Senin, 21 Maret 2011

Pengadilan ABB ala Kekuasaan Liberal yang disokong Asing.... ??? Hasilnya... adalah sudah direkayasa....>>>"Sudah Telekonference, Saksi Ba'asyir Tak Mau Disumpah" >>> Jaksa Ngotot Menghadirkan Saksi Secara Teleconference Dalam Sidang Ust. Abu>>>DISKRIMINASI MELUMPUHKAN HUKUM DAN KEADILAN >>> Inilah Hukum untuk Zhalim [Aniaya]...>>> Maka akan datang Pembalasan dan Murka Allah.... Insya Allah.... segera...

Sudah Telekonference, Saksi Ba'asyir Tak Mau Disumpah

JAKARTA (Berita SuaraMedia) - Jaksa Penuntut Umum kembali menghadirkan saksi untuk terdakwa terorisme, Abu Bakar Ba'asyir secara telekonferensi. Salah satu saksi yang diperiksa hari ini menolak disumpah.
Abu Yusuf mengaku tak masalah bersaksi namun dia menolak bersumpah dengan cara menaruh Al Quran di atas kepalanya. "Karena di agama saya tidak ada sumpah seperti itu," kata saksi Abu Yusuf saat bersaksi telekonferensi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (21 Maret 2011).

Salah satu hakim anggota, Hari Juantoro berupaya membujuk Abu Yusuf dengan memaparkan dasar hukum sumpah, termasuk sanksi jika tidak melakukannya. Sanksi tersebut berupa sandera selama 14 hari di rumah tahanan. Namun, Yusuf tetap bersikukuh pada pendiriannya.

Jaksa Andi M Taufik pun meminta agar untuk sementara keterangan Abu Yusuf ditunda, diganti dengan saksi lainnya bernama Muksin. "Saya minta kepada Majelis Hakim agar saksi diganti Muksin," kata Andi.

Majelis Hakim perkara ini pun mengijinkan agar saksi Abu Yusuf ditangguhkan sementara dan diganti oleh Muksin yang juga seorang anggota Jama'ah Anshorut Tauhid (JAT).

Dalam kesaksiannya, Muksin mengaku kenal dengan Ba'asyir yang juga Amir JAT. Dia pun mengaku pernah menerima uang Rp100 juta sebagai sumbangan untuk upaya jihad dari Haryadi Usman.
Jaksa menuntut Ba'asyir dengan tuduhan merencanakan dan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Menurut jaksa, Ba'asyir diduga merencanakan perbuatan itu sejak Februari 2009 hingga Maret 2010. "Diantaranya pelatihan kelompok bersenjata di Aceh dan Hamparan Perak," tambah Jaksa.
Setelah kesaksian Muksin ini, Yusuf lantas menyatakan bersedia disumpah. Dalam kesaksiannya, Yusuf mengaku tidak kenal dengan Abu Bakar Ba'asyir. "Saya pun bukan anggota JAT."
Sementara itu, Ba'asyir kembali meninggalkan ruang sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang itu mengagendakan mendengarkan keterangan enam orang saksi.
Ba'asyir duduk di kursi terdakwa usai majelis hakim membuka sidang. Tak lama, Ba'asyir memilih kembali keluar ruang pengadilan. "Jadi sebagaimana yang telah saya terangkan. Saya tetap dalam aqidah, tidak akan memghadiri sidang," ujar Abu Bakar Baasyir, diruang sidang.

Aksi Ba'asyir itu tidak mengganggu jalannya persidangan. Usai Ba'asyir keluar, Jaksa segera memanggil Adriansyah untuk memberikan keterangan. Selain Andriansyah, saksi lain adalah Imron Baihaqi, Komarudin, Muji Haq, Muksin, dan Joko Daryono. Mereka memberi keterangan dari rumah tahanan Markas Komando Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok. Cara pemeriksaan saksi inilah yang diprotes Ba'asyir.
Sedangkan Hakim Ari Jwantoro merespons pernyataan Yususf dengan menjelaskan tata cara persidangan mengacu pada  pasal 160 KUHAP ayat 3 yang mengatur pengucapan sumpah dan apabila tidak mau akan ada sanksi.

Selain itu dalam pasal 161 KUHAP lanjut Ari, jika tanpa alasan sah menolak seperti tertulis dalam ayat 3 dan ayat 4 Pasal 160 maka akan ada penetapan dilakukan penyanderaan di rumah tahanan paling lama 14 hari. "Sebelum saudara memberikan keterangan, saksi wajib membacakan sumpah," kata Ari.

"Saya siap menjadi saksi tetapi saya tidak mau ditaruh Alquran di kepala saya," jawab Abu Yusuf.

Akhirnya, Hakim Ketua Herry Swantoro memutuskan saksi Abu Yusuf diganti dengan saksi berikutnya untuk didengar keterangannya masih via teleconference. (fn/vs/tm/ok) www.suaramedia.com

Jaksa Ngotot Menghadirkan Saksi Secara Teleconference Dalam Sidang Ust. Abu

Kamis, 17 Maret 2011. http://save-islam.blogspot.com/2011/03/jaksa-ngotot-menghadirkan-saksi-secara.html

Jakarta - Terdakwa kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir ngotot walk out di sidang jika jaksa tetap menghadirkan saksi viateleconference. Namun jaksa tak peduli dengan ancaman Ba'asyir. 5 saksi dijadwalkan akan menggunakan teleconference pada sidang hari ini.

"Ya tetap dong kalau ngga salah 5 saksi nanti. Kita tetap akan pakai teleconference kan keputusan majelis seperti itu," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Yusuf saat dihubungi detikcom, Rabu (16/3/2011) malam.

Yusuf mengatakan, sesuai UU Pemberantasan Terorisme penggunaan teleconference untuk saksi diperkenankan. Karenanya, jaksa heran mengapa kuasa hukum Ba'asyir telalu mempermasalahkan hal itu.

"Kan sama saja. Nanti juga terdakwa bisa mengkonfirmasi, membantah, gampang saja," imbuhnya.

Terkait ancaman Ba'asyir yang menolak hadir di sidang, lanjut Yusuf, pihaknya tetap akan menjalankan prosedur seperti biasa yakni menjemput Ba'asyir dari Bareskrim untuk hadir di persidangan.

"Kita tetap jemput, kan ada tugas untuk kita untuk menghadirkan terdakwa. Kalau terdakwa tidak mau ya kita jelaskan pada majelis hakim seperti apa. Apakah dilanjutkan atau tidak, kalau putusannya lanjut kita lanjut tanpa dia (Ba'asyir)," papar Yusuf.

Sebelumnya, Ba'asyir dan kuasa hukumnya menolak jaksa mengajukan saksi vai teleconference. Mereka memprotes hal itu dengan cara walk out dari sidang. Ba'asyir tetap tidak akan hadir di sidang selama jaksa masih menggunakan saksi via teleconference.

(ape/Ari/detik.com)
Penghadiran saksi secara teleconferende adalah bukti pengadilan ust. Baasyir ini penuh dengan rekayasa. Bisa saja saksi yang ditampilkan dilayar saat teleconference ada dibawah ancaman. Sungguh Allah akan menghinakan Thaghut dan menyelamatkan pejuang-Nya!!!



Muqaddimah : DISKRIMINASI MELUMPUHKAN HUKUM DAN KEADILAN
http://islamic.xtgem.com/ibnuisafiles/list/nov08/buku/pengadilanteroris/pt05.htm

BERAWAL dari pemberitaan majalah yang terbit di Amerika Serikat, yaitu majalah Time edisi 23 September 2002. Majalah itu telah menobatkan ustadz Abu Bakar Ba'asyir seolah-olah sebagai teroris yang terlibat dalam jaringan Al-Qaidah yang membahayakan kepentingan Amerika Serikat. Majalah itu pula yang melansir berita, seolah-olah ustadz Abu Bakar Ba'asyir merestui dan mengizinkan pemboman masjid Istiqlal (Jakarta) serta merencanakan pembunuhan terhadap Megawati (kala itu masih Wakil Presiden).

Munculnya dugaan itu, kabarnya berasal dari bocoran hasil interogasi badan intelijen AS, CIA, terhadap seorang yang masih merupakan sosok yang penuh misteri yang oleh penyidik kepolisian diberi nama Omar Al Faruq yang sampai saat ini baik kewarganegaraannya maupun keberadaannya masih gelap atau tidak jelas.

Majalah Time dalam edisinya tersebut antara lain menulis sebagai berikut: "Laporan CIA menyatakan bahwa Abu Bakar Ba'asyir, 64 tahun, yang dituduh sebagai pemimpin spiritual JI memerintahkan Faruq untuk menggunakan perangkat dan sumber daya JI untuk melaksanakan pengeboman-pengeboman kedutaan besar AS�"

Selanjutnya, masih menurut majalah Time: "Al Faruq mengatakan Ba'asyir juga menjadi otak di belakang pengeboman masjid terbesar di Jakarta pada tahun 1999� Ba'asyir diinginkan oleh pemerintah Singapura atas tuduhan peranannya sebagai perancang serangan Al-Qaeda yang gagal bulan Desember yang lalu untuk mengebom target-target Amerika di sana�"

Berawal dari pemberitaan itulah kemudian dengan gencar dan sistematis dibangun satu opini sedemikian rupa, sehingga sosok ustadz Abu Bakar Ba'asyir sebagai guru agama yang sederhana, santun, dengan pembawaannya yang jauh dari kekerasan, telah hancur nama baik dan kehormatannya oleh pemberitaan gencar mass media yang melansir berita-berita yang bersumber dari aparat kepolisian, sejak dari Kepala Polri hingga para penyidik yang terlibat dalam pemeriksaan perkara ini, seolah-olah beliau adalah "monster" yang sangat berbahaya karena telah menyuruh, merestui atau setidak-tidaknya menyetujui adanya berbagai aksi kekerasan dan pemboman di sejumlah tempat di tanah air, baik yang menimpa gereja-gereja pada malam Natal 2000, dan tuduhan yang paling menyeramkan adalah merencanakan pembunuhan terhadap Wakil Presiden (saat itu) Megawati Soekarnoputri.

Aparat Kepolisian RI terkesan telah menelan mentah-mentah apa yang dilansir oleh pers Amerika Serikat itu, bahkan Mabes Polri menjadikan keterangan Omar Al Faruq yang dimuat majalah Time sebagai entry point untuk melakukan pemeriksaan terhadap ustadz Abu Bakar Ba'asyir.

Bersumber dari berita majalah Time tersebut, sekitar tiga minggu dari pemberitaan itu Mabes Polri mengirim Tim Investigasi yang dipimpin Brigjen (Pol.) Aryanto Sutadi, dan menemui Al Faruq di Amerika Serikat (Kompas, 18 Oktober 2002). Dalam interogasi terhadap Umar Al Faruq, Aryanto Sutadi mengatakan bahwa Umar Al Faruq membenarkan sebagian besar isi berita majalah Time yang bikin heboh itu.

Selang tiga hari dari kepulangan Tim Investigasi Mabes Polri, atau tepatnya pada hari Sabtu, 19 Oktober 2002, ustadz Abu Bakar Ba'asyir diminta datang ke Mabes Polri untuk diperiksa sebagai Tersangka berkaitan dengan keterangan yang diberikan Umar Al Faruq (Kompas, 18 Oktober 2002).

Umar Al Faruq ini telah menjadi episode tersendiri dalam pemberitaan di berbagai media cetak maupun elektronik, mengingat banyaknya kejanggalan yang mewarnai pemeriksaan terhadap dirinya yang terungkap dalam persidangan Praperadilan dengan ustadz Abu Bakar Ba'asyir sebagai Pemohon dan Kepala Polri sebagai Termohon, di antaranya berita-berita yang sangat menonjol adalah:

Pertama, jawaban Omar Al Faruq hanya berupa "YES" dan "NO" saja, sama sekali tidak ada uraian jawaban. Kedua, tempat pemeriksaan yang tercantum dalam BAP adalah di Kabul (Afghanistan), tapi Aryanto Sutadi --seperti telah diulas di atas-- menyebutkan pemeriksaan dilakukan di Amerika Serikat.

Sekalipun demikian, Kapolri di hadapan banyak wartawan masih tetap menyatakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Al Faruq "sudah bisa dijadikan bukti di pengadilan" (Koran Tempo, 4 November 2002).

Kenyataan yang sangat mengherankan, Umar Al Faruq yang merupakan entry point dimulainya pemeriksaan terhadap diri ustadz Abu Bakar Ba'asyir ternyata tidak dicantumkan sebagai saksi dalam berkas perkara dan oleh karena itu dirinya tidak akan diajukan di persidangan, dan BAP yang pernah dilakukan atas dirinya tidak akan dibacakan di persidangan.
Padahal, demi tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan serta pertanggung jawaban publik (public accountability), maka sudah seharusnya Penuntut Umum menghadirkan Umar Al Faruq di persidangan, karena yang bersangkutan dijadikan sebagai dasar dimulainya penyidikan terhadap ustadz Abu Bakar Ba'asyir, berikut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap Umar Al Faruq.

Tidak diajukannya Umar Al Faruq sebagai saksi di pengadilan, semakin membuktikan kepada kita betapa kuatnya tekanan Amerika Serikat melalui dinas rahasianya (CIA) dan "konco-konconya" antara lain Singapura dan Australia di belakang proses penangkapan dan rekayasa tuduhan terhadap diri ustadz Abu Bakar Ba'asyir.

Salah satu bukti lain dari rekayasa tersebut adalah pengakuan Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil bahwa pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) bertemu dengan dinas rahasia AS, CIA, sebelum penangkapan ustadz Abu Bakar Ba'asyir, meskipun menurutnya pertemuan itu hanya membicarakan kerja sama intelijen, bukan soal penangkapan. (Media Indonesia, 30 Oktober 2002).

Sebagai satu-satunya negara adikuasa di dunia saat ini, AS terlalu sering kita dengar ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain, termasuk tindakan berdarahnya baru-baru ini ketika menginvasi negara Irak dengan kekuatan militernya tanpa perlawanan berarti dari negara lemah itu, sekalipun serangan tersebut tidak didukung DK PBB dan menyalahi Hukum Internasional serta Piagam PBB.

Kembali pada oknum bernama Omar Al Faruq yang kabar beritanya melakukan kerja sama dengan ustadz Abu Bakar Ba'asyir dalam melakukan serangkaian kejahatan di Indonesia itu, ternyata oleh pejabat Republik ini bukannya ditangkap, ditahan dan diadili di Indonesia, tetapi justru diserahkan kepada badan intelijen AS yaitu CIA yang selanjutnya dengan enteng membawanya pergi entah kemana.

Sepertinya oknum yang penuh misteri ini muncul hanya untuk "ditugaskan" menjerat ustadz Abu Bakar Ba'asyir dengan cara mengumbar serangkaian fitnah keji, entah benar keluar dari mulutnya atau mulutnya hanya "dicatut" mengumbar fitnah keji itu. Sungguh tidak bisa dimengerti, kita tidak mengadili orang yang disangka melakukan kejahatan di negara kita, tetapi malahan dilepaskan kepada negara lain dalam hal ini Amerika Serikat.

"Keterangan" Omar Al Faruq itu oleh penyidik dijadikan bukti permulaan yang kemudian menjadi dasar menetapkan ustadz Abu Bakar Ba'asyir sebagai tersangka untuk kemudian ditangkap dan ditahan sampai sekarang. Tuduhan yang dipublikasikan secara luas itu, antara lain menyebutkan ustadz Abu Bakar Ba'asyir terlibat dalam pengeboman di sejumlah tempat di malam natal tahun 2000 dan lain-lain serta merencanakan pembunuhan terhadap Megawati.

Kedua tuduhan tadi oleh penyidik diformulasikan sebagai perbuatan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 48 UU No. 9 tahun 1992, pasal 1 ayat 1 (1) UU Drt.12 tahun 1951 jo 55 dan 56 KUHP, pasal 216 KUHP, pasal 104 KUHP, 110 KUHP, 170 KUHP, 187 ter 188 dan 406 KUHP jo 55 dan 56 KUHP. Pasal-pasal ini pula yang dipergunakan oleh penyidik untuk melakukan serangkaian tindakan sejak dari penangkapan, penahanan, perpanjangan penahanan, pemeriksaan saksi-saksi dan tersangka, dan lain-lainnya.

Yang menjadi pertanyaan adalah, "bukti permulaan yang cukup" serupa apakah yang telah dilakukan oleh ustadz Abu Bakar Ba'asyir sehingga penyidik merasa beralasan untuk menuduh, menangkap dan kemudian menahan beliau?
Mengikuti logika hukum dari pasal-pasal yang disangkakan di atas, seharusnya "bukti permulaan yang cukup" tersebut berupa: menyuruh atau menganjurkan orang mempersiapkan bahan-bahan peledak dengan tujuan untuk meledakkan tempat-tempat tertentu dan atau mempersiapkan rencana sedemikian rupa untuk melakukan pembunuhan terhadap Presiden Megawati Soekarnoputri.

Berkas Perkara yang dilimpahkan oleh penyidik kepada Kejaksaan, beberapa kali oleh pihak Kejaksaan telah dikembalikan, tentunya dengan permintaan untuk disempurnakan dan atau dilengkapi. Mampukah penyidik menghadirkan alat-alat bukti untuk mendukung sangkaannya bahwa benar ustadz Abu Bakar Ba'asyir cukup terbukti telah melakukan tindak pidana yang disangkakan? Pertanyaan selanjutnya, mampukah Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan berdasar berkas yang dilimpahkan oleh penyidik tersebut?

Jawaban atas pertanyaan ini adalah bahwa Kejaksaan sebagai institusi yang harus mempersiapkan dakwaan dan nantinya harus mampu mempertahankan dakwaannya di persidangan berdasar berkas perkara yang dibuat penyidik, ternyata tidak sanggup untuk mendasarkan dakwaannya berdasar pasal-pasal yang disangkakan penyidik kepolisian seperti telah kami uraikan di atas.

Apa yang kemudian terjadi? Sungguh aneh, sangkaan bahwa terdakwa telah melakukan dan atau menyuruh orang untuk melakukan peledakan dan rencana pembunuhan terhadap Megawati yang diformulasikan oleh Penyidik sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU Drt. No.12 tahun 1951 (tentang bahan peledak) dan pasal 104 KUHP (tentang rencana pembunuhan terhadap Presiden/Wakil Presiden) kemudian "lenyap menguap" entah kemana, padahal sangkaan ini telah terlanjur terpublikasi secara luas dan membentuk opini sampai ke manca negara.

Istilah apa yang paling tepat untuk mengatakan bahwa telah terjadi kesengajaan melakukan persangkaan yang tidak benar kepada sesesorang, apalagi kepada seorang Ustadz yang sangat dihormati?

Kata yang paling tepat menurut kami adalah fitnah. Tegasnya, ustadz Abu Bakar Ba'asyir telah difitnah melakukan perbuatan yang oleh penuduhnya sendiri ternyata tidak mampu dibuktikan. Dan fitnah, menurut logika Al-Qur'an adalah, "Alfitnatu assyaddu minal qatli", bahwa fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.

Padahal dengan dakwaan yang tidak bisa dibuktikan itu, ustadz Abu Bakar Ba'asyir yang sudah sepuh ini terlanjur ditangkap dan ditahan selama 120 (seratus dua puluh) hari. Dan yang paling memprihatinkan bagi kita adalah bahwa kedua sangkaan yang tidak dapat dibuktikan tadi, dengan enteng kemudian dirobah dan diganti dengan pasal lain, yaitu pasal 107 KUHP ayat (1) dan (2) sebagaimana yang telah kita dengar pada saat Penuntut Umum membacakan Surat Dakwaan.

Setiap orang, bahkan yang tidak mengerti liku-liku hukum pun pasti mengetahui, bahwa terdapat perbedaan yang sangat substantif antara perbuatan "makar" untuk membunuh Presiden/Wakil Presiden dengan perbuatan "makar" untuk menggulingan pemerintahan yang sah. Atas dasar itulah kita memahami mengapa KUHP membedakan atau memisahkan kedua perbuatan itu ke dalam pasal-pasal tersendiri, meskipun kedua perbuatan itu sama-sama disebut "makar".
Dengan rasa pedih, di hadapan kenyataan ini, kita hanya bisa berkata, sekiranya tindakan semacam ini ditolelir maka sungguh menyedihkan nasib para pencari keadilan nantinya karena dengan enteng dan gampang dapat dipermainkan oleh aparat penegak hukum dengan mengatas namakan hukum.

Perubahan Pasal Tuduhan Bermotif Politik
Mengenai perobahan pasal tuduhan tersebut, harian Jawa Pos yang terbit tanggal 3 Maret 2003 dalam tajuknya berjudul "Janggal, dakwaan baru Ba'asyir" antara lain menulis:
"Berkas perkara pimpinan Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba'asyir akhirnya diserahkan pihak kepolislan kepada kejaksaan. Ini merupakan ending dari penyidikan yang berjalan lima bulan sejak dia ditangkap pada Oktober 2002 dengan tuduhan terlibat pengeboman sejumlah tempat dan tuduhan rencana pembunuhan terhadap Presiden Megawati.
Anehnya, ketika Berita Acara Pemeriksaan (BAP) itu diserahkan polisi Jumat lalu, dakwaan terhadap Ba'asyir berubah. Dia tidak lagi didakwa melakukan pengeboman dan rencana pembunuhan terhadap Presiden Megawati, tetapi didakwa makar.

Siapapun yang melek hukum akan mengatakan aneh bin janggal terjadinya perubahan dakwaan itu. Di mana pun kalau penyidikan polisi gagal atau tak cukup menemukan bukti untuk memperkuat dakwaan terhadap tersangka, maka yang bersangkutan harus dilepas. Bukan dakwaan diubah begitu saja. Sekalipun penyidik menemukan bukti atas dugaan perbuatan lain melawan hukum diluar dakwaan semula.

Selama ini yang senantiasa terjadi dalam proses hukum adalah jika terdakwa tidak cukup didukung bukti awal yang kuat, yang bersangkutan harus dilepas demi hukum. Perkara kemudian penyidik menemukan fakta tentang perbuatan lain melawan hukum yang mengakibatkan orang yang sama harus ditangkap, itu soal lain lagi.

Dengan kata lain perubahan dakwaan terhadap Ba'asyir diluar dakwaan semula tidak bisa dipaksakan. Karena itu BAP yang berisi dakwaan baru tidaklah sah.

Kalau demikian lantas apa motif penyidik memaksakan dakwaan baru tanpa terlebih dahulu Ba'asyir dilepas, ditangkap lagi dan dilakukan penyidikan baru? Orang akan mudah menjawab, motifnya adalah politik. Sejak awal, penangkapan Ba'asyir dengan dakwaan terlibat pengeboman dan rencana pembunuhan terhadap Preslden Megawati memang lemah di luar tendensi adanya motif politik.

Berbagai saksi dan bukti yang diajukan polisi patut diragukan karena tidak cukup mendukung dakwaan. Bahkan polisi hanya berkutat pada keterangan saksi-saksi tanpa disertai bukti yang memadai. Padahal, bukti jauh lebih penting daripada keterangan saksi untuk menjerat seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.

Lalu dimana letak motif politik itu? Tekanan International. Ba'asyir yang dinyatakan sebagai pimpinan Jamaah Islamiyah terlanjur menjadi opini dan agenda politik masyarakat international bahwa yang bersangkutan terlibat aksi-aksi terorisme.
Karena itu, penangkapan Ba'asyir menjadi terbalik atau berlawanan dengan proses hukum, yakni ditangkap dulu baru dicarikan atau dipaksakan dicari bukti agar yang bersangkutan bisa ditahan. Padahal, seharusnya penangkapan seseorang yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum dicari bukti permulaan yang kuat, setelah itu tersangkanya ditangkap".

Harian Republika dalam tajuknya tertanggal 25 Maret 2003 di bawah judul "Tegakan Hukum demi Hukum" antara lain mengingatkan: "� bahkan proses penangkapan, penahanan, dan penyidikannya pun telah tercium aroma 'pesanan'� Ba'asyir misalnya, ketika ditangkap dan kemudian ditahan pada Oktober 2002, polisi mengenakan tuduhan berencana membunuh Presiden Megawati. Namun saat menyerahkannya kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, tuduhan itu telah berubah menjadi rencana makar menggulingkan pemerintahan yang sah dan melanggar keimigrasian."

Tajuk itu ditutup dengan pengharapan yang ditujukan kepada Majelis Hakim, sebagai berikut: "Hukum harus ditegakkan demi hukum. Bukan karena pesanan, rekayasa atau tekanan (intervensi), dari manapun datangnya. Kalau tidak Indonesia tidak usah dinamakan negara hukum."

Tempo dalam terbitannya tanggal 3 Nopember 2002 menulis: "Kata Direktur Pidana Umum Markas Besar Kepolisian RI, Brigjen Aryanto Sutadi, Ba'asyir ditetapkan sebagai tersangka karena diduga pernah berencana membunuh Presiden Megawati, bersekongkol melakukan berbagai peledakan -antara lain kasus Bom Natal 2001, tindak perusakan, dan pelanggaran keimigrasian, keluar-masuk wilayah RI tanpa dokumen resmi saat dikejar-kejar rezim Soeharto dahulu. Tertera dalam surat penahanannya, polisi mendakwa Ba'asyir secara berlapis melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api dan bahan peledak. Pasal-pasal Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang (Perpu) Anti Terorisme belum dicantumkan. Ini bukan cerita karangan, ada bukti dan saksi ujar juru bicara Mabes Polri Kombes (Komisaris Besar) Prasetyo.

Tapi bukti yang manakah itu? Sayang, polisi masih bungkam. Yang baru jelas bakal digunakan paling keterangan Umar Al-Faruq, warga Kuwait yang diyakini CIA sebagai pemimpin Al-Qaidah Asia Tenggara yang ditangkap di Cijeruk, Bogor 5 Juni silam dan diserahkan ke intelejen Amerika Serikat. Faruq sempat membuat dunia terpukau setelah dikabarkan majalah Time bersaksi di depan para penyidlk CIA bahwa ia pernah berencana membunuh Megawati dan terlibat sejumlah peledakan bom di negeri ini. Dan yang istimewa semua rencana jahat itu, konon, diakuinya dilakukan atas setahu dan dengan bantuan Ba'asyir."

Masih banyak keanehan, keganjilan dan ketidaklaziman yang muncul selama proses pemeriksaan perkara ini.
Begitu bersemangatnya pihak penyidik dalam mengusut kasus ustadz Abu Bakar Ba'asyir, dapat ditengarai dengan adanya usaha pihak Kepolisian yang jauh-jauh hari telah mengurus izin dari Pemerintah Malaysia dan Singapura agar nantinya dalam persidangan perkara ustadz Abu Bakar Ba'asyir dapat didengar kesaksian dari mereka-mereka yang saat ini berada dalam status tahanan Pemerintah Malaysia dan Singapura, yang menurut Mabes Polri, akan dilakukan dengan cara "teleconference' dari tempat tahanan kedua Negara tersebut (Media Indonesia, 25 Januari 2003).
Kita tentunya sudah sangat memahami bahwa begitu berkas perkara telah dilimpahkan oleh Kepolisian ke Kejaksaan dan kemudian diteruskan ke Pengadilan, pihak Kepolisian sudah tidak lagi berwenang mencampuri jalannya proses pengadilan, kecuali menjaga keamanan.

Kewenangan untuk menentukan cara pemeriksaan saksi dimuka pengadilan sepenuhnya menjadi wewenang Majelis Hakim dengan Kejaksaan sebagai pelaksananya.

Yang lebih menarik lagi adalah ketika kita meneliti daftar calon-calon saksi yang terdapat dalam BAP, dari 42 (empat puluh dua) orang saksi yang akan didengar keterangannya dalam persidangan, 21 (dua puluh satu) orang di antaranya telah disumpah lebih dahulu. Artinya, jauh-jauh hari pihak penyidik telah bersiap untuk tidak menghadapkan dan atau bersiap-siap jika saksi-saksi tersebut dengan alasan apapun berhalangan untuk dihadirkan, sehingga dengan alasan itu, keterangan saksi-saksi itu nantinya oleh Penuntut Umum cuma akan dibacakan saja.

Berarti pengadilan akan dipaksa mendengar kesaksian tertulis yang dibacakan, tanpa mempunyai kesempatan untuk menggali dan menguji kebenaran dari kesaksian tertulis tersebut dalam persidangan yang terbuka ini, tanpa memberi kesempatan kepada Majelis Hakim, Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum dan Terdakwa melakukan "cross-examination" terhadap para saksi yang tidak dihadirkan tersebut. Padahal, ustadz Abu Bakar Ba'asyir yang sekarang duduk sebagai terdakwa dihadapan Majelis nasibnya antara lain akan ditentukan berdasar keterangan para saksi itu.

Dalam surat Dakwaan, Penuntut Umum juga menyinggung adanya perbuatan ustadz Abu Bakar Ba'asyir yang dikatakan sebagai menghindar dari pelaksanaan putusan MA RI No. 743/K/Pid/1982 yang telah menghukum Terdakwa dengan hukuman 9 tahun penjara.

Apakah tindak pidana yang telah didakwakan terhadap ustadz Abu Bakar Ba'asyir dalam perkara tersebut sehingga Penuntut Umum merasa perlu dan merasa berkepentingan untuk mengungkapkan kembali dalam surat dakwaannya? Seharusnya Penuntut Umum tidak usah "malu-malu" untuk menyebutkan bahwa dakwaan pokok terhadap ustadz Abu Bakar Ba'asyir dalam perkara tersebut adalah mengenai tindakan yang diancam dengan UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi ("UU Subversi"), yang mana telah kita ketahui bersama UU ini kini telah dicabut.
Tapi Penuntut Umum barangkali lupa (atau pura-pura lupa) bahwa Presiden RI yang memiliki hak Prerogatif telah memberikan Amnesti kepada ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Hal itu berarti bahwa perbuatan yang dahulu dilakukan ustadz Abu Bakar Ba'asyir yakni menentang kebijakan rezim Orde Baru Era Soeharto sehingga dituntut, diadili dan dihukum berdasarkan UU Subversi, sekarang telah dihapuskan dengan diberikan Amnesti dan karena itu pula tidak merupakan masalah lagi. Maka oleh karena itu pula amat tidak relevan untuk mengkaitkan perbuatan ustadz Abu Bakar Ba'asyir yang telah diberi Amnesti tersebut dengan perkara sekarang ini.

Perlu dipahami bahwa Amnesti adalah suatu pengampunan umum yang diberikan oleh Kepala Negara kepada satu kelompok atau grup orang-orang, khusus dalam perkara-perkara politik. Berbeda dengan pengampunan biasa, Amnesti diberikan terhadap tindak pidana (crimes) yang melawan kekuasaan Negara atau pemerintah seperti perkara-perkara politik dengan pertimbangan bahwa pemaafan dianggap lebih menguntungkan masyarakat daripada penuntutan penghukuman (lihat Blacks Law's Dictionaries, 7th Edition).

Dengan diberikannya Amnesti berarti masalahnya telah selesai. Begitu pula segala perbuatan-perbuatan ustadz Abu Bakar Ba'asyir lainnya seperti perbuatannya melarikan diri ke Malaysia, upayanya untuk masuk kembali lagi ke Indonesia tanpa dokumen Imigrasi serta upaya mendapatkan KTP WNI yang baru, kesemuanya itu berhubungan atau berkaitan dengan perbuatan ustadz Abu Bakar Ba'asyir yang telah diberikan Amnesti, sehingga sebagai konsekuensi yuridis harus pula dianggap selesai. Apalagi jika diingat bahwa delik atau norma hukum pidana tentang Subversi untuk mana ustadz Abu Bakar Ba'asyir dihukum, sudah dihapuskan pula.

Maka menjadi pertanyaan, mengapa dan dengan maksud apa Penuntut Umum masih saja mengungkit-ungkit peristiwa tersebut? Apakah Penuntut Umum masih mimpi atau memimpikan kembalinya UU no. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi agar dapat digunakan lagi untuk membungkam orang-orang yang dianggap berseberangan dengan Pemerintah?

Gencarnya Tekanan Internasional
Di atas sudah diuraikan bahwa perbuatan materiil yang semula dituduhkan oleh pihak Kepolisian, yaitu melakukan berbagai peledakan bom di malam Natal 2001 dan merencanakan Pembunuhan terhadap Wakil Presiden Megawati, ternyata sekarang telah diubah dengan dakwaan baru yakni melakukan Makar atau menggulingkan pemerintahan yang sah.
Tentu timbul pertanyaan kenapa perlu diubah? Jawabannya hanya satu yakni karena dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup untuk menuntut ustadz Abu Bakar Ba'asyir ke muka Pengadilan. Jika demikian halnya, mengapa penyidik kepolisian tidak menerbitkan saja Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan dasar "tidak terdapat cukup bukti" seperti diatur dalam pasal 109 ayat (2) KUHAP.

Untuk menjawab pertanyaan ini kami perlu mengutip kembali Harian Jawa Post yang sudah disebut di atas: "Lalu, di mana letak motif politik itu? Tekanan Internasional. Ba'asyir yang dinyatakan sebagai pimpinan JI terlanjur menjadi opini dan agenda politik masyarakat Internasional bahwa yang bersangkutan terlibat aksi-aksi terorisme."

Memang benar, ada tekanan internasional. Ustadz Abu Bakar Ba'asyir sudah terlanjur dianggap oleh opini publik internasional sebagai pimpinan Jamaah Islamiyah dan terlibat aksi-aksi teroris. Ini semua adalah produk dari semua berita-berita di media massa maupun elektronik yang memuat berbagai peryataan dari para pejabat pemerintah asing seperti antara lain Senior Minister Lee Kuan Yew maupun pejabat-pejabat di negara kita sendiri.

Akibatnya, ustadz Abu Bakar Ba'asyir haruslah terus ditahan bahkan dituntut ke muka pengadilan, dan jangan-jangan harus pula dihukum demi kepentingan "tekanan Internasional" tersebut. Dan untuk keperluan itulah perlu dicarikan atau dicari-cari dakwaan lain sebab tuduhan awal (peledakan bom di malam Natal 2001 dan rencana pembunuhan Wapres Megawati) sudah tidak ada buktinya. Dakwaan baru ini adalah "Makar" yaitu suatu perbuatan (delik) yang lebih luas perumusannya sehingga tidak perlu membuktikan lagi secara kongkrit dan jelas perbuatan peledakan bom dan rencana pembunuhan terhadap Wapres Megawati.

Dengan dakwaan baru Makar yang lebih luas ini maka segala sikap dan perbuatan ustadz Abu Bakar Ba'asyir dapat dirangkai-rangkaikan, bahkan juga dirangkaikan dengan perbuatan-perbuatan orang-orang lain yang sekalipun terlepas, namun dikait-kaitkan satu sama lainya seolah-olah merupakan suatu rangkaian perbuatan yang dinamakan Makar. Hal ini tidak ada bedanya seperti tradisi di jaman rezim otoriter dan represif Orde Baru era Soeharto yang mudah sekali menuduh dan mendakwa lawan-lawan politiknya dengan dakwaan Subversi.

Cara merumuskan dakwaan Subversi di zaman Orde Baru era Soeharto ini sekarang ternyata dilanjutkan oleh pihak Penuntut Umum dengan dakwaan makar terhadap ustadz Abu Bakar Ba'asyir, dan ini tidak ubahnya seperti suatu cerita atau gambar mozaik yang indah di dinding. Dia berkeping-keping, terlepas dan berlain-lainan satu sama lainya. begitu juga warnanya berlain-lainan, namun bila ditempel-tempel dan dikaitkan satu sama lainnya sesuai dengan skenario atau khayalan (imajinasi) si Pelukis, maka hasilnya adalah suatu gambar mozaik yang indah. Begitulah dakwaan terhadap ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Sikap dan tindakannya dahulu sejak 1993 sampai dengan 2001, berarti tidak kurang dari delapan 8 (delapan) tahun lamanya, didakwa mendirikan Jamaah Islamiah lalu dikait-kaitkan dengan larinya ustadz Abu Bakar Ba'asyir ke Malaysia pada tahun 1985 (berarti mundur 8 tahun kebelakang, sic) dan banyak lagi perbuatan- perbuatan orang lain di dalam maupun di luar negeri seperti pelatihan militer di Filipina, peledakan bom di Batam, peledakan bom di malam Natal 2001, Rencana pembunuhan Wapres Megawati, yang dinamakan makar untuk menggulingkan pemerintah yang sah.

Cara merumuskan dakwaan yang merangkai-rangkaikan berbagai perbuatan dengan orang-orang yang berbeda-beda menjadi satu dakwaan indah bagaikan gambar mozaik itu, yang dahulu menjadi tradisi di zaman Orde Baru era Soeharto dan sekarang ternyata masih dilanjutkan oleh pihak Penuntut Umum, menunjukan kepada kita semua bahwa mentalitas dan paradigma berfikir rezim Orde Baru era Soeharto masih melekat pada pihak Penyidik maupun Penuntut Umum di Negara kita. Bagi mereka yang penting rupanya bukanlah mencari dan menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan hukum sesuai aspirasi kemerdekaan bangsa yang menginginkan tegaknya Negara hukum yang demokratis, melainkan menghukum dan mengeliminir lawan-lawan politik atau siapa saja yang dianggap "berbahaya" tidak terkecuali ustadz Abu Bakar Ba'asyir, demi pesan sponsor dari atas.

Betapa perkara ini memang amat sangat dipaksakan untuk disidangkan karena tekanan Internasional. Sulit dihilangkan kesan bahwa Penuntut Umum berusaha mengalihkan beban berat yang ada di pundaknya kepada Majelis Hakim. Pertanyaan yang senantiasa menggoda: Haruskah kita senantiasa tunduk pada tekanan Internasional dan mengorbankan kedaulatan Negara kita, mengorbankan pula kedaulatan Hukum dan peradilan kita? Haruskah kita selalu menutup mata dan hati nurani kita terhadap tuntutan rasa keadilan yang hidup di masyarakat? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar