Senin, 27 Desember 2010

Menghadang Rancangan UU PP berindikasi manipulatif : Kekuatan Politik Baru (4) Dari Dana Gelap, Sampai Perlindungan Cukong

Menghadang Kekuatan Politik Baru (4)
Dari Dana Gelap, Sampai Perlindungan Cukong  
M. Rizal - detikNews



Jakarta - UU Partai Politik mengubah besaran sumbangan perusahaan, tetapi tidak mengubah sistem dan mekanisme laporan keuangan partai. Selama tidak ada tranparansi pengelolaan dana partai, selama itu juga partai dikuasai elit tertentu dan para cukong.

Sejak Orde Baru jatuh pada 1998, tranparanasi partai politik dalam mengelola dana selalu menjadi perbincangan serius setiap kali undang-undang partai politik dibahas. Namun perubahan UU No 2/2008 tentang Partai Politik kali ini, sama sekali tidak menyinggung soal itu.

Pembahasan perubahan undang-undang yang cepat bagaikan kilat, menyebabkan pihak-pihak di luar partai tidak sempat mengusulkan topik itu sebagai materi perubahan. Akibatnya, kecurigaan bahwa partai akan tetap jadi sarana pencucian uang haram, akan terus bermunculan. Apalagi jumlah sumbangan perusahaan swasta dinaikkan menjadi Rp 7,5 miliar.

Masalahnya tidak hanya berhenti di situ, kegagalan partai menggalang dana dari anggota, menyebabkan partai politik didominasi beberapa elit partai yang mendonasikan uangnya untuk pengembangan partai. Di sisi lain, partai pada akhirnya juga dikendalikan oleh para cukong yang sudah menanam modal tidak sedikit.

Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, meyakinkan masyarakat tidak perlu khawatir akan kemandirian partai politik akibat dari dinaikkannya sumbangan perusahaan menjadi Rp 7,5 miliar. "Yang penting transparansi. Jangan sampai misalnya hanya dibatasi sumbangan korporasi Rp 2 miliar. Satu korporasi Rp 2 miliar di atas meja tapi Rp 10 miliar di bawah meja. Itu tidak sehat," katanya kepada detikcom, Jumat (17/12/2010) lalu.

Hal itu juga ditegaskan Sekretaris Fraksi Partai Demokrat, Saan Mustofa. Katanya, Partai Demokrat tidak akan sembarangan menerima sumbangan. "Partai akan mempertimbangkan, tidak serta merta orang mau menyumbang kita terima. Dalam hal ini asal usul pengusaha harus jelas, demikian juga motivasinya dalam menyumbang," kata Saan.

Wakil Bendahara DPP Partai Golkar (PG) Airlangga Hartarto, juga menolak kemungkinan masuknya dana gelap ke Partai Golkar. Alasannya, setiap tahun partainya melakukan audit terhadap keuangan partai. "Ini semua kita laporkan berdasarkan undang-undanh yang ada. Sumbangan kepada partai politik memang memerlukan pelaporan dari pihak penyumbang, maupun laporan keuangan dari partai. Jadi ada proses akuntabilitas serta transparansi," ungkapnya kepada detikcom.

Justru pada soal transparansi pengelolaan dana partai politik itulah yang menjadi kelemahan utama UU No 2/2008, yang ternyata tidak diubah atau diperbaiki sama sekali. Demikian ditegaskan oleh Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Ibrahim Zuhdhi Fahmy Badoh kepada detikcom di Jakarta, Sabtu (18/12/2010).

Proses pelaporan dana partai politik dan audit atas pelaporan tersebut sangat lemah, sehingga tidak memungkinkan terjadinya transparansi dalam arti yang sesungguhnya. Menurut Fahmi, auditor hanya mencatat uang masuk tanpa diberi kewenangan untuk mengidentifikasi asal usul uang masuk tersebut. Jadi, semua sekadar formalitas saja.

UU Partai Politik juga tidak bisa menghindari terjadi duplikasi penyumbang, karena seorang pengusaha bisa mengatasnamakan siapa saja untuk sekadar membukukan sumbangannya. Tiadanya sanksi, menyebabkan para pengelola dana partai tidak segan-segan melakukan manupulasi sumber maupun jumlah sumbangan. "Jadi, prinsip-prinsip transparansi sesungguhnya tidak diterapkan," tegas Fahmi.

Hal itulah yang menyebabkan partai politik akhirnya hanya dikuasai oleh para elit yang memiliki dana besar, atau bahkan dikuasai para cukong. "Jadi, ide menjadikan sumber pendanaan sebagai alat untuk mendemokratisasikan partai, masih jauh panggang dari api. Peningkatan jumlah sumbangan justru mempermudah partai politik dikooptasi kepentingan ekonomi, serta kepentingan di luar partai," kata Fahmi. 

Sementara itu, Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yuna Farhan kepada detikcom mengungkapkan pentingnya akuntabilitas dan transparansi dana partai politik. Masalahnya dana bantuan ke partai politik dari negera melalui ABPN dan APBD, yang nilainya relatif kecil saja tidak bisa dipertanggugjawabkan. 

"Dana bantuan dari APBN dan APBD yang sudah diaudit BPK saja tidak bisa dipertanggungjawabkan partai politik, apalagi yang dari perusahaan. Satu perusahaan saja kan banyak anak perusahaannya yang menyumbang, ini tidak jelas ke mana dan tidak diverifikasi," katanya.

Jadi menurut Yuna, sekarang bukan persoalan dana sumbangan ke partai politik menjadi semakin besar atau kecil. "Apalagi alasan untuk meningkatkan kinerja partai politik, itu tidak ada hubungannya. Tapi persoalannya, partai politik mau berbenah diri atau tidak soal transparansi ini," tandasnya.

Berdasarkan UU Parpol No 2/2008 dan Peraturan Pemerintah (PP) No 5/2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, juga Permendagri No 24/2009 tentang Pedoman Tata Cara Perhitungan Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, partai yang mempunyai kursi di DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota mendapatkan berasal dana dari APBN dan APBD diberikan pemerintah setiap tahunnya. Dana ini  diberikan secara proporsional.

Setiap tahun BPK melakukan audit yang hasil laporan pertanggungjawabannya disampaikan ke Mendagri dan DPP Partai Politik. Setidaknya, setiap tahun negara harus mengucurkan dana Rp 8,675 miliar kepada 9 partai politik yang masuk parlemen. Partai Demokrat yang menerima bantuan paling besar, senilai Rp 2,2 miliar, peringkat dibawahnya Partai Golkar senilai Rp 1,53 miliar, PDIP senilai Rp 1,48 miliar, PKS senilai Rp 837 juta, PAN senilai Rp 637 juta, PPP senilai Rp 564 juta, PKB senilai 524 juta, Gerindra senilai Rp 473 juta dan Hanura senilai Rp 400 juta.

"Ini saja kan pertanggungjawabannya belum jelas, bagaimana sumbangan dari perusahaan atau individu yang sangat besar itu?" tanya Yuna.

(zal/diks)


Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!

1 komentar:

  1. Quote:... "UU Partai Politik mengubah besaran sumbangan perusahaan, tetapi tidak mengubah sistem dan mekanisme laporan keuangan partai. Selama tidak ada tranparansi pengelolaan dana partai, selama itu juga partai dikuasai elit tertentu dan para cukong.

    Sejak Orde Baru jatuh pada 1998, tranparanasi partai politik dalam mengelola dana selalu menjadi perbincangan serius setiap kali undang-undang partai politik dibahas. Namun perubahan UU No 2/2008 tentang Partai Politik kali ini, sama sekali tidak menyinggung soal itu....."
    ZA: ...Dari dasarnya yang akal2an... adalah ciri utama permainan hukum liberal... yang oleh para pakarnya selalu dianggap sah dan legal..dan harus ditaati..[sekuler...sekuler...] Inilah ciri UU berdasarkan konsep "Kebenaran Liberal.." yi dalilnya.. "Kebenaran adalah suara rakyat [prakteknya wakil partai/DPR/ para vested & wakil2nya]= suara Tuhan???. Suara Tuhan yang mana Sdrku? ... Apakah Tuhan suara para anggota DPR/ vested & sebangsanya? Apakah mereka Tuhan?? Kok Pemikiran Anggota DPR dan Pejabat Pemerintahan itu = suara Tuhan?..Hmmh... Ini sudah gila.... Benar2 para pakar dan penganut konsep Demokrasi Liberal itu... sudah gila... Benar2... kebelinger...? Suara Tuhan itu Sdrku adalah ada dalam kitab suci... Yang jelas ada dalam Syariah= Islam. Itulah Suara Tuhan dan hukum yang tidak vested. Hukum yang dapat diuji dengan keilmuan dan pemikiran akal sehat dan dalil2 keadilan dimanapun juga dan dengan pakar apapun juga.... Silahkan.. Silahkan... Ayat yang mana yang Sdrku ingin perdebatkan... Silahkan... Dan mari kita..Renungkan Sdrku...

    BalasHapus