Minggu, 01 Juli 2012

......Eksistensi rezim kriminal Soeharto ditegakkan oleh segelintir elite Indonesia, para-jenderal fasis, pendukung sipil dan teknokratnya, serta kaum konglomerat yang kemudian terbukti serakah dan rakus. Mereka mengembangkan model kapitalisme abad ke-18 yang tak manusiawi dalam memacu kapitalisme di Indonesia selama lebih dari tiga dekade....>>....Soeharto yang pada 1966 menggerakkan mahasiswa, dalam perjalanan kekuasaannya malah meneror mahasiswa. Terhadap mereka yang kritis dan suka berdemo, dilakukan penangkapan, interogasi, bahkan disiksa. Pada pertengahan 1970-an sudah beredar anekdot yang mengkritik keserakahan keluarga Soeharto. Misalnya, kalangan mahasiswa memberi julukan istri Soeharto, Siti Suhartinah (biasa dipanggil ibu Tien) dengan julukan Ibu Tien Persen. Artinya Ibu Sepuluh Persen. Menurut pembicaraan di kalangan mereka, ibu Tien sering minta komisi 10% jika ada investor asing masuk ke Indonesia....>>...Peristiwa ini bukan hanya peristiwa intern Indonesia, tetapi Indonesia dan dunia. Ini merupakan letupan konflik yang sebenarnya sudah lama ada antara maha-kuasa-imperialisme internasional dengan hak menentukan nasib sendiri bangsa Indonesia di pihak lain. Indonesia hanyalah tempat peristiwa. Sedangkan karakternya bersifatdunia. Ini sebuah tragedi yang secara moral merupakan kejahatan peradaban umatmanusia. Sebagai konsekuensi logis dari peristiwa ini adalah memfasiskan kehidupan negara, bertentangan dengan harapan ahli-ahli teori modernisasi....>>>....Kesan bahwa PKI mendalangi G30S melekat di benak publik. Malah diperkaya dengan cerita pembantaian para jenderal di Lubang Buaya oleh kelompok Gerwani yang menari- nari sambil menyiksa para jenderal. Dikabarkan bahwa mata para jenderal dicungkil, kemaluannya dipotong, tubuhnya disayat-sayat. Penyiksaan keji ini diberi nama Upacara Harum Bunga – suatu nama yang sangat kontras dengan kekejiannya.Sungguh suatu cerita yang mengerikan.Cerita ini diperkuat dengan pengakuan seorang wanita bernama Jamilah dan kawan-kawan yang mengaku sebagai orang Gerwani. Saya tidak tahu, siapa Jamilah itu.Tetapi cerita ini dipublikasikan oleh pers yang sudah dikuasai Soeharto. Dalamsekejap kemarahan rakyat terhadap PKI tersulut. Padahal, cerita yang disebarkan Soeharto itu semua bohong. Terbukti, setelahSoeharto tumbang, para dokter yang membedah mayat para jenderal dulu bicara ditelevisi: mayat para jenderal itu utuh, Sama sekali tidak ada tanda-tanda penyiksaan.Memang kulit mayat terkelupas, tetapi berdasarkan penelitian, itu karena mayattersebut terendam di dalam air (sumur) selama beberapa hari....>>>.....Terus terang, setelah Untung dieksekusi, saya benar-benar gelisah. Manusia mana yang tidak takut jika hari kematiannya sudah ditentukan. Tetapi – inilah keajaiban – Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth, di luar sepengetahuan saya, mengirimkan surat kawat kepada Soeharto. Saya mengetahui ini dari seorang sumber beberapa hari kemudian. Isi surat dua petinggi negara adidaya itu – ini juga ajaib – hampir sama. Intinya berbunyi demikian: Soebandrio jangan ditembak. Saya tahu, dalam G30S dia tidak terlibat. Soal, apakah ini merupakan intervensi asing atau bukan, bagi saya tidak perlu dipikirkan lagi. Sejak dulu pun Indonesia selalu diintervensi oleh negara lain. Yang penting bagi saya, mereka sudah membantu saya dalam kondisi sangat panik. Dan ternyata kawat singkat itu ampuh luar biasa. Akhirnya saya tidak jadi ditembak mati. Tentang mengapa dua orang pimpinan negara Barat membantu saya, sungguh tidak saya ketahui. Yang tahu persis hanya mereka berdua. Saya tidak pernah meminta bantuan mereka. Logikanya, tidak ada waktu bagi saya untuk minta bantuan kepada orang lain, apalagi pimpinan negara lain. Hitung saja, saya diberitahu tentang hari eksekusi saya sekitar lima hari sebelumnya. Selama menunggu, saya hanya panik dan panik. ...>>>


Soebandrio: Kesaksianku Tentang G30S (BAB IV)

May 6, 2009 BAB 4 : BIO-DATA & KUASA BERPINDAH (Tamat)
KARIR SAYA
Jika ada yang bertanya: lantas mengapa PKI dituduh sebagai dalang G30S? Makasaya akan balik bertanya: siapa yang menuduh begitu? Jika PKI mendalangi G30Satas inisiatif Aidit, makaIndonesia bakal menjadi lautan darah. Bukan hanya banjirdarah seperti yang sudah terjadi. Betapa ngeri memb ayangkan PKI dengan 3 jutaanggota didukung 17 juta anggota organisasi onderbouwnya berperang melawantentara yang hanya ratusan ribu. Bila genderang perang benar-benar ditabuh, alangkah hebat pertempuran yang terjadi.
Namun seperti kita saksikan, PKI tidak melakukan perlawanan berarti pada saatdibantai. Itu karena tidak ada instruksi melawan. Aidit malah lari dan lantas ditembak mati. Bung Karno – yang juga bisa menjadi panutan PKI – tidak memerintahkan apa-apa. Lantas saya dituduh PKI. Tuduhan atau stigma terlibat PKI bukan hanya saya terima sendirian. Banyak tokoh yang tidak disukai oleh Soeharto dituduh PKI. Ini bertujuan politis, agar kekuasaan Soeharto langgeng. Bagi saya tuduhan itu lebih keji lagi. Saya tidak hanya dituduh PKI, tapi juga dilontarkan julukan yang menyakitkan hati. Saya dijuluki Durno.Target penghancuran diri saya oleh kelompok Soeharto sebenarnya hanya sasaran antara. Tujuan utamanya adalah menjatuhkan Bung Karno. Seperti sudah saya sebut, skenario Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada 4 tahap:

1. menyingkirkan para perwira yang menjadi saingan beratnya, seperti A Yani dan Nasution (ini terwujud di G30S)
2. melikuidasi PKI, partai besar yang saat itu akrab dengan Bung Karno (initerlaksana setelah PKI dituduh mendalangi G30S).
3. memisahkan Bung Karno dari para pengikutnya (ini tercapai saat menangkapi 15menteri – termasuk saya – sekitar sepekan setelah keluar surat perintah 11 Maret 1966).
4. Setelah 3 tahap itu tercapai, Bung Karno dengan mudah dijatuhkan dengan cara seolah-olah konstitusionil melalui ketetapan MPRS.

Nah, saya termasuk sasaran antara tahap ke-3. Saya bersama 14 menteri ditangkap tanpa alasan jelas. Mula-mula saya ditangkap dengan cara sopan oleh tentara: Maaf, pak, kami diperintahkan agar mengamankan Bapak dari kemungkinan amukan rakyat, kata tentara yang menangkap saya. Lantas, kami 15 menteri dikumpulkan di suatu ruangan sekitar Senayan. Beberapa hari kemudian baru kami menyadari bahwa kami bukan diamankan tapi ditangkap.Para tentara itu mulai bertindak kasar. Akhirnya kami dipenjarakan. Untuk menghancurkan nama baik kami, Soeharto menuduh kami teribat PKI. Bahkan menambahi saya dengan julukan Durno. Kami dihinakan dan tersiksa lahir dan batin di penjara demi tujuan Soeharto meraih kekuasaan.

Saya memang pernah aktif dalam organisasi politik tapi di PSI (Partai SosialisIndonesia ). Kalau di PKI, saya sama sekali bukan anggota atau simpatisan,walaupun pada saat saya masih di puncak kekuasaan dengan merangkap tiga jabatansangat penting, orang-orang PKI banyak mendekati saya. PKI juga mendekati BungKarno. Malah, anggota dan pimpinan PKI ada yang menjadi anggota kabinet, bahkananggota ABRI.Agar lebih jelas, saya paparkan sekilas biografi saya. Saya lahir di Kepanjen (selatanMalang ), Jatim, 15 September 1914. Ayah saya, Kusadi, adalah Wedono Kepanjen. Ibu saya, Sapirah, adalah ibu rumah tangga biasa. Saya adalah anak kedua dari enam bersaudara.

Saya dibesarkan dalam keluarga Islam yang taat. Untuk ukuran posisi ayah di desakecil Kepanjen saat itu, keluarga kami cukup terhormat. Masa kanak-kanak sayahabiskan di Kepanjen. Saya sekolah di SR (Sekolah Rakyat setingkat SD) disana .Lulus SR, saya masuk MULO (setingkat SMP) di Malang. Sebab, saat itu di Kepanjenbelum ada sekolah MULO. Lulus MULO saya lanjutkan ke AMS tahun 1928. Sayamasuk sekolah terlalu dini, sehingga pada usia 14 tahun saya sudah tamat AMS.Tamat AMS, saya memilih melanjutkan ke sekolah kedokteran diJakarta . Tempatnyadi Jalan Salemba yang kemudian berubah menjadi UniversitasIndonesia . Saat itu saya memang ingin menjadi dokter – sebuah keinginan yang bisa dibilang muluk untuk ukuran rakyatIndonesia saat itu. Anak-anak rakyat biasa saat itu paling tinggi hanyasekolah SR. Saya bisa ke sekolah lanjutan, sebab ayah saya merupakan petinggi,walaupun hanya petinggi desa.

Tetapi, darilima saudara saya, hanya saya yang paling menonjol di sekolah, sehinggabisa melanjutkan sampai ke sekolah kedokteran. Semasa sekolah kedokteran, sayabanyak kenal dengan para pemuda pejuang, termasuk Bung Karno. Saya sering ikutdiskusi-diskusi mereka. Darisana saya juga dikenal para pemuda pejuang itu. Sayasendiri menjadi tertarik bergaul dengan mereka.Saya menyelesaikan sekolah dokter sesuai jadwal, yakni tujuh tahun. Tercapailah keinginan saya menjadi dokter. Lantas saya mengambil brevet dengan spesialisasibedah perut. Saya selesaikan ini dalam tiga tahun, juga sesuai jadwal. Maka, padatahun 1938 saya sudah mengantongi gelar dokter ahli bedah. Ketika itu jumlah dokter umum masih sangat jarang, apalagi dokter spesialis. Kalau tidak salah, dokter ahli bedah hanya ada lima orang. Tiga dari Jakarta , termasuk saya, dua dari Surabaya (Universitas Airlangga).

Sebelum lulus, tahun 1936 saya menikah dengan Hurustiati, seorang mahasiswi tapibeda fakultas dengan saya. Ketika saya sudah lulus, ia masih kuliah. Usia kami hanyaberbeda beberapa tahun. Saya sedikit lebih tua.Begitu lulus, saya langsung ditarik pemeritah kolonial menjadi dokter diSemarang (sekarang RS Dr. Karjadi). Hanya beberapa bulan kemudian saya dipindahkan keJakarta (sekarang RS Dr. Cipto Mangunkusumo). Ahli bedah disana saat itu hanya dua orang, termasuk saya. Untuk menyalurkan hobi berdiskusi saat mahasiswa, saya masuk PSI. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja, pada 1940 saya sudah menjadi wakil ketua PSI.

Akhirnya saya mundur dari rumah sakit. Saya juga tidak praktek pribadi. Sepanjanghidup saya juga tidak pernah praktek dokter pribadi. Karir saya di kedokteran selesai sampai di situ, sebab saya jenuh dengan pekerjaan yang menurut saya monoton. Saya lebih tertarik berorganisasi. Sampai akhirnya proklamasi kemerdekaandikumandangkan oleh Bung Karno. Sekitar tahun 1946 saya ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi wakil pemerintah Indonesia di Inggris, berkedudukan diLondon . Penunjukan itu tiba-tiba saja. Tidak melalui proses, misalnya, menjadi pegawai negeri dulu. Mungkin karena saat itu jumlah manusia tidak sebanyak sekarang. Dan, penunjukan Presiden Soekarno langsung saya terima. Istri saya juga setuju.
Ini sebenarnya jabatan duta besar, tetapi kemerdekaanIndonesia belum diakui PBB.Sehingga saya tidak dipanggil duta besar, baik di Indonesia maupun di Inggris. BungKarno hanya menyebut jabatan saya: Wakil Pemerintah Indonesia di Inggris. Sebelum berangkat ke London, saya was-was. Tetapi setelah di Inggris, keberadaansaya ternyata diterima oleh Pemerintah Inggris. Memang tidak ada penyambutan saat saya datang. Saya juga tidak membayangkan akan disambut. Lantas saya membuka kantor di London. Inilah embrio Kedutaan Besar RI untuk Inggris. Dan, itulah awal saya meniti karir di pemerintahan. Jika banyak orang menempati jabatan Dubes sebagai pos buangan, saya malah memulai karir dari pos itu.Tahun 1950 baru saya disebut Duta Besar RI untuk Inggris berkedudukan di London. Bagi saya sebenarnya tidak ada perubahan. Hanya sebutannya saja yang berubah. Namun, kemudian reaksi pemerintah Inggris terhadap keberadaan saya di sana secara bertahap berubah ke arah positif. Saya sering diundang ke acara-acara kerajaan, sebagaimana diperlakukan terhadap para duta besar dari negara-negara merdeka lainnya.
Dari seringnya menghadiri undangan acara kerajaan itu saya sering berdekatandengan Ratu Elizabeth. Saat itu tidak terbayangkan oleh saya bahwa berdekatan dengan Ratu Elizabeth kelak bisa menyelamatkan nyawa saya dari eksekusi hukuman mati yang tinggal menunggu hari (soal ini sudah diungkap di muka). Saya hanya menjalankan tugas negara. Dan, dalam menjalankan tugas, antara lain, harus menghadiri acara-acara seremonial tersebut. Pada tahun 1954 Presiden Soekarno menarik saya dari London, dan memindahkan saya ke Moskow. Resminya jabatan baru saya adalah Duta Besar RI untuk Uni Soviet di Moskow. Dua tahun di sana, lantas saya diperintahkan pulang ke Jakarta. Tiba di tanah air saya ditunjuk oleh Presiden menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Luar negeri, menggantikan Roeslan Abdoelgani. Sedangkan Roeslan menjadi Menlu menggantikan Ali Sastroamidjojo. Yang unik adalah bahwa Ali turun jabatan menjadi Dubes RI untuk AS di Washington.
Setahun kemudian saya dipanggil oleh Bung Karno. Setelah menghadap, Bung Karnoberkata demikian: Bandrio, kamu saya tunjuk menjadi Perdana Menteri. Saya kaget.Itu merupakan suatu loncatan jabatan yang luar biasa – dari Sekjen Deplu menjadiPerdana Menteri. Menanggapi ini saya mengatakan, minta waktu berpikir. Sesungguhnya saya menolak tawaran itu. Saya merasa tidak enak dengan para seniorsaya. 

Memang, saya merasa Bung Karno menaruh simpati pada saya. Tolok ukurnyaadalah bahwa Bung Karno sering menugaskan saya membuat naskah pidatonya.Bahkan, pada suatu hari Bung Karno berpidato di Markas PBB. Sebelum tampil Bung Karno meminta saya membuatkan naskah pidato, padahal saya di Jakarta. Namun, tugas itu tetap saya laksanakan. Walaupun saya jarang bertatap muka dengan BungKarno, terasa sekali dia bersimpati pada saya. Tapi, saya merasa belum mampu menjadi Perdana Menteri. Apalagi saya belum lama pulang ke tanah air, sehingga saya kurang memahami perkembangan situasi terakhir.

Menolak tawaran Bung Karno juga tidak enak. Lantas jalan keluarnya adalah bahwasaya bicara dengan Ketua PNI Suwito. Saya minta tolong Suwito menghadap BungKarno, untuk menyampaikan keberatan saya. Sambil menyampaikan ini iamengusulkan nama Djuanda. Ternyata Bung Karno setuju. Jadilah Djuanda PerdanaMenteri. Untuk menjalankan tugasnya dia dibantu oleh presidium yang disebut Wakil Perdana Menteri (Waperdam). Ada dua Waperdam, yakni Waperdam-I Idham Khalid dan Waperdam-II Hardi. Selanjutnya saya menjadi Menlu menggantikan Roeslan.Setelah Djuanda meninggal dunia, tiga menteri dipanggil oleh Bung Karno – saya sendiri, Menteri Pangan Leimena, dan Menteri Pemuda Chaerul Saleh. 

Tujuannya adalah untuk mencari pengganti Djuanda dari tiga menteri ini. Proses pemilihannya unik sekali, sehingga tidak saya lupakan. Bung Karno memberi kami masing-masing tiga batang korek api. Semula kami bingung. Bung Karno menyatakan bahwa ini pemilihan yang adil dan demokratis. Masing-masing diberi sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan (karena sudah dipatahkan oleh Bung Karno), dan setengah batang dengan pentolan (juga sudah dipatahkan sebelumnya). Bung Karno meletakkan sebuah kantong di meja. Cara permainannya, batang korek utuh merupakan simbol saya, setengah batang tanpa pentolan menjadi simbol Leimena, dan setengah batang dengan pentolan mewakili Chaerul. Bung Karno minta, masing-masing memilih satu saja untuk dimasukkan ke dalam kantong. Saat memasukkan korek ke kantong, tangan harus menggenggam supaya tidak diketahui yang lain.

Pemilihan pun dimulai. Saya memasukkan setengah batang korek tanpa pentolan. Artinya, saya memilih Leimena. Lantas disusul Leimena dan Chaerul. Meskipun bentuknya sangat sederhana, tetapi inilah pemilihan Perdana Menteri Indonesia. Suasana hening. Bung Karno memandang masing-masing menteri yang memasukkan korek ke sebuah kantong. Sampai semuanya menggunakan hak pilihnya.

Apa yang terjadi berikutnya? Bung Karno menumpahkan isi kantong itu secara blak-blakan. Yang tampak: sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan, dan setengah batang dengan pentolan. Lengkap. Bung Karno geleng-geleng kepala. Hasil suara seimbang untuk tiga kandidat. Pemilihan macet. Kami saling memandang satu sama lain. Lantas kami saling terbuka. Saya pilih Leimena, sebaliknya Leimena pilih saya, Chaerul pilih dirinya sendiri. Leimena kemudian bicara. Sebaiknya Soebandrio menjadi Perdana Menteri. Alasannya, Indonesia butuh perhatian penuh di bidang luar negeri. Terutama menyangkut Irian Barat yang statusnya belum jelas. Untuk itu perlu diplomasi internasional. Orang yang tepat adalah Soebandrio, ujarnya. Bung Karno ternyata setuju dan memanggil ajudannya Brigjen Sabur untuk menuliskan keputusan di kertas kop kenegaraan.

Sebelum terlaksana, saya minta bicara. Saya katakan, tidak perlu merombak kabinet.Sebaiknya Bung Karno selain Presiden juga Perdana Menteri didampingi oleh paraWaperdam. Nah, Waperdamnya adalah kami bertiga. Bung Karno juga setuju. Lalu Leimena main tunjuk, saya Waperdam-I, Leimena Waperdam-II, Chaerul Waperdam-III. Hebatnya, tanpa banyak bicara lagi semuanya sepakat. Tidak lama kemudian saya dibebani satu tugas lagi sebagai Kepala BPI. Maka, saya merangkap tiga jabatan. Semakin jelas bahwa Presiden mempercayai saya. Walaupun cukup berat, namun saya laksanakan tugas-tugas yang diberikan. Saya masih sempat melaksanakan ibadah haji. Sebagai imbalan, selain digaji, saya juga diberi rumah cukup di Jalan Imam Bonjol 16, Menteng, Jakarta Pusat. Untuk ukuran saat itu rumah tersebut sudah cukup mewah. Di rumah itu pula saya memiliki perpustakaan. Kelak perpustakaan saya ini dihancurkan oleh penguasa Orde baru.Tahun 1958 anak saya yang pertama lahir, dan kami beri nama Budojo. Ternyata hanya itu anak saya, sebab dia tidak punya adik lagi.

Saat saya menjadi pejabat tinggi negara, ada yang unik. Saya menjadi tukang khitan beberapa anak pejabat. Ceritanya, para pejabat itu tahu bahwa saya adalah dokter ahli bedah. Saat itu sudah banyak dokter ahli bedah. Tapi, entah mengapa mereka minta tolong saya untuk mengkhitankan anak mereka. Ada beberapa anak pejabat yang sudah saya khitan. Saya hanya menolong mereka dengan ikhlas. Sejak mengundurkan diri dari RS, saya tidak pernah praktek dokter pribadi. Beberapa teman menyayangkan bahwa saya tidak buka praktek. Sebab, saat itu jumlah dokter masih sedikit. Tetapi, karena sudah menjadi niat saya untuk terjun ke dalam kancah politik, saya tinggalkan bidang pekerjaan yang sebenarnya sesuai dengan bidang pendidikan saya itu. Ya, saya harus memilih, dan saya sudah menentukan. Jadinya, saya hanya menjadi tukang khitan anak pejabat.

Sepanjang saya menjadi pejabat tinggi negara, memang ada beberapa tokoh PKI yang akrab dengan saya. Sebagai pejabat tentu saya akrab dengan pimpinan PKI, DN Aidit. Juga dengan beberapa tokoh PKI lainnya. Tetapi, saya tidak masuk ke dalam keanggotaan partai itu. Saya juga tidak aktif di PSI, sejak menjadi pejabat negara. PKI saat itu adalah partai besar. Mereka tentu memiliki ambisi politik tertentu, sehingga mereka tidak hanya mendekati saya, tetapi juga pejabat tinggi negara lainnya, termasuk Bung Karno. Bahkan, beberapa tokoh PKI masuk ke dalam jajaran kabinet. Banyak juga di ABRI. Sebab, PKI saat itu memang partai besar dan legal. Jadi, wajar kalau tokohnya duduk di kabinet dan ABRI.
Sebagai gambaran, salah satu partai besar saat ini (tidak perlu saya menyebutnamanya) menempatkan tokohnya di jajaran kabinet. Bahkan, ada yang masuk kejajaran ABRI. Bukankah itu hal yang wajar? Dan, kalau para pimpinan partai itumendekati pimpinan puncak, presiden dan orang-orang terdekatnya, juga wajar.Kondisinya berubah menjadi tidak wajar setelah partai tersebut dinyatakan sebagaipartai terlarang. Itulah PKI.Saat G30S meletus – seperti sudah saya sebutkan di muka – saya sedang bertugas diMedan. Kami keliling daerah untuk memantapkan program-program pemerintah.Begitu saya diberitahu oleh Presiden Soekarno, saya langsung pulang, dan tiba diistana Bogor bergabung dengan Presiden Soekarno pada 3 Oktober 1965. Setelah itukondisi negara tidak menentu. Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965.

Sejak itu pula kelompok Bayangan Soeharto menyebarkan propaganda bahwa G30Sdidalangi oleh PKI. Ketua PKI, DN Aidit, ditembak mati di Jawa Tengah. Namun muncul pengakuan tertulis Aidit – yang sangat mungkin merupakan rekayasa – bahwa ia yang mendalangi G30S. beberapa tokoh PKI lainnya juga ditembak mati, tanpa proses pengadilan. Semua ini adalah cara untuk membungkam PKI, agar tidak bicara.
Memang, pada 1 Oktober 1965 Aidit berada di Halim, pusat pasukan G30S berkumpul. Namun, saya dengar istri Aidit mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965, malam hari, Aidit diculik dan dibawa ke Halim. Aidit terbang keYogyakarta, beberapa saat setelah Bung Karno meninggalkan Halim. Saya sangat yakin bahwa dalang G30S bukan Aidit. Saya ingat saat saya dan Aidit sama-sama menjenguk Bung Karno yang sedang sakit. Setelah saya periksa, Bung Karno ternyata hanya masuk angin. Tetapi, disebarkan isu bahwa Bung Karno sedang sakit berat, paling tidak bisa lumpuh. Isu tersebut merupakan propaganda yang ditujukan untuk konsumsi publik di luar PKI. Sebab, PKI pasti mengetahui, karena Aidit bersama saya menjenguk Bung Karno. Propaganda itu bertujuan untuk memberi alasan keterlibatan PKI dalam G30S. Propaganda itu akan membangun opini public bahwa PKI bergerak merebut kekuasaan sebelum didahului oleh pihak lain, mengingat sakit kerasnya Bung Karno.

Yang mengetahui rahasia ini hanya Bung Karno, Aidit, dokter RRC yang didatangkanoleh Aidit dari Kebayoran-Baru, Jakarta, Dokter Leimena, dan saya sendiri. Tanpaberniat membela Aidit, saya yakin bahwa bukan Aidit yang mendalangi PKI, sebabsaya tahu persis. Kalau Aidit mendukung pembunuhan anggota Dewan Jenderal,memang ya. Dalam suatu kesempatan, saya dengar Aidit mendukung gerakanmembunuh anggota Dewan Jenderal yang dikabarkan akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Sebab, kalau sampai Presiden terguling oleh kelompok militer, maka nasib PKI selanjutnya bakal sulit.

Tetapi, Aidit hanya sekadar mendukung dalam bentuk ucapan saja. Tetapi akhirnya propaganda Soeharto melalui media massa sukses. Kesan bahwa PKI mendalangi G30S melekat di benak publik. Malah diperkaya dengan cerita pembantaian para jenderal di Lubang Buaya oleh kelompok Gerwani yang menari- nari sambil menyiksa para jenderal. Dikabarkan bahwa mata para jenderal dicungkil, kemaluannya dipotong, tubuhnya disayat-sayat. Penyiksaan keji ini diberi nama Upacara Harum Bunga – suatu nama yang sangat kontras dengan kekejiannya.Sungguh suatu cerita yang mengerikan.Cerita ini diperkuat dengan pengakuan seorang wanita bernama Jamilah dan kawan-kawan yang mengaku sebagai orang Gerwani. Saya tidak tahu, siapa Jamilah itu.Tetapi cerita ini dipublikasikan oleh pers yang sudah dikuasai Soeharto. Dalamsekejap kemarahan rakyat terhadap PKI tersulut.

Padahal, cerita yang disebarkan Soeharto itu semua bohong. Terbukti, setelahSoeharto tumbang, para dokter yang membedah mayat para jenderal dulu bicara ditelevisi: mayat para jenderal itu utuh, Sama sekali tidak ada tanda-tanda penyiksaan.Memang kulit mayat terkelupas, tetapi berdasarkan penelitian, itu karena mayattersebut terendam di dalam air (sumur) selama beberapa hari.

Saya bukan PKI. Memang, saya pernah menyerukan penghentian pembantaianterhadap pimpinan dan anggota PKI oleh AD pada pertengahan Oktober 1965. Itusaat-saat awal PKI dibantai. Seruan saya ini atas perintah Presiden Soekarno yangtidak menghendaki pertumpahan darah. Bung Karno saat itu masih memegangkendali. Beberapa jam setelah G30S meletus, ia memerintahkan agar semua pasukanbersiap di tempatnya. Jangan ada yang bergerak di luar perintah Presiden. Sebab, pada dasarnya Bung Karno tidak menghendaki pertumpahan darah. Namun perintah Presiden tidak digubris. Seruan saya juga tidak dihiraukan. Pambantaian PKI terus berlangsung.
Malah, sejak itu saya dicap sebagai pro-PKI. Apalagi saya pernah ditugaskan diMoskow. Saya juga pernah ditugaskan berkunjung (sebagai Menlu) ke Beijing, RRCdan diberi tawaran bantuan senjata gratis oleh pimpinan RRC. Sedangkan Moskowdan Beijing adalah poros utama komunis. Dari rangkaian tugas-tugas kenegaraan saya itu lantas saya dicap pro-PKI. Saya sebagai pejabat tinggi negara saat itu tidak dapat berbuat banyak menanggapi cap tersebut. Sebab, bukankah semua itu karena saya menjalankan tugas negara?

Saya merasa cap PKI menjadi mengerikan bagi saya, setelah PKI dibantai habis-habisan. Pada Sidang Kabinet 11 Maret 1966 di Istana Negara saya menjadi incaranpembunuhan tentara, meskipun saat itu saya masih pejabat tinggi negara. KetikaIstana Negara dikepung oleh pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris dibantu olehpasukan RPKAD (kelak berubah menjadi Kopassus) pimpinan Sarwo Edhie, jelassaya diincar. Dari laporan intelijen, saya diberitahu bahwa Kemal Idris bersamapasukannya akan membunuh saya. Itu juga atas persetujuan Soeharto. Tetapi akhirnya saya lolos.
Beberapa hari setelah itu baru 15 menteri ditangkap, termasuk saya. Jika sebelumnya cap pro-PKI terhadap diri saya tidak terbuka, sejak saya ditangkap cap itu semakin menyebar secara luas. Malah, Soeharto menambahi julukan baru bagi saya: Durno. Sebagai orang Jawa, tentu saya sangat sakit hati diberi julukan itu. Sebab, Durno adalah tokoh culas dalam pewayangan. Durno suka mengadu-domba. Soal julukan ini saya tidak tahu bagaimana asal-usulnya. Yang tahu tentu hanya Soeharto. Tetapi, ini memang bagian dari penghancuran diri saya sebagai pengikut setia Bung Karno. Dan, julukan Durno bagi saya baru muncul setelah saya ditahan, setelah Bung karno mendekati ajal politiknya.
Di dalam penjara, saya sama sekali tidak disiksa secara fisik. Kalau disiksa mental,sudah jelas. Interogasi tak habis-habisnya hanya untuk tujuan menjatuhkan mental.Sebagai mantan pejabat tinggi negara, saat itu mental saya sudah jatuh. Daripemegang kekuasaan negara berubah menjadi orang tahanan. Mungkin sayamengalami depresi. Istri saya tentu mengalami hal yang sama. Anak saya satu-satunya masih kecil.
Saya diadili di Mahmilti tidak lama kemudian. Tetapi, anehnya dakwaan buat sayabukan sebagai PKI atau terlibat G30S. Sama sekali tidak menyinggung dua hal pokokitu. Padahal, saya sudah dicap pro-PKI. Saya sudah dijuluki Durno. Saya diadili karena ucapan saya bisa menimbulkan kekacauan saat saya berkata:
Kalau ada teror, tentu bakal muncul kontra-teror. Beberapa setelah G30S meletus,para pemuda yang dimanfaatkan AD mendesak agar Bung Karno diadili. Merekadidukung oleh AD untuk melakukan demonstrasi dan melancarkan teror bagi BungKarno serta para pendukungnya. Suatu saat saya mengatakan, jika ada teror (dari para pemuda) maka bakal muncul kontra-teror (entah dari mana).

Nah, ucapan saya ini dinilai bisa memancing kekacauan. Saya dituduh melakukansubversi. Sidang berlangsung singkat, lantas saya dijatuhi hukuman mati. Benar-benar pengadilan sandiwara. Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka bisa membunuh saya secara’konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini. Naik banding dan kasasi saya tempuhsekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun upaya hukum itu percuma.Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara. Dan, pengadilan sandiwara di banyak kasus seputar G30S dan PKI di awal kepemimpinan Soeharto, kemudian berdampak sangat buruk bagi Indonesia.
Sejak itu sampai sekarang, pengadilan sandiwara merupakan hal lumrah. Pengadilan sandiwara kasus seputar G30S merupakan semacam yurisprudensi (rujukan) bagi serentetan amat panjang pengadilan sandiwara berikutnya. Moral aparat hukum rusak berat. Pengadilan berbagai kasus di-subversi-kan berikutnya: Tanjung Priok, Lampung, demonstrasi mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru, diadili dengan pengadilan sandiwara merujuk G30S. Bahkan juga kasus-kasus korupsi. Salah menjadi benar, benar menjadi salah. Ini sama sekali bukan pelampiasan dendam saya terhadap Soeharto. Tak kurang Presiden KH Abdurrahman Wahid (tidak ada hubungannya dengan saya) sampai melontarkan pernyataan bahwa seluruh hakim Jakarta akan diganti dengan hakim impor.
Di dalam penjara, awalnya saya mengalami depresi. Kesalahan saya satu-satunyaadalah menjadi pengikut setia Bung Karno. Namun kemudian saya tidak menyesalmenjadi pengikut setia Bung Karno, sebab itu sudah menjadi tekad saya. Dan, inimerupakan risiko bagi semua orang yang berkecimpung di bidang politik. Saya masuk sel isolasi, terpisah dengan napi lain. Meskipun saya tidak disiksa fisik, namun direkayasa sedemikian rupa sehingga batin saya benar-benar tersiksa. Kondisi penjara yang sangat buruk, suatu saat membuat perut saya terluka dan mengalami infeksi. Saya tahu, itu obatnya sederhana saja. Tetapi, pemerintah tidak menyediakan.

Luka saya dibiarkan membusuk digerogoti bakteri. Ketika luka saya sudah benar-benar parah (berulat), baru diberi obat. Rupanya pemberian obat yang terlambat itumemang disengaja. Akibatnya, luka memang sembuh. Namun sampai kini seringkambuh, rasa nyeri luar biasa. Di dalam, saya dilarang menulis, membaca berita, dijenguk keluarga atau teman (baru beberapa tahun kemudian dibolehkan). Satu-satunya bacaan saya adalah ayat suci Al-Qur’an. Tetapi, bacaan ini seperti mengembalikan saya pada suasana masa kanak-kanak yang agamis. Saya malah mendapatkan ketenangan jiwa yang tidak saya rasakan ketika saya menjadi pejabat tinggi negara.
Akhirnya saya lolos dari hukuman mati karena kawat dari dua petinggi negaraadidaya, AS dan Inggris. Hukuman saya diubah menjadi seumur hidup. Tetapi sayatetap ditempatkan di sel isolasi mulai dari Salemba (Rutan Salemba), LP Cimahi,sampai LP Cipinang. Pada tahun 1978 anak saya Budojo meninggal dunia karena serangan jantung. Ibunya benar-benar mengalami depresi berat. Sejak saya dihukum, hanya Budojo yang membuat ibunya tabah menghadapi cobaan. Saya bisa membayangkan, betapa isteri saya hidup nelangsa. Dari seorang istri pejabat tinggi negara, mendadak berubah menjadi ‘istri Durno’, disusul anak satu-satunya pun meninggal dunia. Maka, beberapa bulan kemudian istri saya menyusul Budojo, berpulang ke rahmatullah.

Tinggallah saya sendiri. Tetap kesepian di penjara. Tidak ada lagi yang menjenguk.Tetapi, diam-diam ada seorang wanita yang bersimpati pada saya. Dia adalah mantan isteri Kolonel Bambang Supeno. Bambang adalah perwira tinggi AD yang ikut mendukung G30S atas instruksi Soeharto. Namun, seperti nasib perwira pelaku G30S lainnya, Bambang dihukum dan akhirnya meninggal dunia. Istrinya, SriKoesdijantinah, janda dengan dua anak, lantas bersimpati pada saya. Kami akhirnyamenikah di LP Cipinang pada tahun 1990. Saya sangat kagum pada Sri yang relamenikah dengan narapidana. Sangat jarang ada wanita setulus dia.Kini hidup saya tidak sendiri lagi. Meskipun saya tetap meringkuk di sel khusus,tetapi setiap pekan ada lagi orang yang menjenguk, setelah bertahun-tahun kosong.Sri muncul di saat semangat hidup saya nyaris padam. Setiap pekan dia membawakan saya nasi rawon kesukaan saya. Juga dua orang anak Sri sangat perhatian. Kepada saya. Sebagai sesama korban Soeharto, kami menjadi bersatu. Saya lantas menjadi sadar bahwa bukan hanya saya korban kekejaman Soeharto. Ada banyak korban lain yang jauh lebih sengsara dibanding saya. Sri benar-benar membuat hidup saya bersinar kembali.
Pada tanggal 16 Agustus 1995 saya dibebaskan. Saya pulang bersama Sri dan anak-anak. Kami menempati rumah besar di Jalan Imam Bonjol 16 yang dulu saya tinggalkan. Saya seperti bangun tidur di pagi hari. Saya seperti baru saja bermimpi, 30 tahun dalam kegelapan di penjara. Saya seperti menemukan hari baru yang cerah.Saya bersujud syukur alhamdulillah, masih diberi kesempatan menghirup udarabebas.
Setahun menempati rumah itu, kami merasa kewalahan. Biaya perawatannya sangatmahal. Sebagai seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, honor Sri tidakseberapa. Apalagi saya, penganggur tanpa penghasilan. Tiga jabatan sangat pentingsaya di zaman Presiden Soekarno tidak dihargai sama sekali. Saya tidak diberi uang-pensiun. Akhirnya kami menjual rumah besar itu. Sebagai gantinya, kami membeli rumah lebih kecil di Jakarta Selatan. Setelah Soeharto tumbang, banyak orang datang kepada saya, menganjurkan saya membuat memoar. Saya sesungguhnya tidak tertarik. Selain tidak memiliki persiapan yang matang, juga tidak ada gunanya bagi saya mengungkap masa lalu. Biarlah itu berlalu. Toh saya sudah menjalani hukuman 30 tahun. Toh saya sudah menerima hinaan disebut Durno, PKI, dan sebagainya. Saya sudah ikhlas menerimanya. Saya sudah legowo. Usia saya sudah senja. Tinggal meningkatkan amal soleh dan ibadah, sebagai bekal menghadap Sang Khalik, suatu saat nanti. Apalagi Soeharto akhirnya tumbang juga. Kalau saya mengungkap masa lalu, saya bisa larut dalam emosi. Maka, anjuran itu tidak saya turuti.

Namun, teman-teman sezaman, baik dari dalam maupun luar negeri terus menghubungi saya, baik melalui telepon maupun bertemu langsung. Merekamengatakan, sejarah G30S sudah dibengkokkan. Kata mereka, saya harus mengatakan yang sebenarnya untuk meluruskan sejarah. Ini bukan untuk anda, tapi penting bagi generasi muda agar tidak tertipu oleh sejarah yang dimanipulir, kata salah seorangdari mereka.
Diinformasikan bahwa salah satu pelaku sejarah G30S yang amat penting, KolonelAbdul Latief juga membuat buku berisi pledoinya dulu. Tetapi ada dugaan bahwaLatief tidak mengungkap total misteri G30S. Sebab, Mingguan terbitan Hongkong,Far Eastern Economic Review edisi 2 Agustus 1990 memberitakan bahwa memoarLatief yang lengkap disimpan di sebuah bank di luar Indonesia dengan pesan, bolehdipublikasikan jika Latief dibunuh. Itu berarti G30S masih misteri. Saya sempat bimbang. Keinginan saya mengubur masa lalu seperti digoyang begitu kuat. Apalagi banyak penulis kenamaan datang kepada saya, siap menuliskan memoir saya. Dalam kebimbangan itu saya ingat pada seorang wartawan muda yang paling sering mewawancarai saya, Djono W. Oesman. Dia saya hubungi dan saya minta menuliskan cerita saya, sebab saya percaya padanya. Dia pun setuju. Dialah penyunting buku ini. Hanya saya dan dia yang menyusun potongan-potongan peristiwa yang saya alami dan saya ingat.
Saya menyadari bahwa mungkin banyak kekurangan di dalam buku ini. Maklum,G30S adalah masalah internal AD, dan saya bukan dari AD. Tetapi saya dalah pelakusejarah G30S yang mengalami semua kejadian sebelum, saat meletus, sampai dampak peristiwa itu. Mungkin, inilah sumbangan saya, bagian dari amal ibadah untuk bekal kehidupan saya di akhirat kelak. Semoga ada manfaatnya. Amin.

KOMENTAR
Teror, teror, dan teror. Tidak henti-hentinya. Saling susul-menyusul. Seolah tiadayang mampu menghentikan teror mental dan fisik yang dimulai sejak 1965,dilanjutkan pada Pemilu 1972. Gembar-gembor bahaya laten PKI terus didengung-dengungkan, untuk memperkuat rezim Soeharto. Teorinya, penguasa Orde Baru selalu menciptakan musuh semu bagi rakyat. Rakyat diberi musuh semu berupa momok bahaya laten PKI. Inilah teror mental. Sedangkan bagi mereka yang kritis, seperti para mahasiswa, dikenakan teror mental dan fisik.

Soeharto yang pada 1966 menggerakkan mahasiswa, dalam perjalanan kekuasaannya malah meneror mahasiswa. Terhadap mereka yang kritis dan suka berdemo, dilakukan penangkapan, interogasi, bahkan disiksa. Pada pertengahan 1970-an sudah beredar anekdot yang mengkritik keserakahan keluarga Soeharto. Misalnya, kalangan mahasiswa memberi julukan istri Soeharto, Siti Suhartinah (biasa dipanggil ibu Tien) dengan julukan Ibu Tien Persen. Artinya Ibu Sepuluh Persen. Menurut pembicaraan di kalangan mereka, ibu Tien sering minta komisi 10% jika ada investor asing masuk ke Indonesia.

Teror yang disebar oleh rezim Orde Baru seolah-olah merupakan unjuk kekuatansetelah membantai jutaan kaum komunis, keluarga, dan simpatisannya. Seolahdiumumkan, jangan macam-macam dengan penguasa. Jangan coba-coba melawanpenguasa. Dan, kritik dari generasi muda juga diartikan sebagai melawan penguasa.Maka, harus dihabisi. Bukti dari kesimpulan ini sudah kita saksikan bersama, bagaimana perjalanan rezim Orde baru membunuh kritik dari masyarakat. Mulai dari teror Pemilu 1972, dilanjutkan dengan teror, penangkapan serta penyiksaan terhadap mahasiswa yang berdemo pada 5 Januari 1974 (yang dikenal dengan Malari, yang merupakan singkatan dari Lima Januari).

Lantas dilanjutkan tindakan represif tentara kepada mahasiswa yang berdemo padatahun 1978. Demo damai umat Islam di tahun 1984 menghasilkan pembantaianTanjung Priok. Kekerasan demi kekerasan dialami rakyat. Setelah saya bebas,kemudian Soeharto jatuh dari kursi kekuasaannya, kekerasan menjadi warisan buruk kepada masyarakat. Perkelahian massal di Sambas, Kalimantan Barat yang saya baca di media massa, memamerkan pembantaian yang mengerikan.

Di koran dipasang foto kepala manusia tergeletak di pinggir jalan. Isu dukun santet diJatim malah lebih gila lagi. Kepala manusia yang sudah terpenggal, ditusuk denganbambu runcing dan diarak keliling kota. Di Malang, tidak jauh dari kota kelahiransaya, kepala manusia yang sudah terpenggal diikat lantas diseret dengan sepeda motor yang melaju keliling kota. Peristiwa-peristiwa yang saya sebutkan belakangan ini sudah bukan dilakukan oleh tentara lagi, tetapi oleh rakyat terhadap rakyat.

Tetapi, ini semua adalah warisan dari pembantaian kaum komunis yang sangat brutal di masa lalu – pelajaran buruk yang diwariskan ke generasi berikutnya.Kudeta merangkak itu bergelimangan darah. Pertama, darah para jenderal yangdibantai pada tanggal 1 Oktober 1965. Kedua, darah Untung dan Soepardjo yangdimanipulasi. Ketiga, darah Sjam Kamaruzzaman yang dikhianati. Keempat darahjutaan kaum komunis, keluarga, simpatisan komunis, keluarga mereka, kaum buruh,dan para petani.

Pembaca yang budiman, mengetahui kejahatan kemanusiaan dan tidak mencegah saja sudah merupakan kejahatan terhadap manusia. Lantas, di mana tempat Soeharto yang luput dari hukum hingga buku ini ditulis? 

Saya berada di rumah sakit (RSPAD Gatot Subroto) sampai menjelang tengah malam, lantas pulang ke rumah, kata Soeharto. Sekali pun kita mencoba melupakan sejenak bahwa ucapan Soeharto itu dusta, namun pulang ke rumah dan tidur pulas setelah mengetahui pasti bahwa beberapa jam lagi rekan-rekan jenderal akan bertemu maut, betapa pun adalah kejahatan. Kualifikasi yang bagaimana yang semestinya diberikan terhadap kejahatan Soeharto yang telah membunuh jutaan manusia dan membuat sebagian lain merana di penjara? Ya,kualifikasi apa?

Penghancuran PKI yang diikuti dengan pembunuhan jutaan manusia mendapatdukungan kekuatan imperialisme internasional, terutama Amerika Serikat yangmengklaim diri sebagai negara demokrasi. Ini bentuk penghancuran struktur di suatu negara (Indonesia) yang sangat besar sejak Perang Dunia-II. Kekejamannya tidak pernah dibayangkan sebelumnya, oleh siapa pun, termasuk oleh kita sendiri, juga termasuk saya yang menyaksikan langsung semua peristiwa di tingkat elite politik Indonesia saat itu.

Peristiwa ini bukan hanya peristiwa intern Indonesia, tetapi Indonesia dan dunia. Ini merupakan letupan konflik yang sebenarnya sudah lama ada antara maha-kuasa-imperialisme internasional dengan hak menentukan nasib sendiri bangsa Indonesia di pihak lain. Indonesia hanyalah tempat peristiwa. Sedangkan karakternya bersifatdunia. Ini sebuah tragedi yang secara moral merupakan kejahatan peradaban umatmanusia. Sebagai konsekuensi logis dari peristiwa ini adalah memfasiskan kehidupan negara, bertentangan dengan harapan ahli-ahli teori modernisasi.

Hasil dari semua itu adalah penyebaran kapitalisme, termasuk ke Indonesia. Tetapi di Indonesia, penyebaran kapitalisme tidak diikuti dengan lahirnya negara borjuisdemokrasi liberal, seperti di AS atau Eropa Barat. Itu tidak tercipta di sini. Sebagaigantinya, ternyata, perkembangan kapitalisme di sini melahirkan negara birokrasimiliter. Pada perkembangan berikutnya melahirkan berbagai persoalan bangsa yangsulit diatasi oleh generasi penerus.

Di sisi lain, kebungkaman terhadap kejahatan manusia dan kemanusaiaan harussegera diakhiri. Atas nama kawan-kawannya, keluarga dan kerabat saya, atas nama-semua anak bangsa yang dibunuh, atas nama anak yang kehilangan orangtua mereka,atas nama anak-anak yang selama bertahun- tahun ikut ibu di penjara, atas nama-golongan mana pun yang sudah dianiaya dan disembelih oleh rezim Soeharto, saya serukan, akhiri kebungkaman ini. Kepada mereka yang merasa sebagai demokrat,baik di dalam maupun di luar negeri, pecahkan kebungkaman ini. Hari sudah tidaklagi terlalu pagi. Matahari sudah di atas ubun-ubun.

Eksistensi rezim kriminal Soeharto ditegakkan oleh segelintir elite Indonesia, para-jenderal fasis, pendukung sipil dan teknokratnya, serta kaum konglomerat yang kemudian terbukti serakah dan rakus. Mereka mengembangkan model kapitalismeabad ke-18 yang tak manusiawi dalam memacu kapitalisme di Indonesia selama lebih dari tiga dekade.

Hari ini tidak lagi terlalu pagi kita memasuki titik awal. Saya bangga, karena titikawal ini dimulai oleh generasi muda Indonesia yang tidak ragu menghadapi kekuatan kriminal dan uang hasil korupsi rezim Orde baru. Luruskanlah sejarah yang telah mereka bengkokkan selama tiga dekade ini. Pecahkan kebungkaman!
Dr. H Soebandrio, Kesaksianku tentang G30S,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar