Kamis, 27 Januari 2011

Krisis Pangan : Anggaran Untuk Pertanian Jadi Tertawaan. Mengapa Tidak membuat program " Tanami dengan Bahan2 Pangan semua Tanah Kosong yang belum dialokasikan untuk Pembangunan. Semua ini untuk mengurangi beban Rakyat yang sangat kekurangan Pangan, karena harga Pangan sangat Mahal. Ayoo Bung sadarkan semuanya. Ya pemerintah... Ya Pemilik tanah dan Juga Rakyat Yang harus makan. Mari Bercocok tanam. Tanamlah Tanaman Pangan.

Krisis Pangan (4)
Anggaran Untuk Pertanian Jadi Tertawaan 
M. Rizal,Deden Gunawan - detikNews. http://www.detiknews.com/read/2011/01/24/154729/1553278/159/anggaran-untuk-pertanian-jadi-tertawaan?nd992203605



Jakarta - Setiap berkunjung ke daerah, Kaman Nainggolan selalu miris. Saat menjadi Kepala Badan Ketahanan Pangan Nasional, ia sering bertanya pada pejabat daerah tentang anggaran untuk pertanian. Dan jawabannya akan membuatnya mengurut dada. Nyaris tidak ada perhatiannya pemda terhadap petani. Tidak aneh bila petani selalu miskin. Inilah penyebab kerawanan pangan mayoritas menimpa petani.

Kaman, yang kini menjadi pengamat ekonomi pertanian, menuturkan dukungan sektor pertanian untuk pendapatan daerah (PBD Regional) tinggi, yakni mencapai sekitar 20 persen. Tapi anehnya, dana tersebut tidak dikembalikan kepada petani. APBD selalu memberikan anggaran yang sangat kecil, yakni di bawah 5 persen untuk pertanian.

"Kalau kita lihat APBD atau APBN kita tertawa sendiri. Perhatian pemerintah kecil sekali. Total porsi dana untuk pertanian itu di bawah 5 persen.Jadi tidak adil.  Ini menjawab sendiri mengapa terjadi rawan pangan itu," kata Kaman.

Merujuk data Badan Ketahanan Pangan Nasional, Kaman menyatakan 27,5 persen penduduk Indonesia mengalami rawan pangan. Kriteria rawan pangan itu bukan berpatokan pada ada tidaknya beras. Tapi asupan kalori atau gizi yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Untuk Indonesia, standar kalorinya sebesar 2.000 kalori per orang per hari.

Dari jumlah 27,5 persen tersebut, sebanyak 11,07 persen pemenuhan kalori mereka di bawah 70 persen atau mengalami rawan pangan kronis Sementara sisanya masuk kategori rawan pangan ringan karena berada di bawah 90 persen dari standar pemenuhan kalori.

"Kondisi masyarakat bisa dibilang rawan pangan jika asupan kalorinya di bawah 70 persen, atau makan dua kali sehari atau di bawahnya. Kalau rawan pangan ringan 90 persen dari standar, atau mengkonsumsi di bawah 1.800 kalori," terang Nainggolan.

Mereka yang mengalami rawan pangan akibat kemiskinan. Penduduk mengalami rawan pangan akibat tidak memiliki akses terhadap pangan. Penyebabnya, mereka tidak punya uang di kantong untuk membeli beras.

Nah, dengan kondisi cuaca ekstrim yang saat ini melanda dunia, bukan tidak mungkin jumlah masyarakat Indonesia yang mengalami rawan pangan bakal bertambah. Sebab akses terhadap pangan,terutama beras sudah barang tentu semakin sulit bagi rakyat miskin.

Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo memprediksi, perang ke depan adalah memperebutkan komoditas pangan. Dan pertempuran-pertempuran ini sebenarnya sudah terjadi sejak 2008 lalu. Ke depan "pertempuran" ini akan semakin sengit karena
pertumbuhan jumlah penduduk dunia jauh lebih cepat dari pada pertumbuhan produksi produk pertanian.

Akibatnya, negara produsen beras tidak hanya akan membatasi ekspor, tetapi juga menghentikan ekspor dengan alasan untuk mengamankan kebutuhan domestik. Di sisi lain banyak negara yang punya uang sanggup membeli produk pangan dengan harga
berapapun.

"Kondisi ini bisa meningkatkan harga pangan di pasar global. Dan tentu saja masyarakat miskin semakin semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka," jelas Sudaryatmo.

Untuk mengatasinya, YLKI berharap pemerintah menciptakan kebijakan yang kondusif di sektor pangan. Bukan dengan cara membebaskan bea masuk bagi pangan impor. Sebab cara seperti ini menunjukan pemerintah malas untuk berfikir.

Ketua Harian HKTI Sutrisno Iwantono MA juga mengkritik kebijakan pemerintah membebaskan bea masuk bahan pangan. Menurut Sutrisno, langkah itu hanya untuk kepentingan jangka pendek untuk mempertahan citra, mencegah  keresahan sosial dan gangguan politik yang mungkin timbul akibat kenaikan harga bahan pangan. Sementara di sisi lain, langkah itu sekaligus telah membuktikan kegagalan kita dalam pembangunan pertanian.

"Kalau kita berhasil memproduksi pangan dalam negeri secara mandiri, tentu tidak akan ada kenaikan harga pangan, tidak perlu menghapuskan bea masuk impor," kata Sutrisno.

Belajar dari kondisi global krisis pangan yang bakal terjadi pada tahun 2011, dimana masing-masing Negara akan sangat agresif mengakumulasi persediaan pangan untuk bangsanya sendiri, menurut Sutrisno, kuncinya adalah swasembada pangan nasional. "Untuk itu segala daya upaya harus difokuskan bagi upaya swasembada pangan," kata Sutrisno.

Sementara Ketua Bidang Koperasi HKTI Endang Setyawati Thohari menyarankan, untuk mengatasi rawan pangan pemerintah harus lebih memperhatikan petani sehingga para petani tetap setia menggarap lahan pertanian. Sebab berkurangnya lahan pertanian
bisa berdampak serius bagi ketahanan pangan. Akibatnya kita malah bergantung kepada impor beras dari negara lain.

Cara yang harus dilakukan pemerintah antara lain,dengan mempermudah para petani untuk mengakses perbankan, mendorong produksi makanan olahan dari berasa atau bahan makan pokok, sehingga para petani tidak lagi menjual produk dasar pertanian. Misalnya, petani menjual dalam bentuk tepung beras sehingga harganya relatif lebih tinggi. Untuk itu perlu penyerapan tepung beras petani di pasar.

"Saat ini petani selalu mengeluh dengan harga gabah yang jauh di bawah harga beras. Sehingga mereka malas untuk menjual gabahnya. Parahnya lagi sejumlah petani sekarang banyak yang jual sawahnya karena dianggap tidak menguntungkan,"
ujar Endang.

Endang juga memprediksi, jika pemerintah tidak segera berbenah dalam mengurusi sektor pertanian, kerawanan pangan yang ditakutkan bakal jadi kenyataan. Sebab para petani yang sehari-hari menanam padi, justru kesulitan untuk membeli beras
karena harganya yang mahal.

Namun kekhawatiran ini ditampik Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso. Menurutnya, ke depan ketahanan pangan di Indonesia masih aman-aman saja. Hanya saja dia berharap, masyarakat tidak hanya bergantung dengan beras sebagai
makanan pokok.

"Masalah rawan pangan ini bukan disebabkan masyarakat yang tidak makan beras. Melainkan kurangnya asupan gizi dan kalori. Dan sebenarnya kandungan itu tidak hanya ada di beras. Ubi,singkong dan sagu bisa dijadikan alternatif pemenuhan
gizi dan kalori," terangnya.

Tapi untuk mengalihkan kebiasaan masyarakat mengkonsumsi beras, kata Alimoeso,bukan hanya tugas pemerintah. Menurutnya,perlu gerakan bersama untuk mengalihkan kebutuhan masyarakat dari beras ke makanan pokok yang lain.

Sementara untuk cadangan beras yang berasal dari impor, Alimoeso menjelaskan, sampai saat ini masih aman. Sebab Thailand dan Vietnam telah berjanji untuk mengalokasikan setidaknya 1 juta ton untuk Indonesia.

"Mereka sudah sepakat akan tetap komitmen mengalokasikan masing-masing 1 juta ton untuk kebutuhan Indonesia. karena mereka dulu juga kita bantu saat mereka masih mengalami devisit beras," ujarnya.

Meski demikian kondisi cuaca buruk yang melanda dunia bukan tidak mungkin akan mempengaruhi negara produsen beras. Kalau sudah begini akankah Thailand dan Vietnam tetap memegang komitmennya untuk mengekspor berasnya untuk Indonesia?

"Jangan pernah menggantungkan perut kita kepada orang lain. Kalau sama-sama lapar pasti setiap orang, setiap negara akan mengutamakan dirinya sendiri," kata Sutrisno memperingatkan. (ddg/iy)


Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar