian dikatakan Sekjen ICIS (International Conference of Islamic Scholars) KH. Hasyim Muzadi dalam Dialog Interaktif bertajuk “Rohingya Terlunta: Wajah Kaum Minoritas yang Tertindas” yang digelar di kantor ICIS, Jl. Dempo No. 5A, Matraman Dalam, Pegangsaan, Menteng, Jakarta, Sabtu (4/8) lalu.

KH. Hasyim mempertanyakan kelamin Komnas HAM di Indonesia. Adakalanya humanisme, kadang westernis, nasionalis, kadang semau gue. “Pengalaman ICIS di lapangan, Komnas HAM Indonesia terlalu westenis.”

Sebagai contoh, di Papua, giliran pemberontak yang tewas ditembak aparat, langsung dikatakan melanggar HAM. Tapi giliran polisi yang tertembak, tidak dikatakan sebagai pelanggaran HAM terberat. Itulah sebabnya, kata Kiai, harus Ada ketegasan dari Komnas HAM ASEAN untuk menjelaskan apa yang terjadi di Myanmar, terutama yang menimpa Muslim Rohingya.

“Ada tarik menarik kepentingan disini, ada unsur agama, dan ada unsur etnisnya. Sementara kita tahu, Pemerintah Myanmar tidak mengakui status kewarganegaraan etnis Rohingya. Ini perlu kejelasan,” ujarnya.

Hasyim Muzadi, tragedi kemanusiaan sudah bercampur antara konflik etnis dan agama. Penindasan itu harus dilawa dengan cara yang disahkan.  

"Hari ini PBB dan ASEAN tidak menyentuh agamanya, hanya kekerasan militernya saja. Untuk itu Kementrian Luar negeri, PBB dan ASEAN harus memberi perlindungan bagi muslim Rohingya. Caranya, dengan memberi pengakuan status kewarganegaraan mereka

Bangladesh juga harus membuka akses bagi badan internasional untuk memberi bantuan bagi pengungsi Rohingya di perbatasan, bukan hanya ekonomi, tapi juga politik."

ICIS memandang HAM baik di tingkat dunia maupun regional, nasib minoritas kaum muslimin yang ada di belahan dunia, kerap dirundung oleh kesengsaraan. Boleh jadi, kata KH. Hasyim,  hal itu disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya: kesalahan umat Islam itu sendiri, yang ingin mendirikan negara muslim.

Kedua, terdapat doktrin-doktrin yang terkesan dipaksakan, seperti Muslim di Mindanau yang ingin merdeka. Akibatnya, yang menjadi korban adalah umat Islam sebagai kaum minoritas.

Ketiga, ketika suasana terdesak, umat Islam cenderung bergerak reaktif, bukan konsepsional untuk meluruskan yang bengkok, sehingga bentrokan bisa dihindarkan.

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), dalam hal ini UNHCR menilai etnis yang paling merana dan tertindas serta terlunta-lunta di muka bumi adalah Muslim Rohingya. Kondisi ini mendorong kita untuk mendesak Pemerintah Indonesia dan anggota ASEAN lain untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh Muslim Rohingya di Myanmar, dan di sejumlah tempat pengungsian. Desastian

Bohong Besar, Pernyataan Tidak Ada Genocide Atas Muslim Rohingya

JAKARTA (VoA-Islam) – http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/08/06/20149/bohong-besar-pernyataan-tidak-ada-genocide-atas-muslim-rohingya/
 Sangat menyedihkan, jika ada diplomat Indonesia yang mengatakan bahwa tidak ada proses pembersihan etnis (genocide) atas muslim Rohingya di Myanmar. Hal itu dikatakan oleh Muhammad Anshor (Direktur Departemen HAM Kemenlu)dan Rafidin Djamin (Wakil RI di Komisi HAM ASEAN) dalam sebuah dialog interaktif di Kantor ICIS, Jakarta, belum lama ini. 

Selain menyebut tidak ada genocide di Myanmar, diplomat itu mengatakan, bahwa ada upaya Muslim Rohingya melakukan upaya pemberontakan, karena ingin mendirikan negara sendiri. Muhammad Ansor, diplomat Indonesia yang satu ini juga memberi informasi salah. Dikatakan, Muslim Rohingya telah merusak 15 kuil Budha. Bahkan, mereka mengatakan, konflik tersebut tidak bisa dikatakan sebagai konflik berlatar belakang agama.

Dalam sebuah pernyataan pers, pemerintah Mynamar menyatakan, 77 orang muslim Rohingya dan Rakhine meninggal, luka 109 orang, dan 4.822 rumah dibakar, 72 masjid di rusak, 15 kuil dirusak, serta tiga sekolah dibakar. “Yang terjadi di Myanmar bukan genocide atau pembersihan etnis.

Padahal, seperti dibantah oleh Muhammad Rofiq, salah seorang pengungsi Rohingya yang dihadirkan dalam dialog tersebut, tidak membenarkan pendapat, bahwa Muslim Rohingya ingin mendirikan negara, dan merusak kuil. Mengingat etnis Rohingya secara jumlah sangat sedikit, sehingga tidak mungkin terpikir untuk mendirikan negara sendiri.

Rofiq menceritakan, setiap malam terjadi penculikan dan pemerkosaan, warung-warung disweeping, dirampok, rumah penduduk dibakar oleh junta militer. Maka, tidak benar, jika Muslim Rohingya mempersenjatai diri, seperti dituduhkan.

Ini bukan sekedar kejahatan etnis, tapi juga pertarungan antara Budhis dan Islam. Perlu langkah kongkrit dari Pemeritah Indonesia untuk protes keras dan tegas di depan anggota ASEAN dan PBBB.

Riefqi Muna, Ph.D dari Litbang Muhammadiyah mengatakan, pelanggaran kemanusiaan secara defacto telah terjadi di Myanmar. Ini bukan hanya terjadi dalam rentang yang pendek, tapi sistematik, terulang, dan secara terus menerus, baik dalam konteks masyarakat muslim maupun Budha. Dalam hal ini, negara terlibat di dalamnya.  

Meski, ia menyayangkan, gambar penderitaan muslim Rohingya yang tersebar di media online sebagian ada yang keliru. Sebagai contoh, foto korban yang terbakar, ternyata adalah korban kekerasan yang terjadi di Kongo, Afrika. Ada juga gambar atau foto dari Tibet, atau  todongan sanapan di Patani. “Saya ingin mengimbau, agar jangan tergesa-gesa memforward informasi yang tidak jelas.”

Kesimpangsiuran angka korban di media massa, menurut Riefqi, tidak perlu dipertentangkan. Sedikit ataupun banyak, tetap saja melakukan pelanggaran HAM. Merujuk pada Al Qur’an, membunuh satu orang sama dengan membunuh semua makhluk, dan menyelamatkan satu orang sama dengan menyelamatkan seluruh makhluk.

“Ini bukan lagi sebatas persoalan kemanusian, tapi juga lintas batas, etnis, yang tidak bisa diselesaikan oleh masyarakat madani atau agama. Karena di dalamnya ada garis kedaulatan, teritorial, dan peran negara. Ini persoalan pelanggaran hak kemanusiaan, apapun agamanya.”

Riefqi mendesak agar negara lebih berperan aktif. Sebetulnya, Indonesia bisa berbuat lebih banyak, mengingat Indonesia adalah negara yang katanya paling demokratik. Sehingga secara informal peluang itu ada. Yang harus ditekan, bukan hanya Myanmar, tapi juga Bangladesh yang menutup akses bantuan internasional untuk muslim Rohingya di pengungsian.

"Kita harus mendorong Pemerintah Indonesia untuk memiliki keberanian. Begitu juga Asean perlu dihimbau untuk melakukan tekanan terhadap kedua negara tersebut. Dalam pertemuan OKI di Kula Lumpur, dan Mekkah akhir bulan nanti, diharapkan, Pemerintah Indonsia bisa memberi masukan. Diperlukan kreativitas diplomasi,” ujar Riefqi.

Muhammad Anshor mencatat, tahun 2009, terdapat 400 orang Rohingya yang terdampar di Aceh. Dan 300 ribu lainnya di Bangladesh. Juga dikabarkan, ada 394 orang muslim Rohingya di Indonesia, 124 orang diantaranya sudah mengantongi status pengsungsi, sedangkan 270 orang tengah diproses statusnya sebagai pencari suaka. Diperlukan waktu 2-3 bulan untuk mendapat status sebagai pengungsi. "Terjadi kesimpangsiuran data mengenai jumalh etnis Rohingya yang tewas. Ada yang mengatakan 78 tewas, 1.200 hilang, 88 ribu mengungsi."

Mirip kasus Ambon?

Sementara itu dikatakan Pemimpin Redaksi Harian Republika Muhammad Nashihin, tragedi kemanusiaan Muslim Rohingya tidak berdiri sendiri, dan bukan bermula sejak kerusuhan bulan Juni lalu, dengan adanya kabar pemerkosaan oleh etnis Rohingnya.

Menurut Nashihin, peristiwa Rohingya, mirip-mirip dengan peristiwa Ambon, yakni sebuah peristiwa politik lokal yang seolah agama. Terlebih, katanya, ini menjelang pemilu di Myanmar. “Ketika kerusuhan terjadi, AuSan Su Kyi sedang keliling Eropa. Ketika ditanya wartawan, apa pendapat anda tentang  kewarganegaraan etnis Rohingya, ia  menjawab tidak tahu. Katanya,  saya harus cek dulu status kewarganegaraan mereka. Ini membuktikan etnis Muslim Rohingya diabaikan. Ia takut karir politiknya habis, sehingga tidak berani bersikap.”

Nashihin mencatat, sejak Myanmar merdeka hingga sekarang, sudah 19 kali operasi militer dilakukan, 11 kali diantaranya dilakukan oleh junta mileter yang berkuasa. Orang Rohingya lalu hukum kerja paksa. Apa yang terjadi di Myanmar adalah sebuah state violence. “Orang Rohingya tidak boleh sekolah dan bekerja. Maka  status komunal violence itu berubah menjadi state violence. Bagaimana pun, mereka yang berada di wilayah suatu negara, harus diakui kewarganegarannya." 

Tokoh Katolik Frans Magnis Susesno mengatakan, kasus Rohingya adalah kasus serius. Ia mengakui, cukup lama mengikuti perkembangan beritanya. “Ini adalah state violence. Muslim Rohingya berhak hidup sebagai manusia, dan tentu saja dengan memberi status kewarganegaraan. Pemerintah Indonesia harus mendesak pemerintah Myanmar agar menghentikan kekerasan yang disponsori oleh negara. Dan saya kira, adanya solidaritas umat Islam Indonesia terhadap muslim Rohingya adalah sesuatu  yang wajar.” Desastian


Diplomat Indonesia Alergi Sebut Tragedi Rohingya sebagai Konflik Agama

JAKARTA (VoA-Islam) –  http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/08/06/20151/diplomat-indonesia-alergi-sebut-tragedi-rohingya-sebagai-konflik-agama/
Aneh dan disayangkan, sudah jelas-jelas etnis muslim Rohingya dibantai oleh junta militer Myanmar yang didukung oleh biksu-biksu Budha, namun diplomat Indonesia begitu alergi menyebut konflik ini sebagai konflik agama. Diplomat Indonesia hanya menyebutnya sebagai konflik komunal.

Rafendi Djamin (Wakil RI di KOmisi HAM Asean) menyatakan, konflik komunal di wilayah itu (Mynamar), bukan pertama kali terjadi, tapi sudah berlangsung lama. Ia mencatat, politik diskriminasi dilakukan secara sistematis, mulai dari operasi naga yang digelar,  dan dicabutnya kewarganegaraan, menyebabkan terjadinya pelarian politik besar-besaran pada etnis Rohingya pada tahun 1978-1980-an.

“Selain kewarganegaraannya dicabut, etnis Rohingya harus memperoleh izin untuk kawin. Ada 1,5 juta pengungsi yang kini berada di wilayah Pakistan dan Saudi Arabdia untuk mencari suaka. Tahun 2009, etnis Rohingya ada di Aceh dan Kupang,” kata Rafendi.

Rafendi tidak ingi menyebut konflik yang terjadi di Myanmar sebagai konflik agama. Menurutnya, peristiwa itu adalah kelompok komunal yang berkelahi, tapi seolah melekat dengan konflik agama, padahal itu tak lebih dari konflik etnik. “Persoalannya, bukan muslimnya, tapi etnis Rohingya nya yang dianggap jadi masalah,” tukasnya.  

Ia mengaku lega, sudah ada upaya pertemuan pimpinan Bangladeh dan Myanmar untuk membahas solusi terkait masalah Muslim Rohingya. Rafendi menduga, masalah Rohingya merupakan warisan colonial Inggris, sehingga timbul masalah.

“Mereka yang lari, dikejar untuk dibunuh dan diperkosa, harus mendapat proteksi. Ketika mereka terdampar, negara ASEAN yang ditentukan oleh UNHCR punya tanggung jawab untuk memberi perlindungan sementara. Jadi bukan hanya tangungjawab Bangladesh saja. Tak dipungkiri, krisis humanis terjadi di Myanmar. Karena itu, Bangladesh diminta agar tidak menolak bantuan internasional. Beri mereka makanan, rumah, dan layani  wanita hamil, serta anak-anak,” paparnya.

Pelanggaran HAM Disponsori Negara

Sementara itu, Ifdal Kasim dari Komnas HAM mengatakan, apa yang terjadi di Myanmar adalah sebuah pelanggran HAM yang disponsori oleh negara. KOmnas HAM sendiri, diakuinya, sejak 2009 sudah menangani kasus pengungsi Rohingya di Aceh dan Tanjung Pinang.  Komnas HAM juga berupaya mencarikan jalan untuk memfasilitasi pengungsi. Dalam hal ini Komnas HAM mengajak IOM dan UNHCR sebagai pihak yang menjembatani.

Ifdhal Kasim mengatakan Komnas HAM Myanmar hendaknya menjaga jarak dengan  kebijakan politik pemerintahnya. Jadi ukurannya adalah independensi. Ketika melakukan investigasi setidaknya terhindar dari kompromi yang ketat. Terbukti, Komnas HAM Myanmar ketika mengumumkan jumlah korban, menunjukkan angka yang kecil, dibanding laporan badan internasional lainnya. Bahkan, Komnas HAM Myanmar menyebut tidak ada pembantaian di negaranya.“Jika tidak bisa menjaga jarak, bagaimana mungkin dapat memproteksi kewarganegaraan etnis Rohingya." Desastian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar