Selasa, 22 Maret 2011

Keutamaan Ali As Sebagai Pengganti Rasulullah>>> Khutbah Rasulullah SAW di Gahdir Khumm >>> Sahabat dan saksi adanya Khotbah Ghadir Khum>>>dan Renungan akan makna dari Konsep Penyelamatan Kebenaran Al Qur'an sebagai sumber Kebenaran...dan Konsep Persatuan Umat......dan Penafsiran berdasarkan Keilmuan yang terpercaya...dan dipersiapkan rasulullah SAW...yang diatur Rasulullah SAW dalam melaksanakan tugas ke Rasulannya demi tegaknya Kebenaran Allah SWT yang lurus dan bersih dan bening..... Demi Kejayaan Islam dan Umat Islam....dan kemaslahatan Kemanusiaan dalam menegakkan Kebenaran dan Keadilan yang komprehensif dan bagi Kesejahteraan Kemanusiaan Semesta......Sayangnya....sejarah berkata lain.... menjelang dan pasca meninggalnya Rasulullah SAW ...sehingga .. terjadilah... berbagai tafsir Kebenaran....[yang dilakukan para Sahabat2 terdahulu] .....yang lepas dari simpulnya Kebenaran yang telah ditetapkan dan diarahkan Rasulullah SAW...tersebut....>>> yang akhirnya memecah belah umat Islam...dan timbulnya berbagai aliran dan madzhab....yang menjadi konsep Pembenaran...yang semakin jauh dari simpul Kebenaran yang berdasarkan Keilmuan Kebenaran Islam... yaitu Penafsir Kebenaran Al Qur'an yang Benar2 berdasarkan arahan rasulullah SAW...sebagai Nur Islam.....yang murni... Semoga saja Allah tetap melimpahkan rahmat dan hidayah kepada kita... dan tetaplah kita dalam jalan yang lurus dan dalam ridho dan rahmat Allah SWT... Amin...>>> Seyogianya kita umat Islam yang datang kemudian... menggali kembali sejarah.. dengan mencari ilmunya Islam...hakikinya Islam......Apinya islam... Persatuan Islam..dan msulimin... serta membangun kejayaan Islam.. yang membawa tugas rahmatan lil'alamien... Hentikan perpecahan.. bangunlah dan kuatkanlah silaturahim dan persaudaraan... serta solidaritas umat Islam...seutuhnya....dan memperdalam ilmu Islam dengan niat menunutun kepada hakikinya Islam... Semoga kita mendapatkan hidayah Allah dan Nur Islam yang berlimpah... Amin...


Keutamaan Ali As Sebagai Pengganti Rasulullah

Posted on by syiahali  http://syiahali.wordpress.com/2010/06/06/keutamaan-ali-as-sebagai-pengganti-rasulullah/
Afdaliyyah (keutamaan) dalam Islam berarti “kelayakan untuk mendapatkan ganjaran yang lebih dari Allah Swt karena amal saleh”.
Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa superioritas ini tidak dapat diputuskan oleh pandangannya sendiri atau perspektifnya sendiri dan tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya kecuali melalui al-Qur’an dan Hadits. Al-Gazali, ulama sunni yang terkenal, telah menulis:
“Hakikat superioritas (afdaliyyah) adalah apa yang ada di hadapan Allah Swt; dan sesuatu yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Nabi Saw.”[1]
Kebanyakan saudara-saudara Sunni kita percaya bahwa keutamaan itu sesuai dengan kalifah yang berurutan seperti ini, Abu Bakar, lalu ‘Umar, kemudian ‘Utsmân dan seterusnya ‘Ali As.
Akan tetapi keyakinan ini tidak memiliki bukti sama sekali, juga tidak menjadi keyakinan orang-orang Sunni pada masa-masa awal. Selama masa hidup Nabi  Saw, kita temukan sahabat-sahabat utama seperti Salmân al-Faris, Abu Dzar al-Ghifari, Migdâd al-Kindi, ‘Ammâr bin Yasir, Khabbab bin al-Artt, Jabir bin ‘Abdullah al-Ansari, Hudzaifah bin Yamani, Abu Said al-Khudri, Zaid bin Arqâm, dan banyak lagi yang lain yang meyakini bahwa ‘Ali As adalah lebih utama di antara seluruh Ahl al-Bait dan para sahabat.[2]
Ahmad bin Hanbal pernah sekali waktu ditanya oleh anaknya tentang pandangannya mengenai siapa yang lebih superioritas. Ia berkata: “Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsmân”. Dan anaknya bertanya lagi: “Dan bagaimana dengan ‘Ali bin Abi Tâlib?” Ia menjawab: “Ia dari Ahl al-Bait. Ia tidak dapat dibandingkan dengan yang lain.”[3]
Ubaidullah Amristari menulis dalam bukunya yang populer Arjahul Matâlib: “Karena keutamaan bermakna: memiliki lebih banyak ganjaran; buktinya hanya dapat diketahui melalui hadits (Sunnah) Nabi Saw….dan jika terdapat hadits-hadits yang saling bertentangan satu-sama lainnya, maka hadits yang sahih harus diterima dan hadits yang kuat harus dibedakan dengan hadits yang lemah.”
“Al-Allamah ibn ‘Abdil Barr menulis dalam kitabnya al-Isti’âb[4] ihwal ahadits (plural dari hadits) yang telah dinukil tentang keutamaan Amirul Mukminin  ‘Ali As, bahwa: Imam Ahmad bin Hanbal, al-Qadi Ismâ’il ibn Ishâq, Imam Ahmad ‘Ali bin Su’aib an-Nasa’i dan al-Hafiz Abu ‘Ali an-Naisapuri,[5] telah berkata: ” Tidak ada hadits yang datang dengan mata rantai hadits (sanad) yang baik tentang keutamaan para sahabat melebihi riwayat yang menukil keutamaan ‘Ali bin Abi Tâlib As”.
Oleh karena itu, jika kita melihat keutamaan eksklusif Amirul Mukminin ‘Ali dan berpikir tentang alasan yang menyebabkan ia dapat meraih sedemikian tinggi ganjaran di hadapan Allah Swt, kita akan mengakui bahwa hanya dialah yang memiliki keutamaan setelah Nabi Saw.[6]
Penulis dahulu adalah seorang Sunni; dan ia telah membahas masalah ini secara lebih jeluk pada bagian ketiga, halaman 103-516, tentang buku yang dimaksud di atas.
Jelasnya, saya tidak dapat menyediakan di sini daftar ayat-ayat dan hadits-hadits mengenai keutamaan ‘Ali As. Akan memadai untuk berkata bahwa ada 86 ayat-ayat al-Qur’an yang memuji keutamaan ‘Ali As dan hadits-hadits tentang keutamaannya tidak dapat dihitung.
Lalu, harusnya lebih jelas bahkan bagi seorang pengamat amatir bahwa ‘Ali adalah insan yang paling utama di antara seluruh kaum muslimin selepas Nabi Saw.
Pengangkatan ‘Ali
Selepas memberikan catatan singkat tentang ismah dan afdaliyyah ‘Ali bin Abi Talib As, kini tiba saatnya pertanyaan terpenting ihwal pengangkatannya oleh Allah Swt.
Dalam beberapa kesempatan, Nabi Saw telah mendeklarasikan bahwa ‘Ali adalah pengganti dan khalifah setelah beliau.
Hakikatnya bahwa deklarasi terbuka yang pertama kali dari kenabian dilakukan dalam berbagai kesempatan ketika deklarasi terbuka yang perdana ihwal kekhalifaan ‘Ali dibuat. Tepatnya pada waktu “Da’wah Dzu l ‘Asyira”
Ketika ayat: (Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat) diturunkan, Nabi Saw memerintahkan ‘Ali As untuk menyediakan makanan dan mengundang anak-keturunan ‘Abdul Muttâlib (Bani Abdul Muttâlib) sehingga Nabi dapat menyampaikan firman Allah Swt kepada mereka. Selepas acara tersebut, Nabi Saw bermaksud untuk berbicara kepada mereka, akan tetapi Abu Lahab mencegahnya dengan berkata: “Sesungguhnya, saudaramu ini telah lama memperdayakanmu!”.
Orang-orang yang hadir ketika itu setelah mendengar ucapan Abu Lahab ini, membubarkan diri.
Pada hari berikutnya, Rasulullah Saw kemudian mengundang mereka lagi pada hari berikutnya. Setelah perjamuan, beliau bersabda kepada mereka: “Wahai Bani ‘Abdul Muttalib, Demi Allah, Aku tidak kenal seorang pun dari bangsa Arab yang datang kepada umatnya lebih baik dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa sesuatu untuk kebaikan kalian baik di dunia maupun di akhirat. Aku telah diperintahkan oleh Allah Swt untuk mengajak kalian kepada-Nya. Oleh karena itu, siapa di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusan ini sehingga ia akan menjadi saudaraku (akhi), pelaksana wasiatku (wasiyyi) dan khalifah sepeninggalku?”
Panggilan ini adalah panggilan pertama ketika Rasulullah Saw berdakwah secara terbuka kepada mereka dalam hubungannya untuk menerima beliau sebagai utusan dan Rasul Allah Swt; beliau juga menggunakan kalimat: “akhi wa wasiyyi wa khalifati” – “saudaraku, pelaksana wasiatku, khalifahku” – dengan alasan bahwa dialah yang akan membantunya dalam menunaikan misi Rasulullah Saw. Ketika itu mereka semua diam dan tidak menjawab seruan Nabi serta mundur teratur menghadapi seruan ini, kecuali seorang yang paling muda di antara mereka yaitu ‘Ali bin Abi Talib. ‘Ali bin Abi Talib berdiri dan berkata: “Aku bersedia menjadi penolongmu, wahai Rasulullah.”
Nabi Saw kemudian menaruh tangannya di balik leher ‘Ali dan berkata:  “Inna hadza akhii wa wasiyyi wa khalifati fikum, fasma’u lahu wa ati’u – Sesungguhnya dia ini adalah saudaraku, penggantiku dan khalifahku di antara kalian; dengarkan dan taatilah dia -.”[7]
Ayat Wilayah
Selain itu, pada banyak kesempatan, banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengingatkan kaum musliminin bahwa ‘Ali adalah wali mereka setelah Nabi Saw. Salah satu ayat yang paling penting berkenaan dengan wilayah Imam ‘Ali adalah, “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat, dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam keadaan ruku’.” (Qs. al-Maidah:55)
Para ulama, baik Sunni atau Syi’ah, sepakat bahwa ayat ini diturunkan sebagai penghormatan keapda Imam ‘Ali. Ayat ini secara gamblang menunjukkan bahwa hanya ada tiga wali bagi kaum mukmin. Pertama, Allah Swt, kedua, Rasul-Nya, ketiga, ‘Ali (dan sebelas Imam setelahnya).
Abu Dzar al-Ghifari berkata bahwa suatu hari ia sedang melaksanakan salat bersama Rasulullah Saw ketika seorang pengemis datang ke Masjid Nabi. Tidak ada seorang pun yang memenuhi permintaanya. Pengemis itu menengadahkan tangannya ke arah langit dan berkata: “Ya Allah, Engkau sebagai saksi, aku datang ke Masjid Nabi dan tidak seorang pun yang memberikan sesuatu kepadaku”. ‘Ali yang sedang ruku’ ketika itu, menunjukkan jari manisnya yang dilingkari cincin kepada pengemis itu. Pengemis itu datang mendekat dan mengambil cincin itu, kemudian pergi. Kejadian ini terjadi di hadapan Nabi yang menengadahkan wajahnya ke langit dan berdoa:
“Tuhanku, saudaraku Musa telah memohon kepada-Mu untuk dilapangkan dadanya (sadr) dan membuat pekerjaannya menjadi mudah, menghilangkan kelunya lidah sehingga orang dapat memahami perkataanya, lalu Engkau menunjuk seorang saudara dari kerabatnya, sebagai wasir, dan menguatkan punggungnya dengan kehadiran Harun, dan menjadikan Harun sebagai mitra kerjanya. Tuhanku! Engkau berkata kepada Musa, Kami akan menguatkan tanganmu dengan saudaramu. Tidak seorang pun yang kini dapat berhubungan dengan kalian berdua….Tuhanku! Aku adalah Muhammad dan Engkau telah memberikanku keutamaan, Lapangkan dadaku, jadikan pekerjaan mudah bagiku, dan dari kerabatku, tunjuk ‘Ali sebagai wasirku. Kuatkan punggungku dengannya.” Belum lagi Rasulullah Saw menyelesaikan doanya, Jibril As datang membawa ayat yang disebutkan di atas.[8]
Di sini bukan tempatnya untuk menyebutkan seluruh sumber rujukan dari hadits ini (hadits ini berjumlah ratusan). Ayat ini dan doa Rasulullah Saw secara bersamaan dan terpisah menunjukkan pengangkatan ‘Ali sebagai Wali kaum musliminin selepas Rasulullah Saw.
Deklarasi Resmi Ghadir Khum
Seluruh deklarasi-deklarasi yang dinyatakan sebelumnya dapat diklasifikasikan sebagai pendahuluan dari deklarasi resmi Ghadir Khum.
Peristiwa ini telah disepakati oleh para sejarawan dan ulama dari dua madzhab. Di sini kami akan menunjukkan betapa persiapan dan preparasi besar dibuat untuk mendeklarasikan ‘Ali sebagai pengganti Nabi Saw.
Ghadir Khum (Telaga Khum) terletak di sebuah tempat bernama Jufah, tepatnya berada di antara kota Mekkah dan Medinah. Ketika Nabi Saw dalam perjalanan ke pulang, selepas menunaikan ibadah haji terakhir, malaikat Jibril datang membawa perintah penting Allah Swt, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia…” (Qs. al-Maidah:67)
Nabi Saw segera berhenti dan memerintahkan seluruh orang-orang yang telah berada di depan untuk kembali, dan beliau menantikan hingga orang itu berkumpul. Setelah orang-orang berkumpul, sebuah mimbar didirikan dengan meletakkan pelana unta sebagai bantalannya; duri-duri akasia telah disapu. Nabi Saw menaiki mimbar dan menyampaikan khutbah yang panjang.
Hari itu adalah hari yang amat terik; orang-orang yang hadir terpaksa harus menarik jubah-jubah mereka dari kepala hingga kaki.
Nabi Saw menyampaikan khutbah penting beliau kepada umat sebagai berikut:
“Ayyuhannas!” Ketauhilah bahwa Jibril telah datang kepadaku berulang kali membawa perintah-perintah dari Allah Swt, Sang Maha Kasih, bahwa aku harus berhenti di tempat ini dan memberitahukan kepada setiap orang, hitam dan putih, bahwa ‘Ali, putra Abi Talib, adalah saudaraku dan wasi (pengganti) dan khalifah, dan imam setelahku. Kedudukannya bagiku laksana Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku, dan ia adalah wali kalian di sisi Allah dan Nabi-Nya.
Ayyuhannas! Sesungguhnya Allah telah menunjuk ‘Ali sebagai Imam dan Amir kalian. Ketaatan kepadanya adalah wajib bagi seluruh kaum Muhajirin dan Ansar, dan mereka yang mengikutinya dengan baik; dan para penghuni kota dan kaum Badui, bangsa Arab dan ‘Ajam, seorang merdeka dan budak sahaya, orang tua dan muda, besar dan kecil, hitam dan putih. Perintahnya harus ditaati, perkataannya harus dibinding, dan dusturnya bersifat wajib bagi seluruh kaum Mukminin yang meyakini ke-Esaan Tuhan. Laknat bagi mereka yang menentangnya dan rahmat bagi mereka yang mengikutinya, dan meyakininya adalah seorang Mukmin sejati.
“Ayyuhannas!” Sekarang adalah saat-saat terakhir aku berdiri pada perhelatan ini. Oleh karena itu, dengarkan, taati dan berserahlah kepada ketentuan Tuhanmu.
Sesungguhnya,  Allah adalah Rabb dan Tuhanmu; kemudian setelah-Nya, Nabi-Nya, Muhammad, yang berkhutbah di hadapan kalian adalah mawlamu; kemudian setelahku, ‘Ali adalah mawla kalian, sesuai dengan ketentuan Allah Swt. Kemudian setelah dia, Imamah akan terus berlanjut melalui anak-keturunanku lewat keturunan ‘Ali hingga hari kalian bertemu Allah dan Nabi-Nya.
“Ayyuhannas!” Renungkanlah al-Qur’an dan pahami ayat-ayatnya; renungkan ayat-ayat muhkamnya dan jangan kalian melangkah ke ayat-ayat mutasyabih, tidak ada satu pun dari kalian yang dapat menjelaskan peringatannya dan menguraikan kepadamu maksudnya kecuali orang ini (‘Ali) yang tangannya aku angkat dihadapanku. Dan Aku berkata kepada kalian bahwa barang siapa yang menjadikan aku sebagai Mawlanya maka ‘Ali adalah Mawlanya; dan dia ‘Ali putra Abu Talib, saudaraku, wasiku; Wilayahnya telah diwajibkan oleh Allah, Sang Maha Kuasa, Maha Tinggi.

Para Imam yang lain secara singkat telah ditunjuk dalam khutbah ini. Dan mereka disebutkan secara panjang lebar dalam hadits-hadits yang lain.
Misalnya, pada satu kesempatan ditujukan kepada Imam Husain, Rasulullah Saw berkata: “Engkau adalah Imam, anak dari seorang Imam, saudara seorang Imam, sembilan dari keturunanmu akan menjadi Imam, yang kesembilan adalah Qaim mereka.”[9]
Bahkan seoarang pengamat sambil lalu tidak akan mengabaikan kenyataan ini, masalah ini adalah masalah yang amat-sangat penting bagi Islam dan atas hal ini mengapa Nabi Saw, di bawah perintah Tuhan, membuat seluruh persiapan untuk memenuhi tujuan ini. Menyampaikan kepada mereka pada hari yang sangat terik di bawah siraman matahari siang, beliau naik di atas mimbar untuk menyampaikan pengumuman penting ini.
Pertama-tama, beliau mengabarkan kepada hadirin akan kepergian beliau yang tidak lama lagi dan meminta mereka untuk menyaksikan bahwa beliau telah menjalankan tugas-tugasnya. Lalu beliau bertanya: “Apakah aku lebih memiliki wilayah atas diri kalian melebihi wilayah atas diri kalian sendiri?”. Seluruh hadirin berseru bahwa beliau memiliki hak atas diri mereka melebihi hak mereka atas diri mereka sendiri. Nabi Saw berkata: “Barang siapa yang menjadikan aku Mawla, maka ‘Ali adalah Mawlanya.” Pada akhir khutbah, beliau memanjatkan doa untuk  ’Ali, “Wahai Allah!” Cintailah orang yang mencintainya, dan musuhi orang yang bermusuhan dengannya; Bantulah orang yang menolongnya, dan tinggalkan orang yang meninggalkannya.”
Ketika acara pelantikan selesai, ayat ini diturunkan, “…Hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridai Islam itu jadi agama bagimu….”(Qs. al-Maidah:3)
Komunikasi Ilahi ini secara jelas menunjukkan bahwa karena penunjukan imamah ‘Ali, agama telah disempurnakan, rahmat dan anugerah Ilahi dilengkapkan, dan Islam diterima oleh Allah Swt.
Atas kedatangan berita gembira dari firdaus ini, kaum Mukminin menyampaikan ucapan selamat kepada ‘Ali di hadapan Nabi Saw dan banyak pujangga merangkai syair pada peristiwa bersejarah ini. Seluruh kenyataan ini tercatat dalam kitab-kitab sunnah sebagaimana akan terlihat pada halaman selanjutnya.

Hadits al-Ghadir adalah Hadits Mutawatir
Kutipan hadits-hadits di bawah ini (disadur dari kitab-kitab sahih Sunni) dari khutbah Nabi Saw yang disebutkan merupakan khutbah yang sangat penting:
“Kutinggalkan dua hal yang berharga kepada kalian, Kitabullâh dan Itrati, yang merupakan ahl al-Baitku. Mereka tidak akan pernah berpisah satu sama lain hingga mereka datang kepadaku di telaga Kautsar. Sesungguhnya Allah Swt adalah mawlaku dan aku adalah Mawla bagi kaum mukminin.”
Lalu beliau mengambil tangan ‘Ali dan berkata:
Barang siapa yang menjadikan aku sebagai Mawla, maka ‘Ali adalah Mawlanya.”
Dua hadits ini dianggap sebagai hadits Tsaqalain dan Wilâyah. Hadits-hadits ini secara terpisah dan bersamaan dinukil oleh ratusan ahli hadits.
Nawwab Siddiq Hasan Khan dari Bopal, berkata: “Al-Hakim Abu Sa’id berkata bahwa hadits “Tsaqalain” dan “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai Mawla, ‘Ali adalah Mawla-nya” adalah hadits mutawatir (diriwiyatkan secara bersambung oleh banyak orang sehingga tidak ada orang yang akan ragu akan keasliannnya), karena sejumlah besar sahabat Nabi Saw telah meriwayatkan dua hadits ini.
Sedemikian rupa sehingga Muhammad bin Jarir telah menulis dua hadits ini melalui tujuh puluh lima sanad yang berbeda; dan ia telah menulis sebuah buku yang terpisah yang ia beri nama Kitabul Wilayah; dan al-Hafiz al-Tahibi juga telah menulis sebuah kitab yang lengkap yang di dalamnya mengandung asnad (banyak sanad) dan telah mengeluarkan fatwa bahwa hadits ini adalah hadits mutawatir; dan Abul ‘Abbas bin Uqdah telah meriwayatkan hadits Ghadir Khum melalui seratus lima puluh mata rantai (sanad) dan telah menulis satu kitab lengkap tentangnya.”[10]
Ada beberapa penulis yang telah mencoba untuk melemparkan keraguan tentang keotentikan peristiwa Ghadir Khum ini.
Perlu disebutkan bahwa hadits ini adalah hadits mutawatir, dan almahrum Allamah al-Amini dalam volume pertama kitab monumentalnya al-Ghadir telah memberikan sumber-sumber rujukan dengan nama 110 sahabat ternama Nabi yang meriwayatkan hadits ini. Sebagai contoh, saya akan menghitung nama-nama yang diberikan dibawah hurup alif (hurup pertama Arab). (angka tahun dalam kurung menunjukkan tahun Hijriah)
  1. Abu Laila al-Ansari (37)
  2. Abu Zainab ibn ‘Auf al-Ansari
  3. Abu Fadlallah al-Ansari (38)
  4. Abu Qudamah al-Ansari
  5. Abu ‘Amrah bin ‘Amr bin Muhassin al-Ansari
  6. Abu Haitam bin at-Taihan (37)
  7. Abu Rafi’ al-Qibti (seorang budak Nabi)
  8. Abu Tuaib Khuawalid (atau Khalid) bin Khalid al-Hutali
  9. Usamah bin Zaid bin Haritsah (54)
  10. Ubai bin Ka’ab al-Ansari (30 atau 32)
  11. Asad bin Zurarah al-Ansari
  12. Asmaa bin Umays
  13. Ummu Salameh (salah seorang istri Nabi Saw)
  14. Ummu Hani bin Abi Talib
  15. Abu Hamzah Anas bin Malik al-Ansari
  16. Abu Bakar bin Abi Quhafah
  17. Abu Hurairah[11]
Dan tidak kurang dari 84 Tabi’in (murid-murid sahabat) yang meriwayatkan hadits dari sahabat-sahabat Nabi Saw di atas.
Lagi, senarai di bawah hurup A diberikan di sini sebagai contoh:
  1. Abu Rasyid al-Hubrani al-Sysyami
  2. Abu Saamah bin ‘Abdil Rahman bin Auf
  3. Abu Sulaiman al-Muattin
  4. Abu Salih as-Samman, Takwan al-Madani
  5. Abu ‘Unfawanh al-Mazشni
  6. Abu ‘Abdil Rahim al-Kindi
  7. Abul Qasim, Asbagh bin Nubatah at-Tamimi
  8. Abu Laila al-Kindi
  9. Iyas bin Nudair[12]
Para ahli hadits mencatat hadits ini dalam kitab-kitab mereka pada setiap kurun dan zaman. Sebagai contoh, nama-nama para penulis dan ulama mencatat dalam hadits ini pada abad ke dua Hijriah sebagai berikut:
  1. Abu Muhammad, ‘Amr bin Dinar al-Jumahi al-Makki (115)
  2. Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah al-Quraisyi az-Zuhri (124)
  3. Abdul Rahman bin Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar at-Taimi al-Madani (126)
  4. Bakr bin Sawadeh bin Tumami, Abu Tumami al-Basri (128)
  5. Abdullah bin Abi Najih, Yasar ats-Tsaqafi, Abu Yasar al-Makki (131)
  6. Al-Hafid Mughirah bin Mukasim, Abu Hisyam ad-Dabbi al-Kufi (133)
  7. Abu Abdul Rahim Khalid bin Zaid  al-Jumahi al-Mesri (139)
  8. Hasan bin Hakam an-Nakhai al-Kufi (circa 140)
  9. Idris bin Yazid, Abu Abdillah al-’Awdi al-Kufi
  10. Yahya bin Sa’id bin Hayyan at-Taimi al-Kufi
  11. Al-Hafid Abdul Malik bin Abi Sulaiman al-Arzami al-Kufi (148)
  12. ‘Auf bin Abi Jamilah al-’Abdi al-Hajeri al-Basri (146)
  13. ‘Ubaidillah bin ‘Umar bin Hafs bin ‘Asim bin ‘Umar ibnil Khattab al-’Adawi al-Madani (187)
  14. Nu’aim bin Hakim al-Madaini (148)
  15. Talha bin Yahya bin Talha bin ‘Ubadillah at-Taimi al-Kufi (148)
  16. Abu Muhammad Katsir bin Zaid al-Aslami (circa 150)
  17. Al-Hafid Muhammad bin Ishaq al-Madani (151 atau 152)
  18. Al-Hafiz Mua’mmar bin Rasyid, Abu ‘Urwa al-Azdi al-Basri (153 atau 154)
  19. Al-Hafiz Mis’ar bin Kidam bin Zahir al-Hilali ar-Rawasi al-Kufi (153 atau 154)
  20. Abu ‘Isa Hakam bin Aban al-’Adani (154 atau 155)
  21. Abdillah bin Syawtab al-Balkhi al-Basri (157)
  22. Al-Hafid Syu’bah bin al-Hajjaj, Abu Bistam al-Wasiti (160)
  23. Al-Hafid Abul Alaa, Kamil bin al-’Alaa  at-Tamimi al-Kufi (circa 160)
  24. Al-Hafid Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, Abu ‘Abdillah al-Kufi (161)
  25. Al-Hafid Israil bin Yunus bin Abi Ishaq as-Sabi’I Abu Yusuf al-Kufi (165)
  26. Ja’far bin Ziyad al-Kufi al-Ahmar (165 atau 167)
  27. Muslim bin Salim an-Nadi, Abu Farwah al-Kufi
  28. Al-Hafid Qais bin ar-Rabi’, Abu Muhammad al-Asadi al-Kufi (165)
  29. Al-Hafid Hammad bin Salamah, Abu Salamah al-Basri (167)
  30. Al-Hafid Abdillah bin Lahi’ah, Abu Abdir Rahman al-Misri (174)
  31. Al-Hafid Abu ‘Uwanah al-Waddha bin ‘Abdillah al-Yaskhuri al-Wasiti al-Bazzaz (175 atau 176)
  32. Al-Qadi Syarik bin Abdillah, Abu ‘Abdillah an-Nakhi al-Kufi (177)
  33. Al-Hafid Abdillah (atau ‘Ubaidillah) bin ‘Ubaidirrahman (atau ‘Abdul Rahman) al-Kufi, Abu Abdil Rahman al-Asyja’I (182)
  34. Nuh bin Qais, Abu Rawh al-Huddani al-Basri (183)
  35. Al-Muttalib bin Ziyad bin Abi Zuhair al-Kufi, Abu Talib (185)
  36. Al-Qadi Hassan bin Ibrahim al-’Anazi, Abu Hasyim (186)
  37. Al-Hafid Jarir bin Abdil Hamid, Abu ‘Abdillah adz-Dzabbi al-Kufi ar-Razi (188)
  38. Al-Fadl bin Musa, Abu ‘Abdillah al-Marwazi as-Sinani (192)
  39. Al-Hafid Muhammad bin Ja’far al-Madani al-Basri (193)
  40. Al-Hafid Isma’il bin ‘Uliyyah, Abu Bisyr bin Ibrahim al-Asadi (193)
  41. Al-Hafid Muhammad bin Ibrahim, Abu ‘Amr bin Abi ‘Adiyy as-Sulami al-Basri (194)
  42. Al-Hafid Muhammad bin Kazim, Abu Mu’awiyah at-Tamimi adz-Dzahir (195)
  43. Al-Hafid Muhammad bin Fudail, Abu ‘Abdil Rahman al-Kufi (195)
  44. Al-Hafid Al-Waki’ bin al-Jarrah ar-Ru’asi al-Kufi (196)
  45. Al-Hafid Sufyan bin ‘Uyainah, Abu Muhammad al-Hilali al-Kufi (198)
  46. Al-Hafid Abdillah bin Numair, Abu Hisyam al-Hamadani al-Kharifi (199)
  47. Al-Hafid Hanasy bin al-Harits bin Laqit an-Nakhi al-Kufi
  48. Abu Muhammad Musa bin Ya’qub az-Zamaii’ al-Madani
  49. Al-’Alaa bin Salim al-’Attar al-Kufi
  50. Al-Azraq bin ‘Ali bin Muslim bin Hanafi, Abul Jahm al-Kufi
  51. Hani bin Ayyub al-Hanafi al-Kufi
  52. Fudail bin Marzuq al-Agharr ar-Rua’si al-Kufi (circa 160)
  53. Abu Hamzah Sa’d bin ‘Ubaidah as-Sulami al-Kufi
  54. Musa bin Muslim al-Hizami asy-Syabani, Abu ‘Isa al-Kufi
  55. Ya’qub bin Ja’far bin Abi Katsir al-Ansari al-Madani
  56. Utsman bin Sa’ad bin Murrah al-Quraisyi, Abu ‘Abdillah (Abu ‘Ali) Al-Kufi.[13]
Kemudian, hadits ini berlanjut diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap zaman sehingga tergolong mutawatir.
Bersumber dari beberapa ulama dan penulis yang meriwayatkan hadits ini dalam kitab-kitab hadits mereka, cukup untuk disebutkan bahwa al-’Allamah al-Amini mencatat 360 nama-nama ulama pada abad ke-14.[14]
Beberapa orang telah mencoba untuk melemparkan keraguan akan asnad hadits ini. Karena setiap pelajar hadits tahu, jika sebuah hadits bersifat mutawatir, tidak perlu untuk melihat kepada asnad itu sendiri sama sekali.
Kemudian, untuk menunjukkan kepalsuan tuduhan ini, saya ingin memberikan pendapat-pendapat beberapa ahli hadits yang terkenal.
Sanad-sanad Hadits Al-Ghadir
  1. Al-Hafid Abu ‘Isa al-Tirmidzi (wafat 279 H) berkata dalam Sahih-nya (salah satu dari kitab Sahih al-Sittah) bahwa: “Hadits ini adalah termasuk hadits hasan dan sahih.”[15]
  2. Al-Hafid Abu Ja’far al-Tahawi (wafat 321 H) berkata dalam Musyikul Athar bahwa: “Hadits ini adalah termasuk hadits sahih sesuai dengan mata rantai periwayatnya (sanad) dan tidak ada satu orang pun yang berkata berseberangan dengan periwayatnya.”[16]
  3. Abu Abdillah al-Hakim al-Nisaburi (wafat 405 H.) meriwayatkan hadits ini berasal dari beberapa sanad dalam al-Mustadrak-nya dan menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits sahih.[17]
  4. Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad al-’Asemi berkata: Hadits ini diterima oleh umat dan dengan prinsip-prinsip.[18]
Demikian juga, para ahli hadits di bawah ini (kurang lebih seratus jumlahnya) telah mengutip bahwa hadits ini termasuk hadits sahih:
  1. Abu ‘Abdillah al-Mahmali al-Baghadadi dalam kitab al-’Amali-nya
  2. Ibn ‘Abdil Barr al-Qurtubi dalam kitab al-Istii’âb
  3. 3. Ibnil Maghazali al-Syafi’i dalam kitab al-Manâqib
  4. Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Sirrul ‘Alamain
  5. 5. Abul Faraj bin al-Jawzi dalam kitab al-Manâqib
  6. Sibt bin al-Jawzi dalam kitab Tadzkiratul Khawassil Ummah
  7. Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili dalam Syarh Nahjul Balâgha
  8. Abu Abdillah al-Ganji al-Syafi’i dalam Kifayatul Tâlib
  9. 9. Abul Makarim ‘Alaud Din al-Simnani dalam al-’Urwatul Wutsqa
  10. Ibn Hajar al-’Asqalani dalam Tahdzibul Tahdzib
  11. Ibn Kahir al-Damasyq dalam Târikh
  12. Jalaluddin as-Suyuti
  13. Al-Qastalani dalam al-Mawahibul Ladunniyyah
  14. Ibn Hajar al-Makki dalam al-Sawa’iqul al-Muhriqah
  15. Abdul Haqq al-Dehlawi dalam Syarhul Misyqat; dan banyak yang lain.[19]
Harus diperhatikan bahwa seluruh nama yang disebutkan di atas adalah para ulama Sunni; dan dalam madzhab Sunni, hadits yang disebut sahih bilamana hadits tersebut secara bersambung diriwayatkan oleh orang-orang adil yang memiliki hafalan yang kuat, tidak memiliki kekurangan, dan tidak bersifat syatt (tidak biasa).[20]
Jika keutamaan di atas ditemukan dalam asnad sebuah hadits namun hafalan satu atau lebih perawinya, derajatnya di bawah sahih, hadits ini disebut hadits hasan yaitu hadits yang baik.[21]
Jadi, ketika para ulama Sunni berkata bahwa perawi hadits memandang hadits al-Ghadir adalah hadits sahih, mereka bermaksud bahwa perawinya adalah orang adil, (mereka tidak memiliki kecacatan dalam amal dan akidah), dan hadits ini tidak memiliki kecacatan dan tidak syatt.
Pengertian Umum Mawla
Karena Ahli Sunnah tidak dapat mengingkari keaslian hadits al-Ghadir, mereka mencoba untuk mengecilkan signifikansinya bahwa kata “mawla” dalam hadits ini bermakna “sahabat”, dan bahwa Rasulullah Saw ingin menyampaikan, “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai sahabatnya, maka ‘Ali adalah sahabatnya.”
Masalahnya adalah bahwa bukan seorang yang hadir di Ghadir Khum yang menangkap makna yang dimaksud. Hassan bin Tsabit, pujangga terkenal Nabi Saw merangkai sebuah syair dan membacanya di hadapan hadirin ketika itu, ia berkata:
“Sehingga Dia (Nabi) berkata kepadanya (‘Ali): “Bangkitlah wahai ‘Ali! Karena aku senang menjadikan engkau sebagai Imam dan Hadi (Penunjuk Jalan) setelahku.”
‘Umar bin Khattab menyampaikan ucapan selamat kepada ‘Ali dengan kalimat seperti ini,
“Selamat kepadamu, wahai putra Abi Talib, karena hari ini engkau telah menjadi mawla bagi seluruh kaum Mukmin dan Mukminah.”[22]
Jika mawla berarti “sahabat” lalu mengapa ada ucapan selamat? Apakah ‘Ali adalah “musuh” seluruh kaum mukmin dan mukminah sebelum hari itu, sehingga ‘Umar berkata bahwa “karena pada hari ini, engkau telah menjadi sahabat bagi kaum Mukmin dan Mukminah?
Imam ‘Ali sendiri menulis surat kepada Mu’awiyah, “…dan Rasulullah Saw menganugerahkan wilayah kepadaku atas kalian pada hari Ghadir Khum.”[23]
Juga, terdapat banyak sahabat Nabi yang menggunakan kata “mawla” dalam syair-syair mereka berkenaan dengan al-Ghadir Khum dengan arti “Tuan”.
Tidak terbilang mufassir al-Quran, ahli tata-bahasa Arab menafsirkan kata “mawla” sebagai “awla” yang berarti “lebih berharga, lebih layak, lebih pantas, lebih patut…dan sebagainya.”
Senarai nama-nama ulama di bawah ini dapat dinukil bahwa mereka menafsirkan mawla sebagai awla.
  1. Ibn ‘Abbâs (dalam tafsirnya, pada al-Durrul Mantsur, vol. V, hal. 355)
  2. Al-Kalbi (sebagaimana dinukil dalam Tafsir ‘l al-Kabir Fakhruddin Râzi, vol. XXVI, hal. 227, al-Alusi, Ruhul Ma’ani, vol. XXVI, hal. 178).
  3. Al-Farra (al-Râzi, Ibid; al-Alusii, Ibid.)
  4. Abu ‘Ubaidah Mu’ammar ibn Mutsanna Al-Basri (Al-Râzi, Ibid; dan Asy-Syarif Al-Jurjani, Syarhul Mawafiq, vol III, hal. 271)
  5. Al-Akhfasy Al-Awsat (pada Nihayatul ‘Uqal)
  6. Al-Bukhari (pada Sahih, vol. VII, hal. 240)
  7. Ibn-Qutaibah (pada al-Qurtain, vol. II, hal. 164)
  8. Abul ‘Abbas Tâ’lab (pada Syarhul Sab’ah Al Mu’alliqah Al Zuzani)
  9. At-Tabari (pada Tafsir-nya, Vol. IX, hal. 117)
  10. Al-Wakhidi (pada al-Wasit)
  11. At-Ta’labi (pada al-Kasyf wal Bayan)
  12. Az-Zamakhsyari (pada al-Kasysyaf, vol. II, hal. 435)
  13. Al-Baidawi (dalam Tafsir-nya, vol. II, hal. 497)
  14. An-Nasafi (dalam Tafsir-nya, vol. IV, hal. 229)
  15. Al-Khazin al-Baghdadi (dalam Tafsir-nya, vol. IV, hal. 229)
  16. Muhibbiddin Afandi(dalam Tanzillul Ayat).[24]
Arti “Mawla Dalam Konteks Hadits”
Sekarang mari kita mengkaji apa arti yang dapat dijadikan rujukan dari konteks hadits ini. Jika sebuah kata memiliki lebih dari satu arti, cara yang terbaik untuk memahami kandungan hakikinya adalah melihat kepada qarinah (asosiasi) dan konteksnya.
Dalam hadits ini terdapat beberapa jumlah asosiasi yang secara jelas menunjukkan bahwa satu-satunya arti yang sesuai dengan keadaan ketika itu adalah “junjungan”. Beberapa asosiasi dan konteks ini adalah sebagai berikut:
Pertama, Pertanyaan yang diajukan oleh Nabi kepada para hadirin sebelum deklarasi ini; beliau bertanya kepada para hadirin “Apakah aku lebih memiliki awla atas diri kalian melebihi awla atas diri kalian sendiri?” Mereka menjawab: “Iya, tentu saja” lalu setelah mendengarkan jawaban mereka ini, Rasulullah mengumumkan bahwa:
“Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka ‘Ali adalah mawlanya.”
Tanpa ragu, kata “mawla” dalam deklarasi ini memiliki makna yang sama dengan (awla bikum) (lebih memiliki wilayah atas diri kalian) yang terdapat dalam pertanyaan ini. Setidaknya ada 64 muhaddits (ahli hadits) Sunni yang menukil pertanyaan Nabi Saw ini; di antara mereka adalah Ahmad bin Hanbal, Ibn Majah, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi.[25]

Kedua, Doa yang dilantunkan oleh Nabi Saw sebelum deklarasi ini:
“Allahumma!” Cintailah orang yang mencintai ‘Ali, dan musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya, dan tinggalkanlah orang yang meninggalkannya.”
Doa ini menunjukkan bahwa ‘Ali As, pada hari tersebut, dipercayakan sebuah tanggung-jawab yang, secara tabiat, akan membuat beberapa orang tidak dapat menerima (dan bahwa tanggung jawab ini tidak lain adalah sebuah kekuasaan); dan dalam menunaikan tanggung jawab ini ia akan memerlukan penolong dan pendukung.
Apakah penolong diperlukan untuk menunaikan sebuah “persahabatan”?
Ketiga, Deklarasi Nabi Saw yang menyatakan bahwa: “Tampaknya jelas bahwa aku akan dipanggil oleh Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan itu.”
Pernyataan Nabi ini secara jelas menunjukkan bahwa ia sedang merancang kepemimpinan kaum muslimin selepas kepergian beliau.
Keempat, Ucapan-ucapan selamat para sahabat dan ungkapan kegembiraan  mereka tidak menyisakan keraguan kepada kita tentang makna deklarasi ini.
Kelima,Keadaan, waktu dan tempat.
Bayangkan, Nabi Saw menghentikan perjalanannya di siang hari dan meminta kurang lebih seratus ribu musafir di bawah terik matahari yang menyengat di atas gurun sahara, membuat mereka duduk di atas pasir yang membakar, dan membuat pelana-pelana unta menjadi sebuah mimbar.
Lalu bayangkan beliau menyampaikan ceramah yang panjang dan pada akhirnya dengan segala persiapan yang disebutkan di atas, pada  akhir ceramah beliau membuat pengumuman bahwa: “Barang siapa yang mencintai aku ia harus mencintai ‘Ali, atau “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai sahabatnya, maka ‘Ali adalah sahabatnya.”
Apakah logika seperti ini dapat di terima oleh akal sehat? Tentu saja tidak, namun beberapa orang siap menuding Nabi Saw berlaku seperti anak kecil.

[1] . Lihat, al-Gazali: Ihyâ”Ulumi’d-Din, vol. I, bag.2, hal. 10.
[2] . Ibn Abdi ‘l-Barr:al-Isti’âb,vol.2,hal. 470.
[3] . Lihat, al-Qunduzi: Yanabi’u ‘l –Mawaddah,  hal. 253.
[4] . Lihat, Ibn ‘Abdi ‘l-Barr: al-Isti’âb, vol. 3, hal. 1 1 15.
[5] . Lihat, Ibn Hajar al-Haitami: Sawa’iqu ‘l-Muhriqah, hal.72, Ibn Hajar al-’Asqâlani: Fathu ‘l-Bari, vol. 8, hal. 81.
[6] .  Lihat, Amritsari, Arjahu ‘l –Matâlib,  hal. 112.
[7] . Lihat, Ibnu ‘l-Atsir: al-Kamil, vol.5, hal. 62-63; al Baghawi: at-Tafsir, vol. 4, hal.127; al-Khazin: at-Tafsir, vol. 4, hal. 127; al-Bayhaqi: Dala ‘ilu ‘n-nubuwwah, vol. I, hal.428-430; as-Suyuti: ad-Durru ‘l-mantsur, vol.5, hal.97; al-Muttaqi al-Hindi: Kanzu ‘l-’ummal , vol.15, hal. 100,113,115-117; Abu ‘l -Fida’: al –Mukhtasar, vol. I, hal .116-117 , at -Tabari: at Tarikh, vol. I hal.171-173; Carlyle , T.:On Heroes, Hero Worship and the Heroic in History, hal.54; Gibbon, E. : The Decline and Fall of the Roman Empire, vol. 3, hal. 94; Davenport, J.: An Apology for Muhammed and the Koran , hal.21; Irving, W.: Mahommet and His Successors, hal.45. (Untuk detailnya, lihat al-Amini: al-Ghadir , vol. 2, hal.278-279.
[8] . Lihat,  at-Tabari, at-Tafsir,  vol. 6, hal. 186; as-Suyuti: ad-Durru ‘l-mantsur, vol. 2, hal-hal. 293-294; ar-Razi: at-Tafsiru ‘l-kabir, vol.12, hal. 26; az-Zamakhsyari: at-Tafsir al-Kasysyaf, vol.l, hal.649; al-Jassas: Ahkamu ‘l-Qur’an,vol. 2, hal-hal. 542-543; al-Khazin: at-Tafsir, vol. 2, hal. 68.
[9] .  Lihat, al-Qunduzi: Yanabi’u ‘l-Mawaddah,  hal.168; Amritsari: Arjahu ‘l-Matâlib, hal.448.
[10] . Lihat, Siddiq Hasan Khan: Manhaju ‘l-wusul,hal.13.
[11] . Lihat, al-’Amini: al –Ghadir, vol 1, hal. 14-18 .
[12] . Ibid., hal. 62-63.
[13] . Ibid., hal.73-81
[14] . Ibid ., hal. 73-151.
[15] . at-Tirmidhi: as-Sahih, vol. 2, hal.298.
[16] .  Lihat, at-Tahawi: Musykilu ‘l-Athar, vol.2, hal. 308.
[17] . Lihat, al-Hakim: al-Mustadrak, vol.3, hal-hal.109-110.
[18] . Lihat, al-Amini: al-Ghadir, vol. 1, hal. 295.
[19] . Ibid, hal. 294-313.
[20] . Lihat, Subhi’ as-Salih: ‘Ulumu ‘l-Hadits wa Mustalahatuh, hal. 145
[21] . Ibid., hal.l56.
[22] . Lihat, al-Khatib at-Tabrizi: Misykatu ‘l-Masabih , hal.557; Mir Khwand: Habibu ‘s-siya, vol. 1, pt. 3, hal. 144; at-Tabari: al-Wilayah , ar-Razi: at-Tafsiru ‘l-Kabir, vol. 12, hal.  49-50; Ahmad: al-Musnad , vol. 4, hal. 281; Ibn Abi Shaybah: al-Musanna, Abu Ya’la: al-Musnad, Ahmad ibn ‘Uqdah: al-Wilayah dan banyak yang lain. [Lihat juga,  al-Amini: al-Ghadir, vol. 1, hal. 270 dan hal. 283 – untuk referensi lebih lengkap.]
[23] . Lihat, al-Amini : al-Ghadir, vol. I, hal. 340.
[24] . Lihat,  al-Amini: al-Ghadir, hal., 344-350, untuk referensi lebih lengkap.
[25] . Ibid. , hal. 370-371.

 

 

 

RE: [Tasawuf] HADITS GHADIR KHUM ('SK Nabi),bagian 1/3. http://www.mail-archive.com/tasawuf@indoglobal.com/msg01623.html

AGUS SALIM
Wed, 2 Jun 1999 02:05:03 -0700
Salam,
Mohon maaf sebelumnya, dengan segala kekurangan saya yang masih berlumur dosa ini , saya ingin bertanya kepada Pak Ali berkenan dengan  kutipan di bawah ini:
        Akhirnya dengan asumsi dasar bahwa petunjuk Allah tidak mungkin diterima seseorang yang bukan Nabi, (meski mereka tahu bahwa pada zaman Rasulullah SAAW, seluruh kekuasaan berpusat pada Nabi Muhammad SAAW) sehingga terjadinya pemusatan kekuasaan harus dicegah kalau perlu dengan mengangkat senjata seperti yang dilakukan Aisyah. Kalau saja shahabat itu sudah belajar ilmu tasawuf sama Abahnya Hilmy :-), agar yakin bahwa seorang manusia biasapun (bukan seorang nabi) dapat selalu memperoleh petunjuk dari Allah SWT, maka barangkali sejarah akan berbeda :-(. 
 
1.      Apakah memang benar-benar dapat dipastikan bahwa asumsi dasar itulah yang ada di benak dan hati para sahabat?
2.      Apakah memang bisa dipastikan para sahabat tidak pernah menerima petunjuk Allah?
3.      Mungkinkah peristiwa itu terjadi karena memang itulah yang semestinya terjadi, dalam hal ini masing-masing pihak tidak menyertakan hawa nafsunya karena memang  peristiwa ini sengaja dihadirkanNya untuk tujuan tertentu? Ada makna dalam barangkali ( ini barangkali loh) yang semestinya kita gali dari peristiwa itu, ada yang harus kita hikmati dari peristiwa itu tanpa harus berasumsi salah satu pihak adalah pendosa. Ketika Al Junaid menjatuhkan hukuman pada Al Hallaj apakah salah seorang dari kedua belah pihak adalah pendosa? Atau ketika Sunan Kalijogo ( Walisongo) menjatuhkan hukuman pada Syeh Siti Jenar adakah
salah satu dari keduanya pendosa? 
4.      Pemanipulasian sejarah yang dilakukan Yazid cs untuk menghinakan Ahlul Bait bukankah tidak menjadi otomatis bahwa seluruh kesalahan dan penghinaan yang dialami oleh Ahlul Bait adalah dosa para sahabat utama?
Bagaimana bila kita terlanjur berprasangka buruk dan bahkan menuduh sahabat yang bukan-bukan dan ternyata mereka adalah golongan orang-orang  yang dicintai Allah, apa jadinya dengan diri kita? Dan apa kita tidak menjadi sama saja dengan Yazid cs yang memusuhi Pencinta Allah?
5.      Apakah bukan tidak mungkin bahwa kitalah sebenarnya yang belum mendapat petunjuk atau pengetahuan dari Allah berkenaan dengan hal ini, hingga tidak patutlah kita untuk menghakimi dan memvonis Para sahabat mulai dari Imam Ali ,Abu Bakar as siddiq hingga Abu Hurairah ? Saya pribadi khawatir salah menghujat kekasih Allah, sementara dosa masih bertimbun.
Sekali lagi mohon maaf atas pertanyaan saya yang awam ini Pak Ali.
 
Salam,
 
 
Gus Lim
 
 
        -----Original Message-----
        From:   Ali Abidin [SMTP:[EMAIL PROTECTED]]
        Sent:   Wednesday, June 02, 1999 7:39 AM
        To:     '[EMAIL PROTECTED]'
        Subject:        RE: [Tasawuf] HADITS GHADIR KHUM ('SK
Nabi),bagian 1/3
 
        Assalaamu 'alaikum wr. wb.
 
        Peristiwa Ghadir Khum ini tidak mungkin dipungkiri, terlalu banyak saksi mata yang hadir pada saat itu. Hadist berkaitan dengan khotbah Ghadir Khum ini juga beratus-ratus tersebar di kitab-kitab hadist (diantaranya hadist tentang AlQuran dan Ahlulbait-ku seperti yang pernah saya kutipkan dalam kitab hadist Muslim) serta juga direkam oleh banyak sejarawan.
Meski juga harus disadari bahwa kita tidak akan pernah menemukan satu hadist selengkap dan sepanjang khutbah yang dikutipkan oleh saudara Syarifuddin ini sekaligus. Hadist adalah berdasarkan ingatan orang-orang biasa, sehingga memang sebagian orang mengingat paragraf kesekian dari khutbah itu, sebagian lagi mengingat paragraf lainnya. Bagaimanapun juga, sejauh pemahaman sempit saya mengenai hadist, tidak ada hadist yang lebih mutawatir daripada hadist-hadist dalam peristiwa Ghadir Khum ini karena sifatnya yang kolosal melibatkan lebih dari 100.000 kaum muslim pada haji Wada'.
 
        Membaca sejarah kehidupan Rasulullah, terutama pada akhir-akhir menjelang wafatnya, saya berpikir keras untuk mencoba memahami apa yang ada pada pikiran beberapa shahabat utama yang hadir pada peristiwa Sagifah Bani Saidah (dimana Abubakar akhirnya menjadi khalifah). 
Runtutan peristiwa pasukan Usamah, lalu Ghadir Khum, lalu ketika Rasulullah hendak menuliskan wasiatnya lalu peristiwa Saqifah, hingga kemarahan Fatimah dll.
Ada beberapa kemungkinan untuk mengambil sikap:
        1. Peristiwa tersebut memang terjadi tetapi shahabat utama tidak mungkin sengaja membangkang pada Rasulullah SAAW
        2. Peristiwa tersebut terjadi dan memang shahabat itu tergelincir mengikuti hawa nafsunya
        3. Atau kita bisa memilih jalan yang paling aman yaitu menolak bahwa seluruh kejadian itu pernah berlangsung.
        4. Peristiwa tersebut terjadi tetapi memiliki makna yang lain.
 
        Jika kita menerima sikap kesatu maka ada paradoks yang sangat kuat dalam pemikiran kita, yaitu kita berarti meyakini bahwa Rasulullah SAAW dan Ahlulbaitnya (dalam sejarah, Ali & Fatimah tidak mau memberikan Baiatnya kepada Abu Bakar hingga 6 bulan kemudian Fatimah dikuburkan)adalah orang-orang yang mementingkan diri sendiri dan mengikuti hawa nafsunya.
        Rasulullah dalam semua peristiwa tersebut seakan didorong oleh hawa nafsunya agar umatnya memberikan tempat yang mulia kepada keluarga dan keturunannya.
        Fatimah didorong hawanafsunya ketika tidak mau memberikan baiatnya kepada AbuBakar hingga akhir hayatnya. Ali didorong hawa nafsunya ketika juga tidak mau segera memberikan baiatnya dan menundanya hingga 6 bulan.
Ali juga didorong hawa nafsunya ketika mengucapkan khutbah 'Siqsiqiyyah' ketika beliau akhirnya dipaksa untuk menjadi khalifah menggantikan Usman. Kita lebih rela mengatakan Rasulullah SAAW dan ahlulbaitnya  sebagai tergelincir mengikuti hawa nafsunya daripada beberapa shahabat utama?
Seluruh rangkaian peristiwa tersebut sangat susah untuk bisa ditafsirkan lain selain bahwa Rasulullah mewasiatkan kepada umatnya agar mentaati ahlulbaitnya setelah meninggalnya Rasulullah SAAW.
 
        Jika kita menerima sikap kedua maka kita cenderung pada sikap menyatakan bahwa shahabat utama tersebut yang didorong hawa nafsunya. Hal ini juga menimbulkan masalah berat dalam benak kita. Bagaimana mungkin shahabat utama bisa menuruti hawa nafsunya hingga membangkang pada perintah Rasulullah SAAW? Seluruh pandangan surgawi kita mengenai kehidupan shahabat mungkin harus kita kuburkan. Jika shahabat utama saja membangkang pada Rasulullah SAAW maka siapa sebenarnya pembela Rasulullah SAAW? Dan kita barangkali harus mulai lagi membangun ulang pemahaman sejarah Muhammad SAAW. Kita mungkin harus mulai membayangkan bahwa perjuangan Rasulullah SAAW itu sangat berat, jauh lebih berat dari yang kita bayangkan, dan juga sepi yang mencekam. Kita mulai harus membayangkan bahwa Rasulullah SAAW dikelilingi orang yang setiap saat siap membangkang kecuali sangat sedikit (dan yang sedikit ini ternyata jauh lebih sedikit dari yang semual kita pikirkan).
        Kita barangkali mulai menyadari kejadian perang Hunain, perang Uhud dimana Rasulullah SAAW ditinggalkan seluruh sahabat (bahkan sahabat utamanya)kecuali segelintir dari keluarganya. Kita barangkali mulai memahami bahwa Rasulullah SAAW itu hampir-hampir sendirian menegakkan islam dan dikelilingi shahabat-shahabat yang rapuh, yang akan segera membangkang ketika keadaan tidak menguntungkan mereka. Siapakah yang mencintai beliau dengan sebenar-benarnya? Tidak ada satupun diantara shahabat utama itu yang ada di sekeliling Rasulullah SAAW ketika dalam perang uhud Rasulullah terkepung oleh puluhan musyrikin dan sempat bertahan sendirian bahkan hingga jatuh ke dalam lubang dan pipinya terluka tertembus oleh baju besinya sendiri hingga akhirnya beliau diselamatkan oleh sebagian ahlulbaitnya. Kita barangkali menyadari kesedihan Rasulullah melihat kematian Hamzah pamannya), satu diantara sangat sedikit pembela utamanya pada perang Uhud. Kita barangkali akan menyadari kesepian Rasulullah SAAW ketika ditinggalkan 2 pembela dari kalangan keluaraganya yaitu Abu Thalib dan Khadijah. Kita barangkali menyadari mengapa begitu mudahnya 300 dari 1000 orang pasukan Uhud berbalik meninggalkan Rasulullah bahkan sebelum peperangan dimulai. Kita mulai merasakan betapa sepinya perjuangan Rasulullah SAAW.
 
        Jika kita menerima sikap ketiga maka barangkali  inilah hal yang paling aman untuk sementara :-). Sikap burung unta yang menyembunyikan kepala ke dalam pasir ketika dalam keadaan terancam. Masalahnya kembali terjadi paradoks karena jika kita misalnya menganggap peristiwa Ghadir Khum tidak pernah terjadi maka berarti kita harus mengkoreksi ratusan hadist yang meriwayatkan khutbah Ghadir Khum tersebut. Kita harus membiarkan kosong keping-keping pengetahuan sejarah yang ada di benak kita pada sekitar akhir hayat
        Rasulullah SAAW. Kita bahkan barangkali harus mulai lagi menyusun criteria baru untuk ilmu Mustalah Hadist dst...:-) 
 
        Jika kita menerima sikap keempat, barangkali kita mulai harus berpikir keras apa maksud Rasulullah SAAW dan ahlulbaitnya dalam seluruh kejadian tersebut?
        Semakin kita berpikir mendalam, tidak bisa berpikiran lain bahwa dalam seluruh peristiwa memiliki makna yang tidak lain bahwa Rasulullah SAAW mewasiatkan umatnya agar mentaati Ahlulbaitnya sepeninggal beliau. Lalu apa maksud dari hal ini? Apakah Rasulullah SAAW bermaksud mengatakan agar Ali diangkat menjadi pemimpin kenegaraan?. Ataukah barangkali Rasulullah SAAW bermaksud agar umat islam mentaati ahlulbaitnya dalam bidang keagamaan saja?
 
 
        ===============================================
        Di bawah ini adalah sikap saya.
 
        Mengenai perselisihan dalam jabatan khalifah -- seperti yang pernah saya singgung dalam posting lainnya -- saya kira beberapa sahabat utama yang hadir pada peristiwa Saqifah Bani Saidah (dimana Abubakar akhirnya menjadi khalifah), beranggapan bahwa kepemimpinan Ali yang diumumkan oleh Nabi Muhammad SAAW adalah kepemimpinan dalam wilayah keagamaan bukan dalam kenegaraan. Sehingga mereka sangat terlihat berupaya keras menghindari berkumpulnya kekuasaan pemerintahan serta kekuasaan agama pada satu orang.
        Secara ilmu kenegaraan modern, pemikiran shahabat ini dapat dibenarkan. Saat ini kita juga menganut trias politika dll yang bertujuan untuk mencegah berkumpulnya kekuasaan pada satu orang. Sepanjang sejarah awal islam, saya melihat sangat kentara tindakan-tindakan yang dilakukan sebagian sahabat dalam upayanya menjauhkan Ali dari kemungkinan menjabat kedua kepemimpinan (agama & politik) sekaligus. Sebagian shahabat tersebut benar-benar tidak menginginkan berkumpulnya semua kemuliaan pada satu orang yang bukan seorang Nabi (yaitu kemuliaan sebagai penerus keturunan Nabi, sebagai Pemimpin keagamaan serta sebagai pemimpin kenegaraan), barangkali ditakutkan akan menjadi otoriter :-). Mereka mungkin menganggap bahwa bersatunya kekuasaan pada seorang Nabi adalah lumrah karena mendapat bimbingan Allah, tetapi tidak boleh terjadi pada seorang yang bukan seorang Nabi karena tidak lagi memperoleh bimbingan Allah SWT. 
 
        Akhirnya dengan asumsi dasar bahwa petunjuk Allah tidak mungkin diterima seseorang yang bukan Nabi, (meski mereka tahu bahwa pada zaman Rasulullah SAAW, seluruh kekuasaan berpusat pada Nabi Muhammad SAAW)
Sehingga terjadinya pemusatan kekuasaan harus dicegah kalau perlu dengan mengangkat senjata seperti yang dilakukan Aisyah. Kalau saja shahabat itu sudah belajar ilmu tasawuf sama Abahnya Hilmy :-), agar yakin bahwa seorang manusia biasapun (bukan seorang nabi) dapat selalu memperoleh petunjuk dari Allah SWT, maka barangkali sejarah akan berbeda :-(. 
 
        Sejarah juga kemudian memperlihatkan bahwa ketika Ali akhirnya menjadi khalifah maka beliau sama sekali tidak otoriter seperti yang ditakutkan sebagian orang tersebut, dan tidak misalnya memberikan jabatan-jabatan kepada suku Bani Hasyim, bahkan beliau memberikan jabatan tanpa melihat asal sukunya melainkan berdasarkan kemampuan dan kelurusan hatinya.
Bahkan sejarah justru memperlihatkan bahwa ketika Ustman berkuasa, beliau memberikan jabatan-jabatan penting kepada orang-orang yang tidak bersih hati dari sukunya (yaitu bani Umayyah) seperti Muawiyah, Marwan bin Hakam (orang yang pernah diusir Rasulullah dari Madinah) dll. Muawiyah & Marwan adalah orang-orang yang harus saya akui sangat cerdik-licin-brillian sebagai politikus tetapi juga jelas bukan seseorang yang bersih.
 
        Sejarah kemudian memperlihatkan bahwa Ahlulbait yang diwasiatkan oleh Rasulullah SAAW (yaitu Fatimah + 12 Imam) untuk ditaati adalah orang-orang mulia yang sangat lurus, bersikap zuhud, wara', sangat dalam ilmunya serta sangat konsisten menentang segala bentuk kezaliman. Keseluruhan orang ini bersedia mengorbankan apa saja termasuk gugur demi kejayaan islam. Mereka adalah orang-orang yang persis berjalan di jalan yang ditunjukkan datuknya yaitu Muhammad SAAW. Sehingga terbukti, wasiat Rasulullah SAAW di Ghadir Khum ini bukan semata-mata berasal dari hawa nafsunya untuk mengutamakan keluarganya di atas umat islam lainnya melainkan benar-benar pemilihan yang berdasarkan keutamaan (dan wahyu Allah SWT), sehingga otomatis kekhawatiran beberapa shahabat tersebut sebenarnya tidak beralasan. 
 
        Itulah sebabnya saya menyadari kegigihan Fatimah yang tidak mau memberikan baiat kepada AbuBakar sebagai Khalifah hingga akhir hayatnya.
Baiat ini dapat dimanipulasi oleh musuh-musuh islam sebagai menyerahkan seluruh otoritas (termasuk otoritas keagamaan) kepada Abu Bakar.
Kenyataan juga membuktikan bahwa ketika keadaan meruncing dan Ali akhirnya demi kemaslahatan umat memberikan baiatnya maka kekhawatiran Fatimah menjadi kenyataan bahwa akhirnya seluruh otoritas ahlulbait dipreteli sedikit demi sedikit. Yang patut disesalkan adalah terjadinya efek bola salju, sehingga dari yang semula 'hanya' mencegah Ali menjabat kepemimpinan negara (meski tetap sedikit menghormati Ali sebagai pimpinan agama serta masih berusaha menjaga kemuliaan ahlulbait Muhammad SAAW) kemudian lama kelamaan bertambah hingga pada saat Muawiyah berkuasa berubah menjadi mengingkari Ali sebagai pimpinan apapun (termasuk dalam bidang agama, serta mengingkari kehormatan ahlulbait) bahkan mengutuk Ali adalah suatu kebiasaan dalam khutbah Jumat.
        Bahkan memuncak 51 tahuan kemudian pada pembantaian Husain cucu Rasulullah SAAW pada saat Yazid bin Muawiyah menjadi penguasa serta menghinakan kehormatan darah-daging ahlulbait Nabi, serta banyak lagi kepahitan yang tak terperikan yang akhirnya dialami oleh ahlulbait Nabi. Dan akhirnya ratusan tahun sesudahnya hingga saat ini, umat islam menjadi asing dari kemuliaan ahlulbait Rasulullah SAAW. Jangankan mengetahui kemuliaan mereka, mengenal nama merekapun juga tidak. Jangankan mengetahui ucapan mereka, ribuan hadist
        Muhammad SAAW yang diriwayatkan dari merekapun ditolak.
Jangankan mengikuti jejak mereka, mengetahui adanya jejak tersebut juga tidak.
Jangankan meneladani hidup mereka, bersilaturrahmi (tawassul) kepada merekapun dianggap syirik.
 
        Saya teringat Imam Syafii (pen: mohon dikoreksi jika kata-katakurang tepat)pernah berkata ketika beliau dituduh sebagai Ghulat (golongan yang hampir menuhankan Muhammad SAAW serta Ali bin Abi Thalib), maka beliau berkata kira-kira sebagai berikut : "Bila menghormati serta mencintai ahlulbait Nabi dianggap Ghulat, maka biarlah aku umumkan kepada semua orang bahwa aku adalah Ghulat", kemudian beliau menuliskan pujian-pujian kepada
ahlulbait.
        Sayapun rasanya ingin berteriak hal yang sama :-).
 
        Mungkin ada sebagian orang yang beranggapan bahwa menghormati, mencintai dan memahami kemuliaan ahlulbait Nabi berarti harus bermazhab Jakfari, sama sekali itu adalah pemikiran yang salah !!!. Bahkan orang-orang yang berjalan pada jalan tasawuf lebih mencintai Rasulullah SAAW dan ahlulbaitnya. Saya bahkan beranggapan bahwa dengan menyadari kemuliaan ahlulbait, maka yang lebih penting adalah mengikuti jalan pensucian jiwa yang telah dilakukan oleh mereka. Seperti pernah saya sebutkan bahwa dalam seluruh tarekat muktabarah, hingga saat ini sepengetahuan saya tidak ada satupun yang tidak menyebut sebagian atau seluruh 12 ahlulbait Nabi dalam silsilah mursyid menuju Muhammad SAAW. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa tasawuf/irfan
bersumber dari ahlulbait Muhammad SAAW. Sehingga mengikuti ahlulbait ini (dengan menjalani pensucian jiwa) adalah jalan keselamatan yang dijanjikan oleh Rasulullah SAAW. Pensucian jiwa dengan melalui irfan/tasawuf (yang saya yakini diajarkan oleh ahlulbait) inilah yang diibararatkan bagaikan menaiki perahu Nuh oleh Rasulullah SAAW dalam khutbah Ghadir Khum tersebut sehingga yang menolaknya akan celaka sedang yang menaikinya akan selamat.
 
        Terakhir kita cuman bisa mencontoh Rasulullah dalam bersikap mengenai orang-orang yang menolak penunjukan Rasulullah SAAW terhadap Ali bin Abi Thalib sebagai Amir AlMukminin "....demi Allah - aku telah dan terus akan bersikap sangat bersahabat dan dewasa terhadap mereka".
 
        Wassalaamu 'alaikum wr. wb.
 
        > ----------
        > From:         Rizki Herucakra[SMTP:[EMAIL PROTECTED]]
        > Sent:         Tuesday, 1 June 1999 22:58
        > To:   '[EMAIL PROTECTED]'
        > Subject:      RE: [Tasawuf] HADITS GHADIR KHUM ('SK
Nabi),bagian 1/3
         
        > > -----Original Message-----
        > > From:       Hendra Nur Arifin
[SMTP:[EMAIL PROTECTED]]
        > > Sent:       Tuesday, June 01, 1999 9:49 AM
        > > To: [EMAIL PROTECTED]
        > > Subject:    RE: [Tasawuf] HADITS GHADIR KHUM ('SK
Nabi),bagian 1/3
        > > 
        > > Assalamua'laikum wr wb
        > > 
        > > Pernah saya baca, ribut-ribut perebutan kekuasaan Abubakar dkk dilakukan saat Ali dkk sedang mengurus jenasah Rasulullah SAWW.
        > > 
        > > .... Dihapus
        > > 
        > > Dari sejarah 'tragedi kamis hitam' dan sariyyah Usamah, dll.
Saya berpendapat bahwa justru di akhir hayat, beberapa 'sahabat besar'mempunya hubungan yang tidak harmonis dengan Rasulullah SAW.
        > > 
        > > Barangkali yang kita yakini selama ini sebagian cuma merupakan dongeng.
        > > 
        > > Wassalamua'laikum wr wb
        > > 
        > > -----Original Message-----
        > > 
        > > Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
        > > 
        > > Barangkali ...
        > > Barangkali Anda benar. 
        > > 
        > > Tapi saya lebih suka berbaik sangka dalam hal ini. Abu Bakar, Umar, Ali, Al Ghifari, dan masih banyak lagi para "sahabat besar" (meminjam istilah Anda), adalah orang-orang yang sudah banyak berjasa Bagi Islam. Mereka bahkan telah dijanjikan Surga oleh Allah.
Tingkat keimanan mereka jauh berada di atas saya, karenanya saya memilih berbaik sangka saja pada mereka semua.
        > > 
        > > Mengenai pertentangan pendapat antara Sahabat dan Rasulullah, hal tersebut sudah terjadi beberapa kali. Dan itu tidak hanya terjadi di saat-saat terakhir beliau. Diantaranya:
        > > 
        > > 1. Dalam perang Uhud (ini bahkan di awal periode Madinah), Rasulullah berpendapat agar kaum Muslimin bertahan di dalam kota. Tapi para sahabat menentang dan berpendapat untuk menyambut musuh di kaki gunung Uhud. Kalah suara, Rasulullah setuju.
        > > 
        > > Lalu ketika Rasulullah keluar meninggalkan ruangan, mereka sadar sudah menentang Nabi. Mereka menghadap Nabi dan meminta maaf dan bersedia merubah pendapat mereka dengan bertahan di kota.
        > > 
        > > Rasulullah yang telah mengenakan baju besi bersabda, "Tidak pantas bagi seorang Nabi untuk menanggalkan pakaian besinya hingga Allah menentukan salah satu dari dua bagi dia: Syahid atau Menang."  
        > > 
        > > Sejarah mencatat kaum Muslimin menyambut musuh di kaki Gunung Uhud.
        > > 
        > > 
        > > 2. Dalam perang Uhud tersebut Rasulullah berpesan kepada  kaum pemanah agar bertahan di atas bukit, walaupun mereka melihat musuh
Sudah dikalahkan. Tapi ketika mereka melihat yang lain memunguti rampasan perang, mereka lalu meninggalkan pos-pos panah mereka. Ini     dimanfaatkan panglima Khalid bin Walid yang ketika itu belum masuk Islam. Khalid menyerang dari belakang dan kedudukan pun berubah.
        > > 
        > > 
        > > 3. Dalam perdamaian Hudaibiyah, sekilas tampak seluruh klausul dari perjanjian itu merugikan kaum Muslimin. Mereka semua kecewa dan menentang perintah Nabi untuk memotong rambut. Rasulullah
Mengadukan hal ini kepada Hafsah, istri beliau. "Celaka kaum Muslimin, mereka sudah tidak mau mendengarkan seruan Nabinya."
        > > 
        > > Hafsah menjawab, "Berikanlah contoh kepada mereka, Insya Allah, mereka akan mengikuti Nabi mereka."
        > > 
        > > Lalu Nabi memotong rambut beliau. Melihat itu, luluh hati kaum Muslimin dan mereka pun memotong rambut mereka.
        
        > > ---------------------------------------------------
                Masih banyak lagi kejadian-kejadian di mana para Sahabat tidak sepaham dengan Rasulullah jauh-jauh hari sebelum beliau wafat. Tapi itu semua menunjukkan betapa Nabi adalah seorang pemimpin yang sangat Moderat dan jauh dari sifat "Diktator". Dalam banyak hal, Nabi mempraktekkan Demokrasi dalam bentuknya yang paling murni (terus terang saya tidak percaya pada Demokrasi yang ada saat ini).
        > > 
        > > Saya tidak tahu. Saya tidak ada di sana ketika para sahabat berbaiat kepada Abu Bakar. Saya rasa Anda pun demikian. Apa yang sampai kepada  saya, sama dengan yang sampai kepada saya: cerita yang diwariskan turun temurun selama 14 abad tentang Nabi dan para sahabat beliau.
        > > 
        > > Saya memilih berbaik sangka kepada mereka semua, terutama para Sahabat yang telah berbagi duka dan derita bersama-sama dengan Nabi. Para sahabat yang menjadikan tubuh mereka perisai demi melindungi Nabi dari panah-panah kaum durhaka. 
        > > 
        > > Saya memilih berbaik sangka kepada Sahabat yang meneteskan air matanya ketika Nabi berkhutbah saat Haji Wada', karena menyadari
waktu Nabi sudah dekat (maksud saya Abu Bakar). 
        > > 
        > > Saya memilih berbaik sangka kepada Sahabat yang tidak percaya Rasulullah sudah wafat dan menantang orang lain yang mengatakan Rasul sudah wafat karena cintanya (maksud saya Umar). 
        > > 
        > > Saya memilih berbaik sangka kepada Usman bin Affan, kepada Ali bin Abi Thalib, kepada Imam Hassan dan Hussein, dan para sahabat Mulia sekalian. Termasuk sahabat yang memeluk dan mencium tubuh Nabi dengan penuh cinta setelah Nabi mengizinkan dia untuk memukul tubuh Nabi dalam keadaan telanjang dada.
        > > 
        > > Bagaimana dengan Anda ?
        
        > > Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
        ________________
        > > 
        > > Rizki Herucakra
        > > Indonesian Central Securities Depository
        > > Management Information System Division
        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar