Jumat, 30 Maret 2012

Dosa2 Kebijakan Ekonomi oleh Pemerintahan Neolib..>> Menambah Hutang Negara, Menjual Aset2 Negara.dengan harga Murah.., Mengurangi Subsidi untuk Rakyat Kelas Ekonomi Rendah..Menambah bantuan konglomerat..Membela kepentingan Politik dan Kapital Asing..>> Pemerintahan Neolib Haram Jadah!!>> Dengan Isue Teroris.. BNPT melakukan pembunuhan tanpa proses Pengadilan...??!!>>> BIN disusupi oknum2 Mossad...??!!>>> World Bank dan IMF memang 'momok' bagi negara berkembang, khususnya Indonesia. Pemerintah di jaman Soeharto telah merasakan permainan IMF ini hingga kekuasaanya jatuh --di samping tentu saja peranan kelompok LSM dan Mahasiswa dalam reformasi 1998. Yang jelas IMF bersindikasi dengan jaringan perbankan internasional --banyak pengambil keputusannya orang-orang Yahudi-- sekitar tahun 1997-an itu memang membuat ekonomi Indonesia morat-marit. Dolar yang harganya 'di bawah 5000' tiba-tiba melonjak belasan ribu. Dan Pak Harto saat itu kebingungan apakah mau memilih 'floating rated' yang ditawarkan orang-orang pro IMF, atau memilih 'fixed rated' yang ditawarkan Prof Steve Hanke. Tapi nampaknya Pak Harto menuruti penasehat-penasehat ekonominya --yang memang kebanyakan pro IMF-- mengikuti IMF dan jatuhlah dia dari kekuasannya. Habibie ketika naik menjadi presiden juga kelimpungan dengan permainan dolar itu...>>>

Oleh: Harits Abu Ulya




Oleh: Harits Abu Ulya
Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)



Pemerintah keukeh dengan opsi kenaikan harga BBM. Dari rapat maraton Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan pemerintah (senin,26/3) akhirnya juga sepakat dengan postur RAPBN-P (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan) dan condon mengurangi subsidi BBM. Terkait kenaikan harga BBM, implikasi legislasinya DPR harus menganulir Pasal 7 Ayat 6 UU Nomer 11 Tahun 2012, karena didalam pasal 7 termaktub larangan kenaikan harga BBM di tahun 2012.
Opsi menaikkan harga BBM, pemerintah mendasari alasan yang kesannya logis tapi hakikatnya sangat debatable.Diantaranya, kenaikan harga minyak dunia mengharuskan perlunya revisi RAPBN, agar pemerintah tidak bangkrut dan ekonomi tidak kolaps. Alasan lain dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo saat rapat dengan Banggar DPR (26/3), harga bahan bakar minyak (BBM) harus naik karena ada lonjakkan konsumsi. Lonjakan tersebut ini disebabkan harga BBM bersubsidi di Indonesia yang terbilang murah.
Tak pelak keputusan pemerintah menuai reaksi, mulai dari kalangan politisi parlemen juga masyarakat luas. Dari survei LSI terekam 86% lebih masyarakat menolak kenaikan harga BBM. Dan bahkan meningkatkan keresehan publik yang sangat signifikan. Sekalipun pemerintah sudah menyiapkan kebijakan antisipasi kenaikan harga BBM diantaranya program BLSM selama 9 bulan dengan besaran @ Rp 150.000/bulan dan raskin dalam 14 bulan juga tidak otomatis bisa meredam gejolak penolakan. Bahkan sebagian pejabat (Bupati) daerah juga ikut menolak, tercatat Wakil Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo, Wali Kota Probolinggo HM Buchori, Bupati Bangkalan Jawa Timur Fuad Amin Imron, dan tidak mau ketinggalan Bupati Ponorogo Amin dan Wakil Bupatinya Yuni Widyaningsih bergabung dengan masyarakat dalam aksi penolakan kenaikan BBM. Akhirnya pemerintahan SBY menyiapkan aparat TNI siap on calling membantu Polri mengamankan titik-titik vital dan antisipasi dampak demo yang tidak terduga.
Ada point penting alasan masyarakat resisten atas kenaikan harga BBM, yaitu pemerintah dianggap berbohong dalam beberapa persoalan, diantaranya; pertama; APBN terbebani dengan subsidi BBM. Asumsi pemerintah, kosumsi BBM didalam negeri melebihi kuota yang akhirnya subsidi BBM membengkak menjadi Rp 160 trilyun dari Rp 129,7 trilyun.Dan ini mengharuskan penyesuaian dengan harga pasar internasional.Kedua;Subsidi selama ini dianggap tidak tepat sasaran, artinya premium selama ini lebih banyak digunakan oleh orang-orang kaya.Ketiga; terjadinya penurunan produksi secara alamiah tiap tahunnya sekitar 12%.Karenanya pemerintah mengubah target lifting dalam APBN-P 2012 menjadi 930 ribu barel perhari dari sebelumnya 950 ribu barel perhari (bph).
Sementara point diatas berhadapan dengan sisi paradok dari kenaikan BBM, pertama; Menekan daya beli masyarakat sehingga mereka akan semakin sengsara dan orang msikin akan semakin banyak. Kenaikan BBM dipastikan akan meningkatkan inflasi sekitar 7 % , Kenaikan harga bahan Pokok antara 5 - 10 %, kenaikan biaya transportasi dan distribusi produksi barang anatar 30- 35 %. Bahkan sebelum pemerintah menetapkan kenaikan harga tersebut harga-harga saat ini khususnya kebutuhan pokok telah mengalami lonjakan. Selain itu, kegiatan bisnis khususnya pada UMKM juga akan terpukul akibat membengkaknya biaya produksi sehingga akan mendorong pemangkasan tenaga kerja yang berujung pada peningkatan jumlah penggangguran. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin dipastikan akan semakin bertambah karena daya beli mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka akan terpangkas akibat inflasi yang dipicu oleh kenaikan BBM tersebut.
Kedua; BBM selama ini sebagian besar dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke bawah. Hal ini dapat ditunjukkan beberapa indikator antara lain: dari total jumlah kendaraan di Indonesia yang mencapai 53,4 juta (2010), sebanyak 82% merupakan kendaraan roda dua yang nota bene kebanyakan dimiliki oleh kelas menengah bawah.
Ketiga; Kebijakan kenaikan BBM sangat tidak adil. Hal ini anggaran subsidi BBM tanpa skenario kenaikan harga, pada 1 April 2012 akan mencapai Rp178,62 triliun itu dinikmati oleh 230 juta orang. Sementara Pemerintah dengan mudahnya menggelotorkan dana untuk membail-out sektor keuangan dan perbankan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Pemerintah misalnya setiap tahunnya harus membayar bunga obligasi rekap BLBI sebesar 13,2-14,3 persen yang menyedot anggaran sekitar Rp 60 triliun pada tahun 2008. Padahal obligasi yang baru jatuh tempo pada 2033 tersebut hanya dinikmati oleh sejumlah perbankan pemerintah dan swasta yang sebagian sahamnya kini dikuasai asing.
Keempat; Penyebab membengkaknya subsidi akibat kegagalan pemerintah dalam mengelola energi nasional. Anehnya kegagalan tersebut kemudian ditimpakan kepada rakyat dengan menaikkan harga BBM.
Kelima; Kenaikan harga BBM bersubsidi hanya akan menguntungkan Perusahaan Minyak Asing yang bergerak di sektor hilir dan merugikan Pertamina sebagai BUMN miliki negara
Keenam; Mayoritas pengelolaan migas saat ini dikuasai oleh swasta khususnya pihak asing sehingga pendapatan negara dari migas sangat minim.
Dari total produksi minyak mentah di Indonesia pada 2010 hanya 16 persen yang diproduksi oleh Pertamina. Sisanya dibagi-bagi oleh investor asing dan swasta domestik seperti Chevron (42%) dan Total (10%). Konsekuensinya, dari total produksi minyak mentah yang mencapai 300 juta barel, sebanyak 121 juta atau 40 persen diekpor ke mancanegara. Padahal di saat yang sama Indonesia harus mengimpor 101 juta minyak mentah dari berbagai negara untuk memproduksi BBM dalam negeri. Belum lagi, pemerintah melalui BP Migas justru lebih memprioritaskan untuk memperpanjang kontrak-kontrak pengelolaan ladang minyak kepada pihak swasta ketimbang menyerahkannnya kepada Pertamina.
Asing bermain?
Ada sisi yang seolah terlewatkan oleh publik, kebijakan politik ekonomi pemerintah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari unsur politik global. Jika di runut political-historisnya terbuka tabir interpendensi Indonesia dalam pengelolaan energi. Di mana alur liberalisasi menjadi hulu persoalan yang muncul sekarang. Jika keputusan pemerintah tidak populis dengan menaikkan harga BBM, ini ditengarai karena road map liberalisasi disektor energi harus berjalan sebagaimana keinginan pihak asing melalui beberapa protokoler.
Permainan asing yang kemudian terabsorsi dalam regulasi yang memayungi kebijakan energi Indonesia bisa terlihat dalam banyak indikasi. Dalam sebuah dokumen tertera peran IMF; ”Pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional”. Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000).
Begitu juga dalam sebuah dokumen termaktub; "..Pemerintah [Indonesia] berkomitmen penuh untuk mereformasi sektor energi yang dicantumkan pada MEFP 2000. Secara khusus pada bulan September, UU Listrik dan Migas yang baru akan diajukan ke DPR. Menteri Pertambangan & Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk menghapus secara bertahap subsidi BBM dan mengubah tarifl listrik sesuai dengan tarif komersil.” Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, July 2001)
Bank Dunia juga menggarisbawahi; (Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik…Banyak subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya)Indonesia Country Assistance Strategy(World Bank, 2001)
Lebih tegas bagaimana peran Amerika Serikat melalui USAID dalam sebuah dokumen Energy Sector Governance Strengthened (USAID, 2000); USAID intends to obligate a total of $4 million in DA in FY 2001 to strengthen energy sector governance and help create a more efficient and transparent energy sector. USAID advisors play a catalytic role in helping the Government of Indonesia develop and implement key policy, legal and regulatory reforms. …(Pada tahun 2001 USAID bermaksud memberikan bantuan senilai US$ 4juta [Rp 40 miliar] untuk memperkuat pengelolaan sektor energi dan membantu menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparanPara penasehat USAID memainkan peran penting dalam membantu pemerintah Indonesia mengembangkan dan menerapkan kebijakan kunci, perubahan UU dan peraturan);
USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the role of the state-owned oil company in exploration and production.(USAID telah membantu pembuatan draft UU MIgas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000. UU tersebut akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi);
Dampaknya secara politik adalah lahirnya regulasi Migas yang identik dengan keinginan asing, masyarakat bisa melihat dalam UU Migas Nomer 22 tahun 2001 ( Pasal 9:Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh: Badan Usaha Milik Negara; Badan Usaha Milik Daerah; Koperasi; Usaha Kecil; Badan Usaha Swasta.Pasal 10: Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir.
Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu.Pasal 13: Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) Wilayah Kerja. Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa Wilayah Kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap Wilayah Kerja.)
Berdampak
Faktor-faktor kebijakan hulu yang liberal melahirkan dampak yang sistemik dan menjangkau banyak sektor kehidupan masyarakat. Paling tidak, dengan regulasi liberal disektor hulu akan muncul kondisi; Pertamina tidak lagi sebagai Single Player dalam pengelolaan migas sektor hulu. Hilangnya kedaulatan energi migas, tidak ada lagi monopoli hulu–hilir oleh negara, ladang minyak dan gas bumi makin banyak yang dikuasi oleh perusahaan asing.Hasil migas lebih banyak dinikmati oleh pihak asing, dan akhirnya rakyatlah yang dirugikan menjadi korban kebijakan yang tidak proporsional.
Sementara di sektor hilir, upaya liberalisasi seperti yang tertera dalam beberapa dokumen seperti;
UU Migas No. 22 tahun 2001: menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan (Pasal 2).
PP No. 31/2003 tentang Pengalihan Bentuk Pertamina Menjadi Persero. Tujuan utama persero adalah mendapatkan keuntungan (Pasal 2) dan keputusan tertinggi ada pada RUPS. (Tahun 2011 anak Perusahaan Pertamina PT Pertamina Hulu Energy direncanakan akan melakukan Initial Public Offering [IPO] di Bursa Saham)
Perpres No. 5 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c: “Penetapan kebijakan harga energi ke arah harga keekonomian, dengan tetap mempertimbangkan bantuan bagi rumah tangga miskin dalam jangka waktu tertentu.”
Regulasi diatas akan melahirkan dampak-dampak riil seperti; Pertamina tidak lagi sebagai Single Seller dalam kegiatan distribusi dan niaga migas. Hilangnya kedaulatan energi migas di sektor hilir. Migas menjadi komoditas komersial semata-mata. Hilangnya hak rakyat menikmati migas miliknya, Asing diuntungkan, menguasai pasar Indonesia, Rakyat dirugikan, harga BBM menjadi mahal.
Maka tujuan utama pemerintah menaikkan harga BBM disinyalir kuat bukan karena untuk mengurangi beban APBN, karena yang membebani adalah pembayaran utang dan bunganya. Juga bukan karena subsidi tidak tepat, karena penerima subsidi kebanyakan adalah menengah ke bawah. Tapi untuk memuluskan liberalisasi Migas di sektor hilir.Dan inilah alasan sebenarnya yang kurang tersingkap dihadapan publik selama ini.Dari sini terlihat aroma kepentingan asing lebih dominan dan hanya untungkan asing bukan untuk rakyat.Namun beribu sayang, pemerintahan SBY terkesan membisu dan menutup telinga atas kritikan rakyat yang mereka ekspresikan dalam berbagai aksi. Tidak salah jika sebagian mahasiswa dengan heroismenya melawan dengan jargon “ganti rezim komprador” dan “tolak penguasa neolib”!.[hau/Diolah dari berbagai sumber]

Menyoal : “TERORIS”  Sertifikat Halal Membunuh Bagi BNPT


Oleh: Harits Abu Ulya, Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA –The Community Of Ideological Islamic Analyst-


Di tengah suhu politik mulai memanas karena rencana kenaikan harga BBM, publik kembali dibuat terkejut dengan tewasnya 5 orang ditangan Densus 88 pada hari minggu (18/3/2012) di dua tempat yang berbeda di Jl Gunung Sapotan Denpasar dan di Jl Danau Poso Sanur Denpasar. Tindakan Densus 88 mendapatkan pembenaran dari bos BNPT (Ansyaad Mbai) usai melakukan rapat bersama Komisi III di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (19/3)."Kami tidak salah tembak dan kelima orang tersebut benar-benar teroris," tegas Ansyaad.(RMOL 19/3/2012)
Dan 5 pelaku jaringan teroris versi BNPT itu adalah HN (32) asal Bandung DPO perampokan CIMB Medan, AG (30) warga Jimbaran. Keduanya disergap di kawasan Gunung Soputan. 3 Orang lainnya yakni UH alias Kapten, Dd (27) asal Bandung, dan M alias Abu Hanif (30) asal Makasar mereka disergap di kawasan Jalan Danau Poso.
Alasan kenapa 5 orang itu tewas, dikatakan Boy Rafli Amar Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Senin (18/3/2012), karena saat ditangkap melakukan perlawanan, sehingga terjadi saling baku tembak antara teroris dengan Densus 88 Antiteror Polri.(Liputan6.com,19/3/2012)
Beberapa peristiwa sebelumnya yang masih bisa dikait-kaitkan dengan isu terorisme juga muncul. Bom pipa meledak di dekat pembangunan pesantren di Semarang, Jawa Tengah pada Kamis (15/3/2012). Tepatnya Bom tersebut meledak di di Jalan Tamtama Barat IX, RT 8 RW 9, Kelurahan Jangli, Semarang.Tiga tukang bangunan menjadi korban luka. Imam Sukayat adalah orang yang menemukan bom pipa sekaligus sebagai tersangka ternyata hanya seorang yang lemah mental.
Di hari berikutnya terjadi penembakan gereja di Indramayu terjadi pada Jumat (16/3/2012). Pelaku menggunakan airsoft gun untuk menembaki gereja. Aksi penembakan ini mengakibatkan kerugian materil berupa jendela kaca gereja yang pecah dan 2 Orang ditangkap terkait peristiwa ini.
Pada hari Senin malam (19/3/2012) paska peristiwa di Bali, sebuah bom juga meledak di Tuban-Jatim, tepatnya dibelakang rumah Ghofur (49) warga Desa Bangilan, Kecamatan Bangilan. Ghofur dan istrinya Zairoh mengalami luka parah pada kaki akibat ledakan.(korantempo,20/3/2012)
Melahirkan banyak pertanyaan
Menurut saya, peristiwa diatas wajar kalau melahirkan banyak pertanyaan di benak publik. Karena saya menangkap ada “gerakan aneh” meminjam istilah Pak SBY dengan memunculkan kembali isu terorisme di saat suhu politik memanas karena rencana kenaikan harga BBM. Berikut kita bisa mendedah “gerakan aneh” tersebut;
Pertama; kenapa kasus terorisme terkesan dipakai untuk memalingkan isu kenaikan BBM?. Pemerintah (Rezim SBY) dengan kalkulasi intelijennya mengetahui persis, kali ini suhu politik mulai memanas karena faktor rencana kenaikan BBM. Berbeda dengan skandal Century, kenaikan BBM menyangkut perut rakyat dan tentu lebih sensitif melahirkan perlawanan dari semua elemen.Sementara Century Gate adalah isu yang mengelitis dan tidak cukup menjadi energi yang bisa meng-agitasi rakyat untuk bergerak melawan.Apalagi pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait kenaikan BBM ada point yang menunjukkan ketidakjujuran (bohong) kepada rakyat dengan argumentasi yang tidak transparan. Wajar kalau kemudian perlu pengalihan isu dan mempengaruhi persepsi publik terhadap persoalan ini. Terorisme masih bisa dijadikan sebagai instrument pengalihan isu, sekalipun faktanya tidak begitu “laku” dan “menarik” bagi publik. Masyarakat sudah sangat apatis terkait isu terorisme.
Kedua; satu dari 5 orang yang tewas adalah DPO kasus perampokan Bank CIMB di Medan-Sumut. Dan mereka sudah dalam pantauan sebulan sebelum eksekusi bahkan kapan mereka masuk ke Bali juga terpantau. Pertanyaannya adalah, kalau menurut BNPT langkah pre-emptif itu adalah yang terbaik kemudian kenapa harus di gerebek di Bali, kenapa tidak di pelabuhan Ketapang-Banyuwangi? Ataukah cerita itu akan lebih menarik jika eksekusi dilakukan di Bali, pas juga momentum jelang hari raya Nyepi? Maka pemilihan waktu dan tempat terlihat ada maksud yang lebih besar dari sekedar menggrebek dan menewaskan 5 orang terduga perampokan.
Ketiga; sebenarnya siapa yang punya otoritas di Indonesia untuk menetapkan seseorang teroris atau bukan? BNPT dengan Densusnya atau pengadilan dengan UU No 15 tahun 2003-nya? Kenapa demikian mudah BNPT memvonis seorang itu pasti teroris? Kalau kembali belajar pada kasus perampokan Bank CIMB, jika berangkat dari TKP maka yang terjadi adalah tindak pidana criminal perampokan. Dan label teroris kemudian dilekatkan itu sudah sangat politis. Bahkan nilai politisnya ini di paksakan, sehingga banyak ditemukan gap dilapangan antara isu terorisme yang dikemas oleh Mabes Polri dengan fakta-fakta dilapangan yang mengindikasikan bahwa tidak layak sama sekali perampokan di cap sebagai aksi terorisme.Tidak ada kaitanya dengan motif “negara Islam”, yang lebih dominan karena faktor ekonomi. Dan sangat naïf kalau pengadilan membawa kasus kriminal ke ranah politik dan seorang dipaksa dengan hukuman berdasarkan UU Terorisme No 15 tahun 2003.Aneh!
Kali ini, lima orang yang terkapar tewas itu juga kena dampak logika paralel dari BNPT. Karena salah satu diantara mereka adalah DPO “teroris CIMB”, maka mereka juga di cap teroris, di tambah lagi dengan cerita empat orang sisanya masih terkait dengan jaringan Solo-Tauhid wal Jihad-. Kalau obyektif berangkat dari TKP maka benar seperti pernyatakan pihak Polda Bali, berbeda dengan BNPT, Kabid Humas Polda Bali Kombes Hariadi mengatakan, kelima orang yang tewas ditembak datang ke Bali bukanlah teroris. Melainkan murni perampokan. Di sela olah tempat kejadian perkara, baru-baru ini, Hariadi menegaskan, motif para pelaku adalah murni tindakan kriminal perampokan. Mereka bakal beraksi di kawasan Kuta dan Uluwatu.(Liputan6.com, 19/3/2012)
Dalam kasus yang senada, kenapa orang yang dicurigai hendak korupsi tidak di eksekusi saja? Kenapa para preman yang diduga dan dicurigai bakal membuat banyak onar dan kejahatan (criminal) tidak di eksekusi saja?, Ini baru di duga mau merampok saja bisa.
Keempat; nasib 5 orang itu tidak semujur John Key (bos preman), dia hanya dilumpuhkan dengan tembakan di bagian kaki. Tapi berbeda dengan kasus orang yang di cap teroris, sekalipun menurut sumber tunggal dari pihak aparat Polri bahwa mereka melawan saat penggrebekan bukan berarti itu juga menjadi legitimasi halal membunuh mereka. Apalagi kalau 5 orang tersebut hanya memegang 2 pucuk senjata Gun (pistol), artinya 3 orang sisanya tidak memiliki potensi untuk melawan dengan menembak aparat. Bom juga tidak ditemukan.Bukankah Densus 88 sudah cukup terlatih dan tidak sulit kalau targetnya harus dilumpuhkan? Tidak perlu di tembak hingga tewas. Harimau yang lepas dari kandang saja dengan tembakan bius dalam kadar yang tinggi bisa melumpuhkan keganasanya, kenapa ini tidak dilakukan. Tapi seolah-olah order dari bos Densus 88 mereka harus mati. Lebih konyol lagi setelah mereka tewas dan tidak bisa lagi di konfirmasi kemudian BNPT membuat tuduhan-tuduhan yang sangat sumir. Mereka pasti terorislah, mereka terkait JAT lah, dan kemudian mengajukan rencana dan agenda-agenda BNPT berikutnya kepada DPR.
Kelima; orang-orang yang tewas dari kelompok yang dicap teroris sudah 56 orang, bahkan angka akan terus bergerak. Dan sekarang ditambah dengan 5 orang, sementara yang mati dengan prosedur pengadilan dalam kasus terorisme hanya Amrozi, Imam Samudra dan Mukhlas. Diluar itu termasuk 5 orang yang baru tewas masuk dalam katagori exstra judicial killing, dan ini pelanggaran serius terhadap HAM. Asas praduga tidak bersalah dilempar ditong sampah, tidak berlaku untuk teroris. Orang hanya baru di duga, disangka berdasarkan laporan awal intelijen atau bahkan hanya karena asumsi bisa tewas ditangan Densus 88 karena alasan utamanya adalah teroris. Dan sekarang menimpa kepada 5 orang dan dengan alasan yang sangat konyol. Mereka di duga hendak merampok, dia di duga hendak membuat teror diberbagai tempat di Bali, dia diduga hendak membuat bom dari hasil rampokannya, dan semua itu belum pernah terjadi bahkan juga belum pernah di buktikan di depan pengadilan. Tapi karena mereka adalah “teroris” dan dengan alasan pre-emptif menjadi “halal” untuk di ambil nyawanya. Dan ini adalah kejahatan yang di legalkan, dan ini adalah kejahatan yang di diamkan, bahkan nyaris tidak terdengar kritik yang datang dari wakil rakyat atau penggiat HAM atas tindakan-tindakan “teroris” ala BNPT ini.Kalau ingatan kita kembali pada masa reformasi ada “tim Mawar” yang di adili bahkan menjadikan Letjen Prabowo di pecat dengan tidak hormat, sekarang sebenar-benarnya tindakan aparat dalam isu teorisme sudah lebih dari apa yang dilakukan “tim Mawar”.
Maka menjadi aneh kalau menangani 5 orang tersebut dengan target tewas. Saya menduga kuat, karena order dari Bos orang-orang yang dilapangan memang seperti itu. Karena orang dilapangan terkait nyawa orang tidak begitu mudahnya mempunyai kewenangan menjadi malaikat pencabut nyawa dengan hanya berdasarkan asumsi dalam kondisi bahaya. Dunia saat ini menyaksikan BNPT seolah-olah mendapat sertifikat halal untuk membunuh siapapun kalau mereka dapat lebel teroris. Dan kasus ini tidak jauh berbeda dengan Amerika yang hancurkan sebuah negara dan membunuh ribuan orang hanya karena alasan perang melawan terorisme. Dan tidak kalah biadapnya dengan kelakuan persis Zionis Israil yang suka menumpahkan darah orang-orang Palestina.
Seharusnya kontra-terorisme ala BNPT perlu di evaluasi secara serius, bukan malah DPR melalui komisi III merespon rencana BNPT dengan ajuan anggaran yang totalnya 327 miliar rupiah. BNPT meminta gedung baru senilai Rp 210 miliar dan dapat direalisasikan dalam APBNP 2012.Selain itu BNPT juga mengusulkan pembuatan pusat latihan antiteror BNPT dengan anggaran Rp 3,9 miliar. Tak hanya itu, BNPT juga mengajukan anggaran pengadaan peralatan IT. Dalam rangka meningkatkan mutu satgas operasional dan penindakan BNPT senilai Rp 105 miliar. Kapan negeri ini betul-betul kuncup keadilan?
Kalau negara Indonesia katanya negara hukum, lantas apa yang disaksikan public hari ini apa bisa dibilang negara hukum? Atau mungkin lebih tepat adalah negara “rimba”, yang kuat yang menang. Yang punya duit dan kekuasaan bisa mendapatkan keadilan versi mereka.Yang miskin, orang kecil, orang yang di tuduh teroris menjadi seperti “sampah” yang tidak berharga. Subhanallah…wallahu a’lam

Ekonomi Politik: Parasitisme atau Mutualisme?


Oleh, Nuim Hidayat (Dosen STID Mohammad Natsir)

Oleh, Nuim Hidayat (Dosen STID Mohammad Natsir)
"Dengan biaya sekecil-kecilnya agar dapat untung sebanyak-banyaknya" (Prinsip Ekonomi Barat)
"Berhentilah makan sebelum kenyang" (Rasulullah saw)

Juni tahun lalu, saya mengikuti seminar tentang Bank Dunia (Wolrd Bank) yang disampaikan oleh salah satu pimpinan World Bank bagian Asia di Fakultas Ekonomi UI. Ia menguraikan panjang lebar tentang peranan World Bank (WB) di dunia. Meski demikian ia juga pernah menolak WB ketika ia menduduki sebuah jabatan dalam pemerintahan. Karena ia merasa bahwa ia sebagai orang Indonesia lebih tahu tentang masalah-masalah ekonomi yang ia hadapi daripada orang luar. Ia juga menyarankan terhadap orang-orang di WB ini kita juga 'harus ngotot' bila punya pendapat yang diyakini kebenarannya.

World Bank dan IMF memang 'momok' bagi negara berkembang, khususnya Indonesia. Pemerintah di jaman Soeharto telah merasakan permainan IMF ini hingga kekuasaanya jatuh --di samping tentu saja peranan kelompok LSM dan Mahasiswa dalam reformasi 1998. Yang jelas IMF bersindikasi dengan jaringan perbankan internasional --banyak pengambil keputusannya orang-orang Yahudi-- sekitar tahun 1997-an itu memang membuat ekonomi Indonesia morat-marit. Dolar yang harganya 'di bawah 5000' tiba-tiba melonjak belasan ribu. Dan Pak Harto saat itu kebingungan apakah mau memilih 'floating rated' yang ditawarkan orang-orang pro IMF, atau memilih 'fixed rated' yang ditawarkan Prof Steve Hanke. Tapi nampaknya Pak Harto menuruti penasehat-penasehat ekonominya --yang memang kebanyakan pro IMF-- mengikuti IMF dan jatuhlah dia dari kekuasannya.

Habibie ketika naik menjadi presiden juga kelimpungan dengan permainan dolar itu. Tapi berkat integritasnya di dunia Eropa khususnya Jerman, ia akhirnya bisa menstabilkan rupiah di bawah 10000 rupiah. Sebuah prestasi luar biasa saat itu di tengah gempuran dan politik uang orang-orang pro Barat yang tidak ingin 'presiden pro Islam' naik kekuasaan.

Dan memang selama ekonomi berlandaskan dolar --sebagai pengganti mata uang emas sejak zaman Rasulullah saw sampai Khilafah Utsmaniyah di Turki 1924-- maka Amerika cs selalu menghegemoni ekonomi dunia. Karena ia bisa 'cetak dolar seenaknya', dengan jaminan kekuatan militernya. Maka bila ingin membangun keadilan di dunia ini 'jalan satu-satunya yang terbaik' adalah mengganti mata uang di dunia berlandaskan emas bukan dolar atau mata uang kertas lainnya.

Bicara ekonomi memang mustahil dilepaskan dari politik. Ekonomi tidak hanya bicara bagaimana mendapat uang atau membagi uang. Tapi tentu bicara juga kepada siapa uang itu dibagikan dan bagaimana mendapat uang itu 'halal atau haram'. Apakah boleh tiap individu mendapatkan uang dengan cara apapun, apakah negara campur tangan terhadap usaha individu, mana yang boleh dan tidak boleh dan seterusnya.

Karena itu ekonom yang tidak faham politik, baik politik nasional maupun politik internasional, ia hanya akan menjadi 'robot atau tukang' belaka. Bersyukur bila pimpinannya seorang ekonom politikus yang baik. Bila tidak ia akan masuk arus permainan politik yang mengerikan. Seperti permainan-permainan ekonomi politik WHO dan IMF dalam sejarahnya. Dua organisasi ini yang berkantor di Washington, memang selalu menjadi pak Turut kebijakan pemerintah AS sebagaimana organisasi dunia lain yang berkantor di sana yaitu PBB.

Maka dalam acara di UI kala itu saya katakan bahwa selama WHO dan IMF itu 'aktor-aktor pimpinannya' masih punya politik greedy atau tamak, sulit bagi dua organisasi itu untuk mewujudkan misinya di dunia yaitu menghapus kemiskinan. Dan kita lihat kenyataannya pengalaman di Indonesia menunjukkan dua organisasi ini tidak terlalu peduli dengan kemiskinan di Indonesia. Mereka terus mengucurkan dananya ke Indonesia, meski di Indonesia terjadi korupsi besar-besaran pada bantuan luar negeri ini dan meski di Indonesia kemiskinannya 'tidak turun' atau turun sangat lambat. Jumlah kemiskinan di Indonesia beberapa tahun lalu masih sekitar 30 juta. Bila berdasar kriteria WHO bahwa mereka yang kategori miskin adalah berpenghasilan minimal 2 dolar AS perhari maka jumlah pendudukan Indonesia yang miskin bisa mencapai 100 juta orang!

Di samping tentu saja pengucuran duit dari organisasi ekonomi dunia itu juga menguntungkan aktor-aktor pengurus atau agen-agennya. Karena mereka selalu dapat menempatkan agen-agennya dalam proyek-proyek bantuan atau pasnya proyek hutang itu (baca buku 'Economic Hit Man" karya John Perkins atau reviewnya yang dibuat Kwik Kian Gie).

Memang bila kita renungkan masalah ekonomi ini berkaitan dengan ideologi. Mereka yang berideologi ateis atau sekuler, rata-rata tidak peduli bagaimana cara mendapatkan uang itu. 'Halal atau Haram' tidak penting. Yang penting dapat uang sebanyak-banyaknya untuk menikmati kehidupan dunia ini. Maka tidak heran dalam ekonomi sekuler ini berkembang 'bank dengan sistem ribawi', yang dipelopori oleh orang-orang Yahudi di Eropa. Karena itulah cara yang mudah untuk melipatgandakan uang dengan 'kerja santai'.

Dalam sistem ribawi ini, orang kaya akan makin kaya, meski tiap hari tidur-tiduran. Ambil contoh anda punya uang 100 milyar, anda depositokan maka anda bisa ambil tiap bulan minimal 1 milyar cuma-cuma. Maka tidak heran di dunia ini --termasuk di Indonesia-- bagaimana orang-orang kaya jor-joran dalam mengeluarkan uang. Di Indonesia, mereka biasanya tinggi dalam 'syahwat politik', dengan membentuk partai-partai baru, deal-deal dengan penguasa dan lain-lain. Anda bisa bayangkan berapa milyar membentuk partai-partai baru itu. Membayar pengurusnya tiap bulan saja bisa ratusan juta, begitu pula membentuk pengurus-pengurus daerah. Bila dihitung termasuk biaya transportasi, iklan partai baru dan lain-lain, tentu nilainya bisa menembus ratusan milyar. Dan dari mana semua uang ini.. Tentu kita bertanya-tanya --khususnya sebagai Muslim-- halal atau haramkah uang berlimpah yang digunakan jor-joran itu.

Tapi begitulah dalam politik sekuler. Berkelindan ekonomi haram dan politik haram. Aktor-aktor politiknya kebanyakan berfikir bagaimana menghasilkan uang sebanyak-banyaknya untuk membiayai, mempromosikan, mendidik kader-kader partai dan seterusnya. Dan mereka berkeyakinan hanya dengan menjadi penguasa negara atau daerah lah, uang yang banyak ini bisa diraih. Mereka tahu bahwa kegiatan-kegiatan ekonomi di sebuah wilayah mesti membutuhkan keputusan politik: perijinan bisnis, perijinan iklan, perijinan lembaga-lembaga keuangan, perijinan eksplorasi bahan-bahan tambang atau minyak dan seterusnya. Dan dengan memegang kekuasaan politik maka uang-uang dari situ akan mengalir lancar, baik uang resmi maupun uang tidak resmi, alias biaya-biaya komisi yang tidak tercatat. Dan biaya-biaya komisi (baca suap) ini seringkali lebih besar daripada biaya resmi yang dimasukkan dalam kas negara.

Dan bagi mereka yang terkena sihir uang (atau menuhankan uang) ini, syahwat uang tidak ada habis-habisnya. Meski gaji telah diterima tiap bulan 60 juta misalnya, dirasa masih kurang. Tangan-tangan mereka masih menengadahkan tiap hari, tiap minggu atau tiap bulan uang-uang komisi, uang-uang bonus rapat dengan pejabat dan lain-lain. Begitu pula bagi pejabat negara yang digaji 100 juta juga tak puas. Di balik layar rekening-rekening mereka atau keluarganya atau teman-teman dekatnya atau orang-orang partainya selalu minta diisi lebih khususnya oleh para pebisnis-pebisnis besar baik dalam negeri atau luar negeri. Dan permainan politik dan ekonomi kotor ini bukan barang yang aneh di negeri kita yang katanya berlandaskan Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa! Media massa telah sering mengungkap tapi praktek kotor itu terus berjalan.

Kenapa? Karena memang nafsu memiliki uang itu bila dituruti tidak ada habisnya. Orang yang punya uang 1 milyar pingin 2 milyar. Yang punya 100 milyar pingin 1 trilyun dan seterusnya. Yang sudah punya rumah mewah 5 pingin punya 6. Yang punya vila di Puncak 2, pingin lagi punya vila di Anyer 2 dan seterusnya. Al Qur'an mensifatkan nafsu memiliki harta ini bila tidak dikendalikan sampai masuk kubur pun terus pingin berlipat kekayaannya.

"Celakalah orang yang berbanyak-banyakan (harta). Sehingga sampai masuk liang kubur..." (lihat surat at Takaatsur)

Bagaimana mengendalikannya? Tidak lain tidak bukan mesti ikut tuntunan Al Qur'an dan Hadits Rasulullah saw. Pertama, mesti diteliti apakah uang yang didapatkannya halal atau haram. Bila haram penghasilannya, maka bisa dipastikan uang itu tidak akan berkah. Dan nafsu syetan harta itu akan terus menggoda. Kedua, penghasilan yang diterima sudah dikeluarkan zakat atau sedekahnya belum. Bila tidak pernah dikeluarkan zakat atau sedekahnya, harta itu pun tidak berkah. Harta yang ada hanya akan menambah tamak atau kikir bagi pemiliknya. Dan ketiga, harta yang diterima setelah melakukan kerja maksimal, wajib disyukuri. Karena tanpa syukur terhadap rizki yang dibagikan Allah SWT ini, yang terjadi adalah sifat tamak, iri hati, dengki atau kikir. Bila bersyukur terhadap harta yang diterima, baik jumlahnya banyak atau sedikit --karena seringkali banyak atau sedikit harta ini relatif-- maka dada akan lapang dan tidak ada kekikiran pada dirinya.

Dan yang terpenting janganlah mengira bahwa harta yang dizakatkan atau disedekahkan itu akan membuat harta kita berkurang. Sebab selain pasti akan mendapat pahala di akherat, di dunia ini pun Allah SWT berjanji akan memberi kebaikan pada kita dengan perbuatan baik terhadap harta itu. Al Qur'an menyatakan : Bukankah kebaikan itu akan dibalas dengan kebaikan (pula)...

Secara prinsip tentu tidak dilarang seorang pedagang beruntung besar. Asal rela sama rela maka perdagangan dibolehkan dalam Islam. Tentu bila perdagangan yang terjadi adalah perdagangan halal, tidak masuk perdagangan haram: misalnya riba, zina, judi, minuman keras dan lain-lain. Dan tentu tidak dibolehkan juga dalam perdagangan itu adanya penipuan. Misalnya ada cacat disembunyikan, merek palsu dikatakan asli dan seterusnya. Dan memang sebaiknya untung yang diambil tidak berlipat-lipat, hingga konsumen akhirnya menyesal membelinya. Tapi secara hukum ekonomi bila keuntungan yang diambil terlalu tinggi konsumen akan kapok untuk membelinya, kecuali pembeli itu 'monopoli dalam produk itu'.

Maka prinsip mengambil untung sebanyak-banyak dengan biaya sedikit-dikitnya, dalam Islam 'tidak dikenal'. Memang dalam prinsip kapitalis, mazhab ini pas. Karena ideologi mereka materi atau uang. Dalam Islam keuntungan bisnis yang terbaik adalah keuntungan yang sewajarnya. Yakni tidak membuat konsumen 'menyesal atau merugi'. Lebih pas mungkin kita sebut konsep 'win-win' dalam ekonomi Islam ini. Produsen untung, konsumen pun puas atau tidak rugi.

Dalam ekonomi modern pun konsep win-win ini sebenarnya diterapkan. Mereka-mereka yang disenangi konsumen, pada akhirnya yang akan memenangkan persaingan bisnis. Atau dalam istilah Al Qur'an perlombaan dalam bisnis itu adalah 'fastabiqul khairat', berlomba-lomba menjadi yang terbaik. Bukan saling meniadakan atau mematikan dan senang bila lawan bisnisnya bangkrut atau terkena pidana misalnya, seperti banyak kita saksikan dalam model bisnis sekarang. Mereka yang telah berhasil dalam bisnis harusnya membantu pesaingnya, agar tidak mati atau bangkrut. Bukan dengan menutup diri atau bakhil terhadap informasi.

Walhasil, untuk ekonomi yang sehat dibutuhkan iklim politik yang sehat. Untuk politik yang sehat, dibutuhkan aktor-aktor politik yang sehat pula. Dari aktor politik yang sehat inilah akan lahir aktor ekonomi atau iklim ekonomi yang sehat. Bila tidak, maka yang terjadi adalah simbiosis parasitisme antara aktor politik dan aktor ekonomi bukan simbiosis mutualisme. Wallaahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar